Episode Lanjutan dari rangkaian kisah wiro di Negeri Latanahsilam adalah episode Kembali Ke Tanah Jawa. Episode ini merupakan penutup sekaligus pengantar untuk episode Wiro Sableng di negeri Latanahsilam yang berakhir menggantung. Artinya kisah negeri Latanahsilam tidak hilang begitu saja, tetapi akan terus diulas meskipun berseting di tanah jawa. Kisah Wiro Sableng di negeri Latanahsilam yang selesai pada episode ke 119, yaitu Istana Kebahagian, akan berlanjut pada Episode ke 120 yang berjudul Kembali ke tanah jawa. Episode ini  merupakan pengantar untuk kisah Wiro sableng selanjutnya di Tanah Jawa.
Harapan gw, saat membaca episode kembali ke tanah Jawa, gw akan disuguhkan kisah berseting di negeri Latanahsilam, dan kisah wiro mungkin berpamitan ke sahabatnya dan dengan menggunakan batu pembalik waktu, kembali ke tanah Jawa. Tapi setelah gw membacanya, ternyata hanya ada kisah tiba tiba wiro muncul di Tanah jawa, selanjutnya berkisah tentang Adimesa atau Pendekar kipas Pelangi. Lagi Lagi kita dibuat penasaran bagaiaman kelanjutan ceritanya...Biar Ga penasaran, atau ada yang ragu dengan pendapat gw, monggo discrol kebawa untuk membaca kisahnya. Jangan Lupa komennya ya......
 SATU
  
Malam gelap gulita. Tak nampak rembulan tak kelihatan kelipan 
bintang. Udara dingin menusuk tulang sampai ke sumsum. Hembusan angin 
laksana menyayat kulit. Suasana sunyi di kawasan bukit-bukit karang 
sesekali dipecah oleh suara deburan ombak yang datang dari arah Teluk 
Penanjung – Pangandaran, menghantam kaki bukit karang. Di arah timur, 
dua bukit karang menjulang tinggi menghitam. Di antara dua batu karang 
ini terbentang satu jurang dalam gelap gulita. Sesekali terdengar suara 
aneh seperti ngiang tiupan seruling. Itulah suara angin yang terpesat 
berputar masuk ke dalam jurang, tenggelam lalu menebar di dasarnya tak 
mampu bergerak naik kembali.
Di salah satu sisi barat jurang pada kedalaman hanya sekitar dua 
puluh kaki terdapat bagian dinding jurang mencekung ke dalam membentuk 
goa seluas hampir 20 kaki persegi. Dari atas jurang goa besar ini tidak 
kelihatan karena tertutup tubir batu dan semak belukar rimbun. Di 
pertengahan goa, tenggelam dalam kegelapan ada sebentuk batu berlumut 
setinggi menusia yang duduk bersila.
Beberapa benda hidup bergerak menjalar di permukaan batu. Yang 
pertama adalah sepasang ular besar berwarna coklat kehitaman. Walau 
tempat itu gelap gulita tapi dua sosok binatang ini memancarkan kilap 
yang menggidikkan. Benda hidup lainnya yang menjalar di atas batu adalah
 empat ekor kalajengking berkaki biru. Lalu masih ada tiga ekor lipan 
berwarna merah yang disebut lipan bara.
Dari bentuk dan warna binatang-binatang itu jelas sekali mereka semua
 adalah binatang-binatang berbisa sangat berbahaya. Jangankan manusia, 
seekor kerbaupun jika sampai dipatuk atau disengat akan menemui ajal 
dalam waktu singkat!
Tak berapa jauh di sebelah kiri belakang batu besar di tengah 
pedataran, satu sosok kelihatan mendekam duduk. Dari mulutnya yang 
berkomat-kamit tiada henti keluar suara halus berkepanjangan seperti 
orang tengah membaca. Dua lututnya dilipat di atas dada, dua tangan 
memegang sebuah benda yang ternyata adalah lembaran-lembaran daun kering
 dibentuk demikian rupa hingga menyerupai sebuah kitab. Salah satu jari 
kelingkingnya yakni yang sebelah kiri buntung. Sikapnya saat itu 
benar-benar lagak seorang yang tengah membaca. Dia memegang kitab sambil
 sepasang mata dan kepala bergerak dari kiri ke kanan, kembali ke kiri 
lalu balik lagi ke kanan.
Pada bagian depan kitab yang merupakan sampul depan tertera tulisan “
Kitab Wasiat Iblis”. Tapi di sebelah belakang ada lagi tulisan lain berbunyi “
Kitab Wasiat Malaikat”.
 Dan yang anehnya, halaman halaman dalam kitab dua judul itu sama sekali
 tidak ada tulisannya, kosong melompong. Lalu apa yang dibaca orang ini 
demikian asyiknya sampai-sampai mata dan kepalanya bergerak ke kiri dan 
ke kanan sementara mulutnya mengeluarkan suara menyerupai orang sedang 
membaca?!
Sesekali sambil membaca orang ini melirik ke arah batu besar yang dijalari ular, lipan dan kalajengking.
Mulutnya sesaat berhenti berkomat-kamit. Dia menyeringai lalu teruskan bacaannya. Begitu terus menerus.
Orang ini sebenarnya masih muda. Tapi cacat di wajahnya serta badan 
dan rambut yang tidak terpelihara membuat dia kelihatan tua. Hidungnya 
yang mancung agak miring ke kiri pertanda tulang hidungnya pernah patah.
 Lalu pipi dan rahang sebelah kiri melesak ke dalam hingga wajahnya 
kelihatan pencong. Mungkin tulang pipi serta rahang itu juga pernah 
cidera.
Kemudian mata kiri tidak wajar keadaannya, agak terbenam ke dalam 
rongga, memberi kesan bahwa orang ini dulunya pernah menderita hantaman 
yang hebat. Masih ada satu cacat lagi di bagian kepala orang ini. Yaitu 
satu luka besar yang telah mongering dan meninggalkan bekas di keningnya
 sebelah kiri.
Di atas batu, ular coklat hitam menjalar ke bagian atas diikuti oleh 
pasangannya dan binatang-binatang berbisa lainnya. Di pertengahan batu 
dua ular membuat gerakan melilit lalu mematuk bagian atas batu.
Tiga ekor lipan dan empat kalajengking mencengkeramkan kaki 
masing-masing lalu menyengat. Saat itu juga terjadi satu keanehan. 
Bagian atas batu di tengah pedataran mendadak mengembang seolah binatang
 atau tetumbuhan laut yang tiba-tiba bergerak mekar membentengi diri 
dari bahaya.
Ketika sekali lagi dua ular besar mematuk, dan lipan serta 
kalajengking menyengat, dari dalam batu berlumut keluar suara mengaum. 
Lalu batu itu bergerak. Dari sisi kiri dan kanan mencuat duia benda 
menyerupai tangan. Astaga! Benda di tengah pedataran yang disangka batu 
hitam berlumut ternyata adalah makhluk hidup yang sulit diduga apa 
adanya sebenarnya.
Sekali ada suara mengaum. Lalu menyusul bentakan keras. “Binatang 
keparat! Kalian mematuk dan menyengat! Apa kalian kira enak daging tua 
renta ini?! Kalian merusak ketenteramanku! Lagi-lagi kalian mengacaukan 
samadiku! Selama ini aku biarkan kalian hidup bersama di jurang ini! 
Tapi dasar makhluk tidak berbudi! Saat ini putus sudah kesabaranku! Hari
 ini aku akan menghabisi kalian!” yang membentak ternyata adalah makhluk
 yang disangka batu tadi.
Begitu bentakan lenyap, sosok si makhluk melompat ke atas. Dalam 
keadaan tegak berdiri ujudnya terlihat lebih nyata. Sosoknya ternyata 
tinggi besar. Kepalanya tertutup rambut lebat berwarna coklat kemerahan 
mengembang berjingkrak. Lapisan lumut yang menutupi mukanya laksana 
leleh dan kini tampak kepala dengan raut muka yang mengerikan. Muka 
makhluk ini ternyata menyerupai seekor singa berwarna merah!
Dua ekor ular masih menggelung. Lipan dan kalajengking masih 
menyengat. Tiba-tiba sosok berkepala singa ini memancarkan cahaya merah.
 Semua binatang yang ada di tubuhnya menggeliat dan kepulkan asap 
menebar bau daging terbakar!
Makhluk kepala singa mengaum lalu hentakkan tumit kaki kirinya ke pedataran batu!
“Wuttt… wuutttt… wuuuuttt!”
Semua binatang berbisa yang masih menempel di tubuhnya tapi sudah 
mati terpanggang hangus melesat mental ke satu arah. Yakni ke arah orang
 berpakaian hitam yang duduk membaca di belakang sana.
Orang ini langsung berhenti membaca kitab kosong. Matanya 
memperhatikan dua ekor ular, tiga lipan dan empat kalajengking yang 
bergeletakan di depannya. Dia melirik sebentar pada sosok tinggi besar 
berkepala singa yang tegak di sebelah sana, lalu menyeringai.
Tenggorokannya naik turun, lidahnya dijulurkan menjilat air liur.
“Singo Abang!” orang berpakaian hitam berucap. “Enam ratus hari lebih
 aku berada di tempat ini bersamamu! Baru hari ini kau berbaik hati 
menyuguhkan makanan lezat untukku!”
Orang ini masukkan kitab daun ke balik pakaiannya. Lalu beringsut ke depan.
Di sebelah sana sosok tinggi besar keluarkan suara mengaum. Lalu 
lontarkan ucapan keras. “Pangeran Miring! Tidak usah banyak mulut! Makan
 saja pembagianmu!”
“Ha… ha… ha! Akan aku santap dan habiskan semua!” Si baju hitam 
mengambil tubuh ular yang matang terbakar dan masih mengepulkan asap. 
Seperti orang kelaparan baru bertemu makanan, ular besar dilahapnya. 
Dalam waktu sebentar saja ular panggang itu amblas itu masuk ke dalam 
perutnya.
“Ha… ha! Tidak sangka enak juga makanan pembagian Singo Abang ini!” 
Si baju hitam tepuk-tepuk perutnya. “Ah, masih kosong! Aku masih lapar!”
 Lalu orang ini sambar sosok ular ke dua. Seperti tadi dalam waktu 
sebentar saja ular besar itu habis dimakannya. Tertawa-tawa dia melirik 
pada tiga lipan dan empat kalajengking. Lalu sambil usap-usap perutnya 
dia bertanya pada diri sendiri. “Apakah aku masih lapar?”
“Pangeran Miring! Kalau kau mau makan, makan saja. Jangan banyak 
bicara! Selesai makan kembali ke tempatmu duduk semula! Ingat, kau hanya
 boleh berada sejauh sepuluh langkah dari dinding batu itu! Jangan 
berani melanggar!”
Mendengar kata-kata makhluk berkepala singa yang dipanggilnya dengan 
nama Singo Abang itu, orang berpakaian hitam unjukkan muka merengut. Dia
 mencibir lalu meludah. “Aku tidak lupa pada larangan kentut busuk itu! 
Lebih dari enam ratus hari aku tidak boleh berjalan melewati sepuluh 
langkah! Aku mulai bosan! Aku ingin jalan jauh. Aku ingin lari! Aku 
ingin menghirup udara di luar jurang ini! Di atas sana pasti indah 
pemandangannya. Bukit-bukit batu… jurang… laut di teluk. Aku tahu. Dulu 
aku pernah melihat…”
Singo Abang mengaum.
“Kalau kau berani melakukan apa yang barusan kau ucapkan, siap-siap saja menerima gebukan dariku!
Mukamu akan kubuat tambah pencong! Matamu akan kubuat melesak 
kedua-duanya. Dan otakmu tambah kubuat miring! Biar kau benar-benar jadi
 Pangeran Miring seumur-umur!”
“Miring! Miring! Kau selalu menyebut aku Pangeran Miring! Padahal otakmu sendiri tidak waras!”
“Wuttt!”
Sekali lompat saja manusia kepala singa itu sudah berada di hadapan 
orang yang selalu dipanggilnya dengan Pangeran Miring. Tangannya 
bergerak menjambak rambut orang lalu ditarik ke atas hingga muka mereka 
saling bertatapan dan terpisah hanya setengah jengkal.
“Aku bicara apa adanya! Otakmu memang miring sejak kepalamu terbentur
 batu waktu jatuh di jurang ini! Kalau aku tidak menolong, hidupmu pasti
 lebih celaka dan lebih sengsara dari sekarang ini! Kau bukan cuma 
miring tapi benar-benar gila! Sinting!”
“Singo Abang! Kau selalu membangkit-bangkit semua budi pertolonganmu!
 Aku merasa lebih baik dulu mati saja dari pada menerima pertolonganmu! 
Apa aku pernah meminta?!”
“Jangan bicara yang bisa membuat aku marah! Pangeran Miring! Apa kau lupa aku ini bukan cuma penolongmu, tapi juga gurumu?!”
Pangeran Miring mendongak lalu tertawa gelak-gelak. “Kau yang bilang 
begitu! Tapi aku tidak pernah mengakuimu sebagai guru! Guruku hanya 
satu. Dia Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Orangnya sudah mati! 
Selama ini apa yang kau ajarkan padaku! Malah aku merasa kau diam-diam 
menyelidiki diriku, mempelajari semua ilmu yang aku miliki! Bukan 
begitu! Ha… ha… ha…!”
“Murid geblek!” Singo Abang mengaum. Tangannya yang menjambak 
bergerak. Tubuh Pangeran Miring dilemparkannya ke dinding batu. Saking 
kerasnya sampai batu itu ada yang retak dan gompal. Tapi sebaliknya 
Pangeran Miring tidak merasa sakit malah menyeringai.
Hanya dua matanya memandang berkilat-kilat tanda ada kemarahan dalam dirinya.
“Kau tidak berani mambunuhku! Tidak berani! Mengapa? Aku tahu! Aku 
tahu! Kau menginginkan sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu dariku! Kau 
mencari sesuatu lewat diriku!
Jika aku mati kau tidak akan menemukan apa yang kau cari! Bukan begitu? Ha… ha… ha…!”
“Dasar manusia miring! Kalau aku bunuh benaran baru tahu rasa!”
“Singo Abang! Aku tidak takut kau bunuh di tempat celaka ini!” 
Pangeran Miring keluarkan kitab daun kering dari balik pakaian hitamnya.
Singo Abang keluarkan tawa mengekeh yang aneh serta menggidikkan. 
“Kasihan kau Pangeran Miring! Kitab itu kau sendiri yang membuat. Dari 
daun-daun kering! Kau tulisi di sebelah depan Kitab Wasiat Iblis! Di 
sebelah belakang kau tulis Wasiat Malaikat! Di dalamnya kosong 
melompong! Lalu kau membaca seolah ada isi ilmu kesaktian dan ilmu 
silat! Otak miringmu mengada-ada! Itu yang aku ketahui! Pangeran Miring!
 Berhentilah bermimpi! Ha… ha… ha…!”
“Singo Abang! Makhluk penghuni jurang celaka! Namaku bukan Pangeran Miring!
Walau aku banyak lupa tentang masa laluku akibat benturan keras pada 
kepalaku waktu jatuh di jurang jahanam ini, tapi satu hal aku masih 
ingat siapa namaku. Aku adalah Pangeran Matahari. Pendekar Segala 
Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!”
Singo Abang mengaum lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya membahana menggetarkan jurang batu karang.
“Masa lalumu telah lewat, sirna dan amblas! Pangeran Matahari tak ada
 lagi! Yang ada kini hanyalah sisa sisa berupa rongsokan yang aku 
panggil dengan nama Pangeran Miring!”
“Mungkin aku kalah mengadu mulut denganmu1 tapi layani aku mengadu kekuatan!”
teriak Pangeran Miring marah sekali lalu melompat sambil kirimkan satu jotosan keras dan cepat ke arah rusuk kanan Singo Abang.
Makhluk berkepala singa mengaum. Ketika mulutnya terbuka kelihatan 
deretan gigi besar dan taring mencuat runcing. Rambut-rambut panjang 
tebal coklat kemerahan yang menutupi kepala, leher dan tengkuknya 
mengembang berjingkrak pertanda diapun marah besar. Dia tidak melakukan 
gerakan mengelak malah langsung angkat tangan kanannya, menggebrak 
dengan satu tangkisan yang juga merupakan serangan dahsyat.
“Bukkk!”
Dua lengan beradu keras.
***
DUA
Pangeran Miring mengeluh tinggi dan terpental menghantam dinding batu
 lalu melosoh jatuh terduduk di pedataran dengan kepala termiring-miring
 dan wajah pucat. Tubuhnya bergeletar. Lengan kanannya merah membengkak.
 Sesaat kemudian dia berdiri kembali. Walau agak terbungkuk-bungkuk 
karena masih menahan sakit tapi dia masih sanggup menyeringai dan 
berucap.
“Kau tidak bisa mengalahkanku Singo Abang! Kau tidak bisa membunuhku!”
Makhluk berkepala singa sendiri saat itu tegak tertegun sambil 
pegangi lengannya yang sakit bukan main. Dia meraba-raba karena kawatir 
tulang lengan itu telah patah. Akibat pukulan tadi dadanya mendenyut 
sakit dan jalan darah jadi tidak karuan. Muka singanya yang coklat 
kemerahan tampak kelam membesi. Dia membatin. “Selama dua tahun aku coba
 mengikis kekuatannya ternyata tidak ada yang hilang dalam dirinya. 
Malah tenaga dalamnya seperti bertambah hebat. Kalau aku tadi tidak 
mengerahkan dua pertiga tenaga dalamku pasti aku sudah dibuatnya celaka!
 Dia bisa meraba hatiku!
Jahanam betul! Kalau aku tidak mengharapkan benda itu sudah sejak 
dulu dia kubunuh! Otaknya tak karuan. Berapa lama aku musti menunggu 
sampai pikirannya kembali jernih dan dia bisa mengatakan dimana benda 
itu berada…"
"Singo Abang! Kau makhluk jahat! Aku tidak akan menyantap sisa-sisa 
lipan dan kalajengking itu! Silahkan kau habiskan sendiri!” Pangeran 
Miring Ialu melangkah surut hingga punggungnya membentur dinding batu. 
Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri di tepi pedataran batu.
Kitab daun dikembangkan. Mulunya komat-kamit, mata bergerak ke kiri 
dan ke kanan bersamaan dengan gerakan kepala. Mulut mengeluarkan suara 
seperti orang membaca padahal sebenarnya dia entah meracau apa.
Tiba-tiba di udara melesat satu benda memancarkan cahaya 
keputih-putihan. Singo Abang mendongak, keluarkan auman halus. Bola 
matanya yang berwarna kelabu tampak membesar.
Pada saat benda yang melesat di udara tadi lenyap di selatan jurang 
batu, sosok makhluk kepala singa itu serta merta berkelebat ke atas. 
Dalam gelap dia membuat beberapa kali lompatan. Luar biasa!
Pinggiran jurang itu merupakan dinding yang hampir tegak lurus dan 
hanya ada beberapa gundukan kecil menonjol keluar. Namun dengan cepat 
dia mampu bergerak ke atas.
Di satu gugusan batu Singo Abang hentikan gerakannya dan memandang ke
 bawah. Muka singanya menunjukkan rasa kaget. Di bawah sana dia tidak 
melihat lagi sosok Pangeran Miring.
"Jahanam itu, kemana lenyapnya?” Singo Abang bertanya dalam hati. 
"Mungkin kabur melarikan diri? Tapi bagaimana aku bisa tidak mengetahui.
 Tak mungkin dia bergerak mendahului gerakanku!" Agak lama juga Singo 
Abang berpikir-pikir. Akhirnya dia kembali melompat, meneruskan rnenuju 
bagian atas jurang.
Di bagian selatan jurang batu, dalam kegelapan dan dinginnya udara 
malam yang mulai merayap memasuki pagi, sesosok tubuh tergeletak 
menelungkup di tanah. Kulit muka, tangan dan kakinya kelihatan memar 
kemerahan. Di sekitar hidung, liang telinga dan sudut bibir ada bekas 
darah mengering. Pakaian putih yang melekat di tubuhnya cabik-cabik dan 
ada yang hangus di beberapa tempat, Orang ini berambut panjang sebahu. 
Rambut ini menjulai menutupi sebagian wajahnya.
Ketika makhluk bertubuh manusia berkepala singa Singo Abang sampai di
 tempat itu, dia terkejut besar karena dapatkan Pangeran Miring telah 
lebih dulu berada di tempat itu dan tengah memeriksa sosok tubuh yang 
tergeletak di tanah.
"O ladalah! Apa ini benda yang tadi aku lihat melayang bercahaya? 
Walah! Ternyata manusia juga adanya! Tapi heh?!" Pangeran Miring 
pergunakan ujung kaki untuk menggulingkan tubuh yang tengkurap itu. 
Tidak bisa.
"Gila! Apa tubuh manusia satu ini lebih berat dari gajah" Sang 
pangeran lalu membungkuk. Dia sibakkan rambut panjang yang menutupi 
sebagian wajah orang. "Eh! Aku… aku seperti mengenali manusia ini!" 
Kepala Pangeran Miring termiring-miring, bibirnya digigitnya berulang 
kali dan matanya sebentar membesar mengerenyit mengecil. Lalu dengan 
tangan kanan ditepuk-tepuknya punggung orang.
"Hai! Kau ini pingsan, atau tidur! Atau memang sudah mampus?!"
Tak ada jawaban. Sosok yang tergeletak tengkurap sama sekali tidak bergerak.
Pangeran Miring kembali sibakkan rambut gondrong itu dan memandang dengan mata tak berkesip.
"Mungkin dia… rasa-rasariya memang dial Kalau benar… ha… ha…ha! Akan 
kubunuh! Akan kubikin mati, saat ini juga! Tapi mengapa? Mengapa aku 
harus membunuhnya? Ah Otakku tak bisa bekerja … ! Harus kubalikkan 
tubuhnya. Kalau sudah tertelentang aku akan bisa melihat seluruh 
wajahnya!"
Pangeran Miring Ialu ulurkan dua tangannya untuk membalikkan tubuh 
yang tertelungkup. Dalam gelap walau tubuhnya tidak bergerak dan mulut 
tidak mengeluarkan suara namun orang yang kini tertelentang di tanah 
perlahan-lahan membuka sedikit sepasang matanya.
Samar-samar dia melihat satu wajah. Dadanya bergetar, matanya terpejam kembali.
Pangeran Miring membungkuk. Mendekatkan kepalanya ke wajah orang yang tergeletak di tanah.
“Memang dia…. Benar, memang dia! aku boleh gila! Otakku boleh miring!
 Tapi yang satu ini tak bisa lepas dari alam pikiranku! Tapi…. aku perlu
 satu kepastian lagi! Rajah itu… Rajah tiga angka!"
Pangeran Miring alihkan pandangannya ke dada pakaian orang di 
bawahnya. Tangan kirinya bergerak hendak menyibakkan bagian dada pakaian
 putih orang itu.
Saat itulah Singo Abang muncul berkelebat dan mendorong bahu Pangeran Miring hingga dia terguling ke samping!
"Makhluk jahat! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Pangeran Miring marah 
sekali karena maksudnya hendak menyelidik dada orang tidak kesampaian.
"Kau sudah melanggar pantangan Pangeran! Ingat! Kau tidak boleh 
bergerak lebih sepuluh langkah darl dinding jurang! Kini kau berada di 
sini! Sudah berapa ratus langkah yang kau langgar?!"
"Persetan dengan.aturanmu! Aku mau membunuh orang ini kalau memang dia adanya!"
"Tidak! Kau tidak boleh membunuh orang itu siapapun dia adanya! Kau harus kembali ke jurang. Sekarang!”
“Tidak!"
"Kau minta kugebuk!"
"Akan kupecahkan kepalamu!” jawab Pangeran Miring.
Singo Abang mengaum. Rambut di kepala dan lehernya mengembang. Di 
mata Pangeran Miring scsok makhluk ini kelihatan menjadi dua kali lebih 
besar. Dua tangannya yang sebelumnya berbentuk tangan manusia tiba-tiba 
berubah menjadi tangan singa yang mencuatkan kuku-kuku hitam panjang! 
Belum pernah Pangeran Miring melihat Singo Abang seperti ini.
Selagi dia memandang tercekat seperti itu Singo Abang telah 
berkelebat. Satu jotosan keras melabrak dada Pangeran Miring membuat 
orang ini terpental dan menjerit keras. Belum sempat kaki atau bagian 
tubuhnya menyentuh tanah satu jotosan lagi melanda ulu hatinya. Tak 
ampun lagi sosok Pangeran Miring laksana dilemparkan ke udara lalu jatuh
 di tanah. Walau dia mampu jatuh dengan berlutut dan satu tangan 
menopang diri agar tidak rubuh namun dada dan perutnya seperti pecah. 
Dari mulutnya mengucur darah.
"Aku sudah lama menahan diri melakukan ini!Tapi kau sengaia meminta! 
Kau memberi jalan aku menjajal jurus pukulan Dua Singa Berebut Mataharil
 Ha… ha … ! Ternyata kau tidak sanggup mengelak ataupun menangkis! 
Jangan bilang aku tidak bisa membunuhmu! Saat ini mudah sekali bagiku 
membeset tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki!"
Pangeran Miring hanya mendengar suara Singo Abang. Dia tidak melihat 
sosoknya apa lagi gerakannya dan tahu-tahu satu hantaman lagi mendarat 
di kepalanya. Tak ampun Pangeran Miring tersungkur terguling-guling dan 
sosoknya tergeletak pingsan hanya satu langkah dari pinggiran jurang.
Singo Abang mengaum. Tubuhnya yang tadi berubah besar perlahan-lahan 
mengecil ke bentuk semula. Dia menatap sosok Pangeran Miring sesaat lalu
 berpaling dan melangkah mendekati tubuh yang tengkurap di sebelah sana.
 Ketika dia memeriksa orang ini, termasuk memeriksa bagian dada yang 
terlindung di balik pakaian putih, makhluk kepala singa ini sampai 
berjingkat dan mundur dua langkah. Mulut singanya mengerenyit dan dua 
bola matanya yang kelabu membesar.
"Pendekar 212!” Singo Abang berucap dengan suara bergetar. "Sekian 
lama dia tidak pernah muncul, tak pernah diketahui berada di mana.Kini 
mengapa bisa berada di tempat ini? Rajah tiga angka itul Tak pelak lagi!
 Memang dia. Tapi ……Singo Abang memeriksa pinggang pakaian orang yang 
tergeletak di tanah. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang membuat 
tangannya serasa dingin dan cepat-cepat ditarik. Ketika pakaian di 
bagian pinggang disingkapkannya, kelihatanlah menyembul kepala senjata 
berbentuk kapak bermata dua."Kapak Maut Naga Geni 212! Manusia ini 
memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Sulit dipercaya Apa yang membuatnya 
sampai terlempar ke sini?
Siapa yang melempar? Manusia atau setan?! Tubuh penuh lecet. Pakaian hangus…. Tapi jangan-jangan dia sudah mati!"
Singo Abang tekapkan telapak tangannya ke lengan kiri orang. "Ada denyutan…. Dia masih hidup!"
Lama Singo Abang tercekat diam sambil pegangi dagu. "Aku tak ada 
permusuhan dengan manusia ini Apakah aku harus membunuhnya?!" Singo 
Abang memandang sebentar ke arah Pangeran Miring yang tergeletak di 
dekat jurang sana. “Mereka yang saling bermusuhan.
Tidak…. Mungkin lebih baik aku tidak membunuhnya. Jika dia kubiarkan 
hidup, siapa tahu bisa membuka jalan untuk mendapatkan benda yang aku 
cari. Sekarang, apa yang harus aku lakukan…. Kapak mustika itu. Senjata 
itu harus aku ambil! Rasanya, itu lebih berguna dari pada membunuhmya!"
Makhluk setengah manusia setengah singa ini ulurkan tangan hendak 
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggang pakaian tapi 
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara aneh 
mendatangi. Sepasang telinga singanya yang.menyembul di balik 
rambut-rambut coklat merah bergerak.
"Suara aneh. Seperti derap kaki kuda tapi aku yakin bukan kuda yang 
berlari. Tadi kedengaran masih jauh. Kini sudah berada di belakangku!” 
Rambut di kepala dan tengkuk Singo Abang mengembang mekar pertanda dia 
mencium datangnya bahaya!
Singo Abang palingkan kepala. Dia benar-benar tercekat ketika melihat siapa yang berlari mendatangi ke arahnya.
“Momok Dempet Berkaki Kuda!” desis makhluk berkepala singa ini. 
“Agaknya aku tidak berkesempatan mengambil kapak sakti itu. Kalau aku 
paksakan pasti makhluk dempet jahanam ini akan menyerangku!
Mencari urusan di saat Pangeran Miring masih tergeletak pingsan di 
sebelah sana sangat tidak menguntungkan1 Lagi pula selama ini aku tidak 
dapat menjajagi sampai dimana kehebatan sepasang momok ini!”
Sebelum menjauhkan diri dari sosok yan tergeletak di tanah, Singo 
Abang tepukkan tangan kirinya ke dada orang itu, mengalirkan setengah 
tenaga dalam yang dimilikinya. Sosok yang ditepuk tersentak ke atas lalu
 menggeliat. Singo Abang sendiri cepat-cepat berdiri. Tepat pada saat 
dua sosok aneh mendatangi dan berhenti lima langkah di hadapannya.
***
TIGA
Yang tegak di depan Singo Abang saat itu adalah dua orang lelaki 
bertubuh kurus kering, memiliki tinggi hampir satu setengah kali 
tingginya sendiri. Mereka tegak seperti sengaja bersisian tapi jika 
diperhatikan ternyata tangan mereka-yang satu sebelah kanan dan satunya 
lagi sebelah kiri-saling berdempetan satu sama lain! Berarti kemanapun 
mereka pergi dan dimanapun mereka berada akan selalu bersisian seperti 
itu. Jika yang satu menggerakkan tangan kiri, berarti yang satunya lagi 
harus ikut menggerakkan tangan kanan!
Masih ada keanehan lain pada sepasang manusia dempet ini. Yakni ke 
empat kaki mereka. Kaki-kaki itu tidak berbentuk kaki manusia tapi 
berupa kaki kuda lengkap dengan ladam besinya!
Jika mereka berjalan atau berlari kaki-kaki itu akan mengeluarkan 
suara seperti kuda berlari tapi akan terdengar aneh karena mereka 
berlari bersisian, bukan seperti kuda sungguhan yaitu dua kaki di depan 
dan dua kaki di belakang.
Sejak dua tahun belakangan ini sepasang makhluk dempet ini muncul di 
rimba persilatan tanah Jawa dengan menebar nama memperkenalkan diri 
sebagai Momok Dempet Berkaki Kuda. Orang yang di sebelah kanan bernama 
Tunggul Gono sedang yang di sebelah kiri bernama Tunggul Gini. Mereka 
diketahui jelas bukan dari golongan putih. Tetapi di kalangan para tokoh
 golongan hitam mereka kurang mendapat tempat. Karena sering ikut campur
 urusan orang bahkan tidak segan-segan menjatuhkan tangan jahat. Kabar 
terakhir dua tokoh silat di Jawa Timur telah menjadi korban mereka. Yang
 pertama adalah tokoh golongan hitam sedang satunya masih kerabat 
keraton Surakarta. Tidak heran kalau kini keduanya menjadi buronan yang 
selalu dikejar oleh para pimpinan pasukan dan pendekar Keraton.
“Malam tidak berbulan tidak berbintang. Udara dingin pula. Kerabat 
bernama Jolo Pengging keluar dari sarang di dalam jurang! Tentu ada 
kepentingan luar biasa!” Si tinggi kurus Si sebelah kanan yang berambut 
awut-awutan dan bermata besar membuka mulut.
“Saudaraku Tunggol Gono, kau betul. Hal ini membuat aku ingin 
bertanya. Gerangan apa yang tengah ia lakukan di tempat ini!” Menyahuti 
si tinggi di sebelah kiri yang juga berambut awut-awutan tapi bermata 
sipit. “Di sebelah sana aku lihat ada sosok berpakaian hitam menggeletak
 tak bergerak. Lalu di dekatmu juga ada satu sosok lagi. Berpakaian 
putih, juga menggeletak tak bergerak! Siapa mereka? Kami bertanya apakah
 kami akan mendapat jawaban?!”
Singo Abang menyeringai lalu mengaum.
“Kawasan Teluk Penanjung dan bukit-bukit karangnya adalah kawasan 
kekuasaanku! Kemana aku pergi, dimana aku berada dan kapan aku mau 
adalah suka-suka diriku! Mengenai pertanyaan kalian tadi tak ada 
sulitnya menjawab. Di sana tergeletak seorang muda berpakaian putih. 
Siapa dirinya aku tidak tahu. Kalian silahkan memeriksa dan menyelidiki 
sendiri. Sosok yang tergeletak di dekat jurang sana adalah muridku!”
Momok Dempet Berkaki Kuda saling berpandangan lalu tertawa bergelak. 
Tunggul Gono di sebelah kanan berkata. “Kerabat kita Singo Abang rupanya
 berhati jujur. Mau menjawab pertanyaan kita apa adanya Tapi nada 
bicaranya agak sombong. Lagi pula aku rasa ada sesuatu yang 
disembunyikannya pada kita…”
“Kurasa demikian. Bertahun-tahun malang melintang di rimba 
persilatan, baru hari ini aku tahu kalau Singo Abang punya murid! Ha… 
ha…ha!”
Singo Abang tidak perdulikan ucapan orang. Dia melangkah ke arah 
sosok Pangeran Miring tergeletak. Tapi kemudian dia ingat akan sosok 
yang satu lagi. “Kalau aku tinggalkan Pendekar 212 bersama orang-orang 
ini, kapak sakti itu pasti akan mereka rampas. Dari pada mereka yang 
mendapatakan lebih baik aku ambil saja!”
Singo Abang dengan cepat memutar langkahnya lalu berkelebat ke arah sosok berpakaian putih.
Tangannya diulurkan untuk mengambil kapak sakti. Namun sebelum sempat
 menyentuh senjata itu tibatiba Momok Dempet Berkaki Kuda gerakkan 
tangan mereka yang dempet. Selarik sinar hitam menderu dari sela tangan 
yang bertempelan. Membuat Singo Abang mengaum keras dan terpaksa 
melompat mundur.
“Wusssss! Braaaakkkk!”
Dinding batu terbongkar dihantam larikan sinar hitam. Sebuah lobang besar menguak mengerikan.
“Kapak itu agaknya tidak berjodoh denganku! Perlu apa aku 
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya!” kata Singo Abang lalu dengan
 cepat dia berkelebat ke arah sosok Pangeran Miring.
Sebelum tinggalkan tempat itu sambil memanggul muridnya dia berpaling pada dua makhluk dempet.
“Momok Dempet! Harap kalian terima balasan penghormatan dariku!” Lalu
 Singo Abang hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang sinar merah yan 
menghampar hawa panas berkiblat.
Tunggul Gono dan Tunggul Gini berseru kaget. Tidak menyangka orang berani membalas serangannya.
Keduanya melompat setinggi satu tombak. Sinar merah lewat di bawah 
kaki mereka terus menghantam gundukan batu karang di ujung pedataran 
hingga hancur berkeping-keping dan mengepulkan asap panas!
“Singo Abang! Kau minta mati!” Teriak Tunggul Gini marah. Bersamaan 
dengan itu tangan kanannya yang berdempet dengan tangan kiri Tungul Gono
 dipukulkan ke arah Singo Abang.
Untuk kedua kalinya larikan sinar hitam melabrak ke arah makhluk 
kepala singa. Kali ini lebih dahsyat karena dua makhluk dempet ini 
mengerahkan hampir seluruh hawa sakti yang mereka miliki. Tapi saat itu 
Singo Abang sudah melompat terjun ke dalam jurang. Serangan maut Momok 
Dempet hanya menghantam dinding batu karang di salah satu sudut jurang. 
Untuk kesekian kalinya jurang itu digelegari oleh suara hancurnya 
bebatuan.
“Jahanam Singo Abang! Berani dia menantang kita! Aku ingin mengejarnya walau sampai ke dasar jurang!” Tunggul Gini berkata.
“Jangan perturutkan amarah!” menjawab Tunggul Gono. “Hari masih 
gelap. Kita tidak tahu seluk beluk jurang! Salah-salah bisa celaka kena 
dijebak musuh! Bangsat kepala singa itu tidak seumur-umur mendekam di 
dalam jurang. Kita minta bantuan beberapa kawan mengawasi keadaan 
sekitar jurang ini. Satu saat pasti dia akan keluar. Kita cari 
kesempatan lain untuk menghajarnya!”
“Menurutmu apakah dia memang menyembunyikan dua kitab yang kita cari?”
“Tak dapat kupastikan. Tapi jika keterangannya benar bahwa orang 
berpakaian hitam tadi adalah muridnya, bukan mustahil salah satu kitab 
itu ada padanya.” Jawab Tunggul Gono.
“Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya.”
Tunggul Gini menatap ke arah jurang kelam. “Pangeran Matahari 
diketahui menemui ajal di jurang itu dua tahun silam. Bukan mustahil 
Singo Abang menemukan Kitab Wasiat Iblis pada mayat Pangeran Matahari. 
Tentang Kitab Wasiat Malaikat masih kabur bagi kita dimana beradanya…” (
Momok
 Dempet Berkaki Kuda rupanya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan 
Kitab Wasiat Iblis yang memang pernah dimiliki oleh Pangeran Matahari. 
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yakni Episode 
terakhir dari 8 Episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran”,
 kitab Wasiat Iblis telah ditelan oleh Datuk Rao Bamato Hijao harimau 
sakti pelindung Wiro sewaktu terjadi pertempuran hidup mati antara 
Pendekar 212 dengan Pangeran Matahari).
“Sekarang apa yang kita lakukan?” Bertanya Tunggul Gini.
Tunggul Gono menunjuk ke arah sosok berpakaian putih di seberang 
sana. “Kita periksa siapa adanya orang itu. Tadi kulihat Singo Abang 
seperti hendak mengambil sesuatu dari orang itu…”
“Bukan itu saja,” sahut Tunggul Gini. “Aku sempat melihat dia memukul dada orang, mengalirkan hawa sakti.’
“Dia coba menyelamatkan orang. Berarti yang tergeletak itu seorang 
yang amat penting. Mari kita selidiki siapa dia!” kata Tunggul Gono 
pula. Kedua orang itu segera melangkah mendekati sosok berpakaian putih 
yang kini tergeletak menelentang. Sementara kegelapan malam mulai bias 
oleh kedatangan pagi.
“Seorang pemuda berambut gondrong. Wajah dan tubuh penuh lecet. 
Pakaian putih hangus…” kata Tunggul Gini begitu sampai di hadapan sosok 
yang tergeletak di tanah. Tunggul Gono angkat tangannya, memberi isyarat
 agar Tunggul Gini hentikan ucapan.
Lalu dia membungkuk. Karena tangan mereka dempet, gerakan ini membuat
 Tunggul Gini ikut membungkuk. “Lihat! Dada orang ini! Ada rajah tiga 
angka!”
Tunggul Gini delikkan mata lalu ternganga. “Gila! Pemuda ini Pendekar 212 Wiro Sableng!” katanya kemudian setengah berseru.
“Sejak dua tahun lalu dia dikabarkan lenyap! Bahkan ada yang menduga sudah mati!
Mengapa sekarang bisa muncul di sini?! Jangan-jangan ini hantunya!” kata Tunggul Gono pula.
Tunggul Gini tidak perdulikan ucapan orang. Dia sibakkan pakaian 
putih orang yang tergeletak di tanah di bagian pinggang. “Lihat! Kapak 
Naga Geni 212!”
“Tidak diduga tidak dinyana! Benar Pendekar 212 rupanya! Rejeki kita besar sekali di malam buta ini!
Mungkin kitab sakti itu juga ada padanya!” seru Tunggul Gono. Tunggul
 Gini menyeringai lebar. Tangan kanannya bergerak dengan cepat hendak 
mencabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang orang. Tapi tidak terduga 
tiba-tiba kaki kanan orang yang tergeletak di tanah melesat ke depan.
“Bukkk!”
Tunggul Gini menjerit. Satu tendangan keras mendarat di dadadnya. 
Tubuhnya bersama-sama Tunggul Gono terpental lalu jatuh terjengkang di 
tanah.
“Jahanam berani mati!” teriak Tunggul Gono lalu menolong Tunggul Gini
 bangun. Begitu keduanya berdiri pemuda berambut gondrong dan berpakaian
 putih hangus telah tegak di depan mereka, memandang tajam tapi sambil 
salah satu tangannya memijit-mijit kening sendiri.
***
EMPAT
 “Aku tidak percaya pemuda itu Pendekar 212 Wiro Sableng!” kata Momok
 Dempet Tunggul Gono. “Tegaknya menghuyung seperti mau roboh! 
Terus-terusan memijit kening seperti orang sinting sakit kepala! 
Sikapanya macam orang bego! Lagi pula apa kau lupa kabar yang mengatakan
 bahwa murid Sinto Gendeng itu menghilang entah kemana sejak dua tahun 
lalu?”
“Aku barusan merasakan tendangannya! Jika dia bukan pemuda 
berkepandaian tinggi tak mungkin bisa menendang diriku!” jawab Tunggul 
Gini bersungut sambil urut-urut dadanya yang masih terasa sakit.
Di depan sana pemuda berpakaian putih hangus dan berambut gondrong 
yang memang Pendekar 212, murid Eyang Sinto Gendeng adanya masih berdiri
 dan terus memijit kening.
Sambil matanya menatap ke depan, melirik ke samping dia bertanya-tanya dalam hati.
“Heran, apa yang terjadi dengan diriku. Sekujur badan terasa ngilu. 
Pemandangan berkunang. Kepala mendenyut sakit tak karuan. Dimana aku 
saat ini! Gelap semua. Apa saat ini malam hari? Mana bocah brengsek Naga
 Kuning? Aku tidak mencium bau pesing. Berarti kakek Si Setan Ngompol 
itu juga tidak ada di sini. Lalu dua mahkluk bertangan dempet itu, siapa
 mereka? Manusia atau setan jangkungan?!”
Dalam keadaan seperti itu Wiro tidak dapat menjawab semua 
pertanyaannya sendiri. Dia melihat satu gundukan batu di samping kiri. 
Pemuda ini melangkah mendekati batu lalu duduk di atasnya. Tangan kiri 
masih memijit kening. Tangan kanan menggaruk kepala.
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (
Istana Kebahagiaan)
 sewaktu Batu Pembalik Waktu patah dua bersama dengan meledaknya Istana 
Kebahagiaan, Wiro dan kawan-kawan bahkan semua orang yang ada dalam 
Ruang Seribu Kehormatan tersedot oleh satu lingkaran cahaya tujuh 
pelangi yang berputar laksana sebuah tong raksasa. Ketika lingkaran 
cahaya itu melesat menembus angkasa, semua orang yang ada dalam Istana 
Kebahagiaan termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terseret dan lenyap 
seolah ditelan langit.
“Latanahsilam… Latanahsilam, apakah aku masih berada di Negeri 
Latanahsilam? Hantu Muka Dua… Luhrembulan, Luhcinta… Orang-orang itu, 
dimana semua mereka?” Pikiran dan hati Pendekar 212 kembali dipenuhi 
setumpuk pertanyaan.
“Tunggul Gini, kau lihat pemuda itu. Dia bicara sendirian. Jangan-jangan kita cuma berhadapan dengan seorang gila!”
“Kau tolol amat!” maki Tunggul Gini. “Orang gila mana bisa berkelahi.
 Dia menendangku dengan pengerahan tenaga dalam! Kau buta tidak melihat 
senjata berbentuk kapak yang terselip di pinggangnya?!”
Tunggul Gono masih sangsi. Dia lantas berteriak. “Kampret! Apa kau orangnya bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212?!”
“Kepalaku lagi sakit! Bangsat berujud setinggi galah itu mamaki seenaknya…” Wiro berkaa dalam hati.
“Eh, apa memang aku sudah benaran berubah ujud? Jangan-jangan aku 
benaran sudah jadi kampret!” Wiro usap tubuhnya sendiri. Pegang 
kepalanya. Gosok-gosok telinga kiri kanan. Mengusap mulut. Lalu 
perhatikan dua kaki dan sepasang tangannya. “Sialan betul. Ternyata aku 
masih berbentuk manusia, dibilang kampret! Tapi…” Wiro meraba-raba ke 
balik pakaian. Dua tangannya menyelinap ke bawah ketiak lalu ditarik dan
 jari-jarinya ditempelkan ke hidung. “Ih… bau asem! Jangan-jangan aku 
betulan sudah jadi kampret!”
Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat tingkah laku Wiro itu Tunggul Gini jadi jengkel. “Benar-benar
 kurang ajar! Dia tidak memperdulikan kita. Sepertinya kita tidak ada di
 tempat ini! Dia juga tidak menjawab pertanyaan kita! Aku ingin 
membunuhnya!”
“Jangan dibunuh. Kita perlu menguras banyak keterangan dari mulutnya!
 Kalau sudah dapat baru dihabisi!” kata Tunggul Gono. Lalu dia 
mendahului menerjang. Tunggul Gini seta merta ikut melompat.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget ketika 
dalam gelap dia melihat empat kaki aneh berbentuk kuda lengkap dengan 
ladam besi berkilat, menghantam ke arah dirinya. Dua menderu ke arah 
kepala, dua lagi mencari sasaran di perut dan dada! Inilah jurus 
serangan Momok
Dempet yang disebut Empat Ladam Kematian.
Masih dalam keadaan terhuyung dan kepala mendenyut sakit, Wiro 
menyadari datangnya bahaya maut ini. Tubuhnya dijatuhkan ke belakang. 
Sambil menggulingkan punggung ke pedataran batu tangannya dibabatkan ke 
atas untuk menangkis serangan yang mengarah kepala.
Bersamaan dengan tiu dua kakinya ikut menendang untuk membabat dua serangan ke arah perut.
“Ganti jurus!” salah satu dari Momok Dempet berteriak.
Dua sosok jangkung setinggi galah berputar bergulung, mengambang di 
udara lalu di lain kejap menggebrak ke arah Pendekar 212 yang saat itu 
baru saja berguling di pedataran batu dan siap bangkit berdiri.
Momok Dempet Berkaki Kuda memang memiliki ilmu silat aneh. Setengah 
jalan, jika merasa serangan mereka tidak akan menemui sasaran atau bakal
 menghadapi tangkisan hebat, maka kejapan itu juga mereka mampu merubah 
jurus dan serangan yang dilancarkan. Pertama menggebrak mereka 
menghantam dengan jurus yang disebut Empat Ladam Kematian. Begitu Wiro 
bergerak menangkis dan balas menendang keduanya langsung batalkan 
serangan dan ganti dengan serangan baru dalam jurus bernama Empat Ladam 
Menghembus Roh.
“Wuss!”
Empat angin menderu dahsyat. Empat kaki berbentuk kuda terbungkus ladam keras menderu mengeluarkan angin dingin menggidikkan.
“Edan!” maki Pendekar 212. Salah satu tendangan lawan lewat dekat 
sekali di bawah dagunya. Yang dua bisa dielakkan, yang ketiga 
menyerempet dada pakaiannya hingga baju putih yang telah hangus itu 
robek besar!
Wiro jatuhkan diri sama rata dengan pedataran batu. Saat itu dia 
merasakan pedataran bergetar seperti digoyang gempa. Di belakangnya ada 
suara benda keras menancap di batu. Lalu ada debu dan batu kerikil 
beterbangan. Ketika Wiro berpaling memperhatikan kaget murid Sinto 
Gendeng ini bukan kepalang. Empa kaki kuda Momok Dempe tenggelam amblas 
ke dalam dinding batu karang!
Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dapat dibayangkan bagaimana kalau empat 
kaki itu tadi sempat menancap di kepala atau tubuhnya! Tidak menunggu 
lebih lama dia segera melompat berdiri. Saat itu Momok Dempet telah 
mencabut empat kaki mereka yang menancap di batu karang. Keduanya 
melesat di udara, berputar seperti baling-baling. Begitu berada di atas 
Wiro tangan masing-masing menghantam ke bawah. Dari mulut mereka keluar 
teriakan menyebut jurus pukulan yang dilancarkan.
“Sepasang Palu Kematian!”
Belum lagi serangan dua pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat Wiro goyang!
“Gila!” maki Pendekar 212. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam 
lalu sambil rundukkan tubuh dia balas menghantam dengan salah satu jurus
 ilmu silat yang didapatnya dari Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk
 Rao Basaluang Ameh.
“Tangan Dewa Menghantam Matahari!” teriak sepasang Momok Dempet 
hampir berbarengan lalu cepat cepat menyingkir. Dua pukulan laksana palu
 godam yang dihantamkan Momok Dempet lewat di kiri kanan Pendekar 212. 
Kalau mereka tidak cepat menyingkir dan menarik tangan masing-masing, 
niscaya salah satu dari mereka akan berantakan dimakan pukulan Tangan 
Dewa Menghantam Matahari.
“Astaga! Bagaimana dua makhluk galah sialan ini tahu jurus serangan 
yang lancarkan! Kenalpun baru hari ini. Di malam gelap pula!” Wiro 
tersentak kaget dan berkata dalam hati.
Momok Dempet saling berbisik. “Tunggul Gono, betul rupanya kabar yang
 kita sirap. Pemuda itu memang menguasai ilmu langka inti Delapan Sabda 
Dewa! Kita harus berhati-hati.
Waktu pukulannya lewat di sisiku, tulang-tulang serasa mau remuk!”
“Kalau tidak mau celaka kita harus serang dia dengan pukulan sakti 
Ladam Setan. Lalu susul dengan Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata 
Tunggul Gono dengan rahang menggembung.
“Hantam!” teriak Momok Dempet. Keduanya membuat gerakan melompat. 
Setengah jalan, sesaat tubuh mengapung di udara, keduanya pukulkan 
tangan kiri dan kanan yang saling berdempetan. Dari celah dua telapak 
tangan menghambur sinar hitam. Saat itu kegelapan masih menyungkup namun
 gelapnya sinar pukulan sakti kedua orang ini lebih pekat hingga 
kelihatan nyata menggidikkan. Inilah pukulan berbahaya Ladam Setan yang 
sejak dua tahun belakangan ini telah banyak merenggut nyawa para tokoh 
silat golongan putih maupun golongan hitam.
Wiro terkejut bukan main. Apalagi tidak menyangka lawan bisa 
selamatkan diri dari pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Sambil 
membentak Wiro melesat satu tombak ke udara untuk selamatkan diri dari 
sambaran maut sinar hitam. Di samping bukit sebelah kiri menggelegar 
suara menggemuruh.
Dinding karang terbongkar, mengepulkan asap, merah membara lalu 
menghitam berubah jadi arang keras meninggalkan satu lobang besar 
mengerikan.
“Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!”
Wiro mendengar Momok Dempet berteriak berbarengan. Lalu tubuh 
keduanya lenyap. Di lain kejap kelihatan satu benda tinggi hitam, 
berputar dahsyat. Di sebelah atas merentang palang seperti baling baling
 siap membabat apa saja yang ada di depannya. Secara tak terduga putaran
 itu berubah menjadi kemplangan laksana palu godam. Lalu terdengar pula 
suara hentakan-hentakan yang menggetarkan bukit batu.
“Kraakk! Byaaarrr!”
Satu tonjolan batu karang runcing putus dibabat palang berputar. Di 
sebelah bawah tanah dan batu terbongkar membentuk lobang-lobang. Melihat
 hal ini Wiro yang semula hendak menangkis dan balas menghantam jadi 
berpikir dua kali. Dia siapkan pukulan Bentang Topan Melanda Samudera di
 tangan kiri sementara tanagn kanan membuat gerakan jurus Di Balik 
Gunung Memukul Halilintar yang kemudian akan segera disusul dengan 
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Namun baru dia hendak bergerak menderu angin yang sangat keras 
membuat Pendekar 212 terdorong dan tersurut terhuyung-huyung. 
Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tak bisa bertahan dan 
terpaksa kembali mundur hingga akhirnya pungunggnya membentur dinding 
batu.
“Celaka!” keluh Wiro. Dia segera menyingkir ke kiri sambil melepas 
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Sosok lawan yang satu setengah 
kali lebih tinggi menimbulkan kesulitan baginya. Dia terpaksa memukul ke
 arah dada. Lalu dengan cepat membungkuk sambil susupkan pukulan Dewa 
Topan Menggusur Gunung.
Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa mengejek. “Nama besar Pendekar 212 ternyata kosong belaka!”
“Braakkk!”
Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental. Tulang tangannya sebelah 
kiri seperti hancur. Untuk sesaat dia tidak bisa menggerakkan tangan 
itu. Dalam keadaan seperti itu dari atas tangan dempet sepasang Momok 
datang mengemplang ke arah batok kepalanya. Inilah pukulan maut Palu Dan
 Ladam Membongkar Bumi! Wiro terlambat bergerak, tidak sempat menangkis!
“Mati aku!”
Murid Sinto Gendeng masih berusaha kirimkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang dengan tangan kanan.
“Bukkk! Desss!”
Wiro menyangka dia berhasil memukul salah satu bagian tubuh lawan. 
Ternyata jotosannya diredam oleh telapak tangan kiri Tunggul Gini. Lalu 
dipelintir dan didorong hingga Wiro terjajar ke belakang.
“Tanggal tulangku!” keluh Wiro. Dalam keadaan terjajar begitu rupa 
tak mungkin lagi baginya untuk selamatkan kepalanya yang dikejar pukulan
 Palu Membongkar Bumi. Sesaat lagi batok kepala murid Sinto Gendeng itu 
akan dibuat hancur berantakan tiba-tiba melesat satu bayangan biru. 
Momok Dempet Berkaki Kuda berteriak kaget dan marah. Tubuh mereka 
terdorong ke samping. Pukulan Palu Membongkar Bumi walau masih terus 
mendera ke bawah namun menyerempet dinding batu hingga menimbulkan 
guratan panjang dan dalam serta menebar debu karang!
“Jahanam! Setan dari mana berani campur tangan urusan Momok Dempet!” 
Tunggul Gini berteriak marah. Tangan kirinya langsung menghantam dengan 
pukulan sakti Ladam Setan.
Walau hanya dia sendiri yang melepas pukulan ini tapi kehebatannya tetap saja mengandung kematian!
***
LIMA
Angin pukulan maut Palu Membongkar Bumi yang lewat satu jengkal di 
sampingnya membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung dan jatuh 
terduduk. Ketika dia mencoba bangkit dan memandang ke depan dilihatnya 
seorang lelaki berpakaian ringkas warna biru tegak menghadapi Momok 
Dempet Berkaki Kuda. Rambutnya tersisir rapi dan berkilat pertanda dia 
memakai sejenis minyak pengkilap rambut. Karena membelakangi Wiro tidak 
bisa melihat wajah si penolong ini. Sambil terus memperhatikan Wiro 
berdiri lalu bersandar ke dinding batu di belakangnya.
Momok Dempet memandang garang. Keduanya maju satu langkah lalu 
hentakkan kaki ke tanah hingga tanah berhamburan dan batu berpecahan.
“Bangsat baju biru! Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Pendekar 212 
hingga mau mauan menyelamatkan batok kepalanya dari kehancuran?!” 
Tunggul Gono membentak.
Sepasang alis orang berpakaian biru mencuat naik ke atas. Keningnya sesaat mengerenyit.
Tanda terkejut mendengar bentakan Tunggul Gono tadi. Dia tidak 
menduga sama sekali kalau yang barusan ditolongnya adalah Pendekar 212.
“Selama ini dia dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Mengapa 
tahu-tahu ada di sini. Apa yang terjadi dengan dirinya?” Orang ini tak 
bisa berpikir lebih panjang karena Tunggul Gono kembali menghardik.
“Kalau kau ak mau menjawab kupecahkan batok kepalamu saat ini juga! 
Katakan hubunganmu dengan Pendekar 212! Katakan juga siapa kau punya 
nama!”
“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan.
 Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak 
menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan!”
Sementara Wiro terheran-heran mendengar jawaban orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet malah tertawa gelak-gelak.
“Satu lagi kita menemui orang gila malam ini!” kata Tunggul Gono.
"Betul! Orang gila yang barusan datang ini rupanya pendekar sejati. 
Itu sebabnya dia tidak mau perkenalkan nama apalagi mengatakan julukan! 
Ha… ha… ha!”
“Dia tidak mau merepotkan kita!” menyahuti Tunggul Gini. “Karena dia 
tidak mau memberi tahu nama, berarti kalu dia mati kita tidak perlu 
susah-susah membuat papan nisan namanya segala! Ha… ha…ha…!”
Orang berpakaian biru yang tegak membelakangi Wiro rangkapkan dua 
tangan di depan dada lalu berkata. “Momok Dempet. Perkara bunuh membunuh
 bagi kalian adalah perkara mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. 
Bertahun-tahun malang melintang hanya membuat keonaran, menumpah darah 
mencabut nyawa. Tubuh kalian sudah bau tanah! Apakah akan menebar 
kejahatan sampai ke liang kubur?!”
Diam-diam Wiro mendengarkan dengan seksama semua percakapan orang. 
Dia semakin menyadari kalau saat itu dia memang tidak lagi berada di 
Negeri Latanahsilam. "Di Latanahsilam seingatku tidak ada makhluk 
bernama Momok Dempet. Melihatnya pun baru sekali ini… Tapi kalau kulihat
 sepasang kaki mereka menyerupai kaki kuda… Keanehan seperti itu hanya 
ada di Negeri Latanahsilam!”
Wiro garuk kepalanya. “Dimana aku berada saat ini sebenarnya?”
“Ha… ha! Manusia satu ini ternyata bukan cuma pendekar sejati ! Tapi 
dia juga pandai membaca syair di luar kepala!” kata Tunggul Gini 
menanggapi ucapan si baju biru tadi. Lalu bersama Tunggul Gono dia 
tertawa terpingkal-pingkal.
“Malam begitu dingin. Tapi mengapa hawa terasa panas?” Orang berpakaian biru berucap aneh.
Tangannya meraba ke balik dada lalu srettt! Sebuah kipas lipat tujuh 
warna terkembang di tangan kirinya. Dia mulai berkipas-kipas sambil 
dongakkan kepala ke langit kelam.
“Pendekar Kipas Pelangi!” seru sepasang Momok Dempet berbarengan dan 
sama-sama tersurut satu langkah. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa 
melihat perubahan pada air muka sepasang momok. Mata keduanya memandang 
mendelik ke arah kipas di tangan si baju biru.
“Pendekar Kipas Pelangi,” Wiro mengulang dalam hati. “Belum pernah kudngar nama itu sebelumnya”.
“Bertangan kidal. Memegang kipas di tangan kiri, pakaian biru, wajah 
cakap berkumis! Itu ciri-ciri yang pernah aku dengar. Dia memang 
Pendekar Kipas Pelangi…“ Bisik Tunggul Gini dengan suara bergetar.
Tunggul Gono diam saja hanya dua matanya masih terus menatap ke depan tak berkesip.
“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan.
 Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak 
menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan!” Orang berpakaian 
serba biru berambut rapi berminyak mengulang ucapan yang tadi 
dikeluarkannya.
“Pendekar Kipas Pelangi, kami berdua menghormat nama besarmu. Selama 
ini tidak ada pertikaian antara kita. Tapi mengapa hari ini kau muncul 
dan mencampuri urusan kami?!”
Bertanya Tunggul Gono. Nada suaranya tidak segalak dan seberangas sebelumnya.
“Tadi aku berucap, mungkin kalian tidak menyimak. Biar kuulang sekali
 lagi. Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Padahal 
nyawa manusia bukan di tangan manusia lainnya. Mengapa kalian begitu 
berani menentang kodrat dan kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam?!”
Sesaat Momok Dempet Berkaki Kuda jadi terdiam mendengar kata-kata 
orang berkipas yang disebut dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi.
“Kami tidak bicara tentang Tuhan. Kami bertanya mengapa kau 
mencampuri urusan kami!” bentak Tunggul Gono. Keberanian rupanya muncul 
secara tiba-tiba dalam diri orang ini.
“Rupanya kau masih kurang menyimak. Biar aku memberi penjelasan. 
Nyawa manusia bukan milik manusia lainnya. Jika ada nyawa seseorang 
terancam adalah keawajiban seorang lain untuk menolong…”
“Kalau sebelumnya Momok Dempet memang merasa agak leleh nyalinya 
menghadapi si baju biru, namun lama-lama keduanya menjadi jengkel juga.
“Dengar Pendekar Kipas Pelangi. Kalau kami katakan kami 
menghormatimu, bukan berarti kami takut atau bisa dilecehkan begitu 
saja. Jangan berkata pongah di balik nama Tuhan serta dalih budi baik 
menolong sesama manusia! Takdir manusia hidup mempunyai berbagai macam 
urusan.
Tapi banyak di antara manusia menjadi sombong, hendak menunjukkan 
kehebatan dengan dalih menolong sesama. Salah satu di antaranya adalah 
kau!”
Orang berjuluk Pendekar Kipas Pelangi tersenyum dan angguk-anggukkan 
kepala mendengar ucapan Tunggul Gono. Semenatara pasangannya yang 
bernama Tunggul Gini batuk-batuk beberapa kali lalu berucap.
“Maafkan saudaraku ini. Dia memang penaik darah dan mulutnya 
terkadang tidak terbendung. Pendekar Kipas Pelanbgi, sebenarnya kami 
tidak bermaksud membunuh pemuda itu.
Tapi dia menyerang lebih dulu. Selain itu kami tengah mencari satu 
benda pusaka sakti. Jika kau mau bersikap lunak, siapa tahu kau kelak 
akan kebagian rejeki besar pula seandainya kami berhasil menemukan benda
 keramat itu.”
“Mencari rejeki besar dengan membunuh sesama bukan namanya mencari 
rejeki. Tapi mencari dosa dan permusuhan. Tinggalkan tempat ini. 
Pergilah mencari rejeki di tempat lain!”
Ucapan Pendekar Kipas Pelangi ini membuat sepasang Momok Dempat menjadi geram.
“Kami mencari rejeki dimana kami suka!” menyahuti Tunggul Gono. 
“Kalau disini tidak ada rejeki, atau ada orang lain yang coba mengais di
 lahan yang sama, apa boleh buat! Tapi sebelum pergi kami ingin mendapat
 beberapa pelajaran darimu. Kami ingin mengukir satu kenangan sampai 
dimana sebenarnya kehebatan Pendekar Kipas Pelangi.”
“Sahabat! Serahkan dua makhluk galah itu padaku!“ Wiro yang sejak 
tadi diam jadi tak tahan hati dan mulai membuka mulut berseru. “Nyawaku 
yang diinginkannya! Jangan kau menyusahkan diri sendiri!”
Orang berpakaian biru tidak menoleh. Dia hanya angkat tangan kanannya
 memberi isyarat bahwa urusan itu akan dihadapinya sendiri. “
Menantang adalah sikap pongah menyombong kekuatan. Tidak melayani tantangan adalah sikap bersih dan jujur.
 Tapi dilecehkan dengan tantangan adalah pantangan para pendekar. Momok 
Dempet Berkaki Kuda, aku tidak akan memberi petunjuk apa-apa pada kalian
 karenaaku memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang patut diajarkan. 
Justru aku yang akan meminta budi pelajaran dari kalian berdua. 
Mudah-mudahan ada manfaatanya bagi diriku…”
Mendengar ucapan orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet jadi 
melengak, saling pandang lalu saling berbisik. Tiba-tiba keduanya 
keluarkan suara aneh. Meringkik seperti kuda sambil kaki masing-masing 
dihentak-hentakkan ke tanah berbatu.
“Langit terlalu tinggi, samudera terlalu dalam. Satu-satunya tempat lari adalah liang kematian!”
Yang keluarkan seruan itu adalah Momok Dempet di sebelah kiri yakni 
Tunggul Gini. Lalu bersama Tunggul Gono secara berbarengan dia hantamkan
 tangan kiri dan kanan. Di saat yang sama tangan mereka yang dempet juga
 memukul ke depan. Empat larik sinar hitam Pukulan Ladam Setan 
menghantam mengurung Pendekar Kipas Pelangi. Dua menderu di kiri kanan, 
dua lagi melabrak di sebelah atas dan bawah. Orang berbaju biru itu 
terjepit empat serangan maut.
Seperti ucapan sepasang momok, tempat larinya hanyalah liang 
kematian! Tapi sungguh mengagumkan, sikapnya tenang saja mengahdapi 
bahaya!
“Sahabata awas!” teriak Wiro lalu melompat ke depan sambil lepaskan 
Pukulan Sinar Matahari. Sinar putih panas berkiblat. Tempat itu serta 
merta menjadi terang benderang.
“Terima kasih kau mau membantu!” kata Pendekar Kipas Pelangi. Masih 
dengan sikap tenang. “Biar aku tambahkan bumbu penyedap pada pukulan 
saktimu!”
Habis berkata begitu srett! Pendekar Kipas Pelangi tutupkan kipas 
lipatnya. Srettt! Ketika kipas itu dengan cepat kembali dikembangkan 
maka terlihatlah satu pemandangan luar biasa!
Tujuh sinar pelangi menderu membentuk sinar puitih setengah lingkaran
 tegak lurus, mendukung sinar puith pukulan Sinar Matahari yang berada 
di sebelah atas. Pendekar Kipas Pelangi putar lengan kirinya yang 
memegang kipas. Tujuh sinar pelangi ikut berputar rebah membentuk 
benteng bersusun lalu bersama Pukulan Sinar Matahari melabrak dahsyat 
empat cahaya hitam Pukulan Ladam Setan!
“Blaarrr! Blaaarrr! Blaarrr! Blaarr!”
***
ENAM
Bukit karang bergoncang hebat ketika empat suara letusan seperti 
kilat menyambar berdentam empat kali berturut-turut. Di Teluk Penanjung 
suara deburan ombak seolah tenggelam lenyap. Gelombang seperti tertahan 
tak bergerak.
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak terhuyung. Mukanya kelihatan pucat. 
Debu menutupi rambut dan sekujur pakaiannya. Di sebelah depan Pendekar 
Kipas Pelangi mengalami goncangan hebat. Sepasang lututnya goyah. 
Bagaimanapun dia bertahan, perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut. Dada 
berdenyut keras, aliran darah tak menentu. Seperti Wiro, wajahnya 
kelihatan pucat seolah tak berdarah. Dia putar tangan kirinya yang 
memegang kipas.
“Sreetttt!”
Kipas lipat tertutup kembali. Dengan cepat dia atur jalan darah, 
pernafasan serta alirkan hawa sakti ke beberapa bagian tubuh. Ketika dia
 memandang ke arah tempat dari mana tadi sepasang Momok Dempet 
melancarkan serangan, makhluk aneh itu atak ada lagi di tempatnya.
Di tanah kelihatan cabikan-cabikan pakaian hitam serta muntahan darah
 segar! Bentrokan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tadi rupanya 
telah membuat sepasang Momok Dempet mengalami luka dalam hebat lalu 
melarikan diri.
Perlahan-lahan Pendekar Kipas Pelangi memutar tubuhnya, membuatnya 
kini untuk pertama kali berhadap-hadapan saling tatap dengan Pendekar 
212 Wiro Sableng. Ternyata pendekar ini berwajah lumayan cakap. Sepasang
 kumis kecil rapi meelintang di bawah hidungnya.
Wiro membungkuk memberi penghormatan seraya berkata. “Sahabat, aku 
mengucapkan terima kasih atas budi pertolonganmu. Entah kapan aku bisa 
membalas hutang besar ini!”
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lebar. Dia masukkan kipasnya ke balik pakaian.
“Sahabat, kalau tadi kau tidak ikut menghantam dengan pukulan yang 
memancarkan cahaya menyilaukan itu, belum tentu aku bisa menghadapi 
pukulan dua momok itu. Mungkin aku sendiri saat ini sudah terluka 
parah!”
“Kau pandai merendah,” kata Wiro
“Saling menolong antara sesama sahabat dalam rimba persilatan, 
bukankah itu satu kebajikan yang selalu diajarkan oleh para guru?” 
berkata Pendekar Kipas Pelangi.
“Betul sekali, betul sekali…”
“Sahabat, selama ini aku hanya mendengar cerita. Pukulan sakti 
bercahaya menyilaukan serta menebar hawa panas tadi, apakah itu Pukulan 
Sinar Matahari yang tersohor di delapan penjuru angin?”
Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.
“Apakah saat ini aku benar berhadapan dengan tokoh rimba persilatan 
bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
Masih tersenyum murid Eyang Sinto Gendeng menyahuti. “Turut ucapanmu 
tadi, manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat 
julukan. Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati 
tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan….”
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lepas mendengar ucapan Wiro itu. 
“Tepat sekali! Kau mengingat setiap baris kata-kataku tanpa salah! 
Sungguh luar biasa! Sungguh aku beruntung bisa bersahabat denganmu!”
“Sepasang makhluk aneh Momok Dempet tadi, siapa mereka?” bertanya murid Sinto Gendeng.
“Mereka belum lama muncul di rimba persilatan. Konon bersal dari 
sebuah pulau di laut selatan. Sepak terjang mereka tidak disenangi 
berbagai pihak. Malah para tokoh silat keraton dan pasukan kerajaan 
mencari mereka karena beberapa pembunuhan yang mereka lakukan terhadap 
orang-orang istana.”
Wiro ingat kejadian beberapa saat sebelumnya. Salah seorang dari 
Momok Dempet itu hendak mengambil kapak sakti yang terselip di 
pinggangnya. Apakah kemunculan mereka di tempat ini memang sengaja 
hendak merampas kapak itu atau ada maksud lain? Maka diapun bertanya 
pada Pendekar Kipas Pelangi.
“Sahabat, apakah kau bisa menduga apa tujuan sepasang momok itu datang ke tempat ini?”
“Namanya saja momok. Mereka bisa muncul secara tak terduga dimana 
saja. Turut apa yang aku dengar mereka tengah kasak kusuk mencari 
sesuatu. Tadipun sudah mereka ucapkan. Malah menawarkan mau membagi 
rejeki besar itu bersamaku. Yang tengah mereka cari adalah sebuah 
kitab…”
“Sebuah kitab?” mengulang Wiro. “Kitab apa?”
Pendekar Kipas Pelangi mengangkat bahu. “Sebuah kitab sakti. Aku lupa
 namanya. Konon kitab ini sudah jadi pembicaraan di rimba persilatan dan
 dicari banyak tokoh rimba hijau…” “Aku tidak membawa kitab. Tadi salah 
seorang dari mereka hendak mengambil senjataku…” Wiro berpikir sejenak. 
Lalu berkata. “Keadaan mereka aneh. Dua tangan saling dempet, empat kaki
 seperti kaki kuda, lengkap dengan ladam besi…”
“Menurut ceritanya, mereka dilahirkan kembar dan dalam keadaan cacat 
demikian rupa. Tangan dempet, kaki tidak punya tapak tidak berjari. 
Keanhean ini telah menarik perhatian seorang tokoh jahat yang pernah 
hidup di selat Madura. Tokoh ini memang suka mengumpulkan orang-orang 
aneh, lalu melakukan percobaan-percobaan sambil menciptakan ilmu silat 
dengan jurus-jurus aneh pula. Masih kanak-kanak kedua orang itu 
dibawanya ke tempat kediamannya, diberi pelajaran silat aneh. Agar bisa 
berjalan empat kaki mereka dibungkus dengan besi menyerupai ladam kuda. 
Ternyata bukan cuma untuk memungkinkan bisa berjalan saja, tapi juga 
merupakan senjata luar biasa. Jangankan tubuh manusia, batupun bisa 
mereka bobol!”
Wiro memandang berkeliling lalu bertanya. “Tempat ini. Terus terang 
aku masih bingung saat ini berada di mana. Daerah ini apa namanya? Aku 
mendengar suara tiupan angin seperti bunyi seruling. Di kejauhan 
lapat-lapat ada suara seperti deburan ombak…”
Mendengar pertanyaan Wiro itu, Pendekar Kipas Pelangi jadi terheran-heran. Dalam hati dia membatin.
“Dia berada di sini. Tapi tidak tahu tempat apa dan daerah apa. Lalu 
bagaimana bisa datang ke sini? Aneh… Apa yang terjadi dengan dirinya 
sebenarnya? Sebentar-sebentar dia menggaruk kepala. Apa dia tengah 
berpikir atau memang kebiasaannya begitu. Orang-orang mengatakan dia 
bertingkah laku aneh. Tapi mengapa kulihat saat ini dia seperti ada yang
 tidak beres? Apa perlu aku memberitahu dimana dia berada?”
“Sahabat Wiro, saat ini kau berada di satu bukit karang. Dekat sebuah
 teluk di kawasan Pangandaran. Teluknya bernama Teluk Penanjung. 
Bertahun-tahuan kau malang melintang di tanah Jawa ini. Mustahil kau 
tidak tahu saat ini berada di mana. Aku tidak yakin kau tersesat atau 
kesasar berada di kawasan ini…”
“Teluk Penanjung… Pangandaran… jadi saat ini aku berada di tanah Jawa? Benarkah?!”
Wiro memandang dengan mata dibesarkan pada Pendekar Kipas Pelangi sambil garuk-garuk kepala. Yang dipandang bertambah heran.
“Kau ini aneh, masakan kau tidak tahu kalau saat ini berada di tanah 
Jawa? Memangnya ada Teluk Penanjung dan Pangandaran di tempat lain?”
“Tanah Jawa! Tuhan Maha Besar! Benar aku saat ini sudah kembali ke 
tanah Jawa? Berada di tanah Jawa?! Lalu dimana teman-temanku yang lain? 
Setan Ngompol, Naga Kuning… Ah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?” 
Sedikit demi sedikit ingatan Wiro kembali pulih. “Negeri Latanahsilam… 
Terakhir sekali aku berada di Istana Kebahagiaan! Lalu ada ledakan. Aku 
sempat menghantam kening Hantu Muka Dua. Lalu… Aku terseret oleh satu 
gelombang tujuh warna, membumbung ke angkasa menembus langit….” Wiro 
menatap lekat-lekat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.
“Wiro, apa yang ada dalam benakmu? Apa yang kau pikirkan? Barusan kau bicara seorang diri…”
“Tunggu….” Wiro berkata. “Aku coba mengingat. Aku…. Mungkin sekali 
aku pernah berada di tempat ini sebelumnya. Aku…” Sepasang mata Pendekar
 212 membesar. Tengkuknya seperti dijalari binatang merayap. Dia ingat. 
“Dulu di kawasan ini pernah terjadi bentrokan hebat antara para tokoh 
silat golongan hitam melawan golongan putih. Eyang Sinto Gendeng guruku…
Bujang Gila Tapak Sakti sahabatku… Dewa Ketawa… Dewa Tuak… Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur… Semua mereka itu…”
“Dua nama terakhir yang kau sebutkan itu.” Kata Pendekar Kipas 
Pelangi pula. “Mereka sekian banyak dari gadis-gadis cantik yang 
mencarimu…”
“Aku dicari gadis-gadis cantik?” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiba-tiba senyumnya lenyap.
“Pangeran Matahari!” desisnya. Tubuhnya mendadak bergeletar. Dia memandang berkeliling. Bola matanya membesar.
“Manusia itu sudah lama mati.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.
Wiro gelengkan kepala. “Aku melihat satu wajah…. Wajah Pangeran 
Matahari. Wajah orang yang tadi membalikkan tubuhku sewaktu tergeletak 
menelungkup…”
Kini Pendekar Kipas Pelangi yang gelengkan kepala. Dipegangnya bahu 
Wiro lalu berkata. “Sahabat, agaknya ada satu guncangan besar membuat 
kau banyak lupa tentang masa lalumu.
Kau tadi menyebut satu tempat bernama Negeri Latanahsilam. Kau juga 
menyebut nama-nama aneh. Apakah… pasti sebelumnya kau telah mengalami 
satu kejadian…”
“Mungkin tadi aku hanya menerawang. Atau setengah bermimpi…” kata Pendekar 212.
“Wiro, selama ini kau dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Dua 
tahun lebih kau menghilang. banyak orang berusha mencari tapi mereka 
menemui jalan buntu. Sahabatku, apakah kau sengaja memencilkan diri 
menuntut ilmu baru di satu tempat? Atau bersamadi menambah kehebatan 
tenaga dalam?”
“Aku… Jadi, benar selama dua tahun aku berada di Negeri Latanahsilam.” Wiro garuk kepalanya.
Dalam hati dia berkata. “Tidak mungkin aku ceritakan padanya. Selain 
baru kenal mungkin dia juga tidak akan bisa mempercayai. Salah-salah aku
 bisa dianggapnya gila. Benar-benar sableng!” (
Mengenai riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam harap baca serial Wiro Sableng terdiri dari 18 Episode, dimulai dari “Bola-Bola Iblis”)
 Wiro berpikir lagi. “Kalau kini aku benar berada di tanah Jawa, apakah 
beberapa ilmu yang aku dapat di Negeri Latanahsilam masih kumiliki? Tadi
 sewaktu menghadapi dua momok sialan itu mengapa tidak aku jajal dengan 
ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang diberikan Luhrembulan? Ah… gadis 
itu. Aku…”
“Pendekar 212! Kau melamun atau tengah memikirkan sesuatu?!”
Teguran Pendekar Kipas Pelangi membuat Wiro tersadar. Dia menatap ke 
depan dan melihat pemuda berkumis di hadapannya itu memandang 
terheran-heran padanya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan dengan 
bertanya. “Pendekar Kipas Pelangi, aku tidak tahu banyak mengenai 
dirimu. Mengapa kau juga bisa berada di tempat ini?”
Yang ditanya tak segera menjawab. Setelah perhatikan wajah Pendekar 212 sejurus lamanya baru dia membuka mulut.
“Aku tengah mencari seseorang…”
“Pasti seorang gadis cantik!” kata Wiro pula.
Pemuda berkumis rapi itu gelengkan kepala. “Aku mencari kakak 
kandungku. Kami berpisah ketika aku berusia empat tahun dan dia enam 
tahun. Lebih dari lima belas tahun kami tidak pernah bertemu. Begitu 
turun gunung sekitar tiga tahun lalu, aku berusaha mencarinya., tapi tak
 kunjung kutemui. Kakakku itu bernama Adisaka. Apakah kau pernah 
mendengar nama itu?
Syukur-syukur kau kenal orangnya…”
“Adisaka… Tak pernah aku mendengar nama itu. Bagaimana kisahnya kalian bisa berpisah. Apakah orang tua kalian…”
“Desa kami musnah dilanda bencana alam. Gunung meletus. Kami tercerai
 berai. Semua penduduk menemui ajal. Termasuk orang tua kami…”
“Apa kau yakin kakakmu itu masih hidup?” tanya Wiro.
“Aku yakin sekali. Aku sering kedatangan firasat bahwa dia masih hidup. Itu yang menimbulkan semangat untuk mencarinya…”
“Mengapa tidak memulai penyelidikan dari desa kelahirannya?” tanya Wiro.
“Bukannya tidak pernah. Ketika aku kembali ke sana, desa itu sudah 
berubah menjadi hutan jati. Tak ada seorangpun tinggal di sana.”
“Kau tentunya mempunyai riwayat hidup luar biasa. Aku senang kalau kau mau menceritakannya.”
Pendekar Kipas Pelangi terdiam sesaat. Kemudian dia berkata.
“Tidak ada salahnya aku menuturkan riwayat diriku. Siapa tahu kau 
memberi jalan, bisa membantu urusan yang kuhadapi. Mari kita mencari 
tempat duduk yang baik…”
Wiro mengangguk. Dua orang ini pergi duduk di atas gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi lalu mulai menceritakan kisahnya.
***
TUJUH
Sebelum mengetahui kisah hidup yang akan diriwayatkan Pendekar Kipas 
Pelangi kepada Pendekar 212 Wiro Sableng, kita kembali dulu pada satu 
kejadian beberapa waktu sebelumnya, yakni sebelum Wiro, Naga Kuning dan 
Setan Ngompol terpesat ke Negeri Latanahsilam.
KESUNYIAN di tepi rimba belantara kawasan selatan dipecahkan oleh 
suara derap kaki kuda tak berkeputusan. Baik kuda maupun penunggangnya 
masih belum nampak. Tak lama berselang, dari tikungan jalan berdebu baru
 kelihatan muncul dua kuda hitam, berlari kencang menuju ke barat. Di 
atas punggung kuda sebelah kiri duduk seorang kakek berpakaian serba 
hitam. Walau usianya sudah mencapai delapan puluh tahun tapi kumisnya 
yang melintang di bawah hidung masih hitam berkilat, juga rambutnya yang
 menjulai keluar dari balik destar hitam yang bertengger di atas kepala.
 Sepasang mata si kakek memandang tajam ke depan. Di balik ketenangan 
wajah tua ini, di lubuk hatinya si kakek dibebani oleh satu ganjalan. 
Itu sebabnya dia menoleh ke samping dan berkata.
“Kita sudah mencarinya di Nusakambangan. Manusia keparat itu tidak ada di sana.
Padahal petunjuk terakhir membuktikan dia memang ada di situ, 
membantai satu keluarga besar yang hendak menuntut balas atas kematian 
seorang gadis yang diculik dan diperkosanya.”
Orang yang diajak bicara yakni penunggang kuda hitam sebelah kanan 
adalah seorang nenek berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang 
keriputan berwarna hitam legam sedang sebelah kanan putih seperti bulai.
 Begitu juga alis dan bulu matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam 
mencorong, sebaliknya bagian kanan putih memirang.
Di atas kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah 
tengah lalu dijalin menjulai panjang ke punggung. Seperti wajahnya 
rambut si nenek sebelah kiri berwarna hitam sedang sebelah kanan putih 
pirang. Lalu anggota badannya yakni tangan dan kaki juga hitam di 
sebelah kiri dan putih di sebelah kanan.
Yang luar biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna 
berlainan. Bola mata sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan 
putih mengidikkan!
Pada ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain 
sebagai penghias. Tapi yang ada di ujung jalin nenek muka hitam putih 
ini bukannya pita, melainkan seekor kalajengking hidup. Aslinya binatang
 ini berwarna hitam legam. Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh 
kalajengking ini dengan cat warna putih hingga sosoknya menyerupai 
dirinya.
Nenek ini mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan warna wajah 
serta rambutnya. Di sebeleh kiri pakaian ini hitam sementara sebelah 
kanan berwarna putih.
“Riku Pulungan,” kata si nenek yang sebenarnya bernama Nini Wetan. 
Namun orangorang rimba persilatan lebih suka menyebutnya dengan nama 
Nini Setan. Dia adalah kakak si kakek berkumis hitam. “Kalau otakmu 
masih terang, sekitar empat tahun lalu aku memberi ingat. Jangan kau 
memberikan Kipas Pemusnah Raga pada mujridmu si Warangas itu!”
“Siapa bilang aku memberikan!” memotong si kakek bernama Riku 
Pulungan. “Waktu aku menyerahkan kipas padanya, jelas-jelas kukatakan 
kipas itu aku pinjamkan. Bukan aku berikan. Tiga tahun setelah dia 
kulepas dari pertapaan dia harus mengembalikan senjata itu.
Karena dalam waktu tiga tahun itu aku sudah bisa mengira dia pasti 
telah mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Jadi sudah cukup 
sekian lama saja dia memegang senjata itu.”
Nini Setan menyeringai. “Nyatanya ucapanku asin, tidak meleset! 
Warangas mempergunakan kipas sakti itu untuk berbuat seribu satu macam 
kejahatan! Kau tahu dan sudah dengar dosa apa yang telah dilakukan 
muridmu itu! Merusak kehormatan anak gadis dan istri orang! Salah satu 
korbannya adalah istri Kebo Panaran, Adipati Gombong. Kebo Panaran 
sendiri kemudian dihabisinya secara biadab. Lalu dia juga membunuh salah
 seorang dari guru-gurunya yakni kakek sakti di puncak gunung Slamet 
bernama Wulur Pamenang. Itu terjadi setelah dia ketahuan menghamili adik
 seperguruannya bernama Wulandari. Salah seorang gurunya yang lain, 
bernama Jagat Kawung kabarnya juga tengah mengejar muridmu itu. Hemmm… 
Kalau saja kau mendengar nasihatku dulu, semua malapetaka angkara murka 
ini tidak akan terjadi… Berkat perbuatan tololmu Warangas memang telah 
mendapat nama besar. Tapi nama besar penuh kekejian! Kurasa tidak ada 
makhluk lain yang dosanya seabrek-abrek seperti muridmu itu! Jangan kau 
menyesal Pulungan! Hik… hik… hik!”
Riku Pulungan menghela nafas panjang. “Kata orang penyesalan selalu 
terjadi belakangan. Aku mungkin keliru memberi pinjam kipas sakti itu. 
Tapi aku tidak merasa menyesal. Karena aku tetap akan meminta 
pertanggung jawaban murid celaka itu! Aku akan mencarinya sampai ke 
liang neraka sekalipun!”
“Sekarang kau mau mengajak aku mencarinya kemana?” Tanya Nini Setan. “Liang neraka tidak ada di dunia ini.
Adanya di akhirat! Hik… hik!” Nini Setan mengejek lalu tertawacekikikan.
Wajah putih si kakek sesaat jadi merah mendengar ejekan saudaranya itu.
“Jangan kau membuat hatiku tambah panas. Turut yang aku dengar dari 
beberapa orang yang pernah tahu Warangas,pemuda itu memencilkan diri di 
satu tempat di kawasan Teluk Segara Anakan. Dari sini Segara Anakan 
tidak berapa jauh. Kita menuju ke sana sekarang juga.”
“Turut yang aku ketahui, muridmu itu bukan memencilkan diri, tapi 
melarikan diri. Karena banyak orang berkepandaian tinggi mengejarnya!” 
kata Nini Setan pula.
“Itu lebih baik. Berarti aku tidak akan terlalu repot untuk menangani
 manusia bejat itu! Nyawanya aku tidak akan peduli. Kalau dia mati di 
tanganku ya syukur-syukur. Kalaupun dia dicincang dihabisi sekian banyak
 musuhnya rasanya itu sudah jadi bagiannya. Yang pentin aku harus 
dapatkan Kipas Pemusnah Raga itu kembali. Aku harus mempertanggung 
jawabkannya pada Eyang Guruku!”
***
PENUNGGANG kuda coklat yang sejak tadi memacu kudanya sekencang yang 
bisa dilakukan, mendadak sontak menarik lalu menahan tali kekang 
tunggangannya hingga kepala binatang ini terdongak ke atas. Busah 
menyembur dari hidung dan mulutnya. Dua kaki depan naik ke atas 
sementara sepasang kaki belakang menyerosot meninggalkan guratan panjang
 dan dalam di tanah.
Siapakah adanya penunggang kuda ini? Namanya Suramanik. Dulu dia 
adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong. Suramanik terpkasa melepaskan 
jabatannya karena dipecundangi oleh seorang pemuda bernama Handaka. 
Handaka ini bukan lain adalah Warangas murid Riku Pulungan si pemilik 
Kipas Pemusnah Raga. Dia juga pernah berguru pada seorang kakek sakti di
 puncak gunung slamet yakni Eyang Wulur Pamenang yang kemudian 
dibunuhnya. Lalu dia muncul di banyak tempat dengan nama-nama samaran 
seperti Prana, Dipasingara dan sebagainya.
Sejak dia dikalahkan dalam satu pertandingan adu jotos dan kehilangan
 jabatannya sebaai Kepala Pengawal Kadipaten Gombong, sejak itu pula 
Suramanik memendam dendam terhadap Handaka yang saat itu memakai nama 
Dipasingara. Dendam kesumat itu semakin menggunung ketika dia menyirap 
kabar bahwa atasannya, Adipati Gombong Kebo Panaran tewas dibunuh 
Dipasingara. Setelah suaminya menemui ajal dan Dipasingara 
meninggalkannya begitu saja, Galuh Resmi lalu nekad bunuh diri di 
hadapan mayat suaminya.
Selesai menimba ilmu baru untuk bekal menghadapi Dipasingara maka 
Suramanik lalu menemui pencarian terhadap si pemuda. Dia mendapat kabar 
konon sejak dirinya dikejar sekian banyak orang yang sakit hati padanya,
 Dipasingara memencilkan diri di suatu tempat di kawasan Teluk Segara 
Anakan si pantai selatan. Saat itu Suramanik dalam perjalanan menuju 
kawasan tersebut.
Apa yang terjadi? Mengapa Suramanik tiba-tiba menghentikan kudanya? 
Tadi, sayupsayup di antara deru angin dan derap suara kaki kuda, dia 
mendengar suara orang menangis.
“Suara tangis perempuan. Memilukan sekali,” kata Suramanik dalam hati
 lalu melompat turun dari kudanya. Tegak di tanah dia memasang telinga 
kembali, untuk mengetahui dari mana arah datangnya suara tangisan tadi. 
Begitu dia bisa memastikan arah sumber suara dengan cepat dia melangkah.
Tak selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat 
dilihatnya seorang perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya 
mengenaskan sekali. Pakaiannya bukan saja lusuh dan kotor tapi juga 
banyak robekan. Rambutnya yang panjang tergerai awut-awutan.
“Aku tak dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka. 
Perutnya… Astaga! Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil. 
Paling tidak sekitar enam bulan…”
Suara tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah 
tiba-tiba melesat ke atas dalam satu gerakan melompat yang cepat.
“Srettt!”
Sebilah pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan 
perempuan hamil. Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini 
dapat melihat wajah perempuan itu.
Ternyata dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun 
kecantikannya tidak dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil 
ini membelalak, memandang berputar.
Air mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai 
lalu satu jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan 
dibabatkan beberapa kali. Semak belukat rambas bertebaran.
“Mampus! Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!”
“Kasihan sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras,” kata Suramanik 
dalam hati. “Dari gerakan tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan 
ini memiliki kepandaian silat tidak rendah. Siapa dia adanya? Siapa pula
 orang bernama Handaka yang seperti hendak dicincangnya. Apakah aku 
harus mendatanginya.
Tapi gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah aku bisa dibabat sambaran pedangnya!”
Selagi Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba
 perempuan hamil tadi kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur 
lari, cepat sekali., ke jurusan satu pedataran diapit bukitbukit tandus 
dia arah selatan yakni arah Teluk Segara Anakan. Suramanik terkejut 
menyaksikan.
“Dugaanku tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu 
kepandaian tinggi. Ilmu larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya
 beberapa kali berkelebat dia sudah berada di ujung sana!” Suramanik 
menunggu sesaat lalu naik ke atas punggung kudanya mulai menguntit 
mengikuti perempuan hamil tadi.
Siapakah adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu? Dia bukan 
lain adalah Wulandari, murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah 
terbujuk rayuan Handaka alias Warangas alias Dipasingara hingga gadis 
ini mau menyerahklan kehormatannya. Padahal sebenarnya dia telah 
,mempunyai seorang kekasih, seorang pemuda bernama Sanjaya yang 
merupakan murid tertua Eyang Wulur Pamenang.
Selagi mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng 
berlari kencang mendatangi dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.
“Kalau bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat ini. Lari mereka seperti angin…”
“Berhenti!” Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak. 
Sesaat kemudian ke tiganya sudah berkelebat, memotong jalan di depan 
kuda Suramanaik.
***
DELAPAN
Maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan 
sembarangan, Suramanik serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda 
berhenti dia segera memperhatikan tiga orang di hadapannya. Yang pertama
 seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong.
Lalu seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga 
seorang pemuda berwajah gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan 
kotor. Di atas punggung kudanya Suramanik duduk tak bergerak.
Dia menunggu sambil memperhatikan penuh waspada.
“Bukan dia…” berkata pemuda berambut gondrong.
“Memang bukan murid celaka itu,” menyahuti si orang tua.
“Ki sasak bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap
 menghindar dari hadapan kuda. Aku ada keperluan lain.” Suramanik 
akhirnya angkat bicara menegur.
“Harap maafkan,” yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara 
pemuda gondrong tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan 
dada. “Kami kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Bapak, apakah 
Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?”
“Tak seberapa jauh lagi. Di ujung sana,” jawab Suramanik. Dia 
perhatikan pemuda berambut gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan. 
“Kalian bertiga ini siapa adanya? Siapa pula orang yang tengah kalian 
cari?”
Kakek muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan 
ke sela bibir lalu meraba-raba pakaiannya. “Ah, sial sekali. Batu apiku 
entah kemana! Mulutku bakalan asam seharian ini!” Si kakek cabut rokok 
kawungnya lalu bicara perkenalkan diri.
“Si tua buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku
 ini bernama Sanjaya. Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng…”
“Astaga! Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama 
besar! Harap maafkan aku yang tidak melihat tingginya gunung!” Suramanik
 cepat-cepat melompat turun dari kudanya lalu membungkuk memberi 
penghormatan.
Jagat Kawung menyeringai. “Kau sendiri siapakah adanya?” Tanya orang tua ini kemudian.
“Ah, ah…” Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak 
memberitahu bahwa dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong 
dia merasa sungkan. Tapi akhirnya dia bicara juga. “Namaku Suramanik. 
Aku berasal dari gombong.”
“Gombong… Gombong… Gombong…” Jagat Kawung mengulang-ulang. “Apa kau 
pernah mendengar peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?”
Suramanik merasakan dadanya berdebar. “Peristiwa apa maksudmu orang tua?”
“Istri Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang jadi Kepala Pengawal.
Adipati tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya tiu. Sang 
istri kemudian msnikam dada bunuh diri.” Suramanik menatap wajah ke tiga
 orang itu berganti-ganti. Sebenarnya dia sudah mengetahui peristiwa 
itu. Justru saat itu dia tengah mencari si pembunuh Adipati Gombong itu.
Dia berpaling pada Sanjaya dan berkata. “Orang muda, tadi kau mengatakan tengah mencari seseorang.
Dari pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara Anakan. 
Siapakah orang yang kalian cari? Terus terang aku sendiri juga tengah 
mencari seseorang.”
“Orang yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam 
berbagai sosok. Tapi orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama 
Dipasingara alias Handaka alias Prana…”
Berubahlah wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu. 
Sebenarnya dia ingin bertanya mengapa ke tiga orang tersebut mencari 
Dipasingara. Suaranya bergetar ketika dia berkata.
“Kita mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada 
baiknya aku memberi keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal
 Kadipaten Gombong! Suatu ketika muncul seorang pemuda mengaku bernama 
Dipasingara. Dia inginkan jabatanku dengan cara menantang berkelahi. 
Jika aku dikalahkannya maka aku harus menyerahkan jabatanku padanya. 
Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan oleh sikap perbuatan dan ucapan 
pemuda itu. Aku tak mungkin mengelakkan tantangannya. Kami melakukan adu
 kekuatan. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Aku kalah.
Jabatanku hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian 
aku mendengar berita menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui. 
Adipati Kebo Panaran tewas di tangan Dipasingara. Istrinya menemui ajal 
bunuh diri.”
Suramanik diam sebentar lalu berkata. “Saudara bertiga, aku terpaksa meninggalkan kalian.”
Si gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama kalinya membuka mulut.
“Sobat berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?”
Kalau orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan 
meradang tersinggung. Tapi karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut 
gondrong yang menyandang julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini 
maka dia menjawab apa adanya.
“Ketika kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang 
perempuan muda aneh mengenaskan.” “Aneh bagaimana?” Sanjaya yang 
bertanya.
“Otaknya tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana…” Suramanik menunjuk ke arah timur.
“Pasti Wulandari!” kata Sanjaya setengah berteriak. “Aku punya 
firasat buruk sejak tadi pagi. ”Muka pemuda ini tambah pucat. Dia 
memandang pada Wiro dan si kakek. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia 
menghambur lari ke arah timur yang ditunjuk Suramanik. Wiro dan Jagat 
Kawung segera mengejar.
Suramanik melompat naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti orangorang itu.
Tak selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar bergulung-gulung memecah di pantai.
“Ini Teluk Segara Anakan!” menerangkan Suramanik. “Ada sebuah goa di 
sekitar sini. Belakangan ini kabarnya Dipasingara sering berada di 
tempat itu…”
“Kita cari goa itu sekarang juga!” kata Sanjaya.
Ketika orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi isyarat.
“Tunggu… Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-jeritan perempuan…”
Semua orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua 
Jagat Kawung berubah. “Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara
 tertawanya si keparat murid murtad Warangas! Datangnya dari balik 
gundukan karang besar sebelah sana…”
“Mari kita menyelidik!” kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak 
sabaran lalu mendahului berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro 
dan Jagat Kawung menyusul. Suramanik mengikuti.
Semakin dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara 
tawa. Suara jeritan perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan 
keras.
“Handaka manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!”
Begitu sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan 
disambut oleh satu pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut 
panjang awut-awutan dalam keadaan mengandung besar, dengan sebilah 
pedang di tangan menyerang habis-habisan seorang pemuda.
Dari gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat 
tinggi. Namun bila diperhatikan kentara sekali walau bagaimanapun 
hebatnya gebrakan ilmu pedang perempuan hamil, tingkat kepandaiannya 
masih di bawah lawannya. Kenyataannya si pemuda menghadapi gempuran 
mautnya sambil terus tertawa bergelak. Kedua orang itu bertempur di 
depan sebuah goa. Di mulut goa seorang gadis berkulit hitam manis 
berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan setengah mati. Gadis ini 
adalah anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di goa itu 
hendak digagahi oleh si pemuda.
Namun sebelum niat mesumnya kesampaian, perempuan muda bersenjata pedang keburu memergoki.
“Jahanam! Betul murid sesat itu rupanya!” merutuk Jagat Kawung dengan
 mata mendelik begitu dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur 
melawan perempuan muda bersenjata pedang.
“Warangas! Ajalmu sudah di depan mata!”
Sementara ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun 
dengan mata membeliak mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan 
perempuan muda itu.
“Wulandari…” suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan 
pandangan ke arah si pemuda, darahnya langsung mendidih. Dia tidak kenal
 dan sebelumnya tidak pernah melihat pemuda lawan bekas kekasihnya itu. 
Tapi dia yakin pemuda itu adalah Handaka alias Prana alias Dipasingara. 
Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya segera hunus pedangnya dan menyerbu ke 
kalangan pertempuran.
“Durjana keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!”
Warangas tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat 
hanya satu jengkal di samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua 
langkah, bersikap waspada sambil memasang kuda-kuda.
Pandangan matanya tidak berkesip. Hatinya mengira-ngira.
“Pemuda muka pucat! Siapa kau!” bentak Warangas.
Belum sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari. 
Gadis ini seperti melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya 
membentur Sanjaya. Dia lari ke balik gundukan batu karang rendah.
Di sini dia menangis dan berteriak-teriak tak karuan.
Belum sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang 
barusan menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat. 
Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke 
seluruh tubuh Warangas alias Dipasingara.
“Jahanam Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan 
di Kadipaten Gombong!” teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan 
diri.
“Penyesalanmu akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang
 ada yang mau mengubur!” jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan
 goloknya, dari arah lain Sanjaya telah menyerbu pula.
“Kalian boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad
 aku yang punya! Aku akan patahkan batang lehernya!” Kakek bernama Jagat
 Kawung menyerbu dengan tangan kosong, melepas Pukulan Baja Merah. 
Selarik sinar merah berkiblat menggidikkan.
Diserang tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat 
Warangas membuang diri ke samping lalu melompat setinggi satu tombak. 
Selagi mengapung di udara dia keluarkan senjata saktinya yaitu Kipas 
Pemusnah Raga.
“Srettt!”
Sinar hitam bertabur ke arah tiga penyerang.
“Lekas menyingkir!” teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya
 segera dipukulkan ke depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa 
Topan Manggusur Gunung. Pukulan sakti ini adalah warisan dari Tua Gila, 
tokoh sakti di Pulau Andalas.
“Bummm!”
Satu ledakan menggoncang teluk.
“Dess… desss!”
***
SEMBILAN
Warangas merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti 
dipelintir. Kipas hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat 
Warangas dorongkan tangan kirinya lalu melompat ke samping. Baru satu 
kakinya menginjak tanah tiba-tiba Sanjaya, Suramanik dan Jagat Kawung 
telah datang menyerbu kembali.
“Mengeroyok tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar
 aku yang mempesiangi!” teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya
 ketika pedang Sanjaya berkelebat dingin di samping telinga kirinya.
“Tidak perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala 
peradatan! Mari kita sama-sama berebut pahala mencincangnya!” teriak 
Sanjaya lalu kirimkan satu tusukan dan dua kali babatan.
Warangas kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar hitam yang memiliki 
daya kekuatan luar biasa membuat Sanjaya terdorong. Pemuda ini berlaku 
nekad. Sambil pukulkan tangan kiri kembali dia mengejar dengan serangan 
pedang.
“Sahabat, jangan berlaku bodoh!” berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat tarik tangan kiri Sanjaya.
“Wussss!”
Sinar hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk! 
Menghantam satu gundukan batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan
 berpelantingan di udara,.
“Breettt!”
Pakaian Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum 
habis kejutnya dari samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat 
Kawung mengarah leher. Kakek ini agaknya memang ingin mematahkan batang 
leher murid bejat itu. Warangas berlaku sigap.
Sambil miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.
Jagat Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh. 
Tendangan lawan hanya menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan 
dengan itu si kakek susupkan satu jotosan ke perut Warangas.
“Bukkk!”
Warangas keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana 
jebol. Dadanya sesak. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi 
hebatnya dia masih bisa berdiri walau dengan dua lutut sedikit tertekuk.
 Rahangnya menggembung.
“Awas. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Pendekar 212 
Wiro Sableng ketika melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur 
mengempis. Murid Sinto Gendeng ini segera pula alirkan tenaga dalamnya 
ke tangan kanan. Cepat sekali tangan itu berubah menjadi putih seperti 
perak menyala!
“Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!”
Warangas marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia 
melompat ke atas sebuah batu. Tangan kanannya berputar setengah 
lingkaran bergerak ke atas seperti mencungkil.
Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu 
menyapu ke arah Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro 
Sableng.
Di mulut goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang 
ini terguling roboh dalam keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas 
Pemusnah Raga menghantam dirinya.
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran 
selamatkan diri. Suramanik menjerit. Sosoknya berlutut di tanah. 
Pakaiannya sebelah kiri kelihatan hangus. Kulit dan sebagian dagingnya 
merah seperti terpanggang. Dengan kertakkan rahang dia mecoba bangkit 
berdiri.
Namun saat itu tanah dirasakannya bergetar hebat. Lalu ada sinar 
putih berkiblat menyilaukan disertai bertaburnya hawa sangat panas. Di 
depan sana Warangas keluarkan teriakan keras.
“Pukulan Sinar Matahari!” Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi diri.
Ketika taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur
 cahaya putih panas, satu letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk. 
Percikan bunga api bertebar dimana-mana.
Kuda coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri 
jatuhkan diri ke tanah mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan 
cahaya putih. Secara cerdik dia sengaja menggulingkan diri ke arah musuh
 yang dikenalnya dengan nama Dipasingara.
Jagat Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro 
sendiri terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh 
duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit dan pelipisnya seperti 
ditusuk-tusuk.
Warangas sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya 
keluar jeritan setinggi langit ketika melihat bagaimana kipas saktinya 
robek bertaburan di udara.
“Kipasku… kipasku…” Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah 
hangus kehitaman. Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang 
masih ada dalam genggamannya dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti 
mana mungkin dia menghadapi empat musuh berkepandaian begitu tinggi. Tak
 ada jalan lain. Dia harus melarikan diri mencari selamat.
Tidak menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu 
karang. Dia sama sekali tidak menduga kalau di balik batu karang ini 
justru ada yang menunggunya.
Satu sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari atas ke bawah.
“Wulandari!” Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan 
seruan tertahan. Dia berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi 
terlambat.
Mendadak sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit 
seperti mengoyak seluruh tubuhnya. Seakan-akan tanah yang dipijaknya 
roboh amblas, tubuh Warangas terbanting jatuh. Dua kakinya buntung 
sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan Wulandari. Darah 
membanjir! Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya 
bertambah dahsyat ketika Suramanik yang bergulingan mendatanginya 
membabatkan golok besarnya. Lalu dari jurusan lain pedang Sanjaya 
bertubi-tubi melanda tubuhnya.
“Orang muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!” Sosok Jagat Kawung melesat ke arah Warangas.
Dijambaknya rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika dia 
hendak memuntir tanggal kepala Warangas tiba-tiba satu sinar putih 
menderu. Cairan merah kental hangat membasahi pakaian dan muka putih 
kakek keriput itu. Jagat Kawung melompat mundur.
Sosok Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas 
pasir. Lalu sewaktu dia memperhatikan benda yang masih dijambaknya, 
kakek ini tersentak kaget. Benda itu adalah kepala Warangas yang sudah 
putus!
“Ih!” si kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke 
tanah. Wulandari menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang 
berdarah masih di tangan gadis ini lari ke arah laut. Wiro coba 
menghalangi. Tapi sambaran pedang ganas Wulandari membuatnya terpaksa 
mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat meneruskan larinya ke arah 
laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga sudah maklum apa 
yang akan hendak dilakukan bekas kekasihnya itu.
Dengan cepat dirangkulnya tubuh Wulandari.
“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!” teriak Wulandari.
“Sadar Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh diri adalah kesesatan tak terampuni!”
“Aku memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan! 
Aku sudah ditunggu Eyang Guru! Hik… hik… hik!” Wulandari meronta coba 
melepaskan rangkulan Sanjaya tapi tak berhasil. Mendadak dia ingat kalau
 saat itu masih memegang pedang. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya
 ke dadanya.
“Wulan! Jangan!” teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi 
terlambat. Pedang menancap masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini
 berteriak lalu tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap.
Sepasang matanya mendelik. Tapi ajalnya belum sampai. “Wulan… kenapa 
kau lakukan ini. Aku… aku masih mencintaimu. Kenapa kau tega 
meninggalkan diriku, Wulan?”
Suara Sanjaya tersendat serak.
Di saat kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah 
jernih. Air mata mengucur di kedua pipinya yang pucat. “Semuanya sudah 
kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni
 dosaku Sanjaya. Aku telah mengkhianati janji cinta kita. Sebenarnya 
akupun tetap mencintaimu… Selamat tinggal kakak…”
“Wulan! Adikku!”
Kepala Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan 
kedua tangannya. Berurai air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.
Suramanik tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali. 
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk 
kepala. (
Kisah segitiga antara Wulandari, Sanjaya dan Handaka alias 
Dipasingara bisa pembaca ikuti secara utuh dalam serial Wiro Sableng 
berjudul “Hidung Belang Berkipas Sakti”)
***
SEPERTI diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku 
Pulungan dan Nini Setan tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara 
Anakan dalam mencari pemuda bernama Warangas. Di satu tempat si kakek 
hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si nenek bermuka 
belang agar berhenti di sebelahnya.
“Aku mendengar suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi…” kata Riku Pulungan.
Nini Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. “Suara itu datang dari balik gugusan karang. Kita menyelidik ke sana!”
Dua orang tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih 
cepat sampai ke balik gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan 
berputar tapi lansung menerjang mendaki bukit rendah. Tepat pada saat 
mereka mencapai puncak salah satu gugus bukit karang tiba-tiba satu 
dentuman dahsyat menggelegar di seantero teluk. Bukit karang bergetar 
keras.
Sepasang kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing
 sebelum kuda-kuda mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke 
atas batu. Memandang ke bawah, kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan
 seruan tertahan. Wajahnya pucat, matanya mendelik dan sekujur tubuhnya 
terasa lemas.
“Nini, kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu…”
Si nenek bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam. Lalu berucap.
“Kipas itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari 
segala-galanya. Kita akan menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan 
bekas murid bejatmu ….. Orang-orang itu pasti akan membantainya!”
Ucapan si nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat 
kemudian. Di bawah sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas 
alias Dipasingara tengah menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas 
saktinya hancur dihantam pukulan Sinar Matahari dia berusaha melarikan 
diri. Tapi di balik bukit karang dihadang oleh Wulandari lalu diserbu 
oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat Kawung hingga akhirnya menemui 
ajal secara mengerikan.
Sosoknya tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.
“Aku mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi…” Riku Pulungan berucap perlahan.
Kakek ini mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.
“Kau mau kemana?!” bertanya Nini Setan. “Mau membuat perhitungan 
dengan orangorang yang telah membunuh muridmu?! Jangan bertindak bodoh!”
 Riku Pulungan hentikan langkahnya. Dia memandang pada si nenek 
saudaranya lalu gelengkan kepala. “Aku yakin orang-orang itu menghabisi 
Warangas karena mereka mempunyai dendam kesumat amat besar. Malah aku 
bersyukur mereka telah meringankan bebanku… Aku terlalu kecewa pada 
manusia satu itu.”
“Lalu mengapa kau mau turun ke pantai sana?” tanya Nini Setan kembali.
“Kipas Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa kayu dan gagangnya….”
Jawab Riku Pulungan.
“Kau gila? Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?”
“Aku akan membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku 
kembalikan padanya. Kalau dia bersedia aku akan minta Eyang Guru 
menggabung-gabunkannya kembali.
Menjadikannya untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti 
mandraguna. Kelak senjata baru itu akan kuberikan kepada muridku yang 
sekarang…”
“Hemm… Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya penuh pada muridmu yang sekarang ini?”
“Aku percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang 
dengan malam. Mungkin ini satu satunya kebajikan terakhir yang bisa aku 
buat sebelum menghadap Gusti Allah.”
“Terserah kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke
 balik karang sana dulu. Dari tadi aku menahan kencing! Hik… hik… hik…!”
Ketika Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga
 tiba-tiba seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak
 di hadapannya. Sesaat ke dua orang ini saling beradu pandang.
“Kek, kau tengah melakukan apa?” si pemuda menegur.
Sepasang mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat rajah tiga angka tertera di dada penuh otot.
“Jika mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah 
menduga, bukankah saat ini aku berhadapan dengan tokoh muda 
berkepandaian tinggi bergelar Pendekar 212, murid Sinto Gendeng dari 
Gunung Gede?”
Si pemuda yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali 
orang tapi orang mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk 
kepala dia berkata. “Orang jelek ini memang murid Sinto Gendeng dari 
Gunung Gede. Kau sendiri siapakah adanya Kek? Sedang apa di tempat ini? 
Kulihat kau memunguti cabikan-cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana 
kemana menghilangnya?”
Wiro melirik ke puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang di atas sana.
“Saudaraku itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa 
menahan kencing…” Si kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah 
Raga yang dipegangnya. Lalu berkata. “Seperti kau lihat sendiri, aku 
tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas ini… “
“Untuk apa?” Tanya Wiro heran.
“Aku tak bisa mengatakannya padamu, anak muda…”
“Kau juga tidak mau mengatakan siapa namamu?”
“Aku Riku Pulungan,” jawab si kakek.
Wiro tertawa bergelak.
“Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya si kakek heran.
“Cocok dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala sisa kipas rongsokan kau kumpulkan. Ha… ha… ha…“
Wajah putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan tertawa.
Wiro lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.
“Anak muda, tunggu dulu…” si kakek berseru.
“Ada apa?” tanya Wiro pula.
“Kalau umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan rongsokan kipas ini…”
Wiro pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya.
 Sambil melangkah pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. “Sial, dia 
bilang kalau umurku panjang.
Memangnya aku ini mau mati besok apa? Beberapa tahun di muka, aku 
akan bertemu lagi dengan kipas rongsokan itu. Edan…” Wiro garuk 
kepalanya. Ketika dia berpaling ke belakang, kakek aneh bernama Riku 
Pulungan itu tak ada lagi di tempatnya semula!
***
DUA HARI dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun 
orang yang ditunggu tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam 
ketiga, selagi matanya setengah terpejam karena tidak sanggup menahan 
kantuk, orang tua ini tiba-tiba merasa ada sambaran angin disusul 
berkelebatnya satu bayangan.
Satu sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku Pulungan.
Orang ini sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut itu begitu panjang hingga hampir menjela tanah.
“Eyang Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu
 menyangkut Kipas Pemusnah Raga…” Riku Pulungan sendiri adalah seorang 
kakek berusia hampir delapan puluh tahun.
Jika dia memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia paling tidak di atas seratus tahun.
“Tiga tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku Riku Pulungan, ikuti aku.”
Orang tua berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya
 enteng sekali seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia
 menyalakan sebuah lampu minyak lalu duduk di atas sebuah bantalan 
tipis. Riku Pulungan sendiri duduk membungkuk hormat di hadapannya.
“Apakah kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?” bertanya sang Eyang Guru.
“Saya sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam keadaan seperti ini.”
Lalu dari balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan robekan-robekan
 kipas, patahan kayu kipas serta bagian gagang kipas yang hangus. Benda 
itu semuanya diletakkan di lantai di hadapan Eyang Guru.
“Jika ada satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku ingin tahu siapa gerangan yang melakukannya?”
“Menjelang ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang 
ingin menuntut balas. Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut 
Naga Geni 212 Wiro Sableng….”
“Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?” Tanya Eyang Guru.
“Benar sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah menghantam murid saya dengan pukulan Sinar Matahari…”
Orang tua berjubah hijau terdiam sesaat. “Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan muridmu yang bernama Warangas itu?”
“Dia menemui ajal di tangan orang-orang itu,” jawab Riku Pulungan.
“Dia telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,” kata sang Eyang Guru.
Lalu dia menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini membuat Riku 
Pulungan merasa seperti ditindih batu besar. “Aku senang bertemu 
denganmu. Sisa-sisa kipas bisa kau tinggalkan di sini. Sebelum kita 
berpisah, apakah ada sesuatu yang hendak kau tanyakan atau hendak kau 
sampaikan?”
“Ada Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau 
permintaan saya ini Eyang anggap satu kelancangan atau tak mau belajar 
dari pengalaman. Saya mohon dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini Eyang
 bisa membuatkan satu senjata baru dalam bentuk yang sama, yakni sebuah 
kipas…”
Orang tua berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak 
tangannya satu sama lain. “Riku Puliungan, permintaanmu akan 
kuperhatikan. Tapi ada satu nasihatku padamu.
Jika kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan kaji dulu dalam-dalam.
Kau harus tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin peristiwa murid 
sesat seperti si Warangas itu terulang kembali. Hal semacam itu membuat 
rohku kelak tidak akan tenteram di alam barzah…”
“Nasihat Eyang akan saya ingat baik-baik…” kata Riku Pulungan pula.
“Aku dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain…”
“Benar sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Harapan saya sangat besar padanya…”
“Jika dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu 
senjata baru dan kuserahkan padamu, apakah kelak senjata itu akan kau 
berikan pada muridmu bernama Adimesa itu?”
“Saya tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi 
Eyang nasihatkan, saya harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung
 dan membuat kesalahan sampai dua kali.”
Eyang Guru anggukkan kepalanya. “Kau boleh pergi. Datanglah kemari 
satu tahun lagi. Siapa tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku 
bisa menciptakan satu senjata yang bermanfaat bagi dunia persilatan di 
tanah Jawa ini…”
“Saya mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk 
meninggalkan tempat ini.” Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa 
lalu berdiri. Setelah membungkuk dalamdalam dia segera tinggalkan tempat
 itu. Hatinya terasa lega. Satu tahun tidak terlalu lama.
Sementara menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang bernama Adimesa itu.
***
SEPULUH
Kita kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng 
bertemu dan ditolong oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan 
Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di atas 
sebuah gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi memulai penuturan riwayat 
dirinya.
CUACA pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih 
kebiruan. Angin segar bertiup sepoi sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan
 terdengar riak arus kali kecil, salah satu anak sungai Bengawan Solo 
yang mengalir dan menyuburi desa Kaliurang.
Di satu jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak 
lelaki duduk dia atas dua ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan 
enam tahun. Tubuh mereka walau kecil tapi tegap dan pipi mereka 
kelihatan merah segar pertanda keduanya memiliki badan yang sehat.
Sambil menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak tawa ceria.
“Kakak Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari 
batang padi untukku. Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang
 padi?”
“Adikku,” jawab anak satunya. “Membuat puput bisa kita lakukan 
kemudian. Kita harus melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini 
perlu dimandikan. Kau lihat sendiri, badan mereka sangat kotor, tubuh 
mereka mulai bau…”
“Tapi kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak mampir saja dulu di sawah. Jadi tidak pulang balik…”
Anak bernama Adisaka tersenyum. “Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku 
senang punya adik cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi 
pkiran nakal. Perintah orang tua tidak boleh diabaikan dengan alasan 
apapun. Jadi kita tetap harus memandikan kerbau-kerbau ini sesuai 
perintah ayah. Nah, sekarang kau mau memilih mana. Ikut jalan pikiranmu 
atau taat perintah orang tua…”
Si adik tertawa lebar. “Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang punya kakak sebaikmu.”
Adisaka ikut tertawa lebar. “Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah 
tinggi. Makin cepat kita memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa
 ke sawah mencari batang padi untuk puput…”
“Baik Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita 
sama-sama menyanyikan lagu Kami Anak Desa. Kau mau?” Adisaka mengangguk.
 Lalu dua anak kakak adik itu mulai menyanyi di atas punggung kerbau 
masing-masing.
Kaliurang desa tercinta
Terletak di kaki Gunung Merapi
Di sana kami dilahirkan
Alamnya indah penduduknya ramah
Kami anak desa
Bangun pagi sudah biasa
Hawa dingin tidak terasa
Kerja di sawah membuat sehat
Kerja di ladang membuat kuat
Kami anak desa
Rajin membantu orang tua\
Menolong Ibu di rumah
Membantu Ayah di sawah
Kami anak desa
Tidak lupa sembahyang mengaji
Rendah hati dan tinggi budi
Selalu unjukkan jiwa satria.
Dua kakak adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya 
mencapai satu pertigaan jalan. Di hadapan mereka kini terbentang daerah 
persawahan. Untuk menuju kali kecil tempat mereka biasa memandikan 
jerbau, keduanya harus membelok ke kiri. Belum selang berapa alam 
Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan tiba-tiba ada suara 
menggemuruh keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau hentikan lari 
melenguh keras ketakutan. Adimesa pegangi leher kerbaunya kuat-kuat. 
Dengan muka pucat dia memandang pada kakaknya. “Kak, kau dengar suara 
aneh di dalam tanah itu?”
“Aku dengar…”
”Apa yang terjadi?”
Adisaka memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah timur.
“Agaknya mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan sinarnya yang terik…”
Tanah kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari yang tadi.
“Kak, aku ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang dirantai mengamuk mau melepaskan diri…” kata Adimesa.
“Aku mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda 
meringkik, gaduh suara ayam, kambing dan ternak lainnya…” Adisaka juga 
mulai ketakutan.
“Kita pulang saja Kak,” kata adiknya.
“Ya, mari kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa…”
Baru saja Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan
 sinar terang disertai suara menggemuruh seperti ada satu ledakan 
berangkai di dalam perut bumi. Dua kakak beradik ini sama-sama 
memalingkan kepala ke utara dimana menjulang Gunung Merapi.
“Kakak! Lihat!” Adimesa berteriak. “Ada api menyembur dari puncak gunung!”
“Gunung itu meletus! Gunung Merapi meletus!” teriak Adisaka.
Saat itu udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi 
pemandangan. Udara mulai panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur 
cahaya merah menggidikkan lalu ada cairan membara mengucur ke luar dan 
cepat sekali menebar ke berbagai penjuru, menuju lereng dan seterusnya 
ke kaki gunung.
“Kak, kerbau-kerbau kita lari!” bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua
 kerbau yang tadi hendak dimandikan berlari ketakutan meninggalkan 
tempat itu. “Aku akan mengejar!”
“Jangan!” mencegah si kakak. “Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan memintas kembali ke Kaliurang!”
Dua kakak beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan. 
Keduanya mengalami kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga 
suara gemuruh dahsyat yang menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh 
terhenyak berulang kali.
“Kak, aku takut!” Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.
Adisaka cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat 
aman. Namun saat itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang 
adalah semburan-semburan sinar dan bendabenda aneh dari mulut gunung. 
Adisaka berlaku cerdik. Dia membawa adiknya lari menjauhi cahaya terang 
itu. Akan tetapi dua anak ini tak sempat lari jauh karena semburan 
benda-benda panas membara yang jatuh di rimba belantara menyebabkan 
kebakaran hebat luar biasa.
“Api dimana-mana…” ujar Adisaka. “Kita lari ke sungai. Harus ke sungai…”
Kembali Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.
Namun dua buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah 
belakang muncul suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang 
keluar dari mulut gunung Merapi. Dua anak kecil itu terkurung tak 
mungkin lari, tak mungkin menyelamatkan diri. Mereka tinggal menunggu 
mana yang lebih cepat. Dilahap api kebakaran atau digulung lumpur 
menyala!
“Kak…! Aku takut! Aku kepanasan…!” ratap Adimesa. “Kita … kita mau lari kemana?”
Saat itu mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa 
panas memanggang. Walau takut setengah mati tapi anak ini masih bisa 
berucap. “Adimesa, jangan takut! Pasti ada yang menolong kita! 
Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil Tuhan!”
Lalu dua anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak. “Ayah! Ibu! Tuhan! Tolong kami!”
Suara teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak 
pohon-pohon yang terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh 
gemuruh ledakan gunung yang menggoncang bumi. Dua tubuh kecil ini tak 
sanggup bertahan. Adimesa jatuh lebih dulu. Satu patahan batang pohon 
yang dikobari nyala api entah dari mana datangnya tiba-tiba melayang 
turun ke arah sosok si kecil Adimesa yang tergeletak di tanah. Melihat 
hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di atas tubuh adiknya untuk 
melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam 
menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam 
benaknya adalah ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan 
mengalami bahaya yang bakal merenggut jiwanya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. 
Dari kobaran api di samping kiri melesat seekor kuda besar berwarna 
putih. Bersamaan dengan itu serangkum angin dahsyat menderu membelah 
udara. Batang kayu besar menyala yang hendak menimpa tubuh Adisaka dan 
Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih, penunggangya seorang 
nenek berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan dengan satu 
gerakan cepat luar biasa menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia menggebrak 
tali kekang kudanya maka bersama tunggangannya itu dia menghambur lenyap
 dari tempat itu.
Hanya sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari
 jurusan yang hampir bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya 
ternyata seorang kakek berjubah putih. Kobaran api dan tebaran debu 
menghalangi pemandangannya.
“Jangan-jangan aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan anak itu lebih dulu…”
Penunggang kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan tubuhnya 
seolah terpanggang oleh kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari 
kaki kudanya hampir menginjak sosok kecil Adimesa yang tergeletak 
menelungkup di tanah. Binatang ini meringkik keras dan hentak-hentakkan 
kaki depannya sebelah kanan. Si kakek cepat meneliti ke bawah. Dalam 
keadaan begitu rupa untuk pertama kali dia melihat tubuh Adimesa. Tanpa 
tunggu lebih lama kakek ini segera membungkuk menyambar tubuh itu lalu 
secepat kilat menghilang dari tempat tersebut.
***
SEBELAS
DUA PULUH tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek 
berkuda hitam, di satu tikungan sungai yang arus airnya menderu keras, 
seorang pemuda berpakaian biru melompat dari satu potongan bambu ke 
potongan bambu lainnya yang bertebaran di atas permukaan air. Ada tujuh 
potongan bambu dan satu sama lain saling diikat dengan seutas tali. Di 
tangan kiri dia memegang setangkai daun kering berbentuk kipas. Sambil 
melompat daun kering di tangannya dipukulkan kian kemari. Ternyata angin
 yang keluar dari kipas daun ini sanggup membuat luruh daun-daun 
pepohonan rendah di tepi sungai!
Dari apa yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua 
jenis ilmu silat. Pertama ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang 
ilmu meringankan tubuhnya tanggung-tanggung saja pasti tidak akan mampu 
melompat di atas bambu-bambu yang berada di permukaan air sungai berarus
 deras dan selalu begerak kian kemari. Lalu ilmu kedua yang tengah 
dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu mempergunakan senjata aneh dari 
daun kering berbentuk kipas tadi dijadikan sebagai senjata pengganti.
Hampir seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya 
dia tidak akan berhenti kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu 
bahwa Ki Riku Pulungan memanggilnya. Si pemuda hentikan latihannya. 
Sambil melayang dia menyambar salah satu potongan bambu lalu menyeretnya
 naik ke daratan. Setelah menggulung tujuh potong bambu itu dengan tali 
pengikat dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar si pemuda 
merapikan pakaian dan rambutnya lalu cepat-cepat melangkah ke sebuah 
pondok terletak di satu tanah ketinggian.
Di dalam pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang 
tua ini memberi isyarat agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak 
seperti biasanya, kali ini si pemuda merasa ada debaran aneh di dadanya.
 Agaknya ada sesuatu hal penting yang hendak dikatakan orang tua itu 
padanya.
“Adimesa muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan 
tahun. Sambil menduga-duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan 
dirimu boleh meninggalkan pondok ini.
Muridku, ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di 
sini. Besok pagi-pagi sekali, selesai kau melakukakn sembahyang Subuh, 
kau boleh meninggalkan tempat ini. Kemana kau akan pergi, apa yang akan 
kau lakukan terserah padamu. 
Namun selalu ingat, setiap langkah yang
 kau jalani, setiap perbuatan yang kau lakukan, bahkan setiap ucapan 
yang kau keluarkan hendaklah selalu mengingat kepada Dia Yang Maha 
Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena hanya dengan selalu mengingat 
Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala perbuatan yang tidak 
baik dan terlindung dari marabahaya…”
“Semua ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik…” jawab pemuda bernama Adimesa itu.
Dalam hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun 
menunggu akhirnya dia diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di 
balik kegembiraan itu ada rasa sedih. Belasan tahun dia bersama Ki Riku 
Pulungan, menerima segala budi kebaikan, bukan cuma ilmu kesaktian dan 
ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan. Hingga dia tahu jalan lurus yang 
harus ditempuhnya demi keselamatan dunia akhirat.
“Sebagai bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata 
padamu. Senjata ini tidak aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga 
tahun. Setelah tiga tahun kau harus mengembalikannya padaku di pondok 
ini. Apakah kelak senjata ini akan kuserahkan padamu lagi atau tidak, 
belum dapat kuputuskan sekarang…”
Kembali Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang
 akan diberikan gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah 
mengajarkan ilmu silat dengan memakai senjata. Yang paling sering 
dilatihnya adalah ilmu silat aneh mempergunakan daun kering berbentuk 
kipas sebagai senjata.
Dari balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang 
ketika dikembangkan dan diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah 
sebuah kipas lipat memiliki tujuh buah jalur lipatan dan masing-masing 
jalur berlainan warna.
“Mungkin selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu 
melatih diri mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku 
sudah merencanakan bahwa kelak senjatamu adalah benda sederhana ini. 
Sederhana bentuknya tapi kehebatannya tidak di bawah keris, pedang 
ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas Pelangi, dibuat oleh guruku Kiai 
Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas juga, bernama Kipas 
Pemusnah Raga. Ini adalah satu senjata dahsyat yang bisa membunuh orang 
semudah kau membalikkan telapak tangan. Karena itu harap kau jaga 
baikbaik dan hanya dipergunakan untuk menghancurkan angkara murka, atau 
dalam keadaan terdesak menghadapi musuh yang tak bisa dibuat sadar 
dengan kata-kata dan nasihat. Ambillah kipas itu Adimesa…”
Si pemuda susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk 
sampai tiga kali baru dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi 
astaga! Bagaimanapun dicobanya mengambil, kipas itu tak sanggup 
diangkatnya dari atas tikar di hadapannya.
Dalam kejutnya si pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini 
tenang saja. Adimesa kembali coba mengambil kipas itu. Tetap tidak 
terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga luar. Masih tidak bisa.
Kini dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya
 jangankan kipas sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih 
bisa diangkat.
Alangkah terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat 
memercik di keningnya dan dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia 
tidak mampu mengangkat kipas itu.
Ketika dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai! Adimesa cepat 
duduk bersila. Pakaiannya yang tadi memang sudah basah oleh keringat 
sewaktu berlatih di sungai kini menjadi tambah basah. “Guru, maafkan 
saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak bisa mengangkat kipas
 itu.”
Ki Riku Pulungan tersenyum. “Muridku, agaknya ada satu hal yang 
mengganjal di lubuk hatimu. Hingga kipas itu merasa kurang tenteram 
untuk kau sentuh…”
“Saya… saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa…” jawab Adimesa.
“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu…” kata sang giuru pula masih tersenyum.
“Tenangkan dulu hatimu baru mulai berpikir.”
Si pemuda mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati, 
mengatur nafas dan jalan darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia
 akhirnya berkata.
“Maafkan saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya 
sewaktu tadi guru mengatakan bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama 
tiga tahun. Bukan diberikan untuk selama-selamanya…”
Senyum menyeruak lagi di mulut sang guru. “Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau kecewa?” tanya orang tua itu.
“Mungkin… Mungkin dua-duanya…” kata Adimesa mengakui.
“Itu penyebab kau tidak bisa mengangkat kipas,” ujar Ki Riku 
Pulungan. “Kipas itu walau benda mati tapi tetap saja mempunyai 
perasaan. Jika kau merasa sedih atau kecewa maka kipas ini akan merasa 
tidak tenteram berada di tanganmu. Itu sebabnya dia tidak mau diangkat, 
tidak mau ikut bersamamu.
Kecuali jika kau menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru 
itu. Kau sekali-kali tidak boleh berkecil hati karena kipas itu hanya 
kupinjamkan. Padahal itu cuma satu ujian bagimu. Dapat tidak kau 
memiliki senjata ini untuk selama-lamanya tergantung pada dirimu 
sendiri. Bagaimana kau menjaganya, bagaimana kau mempergunakannya…”
“Guru, kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya.” Adimesa susun 
sepuluh jari di atas kepala lalu membungkuk dan berucap. “Kipas Pelangi,
 maafkan diriku. Aku mengaku bersalah karena memiliki hati yang tidak 
lurus terhadapmu. Aku berjanji akan menjagamu baik-baik, mempergunakanmu
 secara baikbaik dan dengan ikhlas akan mengembalikanmu pada guruku Ki 
Riku Pulungan di masa tiga tahun mendatang.”
“Sekarang coba kau ambil kipas itu,” kata Ki Riku Pulungan pula.
Walau agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa ulurkan tangannya.
Begitu jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk menjalar 
memasuki tubuhnya. Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih 
ringan dari kipas daun yang selama ini dibuatnya untuk latihan!
Adimesa mencium kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya 
di atas pangkuan. Ki Riku Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu 
Adimesa seraya berkata. “Aku harapkan di masa tiga tahun mendatang, 
Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan dirimu…”
“Terima kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya 
banyak membuat kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati 
guru. Hanya sebelum pergi saya ingin menanyakan lagi, ingin meminta 
kejelasan mengenai diri saya…”
Ki Riku Pulungan usap jangut pendeknya. “Seperti yang pernah 
kuceritakan padamu, aku tidak dapat mencari tahu siapa adanya kedua 
orang tuamu. Aku hanya bisa menduga kau berasal dari sebuah desa di kaki
 selatan Gunung Merapi. Mungkin sekali desa Kaliurang. Aku pernah 
menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa itu telah lenyap, berubah 
menjadi hutan jati. Mungkin kau perlu menyelidik sendiri…”
Adimesa terdiam sejenak. “Guru, seperti pernah saya katakan pada 
guru, saya ingat sekali kalau saya punya seorang kakak laki-laki bernama
 Adisaka. Waktu bencana gunung Merapi meletus itu saya ada bersamanya. 
Saat itu kami dalam perjalanan ke sungai hendak memandikan kerbau…”
“Muridku, waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa pasti ingatanmu tidak keliru?”
“Saya merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu Merapi meletus. Kami berdua terkurung api…”
Ki Riku Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada 
peristiwa sekitar delapan belas tahun silam. “Terus terang dalam rimba 
persilatan tersiar kabar tentang diri kalian dua bersaudara.
Dikabarkan, salah satu dari kalian memiliki susunan tubuh luar biasa 
sempurna, yang tidak dimiliki kebanyakan anak-anak lainnya. Karena itu 
diam-diam banyak orang pandai yang mengincar salah satu dari kalian, 
ingin mengambil menjadikan murid. Hanya saja saat itu kabarnya agak 
sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara kalian berdua 
benar-benar memiliki susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri tanpa 
diketahui lain orang sudah mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki 
kesempurnaan itu.”
“Di antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang 
menginginkan dirimu adalah aku sendiri dan seorang nenek sakti yang 
kurang baik perangainya dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Selama beberapa waktu aku mengintai semua perilaku kalian berdua, 
kebiasaan kalian. Dimana kalian bermain dan apa saja yang kalian 
lakukan. Agaknya hal ini bukan cuma aku yang melakukan tapi juga 
dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai pada satu hari memutuskan 
untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga memilih hari yang sama. 
Kami tahu hari itu kau dan saudaramu akan memandikan kerbau di kali. 
Tapi tidak terduga terjadi bencana. Gunung Merapi meletus. Aku dan si 
nenek berebut cepat berusaha mencarimu Ketika berada di dalam rimba 
belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur menyala, kau kutemukan 
tertelungkup di tanah dalam keadaan pingsan…”
“Hanya saya sendiri?”
“Hanya kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana…”
“Aneh,” kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya bersama kakak Adisaka.
Dia berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk selamatkan 
diri! Mungkin kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah 
Hati itu…”
“Tidak dapat kupastikan…”
“Mungkin saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya 
siapa tahu saya bisa mendapat keterangan tentang kakak saya…”
“Manusia itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu…”
“Mungkin akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung badan saya akan mencarinya sampai kemanapun.”
Ki Riku Pulungan mengangguk. “Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau
 lakukan, muridku. Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar 
lagi saatnya untuk menunaikan sholat Lohor.”
Adimesa mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk 
memberi hormat pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian 
belakang pondok.
***
SETELAH mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu, 
Wiro coba mengingat-ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di 
Negeri Latanahsilam, berarti satu tahun sebelum itulah dia bertemu 
dengan orang tua bernama Riku Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum sendiri 
ketika dia ingat bagaimana dia mengatakan pada kakek itu sebagai seorang
 pemulung karena sewaktu ditemui dia tengah mengumpulkan sisa-sisa 
kipas. Dia kembali tersenyum begitu ingat bahwa Kipas Pemusnah Raga itu 
pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar Matahari sewaktu terjadi 
perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias Dipasingara alias 
Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.
Melihat Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.
Dalam hati dia membatin. “Pendekar ini benar-benar aneh. Aku 
bercerita panjang lebar. Dia hanya tersenyum-senyum…” Akhirnya pemuda 
ini berdiri dari batu yang didudukinya. “Sahabat Pendekar 212, aku 
terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi tiba, aku harus berada di satu 
tempat… Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar ihwal kakakku Adisaka 
agar memberi tahu aku…”
“Akan aku lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?” tanya Wiro.
“Kau benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan 
kalau tidak membuat janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu 
tempat. Kau boleh memilih tempat dan waktunya…’
“Kau saja yang menentukan…” ujar Wiro.
“Baiklah,” Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau 
kita bertemu di tempat ini lagi lima purnama dari sekarang?”
“Setuju!” kata Wiro.
“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal…”
“Tunggu dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan kawasan ini adalah kawasan Pangandaran…”
“Kau tak usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”
Wiro menggaruk kepala. “Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima
 kasih sekali lagi atas pertolonganmu menyelamatkan diriku…”
“Lupakan hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban bagimu…”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku 
Pulungan sewaktu mereka bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun 
yang silam. Kelak jika dia berumur panjang dia akan melihat kembali 
Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur berantakan itu dalam bentuk lain.
Ternyata ucapan itu memang terbukti. Murid si kakek yang bernama Adimesa muncul membawa Kipas Pelangi.
Tak lama setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai 
terang-terang tanah. “Aku akan menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku
 berada di teluk Penanjung, pasti aku bisa menemukan jurang itu. Aku 
harus yakin, sosoknya samar-samar kulihat itu benar-benar Pangeran 
Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke dalam jurang. Apa mungkin
 dia masih hidup? Atau rohnya yang tadi kulihat?”
***
DUABELAS
Sejak pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di 
pinggiran jurang batu karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya 
menghadapi kesunyian, tak ada yang bergerak, tak ada satu makhluk 
hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar dari batu karang di jurang itu 
telah diselimuti lumut.
“Tak ada maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari
 kuhantam jatuh ke dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun
 dia tidak mati sampai di dasar jurang, tidak masuk akal kalau dia bisa 
merayap naik selamatkan diri. Makhluk yang kulihat tadi, mungkin rohnya.
 Atau mungkin hanya bayangan alam pikiranku saja…” Wiro memandang 
kelangit. Sang surya mendekati titik tertingginya.
Saat itu baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Tanpa setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak 
belukar serta terhalang oleh gundukan batu karang yang menonjol, sejak 
petama dia berada di sana, sejak saat itu pula sepasang mata berbola 
mata pipih aneh memperhatikannya hampir tidak berkesip. Inilah sepasang 
mata makhluk berkepala singa yang dikenal dengan nama Singo Abang. 
Sesekali dia berpaling ke dalam goa memperhatikan sosok berpakaian hitam
 yang masih tergeletak pingsan di lantai batu.
“Pangeran Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan 
memaksa dia memberi keterangan. Aku sudah cukup lama menunggu…” Makhluk 
berkepala singa memandang ke arah tepi jurang di atas sana.
“Kalau saja Momok Dempet celaka itu tidak muncul aku pasti sudah 
dapatkan Kapak Naga Geni 212 miliknya. Apa yang dilakukan Pendekar 212, 
hampir setengah harian duduk di tepi jurang. Menyelidik?”
Di belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.
Dilihatnya tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah memperhatikan sejenak dia lalu membentak.
“Pangeran Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!”
Sosok Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya 
rambut awut-awutan Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu 
tubuh Pangeran Miring terangkat langsung didorongnya ke dinding goa. 
“Kau dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam. Kalau aku tidak 
mengobati umurmu paling lama hanya tinggal tiga hari…” Dua mata Pangeran
 Miring terbuka sedikit, lalu mengatup kembali. “Kau bunuh aku 
sekarangpun aku tidak takut!”
“Pangeran jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati! 
Apa kau masih belum mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis 
dan Kitab Wasiat Malaikat? Salah satu dari kitab sakti itu pasti ada 
padamu. Dimana kau sembunyikan?!”
Pangeran Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian. 
“Kau inginkan dua kitab itu? Ambillah!” dari balik pakaian hitamnya. 
Pangeran Miring keluarkan setumpuk lembaran-lembaran daun kering disusun
 demikian rupa seperti sebuah kitab. Di sebelah depan kitab itu tertera 
tulisan “Kitab Wasiat Iblis”. Di sebelah belakang ada tulisan berbunyi 
“Kitab Wasiat Malaikat”. Di sebelah dalam kitab daun itu tak ada 
sepotong tulisanpun.
“Jahanam kurang ajar!” Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab
 daun itu dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari 
daun-daun itu hancur bertaburan sebagian lagi menancap di dinding karang
 yang keras!
Pangeran Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu
 Singo Abang membenturkan kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas 
Pangeran Miring melosoh ke lantai goa, kembali pingsan tak sadarkan 
diri.
Singo Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro Sableng tak kelihatan lagi di tempatnya semula.
Malam itu pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang 
biasanya sering berdebur keras dan memecah di pantai kini hanya muncul 
sekali-sekali. Di langit bulan setengah lingkaran memancarkan cahayanya 
yang sejuk sementara bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip menambah 
indahnya pemandangan.
Di sebuah tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat 
bayangan berkelebat. Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat 
dipercaya karena mereka ternyata adalah empat orang gadis cantik 
berpakaian hitam sangat ketat hingga lekuk-lekuk tubuh mereka kelihatan 
dengan nyata. Dalam waku singkat mereka sudah sampai di ujung tanjung. 
Seperti memang sengaja menunggu di tempat itu, tampak berdiri seorang 
perempuan tinggi semampai, mengenakan pakaian berlapis manik-manik 
hingga berkilauan di bawah sapuan cahaya rembulan setengah lingkaran. 
Angin laut meniup belahan tinggi di kedua sisi pakaian hingga tersibak 
sampai ke pinggul, menyembulkan aurat yang putih mulus.
Perempuan bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke
 tengah laut lepas, membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.
Walaupun tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.
“Ratu, kami datang membawa kabar.”
“Kalian berhasil menemui orang itu?” bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia masih saja tegak membelakangi memandang ke laut.
“Kami melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan…”
“Seorang diri?”
“Betul. Dia hanya sendirian.”
“Apa yang dilakukannya di sana?”
“Tak jauh dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi 
kesana, memeriksa kuburan satu persatu. Ketika kami pergi dia masih 
berada di sana. Dua orang teman kami masih ada di sekitar situ, 
berjaga-jaga mengawasi orang itu.”
Perempuan bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk 
memberi penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar
 biasa cantiknya. Bola matanya berwarna biru. Di kepalanya ada sebuah 
mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Di tangan kanan dia 
memegang gagang sebuah cermin bulat yang didekapkan ke dada. Setelah 
pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke 
wajahnya. Bukan untuk memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di 
kejauhan.
“Aku melihat Candi Pawan…” gadis bermahkota yang dipanggil dengan 
sebutan Ratu berkata perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di 
depannya. “Aku melihat dua kawan kalian mendekam di balik satu pohon 
besar. Aku tidak melihat gadis itu… Tunggu dulu. Ada sesuatu bergerak 
dekat kuburan paling ujung. Bidadari Angin Timur. Hemm…. Memang dia… 
Gadis itu masih berada di pekuburan. Kalian boleh kembali. Bawa cermin 
sakti ini. Aku akan segera menuju Candi Pawan…”
“Ratu, kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu…”
“Tidak usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana.” Gadis bermata biru serahkan cermin bulat pada salah seorang gadis.
“Ratu, cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan…”
“Tidak usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi sekarang.”
“Ratu, kami tidak berani melawan perintahmu,” gadis di samping kiri 
berkata. “Tapi kami benar-benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di 
luaran tanpa cermin itu.”
Gadis yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.
“Mungkin kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian boleh tinggalkan tempat ini.”
Empat gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu 
berlari cepat ke ujung tanjung. Satu persatu mereka mencebur masuk ke 
dalam laut!
Siapakah adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang 
barusan masuk lenyap ke dalam laut? Dalam rimba persilatan tanah Jawa 
gadis bermata biru itu dikenal sebagai Ratu Duyung. Seorang gadis sakti 
mandraguna yang bisa hidup di dua alam yakni laut dan daratan. Empat 
gadis tadi adalah anak buah atau pengawalnya. (
Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
Setelah empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak 
segera tinggalkan tempat itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung 
semua hasil penyelidikan yang dilakukan anak buahnya. Lalu dalam hati 
dia membatin.
“Bidadari Angin Timur… Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di beberapa tempat.
Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar 212 
Wiro Sableng lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di 
kawasan selatan. Agaknya dia mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga
 jangan-jangan dirinya ada sangkut paut dengan lenyapnya Wiro. Kini 
bukan mustahil kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang 
didatangi orang. Kuburan yang diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa 
gadis itu berada di sana, malam-malam begini dia sengaja mendahului 
rencana pertemuan yang sudah ditetapkan…”
Ratu Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di 
sebelah samping kiri. Lalu sekali berkelabat sosoknya pun lenyap dari 
tempat itu.
Candi Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan. 
Dalam waktu tidak berapa lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan 
candi itu. Di balik dinding candi sebelah timur dia keluarkan suara 
seperti kicau burung. Dua orang gadis yang mendekam di balik pohon besar
 saling berbisik. “Ratu telah datang…”
Sekali lagi terdengar suara kicau burung. “Ratu memberi tanda. Kita 
boleh pergi dari sini…” Dua gadis di balik pohon tanpa suara dan 
tersamar oleh kegelapan malam segera tinggalkan tempat sejak tadi mereka
 bersembunyi.
Dari balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan. 
Seorang gadis berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan 
kuburan-kuburan tua yang hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun 
memiliki nisan. Gadis ini memiliki rambut berwarna pirang yang 
melambai-lambai ditiup angin malam. Tubuh, pakaian dan rambutnya menebar
 bau harum mewangi. Sambil berjalan pikirannya diputar dan hatinya 
membatin.
“Tidak ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal, tidak mungkin dimakamkan di tempat ini.”
Selagi berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis 
menangkap suara kicau burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan 
pepohonan yang ada di sekitar reruntuhan Candi Pawan.
“Aneh… Ada suara burung di malam hari.” Membatin gadis di tengah 
kuburan. “Aku menaruh firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm… 
Aku yakin dia bukan bangsa penjahat… Biar kupancing dia keluar dari 
tempat persembunyiannya!”
Dengan tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua. 
Di hadapan sebuah kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak 
menendang.
“Braakkk!”
Tanah kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.
“Braaaakkkk!”
Kuburan tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis berbaju biru ini membentak.
“Orang di dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau ingin kukubur hidup-hidup!”
Si gadis menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.
“Kau memang minta mati!” Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan
 kanannya diangkat ke atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu 
pukulan dahsyat. Tetap saja tak ada yang muncul.
“Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak termakan pancinganku!”
Baru saja si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan 
terdengar suara tawa berderai. Lalu muncul sesosok tubuh berpakaian 
bermanik-manik,melangkah tenang mendatangi gadis berambut pirang.
Gadis cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya 
ketika melihat siapa yang muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia 
menegur, orang itu telah menyapa lebih dulu.
“Sahabatku Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah 
kuburan, di kawasan terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau 
perbuat?”
Bidadari Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung pipit di pipinya kiri kanan.
“Ratu Duyung!” seru Bidadari Angin Timur. “Aku juga punya pertanyaan yang sama.
Gerangan apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu, 
mendatangi kuburan. Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut. 
Apakah tidak ada tempat yang lebih indah dari pekuburan ini hingga kau 
sampai tersesat kemari?”
Walau maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum. 
“Kita mempunyai kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara? 
Bukankah hari pertemuan untuk membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya 
tinggal beberapa hari di muka. Tapi agaknya kau telah bertindak 
mendahului kesepakatan…”
“Jangan kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai
 menyalahi aturan. Termasuk dirimu…” kata Bidaari Angin Timur pula.
“Tidak ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan 
orang yang sama. Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan 
rahasia lenyapnya pendekar itu?”
“Usulanmu baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi aturan…”
“Sahabatku Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa untungnya mengungkit-ungkit masa lalu?”
“Sahabatku Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu. 
Baiklah, aku tidak mau bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan 
dirimu dan kita bertemu lagi beberapa hari di muka dengan para sahabat 
lainnya, sesuai perjanjian.”
Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.
Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira hatinya benar-benar polos 
terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…” Sambil berkata 
sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke arah kuburan yang jebol 
akibat injakan kaki Bidadari Angin Timur tadi. Bola mata biru sang Ratu 
mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu dilihatnya
 bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya sedikit. Memperhatikan 
tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam kuburan. 
Ratu Duyung terpekik keras. Nyawanya seperti terbang dan tubuhnya 
laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke belakang!
***
T A M A T