Jumat, 24 Juni 2011

PENANGKARAN PENYU DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah


Indonesia memiliki jumlah pulau yang mencapai 17.508 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Ini merupakan habitat yang cocok untuk kehidupan penyu terutama pada daerah-daerah pantai berpasir. Enam spesies penyu dari tujuh spesies penyu di dunia terdapat di Indonesia (Halim dan Dermawan, 1999). Keenam spesies penyu tersebut adalah: (1) penyu sisik (Eretmochelys imbricata), (2) penyu lekang (Lepidochelys olivacea), (3) penyu belimbing (Dermocelys coriacea), (4) penyu hijau (Chelonia mydas), (5) penyu tempayan (Caretta caretta) dan (6) penyu pipih (Natator depresus), sedangkan yang tidak ada di Indonesia adalah Lepidochelys kempi. Spesies ini hanya hidup di laut Atlantik, khususnya pada kawasan pantai Amerika dan Meksiko (Nuitja, 1996 dikutip Halim dan Dermawan, 1999).

Satu hal yang sangat ironis, kekayaan yang besar tersebut tidak sepenuhnya terpelihara kelestariannya. Pembunuhan penyu dan pengambilan telur secara liar telah mendorong menurunnya populasi penyu di Indonesia. Pada tahun 1994 dan 1995, antara 15.000 ekor sampai dengan 21.000 ekor penyu setiap tahunnya ditangkap dan dibawa ke Tanjung Benoa Bali untuk memenuhi kebutuhan pasar penyu hijau di Bali. Jumlah tersebut merupakan salah satu jumlah terbesar di dunia. Lebih dari itu, sejumlah lainnya juga ditangkap untuk keperluan setempat, seperti di Maluku dan Sulawesi Selatan (Prihanta, 2000).

Umumnya, masyarakat banyak yang tidak tahu tentang keberadaan penyu, baik secara biologi maupun ekologi. Selain itu, kurangnya informasi tentang siklus hidup serta kehidupan penyu, menjadikan masyarakat masih tetap mengeksploitasi dan mengkonsumsi telur penyu. Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi telur penyu karena adanya anggapan bahwa telur penyu mampu meningkatkan stamina pria. Sebenarnya, komposisi telur penyu sedikit lebih tinggi (kadar gizinya selisih 1.24 %) dari telur ayam. Kandungan gizi telur penyu mentah adalah protein 13.04 %, air 58.87 %, lemak 23.88 % dan kandungan gizi telur penyu matang adalah protein 14.05 %, air 56.65 %, lemak 24.45 % sedangkan komposisi gizi telur ayam utuh adalah protein 11.80 %, air 65.50 %, lemak 11.00 % (Damanhuri, 2007).

Ancaman terhadap telur penyu adalah pemungutan telur di lokasi peneluran dan pemangsaan oleh predator, seperti biawak, babi hutan, tikus, semut, dan kepiting. Pemangsaan oleh predator ini juga terjadi pada tukik (Subiakto, 2004). Tingginya ancaman terhadap penyu di Indonesia membuat Green Peace (1989) yang dikutip Prihanta (2000) menyatakan bahwa pertambahan alamiah populasi penyu laut di Indonesia mendekati nol. Bahkan IUCN (1984) dan TRAFFIC Japan (tanpa tahun) sudah mulai mengkhawatirkan, di masa mendatang penyu tidak akan ditemukan lagi di Indonesia (Troeng, 1997, dikutip Prihanta, 2000)

Penyu sebagai makhluk hidup yang mampu bermigrasi melintasi beberapa benua sudah merupakan milik masyarakat dunia. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 telah mencanangkan untuk melindungi penyu dari kepunahan akibat eksploitasi manusia, baik terhadap telur, daging, maupun karapasnya yang digunakan sebagai hiasan. Dalam rangka usaha pelestarian penyu, pemerintah mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai organisasi internasional, seperti World Wide Fund for Nature (WWF), Food Agriculture Organization (FAO), dan Japan Bekko Association (JBA).

Berdasarkan kondisi populasi yang semakin berkurang, lokasi yang semakin terbuka, dan jumlah produksi telur yang semakin menurun, upaya-upaya penyelamatan perlu dilakukan. Upaya tersebut antara lain dengan melindungi telur penyu di alam dan melepaskan tukik kembali ke laut. Upaya penyelamatan ini harus berkelanjutan meskipun biaya yang disediakan dalam kegiatan ini cukup besar. Salah satu upaya penyelamatan tersebut telah dilakukan oleh Penangkar Penyu Sukamaju di Pekon Muara Tembulih Kecamatan Ngambur Lampung Barat.

Tidak ada komentar: