Tulisan itu lagi yang tertulis di buku
diari putriku. Ah, tak enak rasanya melihat kata-kata itu begitu sering
muncul di diarinya belakangan ini.
Dia memang tak tahu kalau aku sering
memeriksa diarynya. Mencari tahu isi hatinya yang sering tersembunyi di
balik kebisuan dan ketertutupan yang sama persis seperti si Papa.
Apalagi sejak perceraian memisahkan aku dan Papanya, Kirana menjadi
semakin introvert.
Perceraian. Mungkin itulah kesalahan
kami pada Kirana. Tak seharusnya kemarahan membuat kami mengorbankan
putri kami satu-satunya. Kami menganggap Kirana tak cukup penting untuk
ikut mengambil keputusan penuh emosional saat itu. Namun, nasi sudah
menjadi bubur. Kami bercerai saat Kirana baru masuk SMP, setelah
berbulan-bulan pisah rumah, bertengkar setiap kali bertemu dan setelah
perceraian itu kami tak lagi saling tak tegur sapa apalagi bersua
hampir dua tahun lamanya.
Lalu tiba-tiba, entah dari mana datang
Papa Kirana yang tak pernah muncul sejak bercerai kembali itu datang
mengetuk rumahku. Perasaan tak enak hati dan marah sempat hinggap, aku
bahkan terang-terangan menyalahkan dan memaki-makinya sebagai lelaki
tak bertanggung jawab karena tak pernah membiayai hidup Kirana. Dan
mantan suamiku itu hanya terdiam dalam bisu, mengangguk sedih dan hanya
mengiyakan semua kesalahannya yang kupaparkan di depan putri kami.
“Kenapa kau kembali, mas? Buat apa?” cecarku pada akhirnya setelah lelah marah-marah.
Mantan suamiku, mas Budi menatap
Kirana. Tatapan rindu yang jelas-jelas tergambar di kedua bola matanya.
“Saya rindu Kiran, de. Saya benar-benar rindu padanya.”
Kata-kata itu terdengar begitu tulus,
hingga membuat dadaku sesak. Kirana tak bisa menghentikan tangis dan
dengan pandangan memohon, ia menatapku. Ia ingin sekali memeluk Papanya
namun ia ingin meminta izinku.
Tapi aku menggeleng. Tidak adil! Ini
tidak adil! Aku mengasuh Kirana sendirian selama dua tahun, bertanggung
jawab sendirian mendidik dan membesarkannya dengan hasil keringatku.
Berjumpalitan mengatur waktu antara pekerjaan dan urusan rumah tangga,
mengambil semua tugas seorang Papa sekaligus seorang ibu agar Kirana
tak merasa sendirian. Namun sekarang, dengan enaknya lelaki itu datang
lagi. Meminta maaf lalu mengira semuanya selesai begitu saja. Tidak
bisa!
Sekali lagi kemarahanku bangkit. Aku
berdiri, mengusir keluar bahkan aku mengunci pagar. Aku kalap menarik
lelaki itu keluar dan memintanya pergi secepat mungkin. Tangis Kirana
yang meledak tak mampu meredam emosiku. Aku benci lelaki itu, lelaki
yang mengkhianati semua kepercayaanku dan memilih perempuan lain
padahal aku telah memberikan segala yang kupunya padanya. Aku dan
Kirana tak cukup berharga untuk berada di sampingnya hingga ia memilih
meninggalkan kami untuk perempuan lain.
Kirana dan aku berpelukan setelah itu.
Aku meminta maaf karena aku belum bisa memaafkan Papanya. Dia hanya
menangis dan menangis. Aku mengira Kirana memahami maksudku, memahami
perbuatanku dan bersedia menerima semua yang telah kulakukan pada
Papanya.
Tapi Mas Budi datang lagi, datang lagi
dan terus datang. Berkali-kali kuusir, kumaki bahkan kuteriaki tetap
tak pernah menghentikan keinginannya. Dia memohon, menelepon bahkan
menunggui Kirana saat sekolah namun ia tak pernah lelah. Dan dari
pembantu kami, aku tahu kalau Kirana sering menemui Papanya diam-diam.
Aku benar-benar takut Kirana memilih
ikut Papanya. Aku takut kehilangan lagi. Sudah sering aku bercurhat
dengan teman-temanku, namun semuanya meminta aku memaafkan Mas Budi.
Menurut mereka, walaupun bagaimana Mas Budi adalah Papanya dan sudah
seharusnya menjadi bagian dari kehidupan Kirana. Bimbang memenuhi
batinku saat ini, berperang antara keinginan memaafkan dan kemarahan
masa lalu yang masih begitu jelas.
“Ma, sedang apa?” suara Kirana mengagetkanku. Matanya terbelalak melihat buku diari miliknya yang kupegang.
Dengan cepat Kirana merampas bukunya, ia marah. “Mama kok gitu sih? Ini kan barang milik Kiran!”
Aku mengangguk, memilih diam sebentar.
Kutatap putriku yang masih merengut kesal. “Habis Kiran sudah gak
pernah ngobrol sama Mama lagi seperti dulu. Mama jadi pengen tahu
kenapa. Maaf ya, Ran,” bisikku.
Kirana menatapku lama. “Kiran bukannya
gak mau ngobrol sama Mama. Kiran tak mau Mama marah. Kiran gak mau hati
Mama sakit lagi. Kiran kira mungkin lebih baik untuk sementara Kiran
diam dulu.”
“Mama memang masih sangat sakit.
Apalagi sejak Papa Budi datang terus ke sini. Mama kesal karena dia
bisa seenaknya datang setelah dua tahun nyakitin perasaan kita berdua
seperti itu.”
Putriku duduk di sampingku. “Ma, belum
cukupkah kemarahan Mama pada Papa? Mama gak kasihan lihat Papa beberapa
kali Mama teriakin di depan rumah, dimarahin di depan Kiran terus
tambah lagi gak ngizinin Kiran ketemu Papa. Mama gak kasihan lihat Papa
Budi sampe nangis memohon agar dimaafkan?”
Aku meneguk liur, merasakan kebenaran dalam kata-kata Kirana.
“Papa mungkin memang salah sama Mama,
sama Kirana. Tapi Ma, kalau Allah saja bisa memaafkan hambaNya yang
paling berdosa kenapa kita, manusia biasa tidak bisa? Dulu Kiran juga
pernah marah sama Papa, Kiran bahkan marah sama Mama… ” Aku terhenyak
mendengar kata-kata Kirana, namun ia tetap meneruskannya. “Lalu Nenek
bilang, Allah selalu punya cara sendiri menunjukkan jalan yang tepat.
Mungkin belum kelihatan sekarang apa maksudnya tapi nanti. Nah Kiran
merasa mungkin inilah jalan terbaik untuk Papa dan Mama, daripada
bertengkar terus, daripada ribut terus maka lebih baik berpisah saja.
Buktinya benar kan, Ma? Meskipun bercerai, Papa tetap mencari Kiran
karena Papa adalah bagian dari hidup Kiran, seperti Mama.”
Kirana memelukku. “Tak bisakah Mama
memaafkan Papa? Tak perlu kembali mesra atau mencoba kembali menjadi
seperti dulu, Kiran hanya pengen Mama memberi Papa kesempatan bertemu
Kiran seminggu sekali saja. Kiran iri lihat teman-teman yang punya Papa
dan Kiran juga ingin mengalaminya. Kiran… terus terang Kiran juga rindu
sama Papa. Kita maafkan Papa, ya Ma?” ucap Kirana penuh harap.
Aku tak bisa bicara, dadaku kembali
sesak. Sesak karena haru, sesak karena rasa bersalah dan sesak karena
berterima kasih pada Allah. Allah telah membuka mataku melalui putriku.
Selama ini aku hanya peduli hatiku sendiri, aku lupa kalau ada hati dan
perasaan lain milik Kirana yang sekali lagi harus kupertimbangkan. Aku
telah mengambil keputusan sendiri saat bercerai tanpa memikirkan
Kirana. Namun sekarang sekali lagi aku kembali melupakan perasaannya
dan hanya memikirkan kepentinganku sendiri. Aku yang egois bukan
Kirana. Wajar jika ia ingin memaafkan Papanya, wajar ia ingin memiliki
kami berdua tanpa batas. Aku yang salah padanya. Seharusnya aku juga
meminta maaf pada Kirana. Meminta maaf dengan memaafkan papanya.
Tapi lidahku kelu. Yang bisa kulakukan
hanya memeluk putriku, menangis. Namun, perlahan sebuah keputusan
datang. Aku memaafkanmu, Mas Budi. Demi Kirana, demi buah hati kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar