Kenanglah Aku-nya Naff sudah sampai
ke reffnya. Tapi Aku masih saja menulis
surat yang gagal berkali-kali. “Duh,
susahnya bikin surat untuk cewek yang
satu ini!” aku mengeluh. Sebenarnya
Aku paling gak suka ada cowok yang
menyukai cewek pake surat-suratan
segala. Gak jamannya lagi. Itu juga
nasehatku pada teman-temanku. Tapi
kali ini aku seperti terkena bumerangku
sendiri. Ah, sebodo amat. Cuek. Aku
coba lagi, sret…sret….sret! dan salah
lagi. Pikiranku jadi kacau. Ku sobek-sobek kertas surat berparfum itu. Bret! Bret! Bret!. Beres matikan
tape lalu pergi keluar kamar!
Pikiranku masih terus liar. Rasanya Rere dah merubah semua kebiasaanku. Gimana enggak,
mulai dari senyum, sorot mata dan banyak lagi. Pokoknya semua mua yang ada dalam diri Rere bagai
sentuh magic yang gak ada di bengkel manapun. Luar biasa!. Tapi rasanya koq Aku dihinggapi rasa
takut yang amat sangat. Takut kehilangan Rere dan takut ….Rere gak menyukaiku. Ah, parah banget !
“Kayaknya sih Tiara suka ma gue” gitu batinku menghibur.
“To, tolongin gue dong?” pintaku sesampai di rumah Yanto.
“Minta tolong pa’an? Tumben-tumbenan elo minta tolong ma gue” kata Yanto.
“Gue lagi jatuh cinta”
“Jiaaa…ma siapa? Aneh banget elo kena virus kayak gini” Yanto terus meledekku. Aku mulai jengkel.
“Nih serius, urusan dunia akherat”
“Huu…segitu jauhnya sampai ke akherat”
“Ya iyalah…” Aku membela diri. Yanto akhirnya manggut-manggut kayak dukun abis ngedengerin keluhan pasiennya. Dan….
“Siapa sih cewek yang elo maksud?” tanya Yanto. Aku mulai menggeser dudukku mendekati Yanto, kemudian kudekati telinga Yanto.
“Cewek itu namanya Rere…?” bisikku ke telinganya. Yanto terkejut.
“Kenapa, To?” tanyaku menyelidik.
“Ah, enggak, gak papa”
Jawaban Yanto membuat aku bertanya-tanya. Aku mendesak Yanto tapi ia cuma bilang gak papa.
“Ok, deh” Yanto mengalihkan kecurigaanku. Nanti gue datengin dulu Rere dan bicara empat mata ma dia. Gimana?”
“Terserah elo gimana caranya”
“Ok, teman. Elo tunggu khabar dari gue ya?”
Kami berpisah. Tinggal Yanto
sendirian. Mulai deh pikirannya kacau. Entah kenapa sekarang malah Yanto
yang kacau. Bingung. Pasti kenapa kenapa nih….?
Benar, janjinya ditepati. Yanto bilang
bahwa Rere mau ketemuan di Kota Tua. Duh, aku senang banget. Aku mulai
salah tingkah. Sambil terbungkuk-bungkuk….”Makasih To, makasih To, elo
mang sahabat gue yang paling baik” aku puji Yanto abis-abisan. Yanto
cuma tersenyum. Lalu aku mohon pamit pulang. Langkahku semangat
kemerdekaan. Sesampainya di rumah aku langsung bunyikan MP3-ku,
mengalunlah Kenanglah Aku-nya Naff.
Waktu yang dijanjikan sudah tiba.
Perasaanku gak karuan. Rasanya ramai. Aku harus sudah siap ketemu Rere
di Kota Tua. Ah, benar-benar gak bisa diatur nih detak jantungku. Dang
dang tut! Dang dang tut! Bunyi jantungku (aneh!).
Aku melihat Rere dari kejauhan. Duh, itu dia Rere sedang duduk menunggu di kursi Taman Fatahila.
“Hmm…dari jauh aja sudah kelihatan cantik…” Aku memuji dalam hati sambil mendekati ke arah Rere.
“Hai” sapaku
“Hai juga” balas Rere
“Dah lama nunggu ya?”
“Belum juga sih”
Lalu kami saling bertatapan. Senyum
Rere mengembang. begitu juga senyumku. Mirip iklan pasta gigi. Oh, My
God, itu senyum Rere yang selalu kuimpikan.
“Rere…, sebenarnya aku…aku…” kataku terbata-bata. Nervous.
“Rere dah tau koq apa yang mau kamu katakan”
“Lho, dari Yanto, ya?”
Rere mengangguk.
“Terus kamunya gimana ma aku?” Aku menyelidik penasaran.
Rere terdiam. Ada seribu beban yang menindih pikiran Rere entahlah koq tiba-tiba aja Rere punya rasa bersalah terhadapku.
“Andre, sebenarnya…..” Rere nggak sampai hati coba menjelaskan padaku.
“Ada apa Re? kamu sayang ma aku atau …?”
“Yanto, teman kamu…Oh…” Rere menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Kenapa dengan Yanto ? ngomong dong!” aku mendesak.
“Rere udah lama…dah lama pacaran ma Yanto”
“What?” Aku kagetnya minta ampun. Petir telah menyambar jantungku. Hampir berhenti berdetak!.
Rere nggak berani menatap wajahku. Ia sembunyikan wajahnya di telapak tangannya.
“Jadi Yanto pacar kamu?” tanyaku bodoh. Rere mengangguk lemah.
Se
Sekali lagi aku cuma bisa
memandang Rere. Kali ini pandanganku begitu dalam. Langsung ke
pusat sasaran yaitu jantungnya. Terasa tubuh Rere bergetar hebat.
Ia sembunyikan wajahnya di balik rambutnya. Aku genggam
jemarinya. Erat sekali. Diam. Sepi. Cuma hati yang bicara.
“Terus kenapa kamu mau bertemu denganku?” suaraku memecah kesunyian.
“Yanto yang menyuruhku. Dia gak mau ngecewain kamu, meski pun… meskipun…” Rere menghentikan omongannya. Ia pandang wajahku.
“Meskipun aku berat meninggalkan Yanto”
Seribu rupa kini perasaanku. Aku berusaha mengendalikan perasaanku.
“Re” panggilku. Rere menoleh. Hmm,
wajah itu. Wajah yang selalu menari-nari di mata ku. Wajah yang selalu
menggodaku setiap hari.
“Kembalilah ke Yantomu. Aku bahagia melihat kamu bahagia”
Rere menangis. Digenggamnya tanganku. Dikecupnya telapak tanganku.
“Semoga kamu mendapatkan yang lebih
dari aku, ya” Rere berusaha menenangkan perasaanku. “Kamu harus ingat
Ndre, setitik kasih membuat kita sayang. Seucap kata membuat kita
percaya. Sekecil luka membuat kita kecewa. Namun hanya satu yang ingin
aku kau tau bahwa rasa sayangku akan selalu ada untukmu”
Aku berusaha tersenyum. Tapi batinku protes, “Gak ada yang lebih baik dari kamu, Re”
Suasana Kota Tua begitu ramai. Tapi
batinku sepi. Lebih sepi lagi saat tubuh Rere hilang dari pandanganku.
“Kamulah segalanya Re. Gak ada yang bisa ngebandingin kamu. Terlalu
sempurna. Sebenarnya aku mau genggam tanganmu agar kau tak jauh dariku.
Aku mau terus memeluk tubuhmu agar kau tak hentinya hangatkanku. Dan aku
mau terus menciummu agar kau kan tetap mengingatku. Tapi…ah, semuanya
tak diijinkan oleh waktu” Aku terus membatin. Seolah gak percaya apa
yang baru kualami. Benar juga cinta adalah derita yang istimewa dan
membahagiakan, barangsiapa memilikinya dalam hati akan mengetahui
rahasia cinta.Kenanglah aku sepanjang hidupmu, Re….
Aku seperti melihat
suara …
tak bisa kusapa
tak mampu kutanya
Padahal angin telah
membantuku
terbangkan asa
pulihkan rasa
Ah, pada kamulah
semua sabda bertahta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar