Sore, pulang kantor, seperti biasa aku menunggu bis didepan Chase
Plaza, untuk membawaku pulang, bertemu dengan kedua anak-anakku yang
masih berusia 2 tahun dan 9 bulan. Mikhail dan Fara namanya. Cuaca
menggerahkan tubuhku.
Penat seharian kerja, dengan segala
masalah yang ada selama bekerja. Sudah seminggu ini aku selalu lupa
menanyakan keadaan kedua anakku Entah menanyakan sudah makan siang atau
belum, bagaimana keseharian mereka, atau hanya sekedar memainkan telfon
untuk mendengarkan suara sang buah hatiku, si sulung Mikhail yang sudah
banyak bicara. Bahkan aku juga lupa bahwa saat ini kedua buah hati
tercinta sedang sakit flu. Aku terlalu sibuk sehingga sempat melupakan
mereka. Tapi ah, aku pikir aku meninggalkan buah hati bersama
orangtuaku dan pengasuhnya. Jadi, untuk apa aku pusingkan akan hal itu?
Jahatkah aku?
Aku rasa betul, aku jahat. Tapi aku lebih mementingkan pekerjaanku
daripada keluargaku.
Aku
termenung. Tadi pagi sebelum berangkat aku lagi-lagi lupa membekalkan
suami dengan dua potong roti omelete kesukaannya. Aku juga lupa
membekalkan teh hangat manis dimobilnya. Aku sempat merajuk gara-gara
suamiku menanyakan sarapan rutinnya untuk dimobil. Aku kan cape Mas,
aku kan harus siapkan bekal anak-anak sebelum mereka dititipkan
ketempat Oma-nya. Aku kan harus selesaikan cucian sebelum aku mandi
tadi pagi. Dan sejuta alasanku untuk tidak lagi dibahas masalah sarapan
rutin mobil. Dan ini sudah terjadi selama satu minggu pula. Ah, aku
juga melupakan kebiasaanku yang disukai suami, ternyata. Bahkan, aku
lupa minta maaf dengan kelakuanku seminggu ini.
Bahkan, akupun
lupa Shalat sudah seminggu ini !!! Alangkah ajaibnya diriku. Tapi
kurasa Tuhan mengerti. Begitu pikirku selama dikantor. Dan akupun
tenggelam dengan pekerja anku dikantor.
Saat itu jam sudah
menunjukkan pukul 5.25 sore, langit mendung, dengan udara lembab. Haus.
Aku lupa minum sebelum pulang tadi. Mestinya aku sediakan segelas minum
untuk bekalku diperjalanan. Aku membutuhkan 2 jam perjalanan dari
kantor sampai rumahku di Bintaro. Lagi-lagi, alasan sibuk yang
membuatku lupa membawa gelas hijauku yang dulu biasa "tidur" dalam
tasku.
Pada saat itulah mataku tertuju dengan 2 orang kakak
beradik, anak pengamen jalanan. Tidak beralas kaki, kotor dan kumuh.
Usia mereka sekitar 4 dan 2 tahun. Mataku tertuju dengan sang adik.
Wajahnya kuyu. Kotor dan diam. Terlihat wajah manisnya walaupun kurasa
anak kecil itu tidak pernah mandi. Tidak beralas kaki. Terlihat ada
luka ditelapak kakinya yang mungil, semungil telapak kaki buah hatiku
Mikhail. Sang adik tertawa saat seorang wanita muda memberikan pecahan
Rp. 2000 kepada kakaknya. Alangkah senangnya si kakak. Diberikan
selembar kepada sang adik, dan sang a dikpun menerima dengan hati
riang. Dipandangnya uang lembaran Rp. 1000 itu sambil bernyanyi kecil.
Ah, dia menyanyikan lagu masa kecilku dulu. Balonku ada lima, rupa-rupa
warnanya. Aku membayangkan buah hatiku Mikhail menyanyikan lagu itu.
Pasti tangannya tidak lepas dari pipiku, karena pada bait lagu "dor"
buah hatiku selalu memukul pipiku.
Aku tersenyum pada si kecil.
Suaranya. Ya, suaranya masih pula cadel. Tangan kanannya memegang
lembaran seribuan, tangan kirinya memegang alat musik kecrekan dari
tutup botol. Alangkah polos wajahnya. Sang kakak duduk ditrotoar sambil
menghalau lalat yang berseliweran dikepala adik. Kutahu, pasti dia
tidak keramas. Uh, mandi saja mungkin jarang apalagi mencuci rambut?
Tiba-tiba
saja, waktu sudah menunjukkan pukul 5.35 sore. Belum gelap. Tapi aku
tak tahu sudah berapa bis jurusanku yang terlewatkan karena
kekhusyukanku memandang 2 bocah polos didepanku?. Aku rogoh dompetku.
Duh, makin menipis. Aku harus beli susu sang buah hatiku yang kecil.
Aku juga harus beli alat kosmetikku yang sudah hancur dimainkan anak
sulungku. Pokoknya aku memang harus beli hari ini. Tapi pemandangan
didepanku meluluhkan hatiku. Kuambil selembar duapuluh ribuan dan
kuberikan kepada sang kakak. Terkejut, tentu saja. Sang adik tidak
kalah terkejut. Sambil teriak, sang adik bertanya pada kakaknya: aku
bisa makan hari ini ya kak ya. Hhh.. aku tersenyum pilu. Begitu
bahagianya mereka menerima lembaran dariku.
Aku tegur kakaknya "kamu berdua belum makan?"
Pertanyaanku
dijawab dengan sebuah anggukan kepala yang pelan. Saat itu juga aku
menitikkan air mata. Aku kasihan sekali. Adiknya tidak memakai celana
apapun. Bahkan aku bisa melihat bahwa adiknya seorang perempuan.
Beberapa orang yang sedang menunggu bis, menjadikan percakapanku dengan
bocah-bocah itu sebagai tontonan mereka. Beberapa ada yang memberikan
selembar 5000an. Ah, Jakarta !
"Kamu mau makan? Ma u saya
belikan makanan?" Lagi-lagi pertanyaanku dijawab dengan sebuah anggukan
kecil. Sang adik tersenyum kepadaku. Ah, polosnya senyuman itu. Tanpa
beban. Tanpa arti. Tapi yang kutahu, senyuman itu senyuman bahagia dari
kepolosannya. Aku ajak mereka ke sebuah warung nasi Padang didekat
Chase Plaza, kantorku. Aku tawarkan makanan sesuka mereka. Raut wajah
mereka memucat. Aku mengerti, mereka sudah lapar dan dahaga. Kupandangi
mereka makan. Duh, lahapnya. Aku sendiri tidak makan seharian tadi,
karena lagi-lagi kesibukanku dikantor. Apakah aku sudah sedemikian
kuatnya sehingga aku mampu melupakan makan siang, mampu melupakan
kewajibanku sebagai istri dan ibu dari 2 orang buah hati terkasih?
Aku
ambil rokok mentholku, dan kuhisap perlahan. Duh, rokok tidak pernah
lepas dariku, seakan dialah pasangan hidupku. Kuperhatikan sang adik.
"Siapa nama kamu?" Jawaban malu-malu keluar dari bibirnya "Ririn, Ibu".
Ah, namanya Ririn. Sebuah nama indah.
Tapi kenapa nasibnya tidak
indah?. Aku melamun. Tiba-tiba saja aku jadi cengeng luar biasa.
Airmataku menitik. Duh, sejahat inikah yang namanya Jakarta? Hingga
mampu menciptakan dua orang bocah yang sedang makan dihadapanku menjadi
pengamen jalanan dengan alat kecrekan seadanya ditengah-tengah gedung
tinggi? Bahkan, celana dalampun mereka tidak punya. Mungkin punya, tapi
cuma beberapa. Aku tidak menanyakan hal itu. Kurasa tidak perlu.
Bodohnya aku !.
"Kamu rumah dimana?" Aku tidak mendapatkan
jawaban. Hanya gelengan kepala si kecil. Ah, mereka tidak punya rumah.
Rumah mereka di bedeng kardus, dekat stasiun Senen. "Jalan kaki dan
numpang bis dari Senen untuk ngamen" kata sang kakak. Aku melamun.
Kuhisap rokokku dalam-dalam. Rumah kardus? Pengap? Tanpa orang tua?
Nyamuk? Penyakit? Kotoran dimana-mana? Adakah yang peduli dengan masa
depan Ririn kecil? Adakah yang peduli? Kenapa mereka ada di Jakarta?
Kenapa bisa bertemu denganku disini?
Tiba-t iba saja lamunanku buyar. "Ibu, terima kasih kami sudah makan enak".
Mataku
berkaca-kaca. "Ya, sama-sama. Semoga kamu kenyang dan senang" jawabku
berat. Ririn kecil tersenyum. Kurasa ia kekenyangan. Keringat didahinya
berbicara. Lalu ia mulai memainkan kecrekan gembelnya. Bunyinya tidak
beraturan. Tidak ada nada sama sekali. Hanya suara cadelnya yang
membuatku tersenyum. Aku berkaca-kaca. Senangnya bisa memberikan arti
buat mereka. "Ibu, jangan melamun. Aku mau nyanyi buat Ibu". Ah,
menyanyi? Buatku? Apa istimewanya aku?. Aku tertegun. Suara cadel itu.
Suara polos itu. Mereka menyanyikan sebuah lagu untukku. Aku tidak
mengerti lagunya. Tapi terdengar indah ditelingaku. Ah, aku diberi
hadiah: lagu !.
"Sekarang kamu berdua pulang. Masih ada yang
merindukan kamu berdua. Ini bekal buat dijalanan". Aku berikan selembar
duapuluh ribuan, seliter air mineral, roti manis dan sandal buat kedua
bocah itu. Kebesaran. Tapi tidak apa. Mereka senan g sekali memakai
sandal baru. Aku pandangi kedua bocah dengan senyum. Mereka berlarian
mengejar bis. Entah kemana lagi mereka pergi. Mencari uang lagikah?
Atau pulang kerumah kardus mereka di pinggiran stasiun Senen seperti
ucapan mereka tadi? Aku terharu, air mataku menetes. Ah Jakarta...
jahat sekali kamu.
Sudah jam 7 lewat 10. Aku pasti terlambat
sekali sampai rumah ibuku. Aku harus menjemput buah hatiku dan setelah
itu pulang kerumahku. Aku duduk dalam bis. Terdiam. Aku lagi-lagi
meneteskan airmata. Apakah aku ditegur Tuhan? Apakah aku disentil
olehNya? Mata polos itu. Mata polos itu menegurku, Tuhan.
Aku
lupa bersyukur dengan apa yang telah diberikanNya untukku. Aku lupa
dengan anak-anakku. Aku lupa dengan suami dan tanggung jawabku sebagai
ibu dan istri. Mata Ririn kecil menusukku tajam. Aku ditegur olehnya.
Oleh mata kecil polos tanpa duka itu.
Fara kecil tertidur
dipangkuanku. Mikhail, buah hatiku yang sulung dengan mesra mem ainkan
rambut Papanya. "Papa, hari ini aku sudah bisa belajar mewarnai. Hari
ini aku tadi makannya banyak. Aku tadi mau minum obat. Aku hari ini
jadi anak Papa yang pintar". Celotehannya yang cadel membuatku
tersenyum berkaca-kaca. "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama?"
tanyaku. "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama. Mama kan mama yang
sibuk". Bahkan si sulungpun kini sudah mulai menjauh dariku. Dia malah
lebih sayang dengan Papanya. Suamiku. Duh, rasanya seperti tertusuk
jarum. Sakit. Tapi aku diam. Ini memang semua salahku.
Tertidur.
Mikhail dan Fara tertidur sudah. Tanggapan akan ceritaku dari suami,
hanya tersenyum. Bijaksana sekali. "Itulah teguran Allah untukmu. Maka
bersujudlah. Mohon ampun padaNya". Malam itu juga aku Shalat. Memohon
ampun pada yang Kuasa atas kemalasanku sebagai Ibu. Mohon ampun telah
melupakanNya.
Kupandang kedua wajah polos buah hatiku tercinta.
Pulas. Tampak genangan liur dibantal mereka. Far a tersenyum. Buah hati
kecilku itu kalau tidur memang suka tersenyum kecil. Sayangnya Mama...
Setetes
air mata kembali mengalir dipipiku. Entah siapa kedua bocah yang
kutemui sore tadi sepulang kantor, entah siapa Ririn kecil yang
memandangku polos, entah siapa yang telah menyanyikan sebuah lagu
untukku disebuah warung nasi. Yang aku tahu, mata lugu itu telah
menegurku dengan sangat tajam. Terima kasih Allah, telah mengirimkan
dua bocah kecil, miskin tiada arti, untuk merubah hidupku. Mungkinkah
mereka Engkau kirim untukku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar