“Siapa yang nelpon, Mom?” suara putriku yang lain, Kayla menyahut dari ruang makan.
Aku menghampiri meja makan. “Mbakmu. Biasalah, ngasih tahu mau ke sini pas liburan bareng anak-anaknya,” jawabku.
Kayla mengangguk-angguk. “Kapan rencananya dia
datang, Mom?” tanya Kayla lagi. Lalu menoleh memanggil putranya.
“Jerry!“ Jeremy, cucuku dari Kayla mendekati Maminya dan membuka mulut
minta disuapi. Lalu cucuku itu kembali berlari mendekati
motor-motorannya, kembali asyik bermain menirukan seorang pembalap.
“Mungkin besok, anak-anaknya sudah libur tapi
suaminya belom dapat izin dari kantor. Tadi nanyain Jerry mau liburan
ke mana?” jawabku sambil menyampaikan pesan Karen pada Kayla. Aku duduk
di sisi Kayla, mengambil toples kacang di tengah-tengah meja dan mulai
mengemil.
“Belum ada sih, Kay belum ada rencana. Papinya
Jerry sibuk, mungkin deket-deket aja. Palingan berenang, kalo gak
nge-mall aja, biasa juga si Jerry mintanya mainan doang,“ jawab Kayla.
Tangannya ikut mengambil kacang goreng di toples. “Nunggu mbak aja deh,
Mom. Kalo emang asyik, aku bareng dia aja.”
Aku hanya mengangguk. Jerry datang dan minta
dipangku olehku. Maminya menyuruhnya turun, tapi Jerry tetap bergelayut
padaku. Aku hanya tersenyum. Kuturuti kemauan cucu keempatku itu,
walaupun si Mami merengut. Setelah menjalani operasi pengangkatan
Kanker, Kayla memang sedikit protektif padaku. Bukan hanya Kayla, Karen
dan Kemal juga begitu. Mereka lebih perhatian daripada sebelumnya.
Anak-anakku hanya tiga tapi ketiganya selalu
mengisi hari-hariku setelah suamiku memasuki dunia pensiun. Mereka
dengan cara masing-masing membuat aku dan suamiku merasa selalu bahagia
walaupun di usia kami yang telah lanjut.
Karen dengan tiga anaknya, tinggal di kota berbeda
denganku. Ia selalu rutin meneleponku atau suamiku. Karena ia lebih
dekat dengan suamiku, biasanya ia senang mengobrol dengan Papanya
hingga berjam-jam di telepon. Apalagi kalau bertemu, saking asyiknya
mereka bisa lupa tidur dan lupa makan. Satu kebiasaan Karen, dia selalu
bisa membuat kami tertawa. Dengan gaya yang kocak, dia sering membagi
cerita tentang tingkah anak-anaknya membuat aku dan suamiku
terpingkal-pingkal. Tapi di sisi lain, di antara ketiga anakku Karenlah
yang paling bisa diandalkan dan diajak bicara serius. Selalu ada
penyelesaian yang bijak darinya.
Kayla lain lagi. Anak perempuan termudaku itu
sangat dekat denganku. Dia memang tak pernah benar-benar lepas dariku
walaupun sudah menikah. Kayla lebih pendiam dari Karen, tapi kalau soal
perhatian dia tak pernah kalah dari kakaknya. Begitu aku mengeluh sakit
sedikit saja, dia langsung menyuruhku ke dokter walaupun kadang-kadang
menurutku tak perlu. Tidak cuma itu, kadang-kadang satu keinginan yang
kusebutkan tanpa sengaja bisa dianggapnya begitu serius. Itu sebabnya
pada Kayla aku berusaha berhati-hati jika berbicara. Bukan karena apa,
aku hanya takut keinginanku yang hanya main-main ditanggapi serius oleh
putriku itu.
Dan terakhir putraku, Kemal. Si bontot yang
berbadan paling besar diantara kedua kakak perempuannya ini adalah
anakku yang paling manja. Di rumah, kami mengenalnya sebagai sosok yang
manja, bahkan ketika beristri dan memiliki seorang anak. Tapi di luar
rumah, putraku ini adalah seorang pemimpin di kantornya. Bukan hanya
saat ini, dulu saat masih sekolah lalu melanjutkan ke kampus dia selalu
menjadi sosok pemimpin diantara teman-temannya. Kami sekeluarga sering
menertawakannya sebagai anak labil, namun seperti biasa si Kem selalu
bisa menjawab dengan santai. “Maklum, anak bontot.” Kemal teman
bercanda suamiku sekaligus teman berantemnya. Tapi anehnya, kalau
dipisahkan keduanya selalu saling mencari.
Setiap anak adalah keunikan, begitu juga pada
ketiga anakku. Dengan cara masing-masing mereka mengisi kehidupan kami,
membagi sedikit rezeki mereka walaupun aku selalu berusaha menolaknya.
Uang pensiunan yang didapat suamiku memang terlalu kecil. Tapi karena
anak-anak, aku selalu bisa memenuhi kebutuhanku dan suamiku malah
kadang terasa berlebih. Padahal anak-anak tak ada yang pernah memberiku
secara langsung.
Sekali di awal Ayah mereka pensiun, Karen pernah
menyodorkan uang padaku. Aku langsung menolaknya. Putriku tidak
bekerja, ada tiga anak yang dibesarkannya dan suaminya hanya pegawai
biasa. Dan memang Karen tak pernah mengulanginya lagi. Anehnya, dia
malah makin sering meminjam uangku dengan berbagai alasan. Biasanya
setiap kali dia berlibur bersama anak-anaknya. Sering dia meminjam
uangku dengan alasan tak ada uang kecil dan anak-anak minta dijajanin.
Baru beberapa hari kemudian aku menyadari kalau justru ada tambahan
uang di dalam dompetku. Jumlahnya memang tak seberapa tapi itu selalu
dilakukan Karen setiap kali dia bisa. Suamiku bilang, mungkin itulah
cara Karen membagi kebahagiaannya bersamaku dan suamiku. Satu kali, aku
pernah menangkap basah Karen saat menyelipkan uang di dompetku. Tapi
dia hanya nyengir dan ngeloyor pergi. Santai, cuek seperti biasa.
Beda Karen, beda pula Kayla. Kayla juga tak pernah
menyodorkan uang. Apalagi waktu aku bilang aku malu menerima uang dari
anak-anak. Caranya dia lain lagi. Hampir seminggu sekali, dia selalu
rutin mengajakku dan Bian keluar rumah. Makan bersama, berolahraga atau
sekedar jalan-jalan di mal. Biasanya ia menyuruh Jerry menjadi
mata-matanya. Tahu-tahu keesokan harinya, barang-barang yang hanya
kulihat-lihat dan kukagumi saja itu sudah ada di kamarku. Belum lagi
kebiasaan Kayla yang mirip suamiku, gemar mencoba makanan baru di
restoran. Itu sebabnya dia rutin mengajak Bian dan aku berwisata
kuliner.
Lalu Kemal yang serumah denganku, punya cara yang
lain lagi. Tanpa disuruh, secara rutin mereka membelikan semua
keperluan rumah tangga seperti sabun, susu dan beras. Belum lagi aku
sempat berbelanja, Kemal dan istrinya sudah memenuhi stok sandang dan
pangan di rumah. Istri Kemal yang dekat denganku, juga selalu
membelikanku oleh-oleh setiap kali ia keluar kota bersama putraku
walaupun aku sering melarangnya. Dan meskipun serumah, anak menantuku
ini sebisa mungkin mengurus putrinya sendiri.
Anak-anak, dengan cara mereka masing-masing
membuatku dan Bian merasa menjadi orangtua yang lengkap. Mereka juga
seperti anak-anak yang lain sesekali berdebat dan marahan. Tapi ketika
satu masalah terjadi, mereka dengan kompak menyelesaikannya.
Dan itulah yang terjadi beberapa waktu lalu. Saat
aku terkena penyakit parah. Kemal yang sedang berselisih dengan Karen
karena keputusan Kemal yang keluar dari tempat kerjanya, tempat yang
direkomendasi Karen pun bisa berpelukan dengan tulus. Mereka melupakan
semuanya dan fokus mengurusku.
Aku sempat down melihat sejumlah angka biaya
operasi yang disodorkan dokter. Aku berniat membatalkannya. Tapi ketiga
anakku langsung memarahiku. Memintaku untuk memikirkan diri sendiri
saja.
“Mom, siapa bilang mom gak berharga? Mom itu
setimpal dengan harga tiga nyawa kami dan lima cucu mom. Kalau tak ada
mom, tak mungkin ada kami semua. Kalau Mom bilang ini kemahalan, Mom
salah besar. Karen 32 tahun, Kayla 30 tahun dan Kemal 26 tahun. Kalau
Mom mau berhitung, Mom kalikan saja umur kami dengan gaji Mom sehari.
Berapa Mom? Itu terlalu banyak dan yang kami keluarkan ini
sepersepuluhnya pun tak ada.” Itu kata Karen. Anakku itu memang tak
menangis, tapi aku mendengar isaknya ketika berada di kamar mandi.
Kayla lain lagi, si romantis super sensitif itu
menangis terus setelah tahu aku sakit. “Kalau Mom gak ada, apa Mom kira
Kayla sanggup menghadapinya sendiri? Mom itu nyawa Kayla. Kay… Kay
harus bilang apa sama Jerry kalau setelah dewasa nanti Jerry tak mau
membiayai Kay kalau lagi sakit hanya karena Kay tak mau membantu Mom,
nenek yang paling dia sayangi?” kalau suamiku saja tak tahan melihat
putriku itu menangis terus bahkan ketika Kayla sedang memasak, apalagi
diriku.
Sementara Kemal malah menatap dengan mata kosong
sebelum berkata. “Kalau Mom gak mau dioperasi, sekalian aja bunuh Kemal
dulu. Mom gak kasihan sama Kemal? Ini buat Kemal Mom, bukan buat Mom.
Mana tega Kemal lihat Mom menderita. Itu seperti membunuh Kemal
pelan-pelan,” Dan diapun memelukku. Terguncang mendengar berita
mengagetkan itu. Ia malah sempat kehilangan semangat untuk bekerja.
Anak-anak pula yang mendorong mengambil keputusan
berani. Ketika aku menganggukkan kepala, anak-anak bersama keluarganya
masing-masing langsung melangkah cepat. Mencari rumah sakit terbaik,
memilih kamar terbaik dan bahkan mendampingiku saat dioperasi.
Ketiganya mengambil cuti, meluangkan semua jadwal padat mereka untuk
mengantarku ke rumah sakit, berjam-jam menunggu dalam proses
pemeriksaan fisik yang melelahkan. Mereka berbagi tugas, berbagi
informasi, berbagi cerita dan kekompakan inilah yang membuatku tangguh.
Mereka lengkap bersama keluarganya lengkap
menungguiku selama operasi berlangsung. Koneksi Karen yang menurutnya
selama ini tak pernah digunakannya, kecakapan suami-suami anakku dalam
melewati birokrasi, kenekatan Kayla dan Kemal menghadapi para petugas
administrasi dan kekompakan mereka saat harus menyediakan dana kontan
dalam sepuluh menit di malam hari dengan mengumpulkan semua yang ada di
dalam tas dan dompet mereka saat itu membuat proses operasi yang
seharusnya baru bisa dilaksanakan paling cepat sebulan setelah
dijadwalkan dipersingkat menjadi satu minggu. Anak-anak bahkan
memberiku kelas terbaik untuk dirawat. Mereka terus memberiku semangat
bahkan ketika aku sempat ketakutan sendiri. Dan akhirnya aku berani
melakukannya.
Operasipun berlangsung. Aku tak merasakan apa-apa
dan tahu-tahu telah tersadar di ruang pemulihan dengan satu kata di
kepalaku, “Dokter, keluarga saya bagaimana?”
Dan dokter bedahku yang juga sahabat Karen itu
berkata. “Salut saya bu, semua anak ibu beserta keluarganya ada di
sini. Tadi mereka bergantian masuk sepanjang operasi yang ibu jalani.
Baru kali ini saya operasi, yang masuk berganti-ganti. Mereka sudah
menunggu di luar. Tunggu sebentar ya bu. Sabar saja, anak-anak ibu
memang hebat.”
Aku tak tahu siapa saja yang menunggu di luar itu.
Tapi ketika tempat tidurku dibawa keluar, aku merasakan elusan tangan
anak-anak menggenggam jemariku satu persatu. Lalu mendengar bisikan
dari suami. “Sudah selesai, sayang. Anak-anak dan cucu kita semua ada
di sini. Yang kuat ya.”
Dua titik air jatuh di pelupuk mataku, bukan
karena rasa sakit, bukan karena akhirnya aku kehilangan. Tapi karena
aku terharu mendapatkan cinta yang begitu besar dari anak-anak. Aku
Mommy mereka, ternyata masih berharga buat mereka.
Note:Memberi atau menunjukkan cinta untuk orangtua juga ada caranya, karena gak semua orangtua mau diberikan uang / benda begitu saja oleh anaknya. Kisah di atas mungkin hanya beberapa cara anak menunjukkan kasih sayangnya tanpa menyinggung perasaan orangtua dan tetap merasa dihargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar