tag:blogger.com,1999:blog-33090635276056723892024-02-08T09:47:57.690+07:00Kopi Paste & Ori Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.comBlogger366125tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-24762639393891576822021-07-30T10:53:00.004+07:002021-08-02T11:55:57.079+07:00Sepeda Chopper<p><br /></p><p>Awal Tahun 2021 kukira pandemi covid akan segera hilang, ternyata setelah liburan Idul Fitri 2021, malah makin menggila. Ketakutan dimana mana, bendera kuning terpasang dimana mana, dan Jalan jalan Pun banyak yang terpaksa di tutup demi mengurangi mobilitas warga. Meskipun pemerintah sudah bekerja ekstra keras, tapi kenyataannya, Indonesia belum mampu mengendalikan Pandemi ini.</p><p>Berbicara mengenai Pandemi Covid 19, ada satu rutinitas yang makin booming di tengah masyarakat. </p><p>Bersepeda... Aktivitas yang mampu meningkatkan perkenomian ini makin menggila di medio 2020.</p><p>Masyarakat yang dulunya awam dengan sepeda, kini ikutan latah membeli sepeda..</p><p>Sebenernya gw pun sudah mulai menabung untuk membeli sepeda, tetapi masih belum bisa mendapatkan sepeda incaran. maklumlah gw ini termasuk yang ikut ikutan tapi nyari yang beda atau ga pasaran... hehehehhehehehehe. </p><p>Ditahun 2021, animo bersepeda mulai menurun, maka peluang inilah yang gw manfaatkan. hukum kimia mengatakan, makin banyak permintaan, maka harga akan semakin mahal, begitu pula sebaliknya, ketika stok dipasaran meningkat, dan permintaan menurun, maka harga akan makin turun. Setelah beberapa kali hunting secara online dan offline, dapatlah sepeda yang sesuai keinginan. Demi memenuhi keinginan hati, keinginan dompet, dan tetap harmonis dengan istri, akhirnya gw memilih sepeda Bekas. </p><p>Meskipun bekas, gw berniat untuk merestorasinya dengan sekuat dompet dan skill otodidak diri.</p><p>Setelah sepeda terbeli, semangat 45 mulai tumbuh dihati. Beli semua peralatan restorasinya, ngumpet ngumpet belinya agar ga ketahuan istri, harga harus dibuat semurah mungkin di nota demi keamanan waktu di sidak "Menteri Keuangan", dan pinter2 atur waktu dengan keluarga agar sepeda tidak dibuang, karena terlalu sibuk saat ngoprek sepedanya. hahahahahahaha...</p><p>Setelah hanpir 1 bulan merestorasinya, akhirnya sepeda sudah siap gowes, dan yang terpenting siap dipamerin dijalanan...</p><p>Perlu cukup lama buat merestorasinya. Soalnya ngerjain sore setelah pulang kerja, beli peralatan online nunggu waktu lagi selama 3 hari. Dan sedikit bantuan dari teman saat mendesain beberapa titik untuk mempercantik desain.</p><p>Tapi apa mau dikata, ketika sepeda sudah siap di gowes...kondisi badan berkehendak lain. Badan terserang penyakit, dan harus drop semingguan, masuk angin campur radang dan batuk.</p><p> Lebih parahnya lagi, Pandemi Covid makin menggila.. Banyak warga yang terpapar, penuhnya rumah sakit dan langkanya alat medis makin membuat situasi begitu menghawatirkan. Yang seharusnya sudah bisa gowes kemana mana, akhirnya gw urungkan demi kesehatan bersama.. </p><p>Semoga pandemi ini segera cepat berlalu..... Aamiin..</p><p><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoBMRLc3lpzC4kU_n8_vAKfgba001p2zW64VUZyi6MOwNPD308UdH8C_E_gD2a7uDY7m98_aw0AIHaUxo1-yRxKdKMiN54sc64qIOB0_gSV2pimAWqqBN5TrC_6ecxc4qigHW1TqvsykA/s1728/choper+samping.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="1728" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoBMRLc3lpzC4kU_n8_vAKfgba001p2zW64VUZyi6MOwNPD308UdH8C_E_gD2a7uDY7m98_aw0AIHaUxo1-yRxKdKMiN54sc64qIOB0_gSV2pimAWqqBN5TrC_6ecxc4qigHW1TqvsykA/s320/choper+samping.jpg" width="320" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih95Y5VVAE9Eym4ryledlyxTd5ZblShmpKhyphenhyphenH1tiQqRkw0d8xVe8l9sODjLrKnp9TSRofR3SsAmqvEtps1z3RxuohlFZ68J9t1uPF2h9DBSfLbihkE4RnQbMNMPB59b8iQRgZxbVU6zTY/s1728/choper+depan.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="1728" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih95Y5VVAE9Eym4ryledlyxTd5ZblShmpKhyphenhyphenH1tiQqRkw0d8xVe8l9sODjLrKnp9TSRofR3SsAmqvEtps1z3RxuohlFZ68J9t1uPF2h9DBSfLbihkE4RnQbMNMPB59b8iQRgZxbVU6zTY/s320/choper+depan.jpg" width="320" /></a></div></div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilDhUQJNWu-gBfiOrb03fWEyVyUAZXiUfaz1NebLqIO7gHtpQgn5k42f4epgVGXuRehUqFQY6Cnq0QKunlxbnUxNjiwgaWNnOba9cavGreQHerRYqzGllMDZfPk_GU-DVtQUKtH0wxoEc/s1728/choper+belakang+samping.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="1728" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilDhUQJNWu-gBfiOrb03fWEyVyUAZXiUfaz1NebLqIO7gHtpQgn5k42f4epgVGXuRehUqFQY6Cnq0QKunlxbnUxNjiwgaWNnOba9cavGreQHerRYqzGllMDZfPk_GU-DVtQUKtH0wxoEc/s320/choper+belakang+samping.jpg" width="320" /></a></div><br /><br /><br /><br /><p>Nah itulah gambaran sepedanya. Meskipun belum keren tapi setidaknya itu hasil karya sendiri. </p><p>Tapi jangan salah ya, Framenya itu asli Wim Cycle loh, jadi bukan rakitan manual atau las lasan dari pipa besi jadi, lebih enak dalam bermanuver di jalanan..</p><p>Salam Gowes sepeda Unik.....</p>Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-82862058502538977682019-04-24T13:32:00.000+07:002019-04-24T13:32:03.592+07:00Lebih tepat "Jam berapa" atau "pukul berapa"?Mana yang tepat penggunaanya,<br />
jam 20:03<br />
atau<br />
pukul 20:03<br />
<br />
Bagi sebagian orang khususnya "people +62" di negara "berflower", mengganggap keduanya ga ada bedanya,<br />
artinya sama2 tepat. Tapi Tahukah kalian bahwa yang tepat adalah pukul 20:03. loh Kok bisa sih...?.<br />
<br />
seperti yang tertulis di Badan Pengembangan dan perbukuan kementerian pendidikan dan kebudayaan,<br />
disebutkan bahwa Kata "jam" menunjukkan makna 'masa atau jangka waktu', sedangkan kata "pukul"<br />
mengandung pengertian 'saat atau waktu'. Dengan demikian, jika maksud yang ingin diungkapkan<br />
adalah 'waktu atau saat', kata yang tepat digunakan adalah pukul, seperti pada contoh berikut.<br />
Rapat itu akan dimulai pada pukul 10.00 Sebaliknya, jika yang ingin diungkapkan itu 'masa'<br />
atau 'jangka waktu', kata yang tepat digunakan adalah jam, seperti pada kalimat contoh berikut.<br />
Kami bekerja selama delapan jam sehari. Selain digunakan untuk menyatakan arti 'masa' atau jangka waktu',<br />
kata jam juga berarti 'benda penunjuk waktu' atau 'arloji', seperti pada kata jam dinding atau jam tangan.<br />
<br />
lalu kenapa sih harus kata "pukul", bukan "ketuk", "Ketek", "clock" atau kata lainnya.<br />
Seorang Pria berinisial "R2003R" yang gagah perkasa, baik hati, tidak sombong, ramah lingkungan<br />
dan idola para wanita, menerangkan bahwa Sejarah digunakannya kata "pukul" di indonesia bermula<br />
dari kebiasaan dan budaya di Indonesia.<br />
Pada Jaman dahulu, untuk menandai pergantian waktu orang menggunakan Kentongaan, disekolah menggunakan<br />
besi yang dipukul untuk menandai waktu, dan saat Ronda Malam. Pernah merhatiin ga, kalo di tempatnya<br />
ada yang ronda, tiba tiba ada bunyi besi atau kentongan dipukul satu kali, "teng" atau "tong"....<br />
yang artinya pukul 1 malam, dan seterusnya. Kebiasaan seperti itu yang kemudian melekat pada penggunaan<br />
Kata "pukul" lebih familiar untuk menentukan waktu.<br />
<br />
Terlepas penting atau tidaknya mengetahui perbedaan diantara keduanya,<br />
setidaknya jika ditanya anak kecil kita bisa menjelaskan alasanya. akakakakakak<br />
<br />
Merdekaaa....Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-78391671452619264072019-03-26T09:30:00.002+07:002019-03-26T09:30:22.459+07:00Misteri Patung Kamasutra<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVNjnHELE5_QECB606Xwb3DAK2egBREn2u-gn32dVwUOoWUp7YJypxpvsGuOb_E4YLtE0ng2YY4bZJUa-iKxFz5t-yyoOG0WGv2n7HceOZB5rYadKWW5sIwIV1E4JBYm-Pjg18sCuo3E0/s1600/petaka+patung+kamasutra.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="522" data-original-width="360" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVNjnHELE5_QECB606Xwb3DAK2egBREn2u-gn32dVwUOoWUp7YJypxpvsGuOb_E4YLtE0ng2YY4bZJUa-iKxFz5t-yyoOG0WGv2n7HceOZB5rYadKWW5sIwIV1E4JBYm-Pjg18sCuo3E0/s200/petaka+patung+kamasutra.jpg" width="137" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3DqEIPW50h-SldmxK6YZlx1c5yOd5VYEGh4dVsYIH7wwoYRYV0D0WggfdMsQLDMhl2Sb-wxh-4W7uVa1591Msv9-32AX_eCWj7IMIJ_rAh5FFPStY41YhkhcOPO5QzPejsEDR3uMozKc/s1600/misteri+bunga+noda.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="428" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3DqEIPW50h-SldmxK6YZlx1c5yOd5VYEGh4dVsYIH7wwoYRYV0D0WggfdMsQLDMhl2Sb-wxh-4W7uVa1591Msv9-32AX_eCWj7IMIJ_rAh5FFPStY41YhkhcOPO5QzPejsEDR3uMozKc/s200/misteri+bunga+noda.jpg" width="140" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3DqEIPW50h-SldmxK6YZlx1c5yOd5VYEGh4dVsYIH7wwoYRYV0D0WggfdMsQLDMhl2Sb-wxh-4W7uVa1591Msv9-32AX_eCWj7IMIJ_rAh5FFPStY41YhkhcOPO5QzPejsEDR3uMozKc/s1600/misteri+bunga+noda.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-size: x-small;"></span></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9UxjGnq1NNnYGYUlAlK-uqKRdXPGuwiKFIqvW5Ajiavj43egsoWCXKgXblVmruEFnGJ1bKAlPLCNfCBHjwC8gNSpcRpX1u-K6KPCu8hoDliAUu6esnxvRPq8F2XT6QBO6j5j7DAnpZbc/s1600/topan+di+gurun+tengger.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="438" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9UxjGnq1NNnYGYUlAlK-uqKRdXPGuwiKFIqvW5Ajiavj43egsoWCXKgXblVmruEFnGJ1bKAlPLCNfCBHjwC8gNSpcRpX1u-K6KPCu8hoDliAUu6esnxvRPq8F2XT6QBO6j5j7DAnpZbc/s200/topan+di+gurun+tengger.jpg" width="136" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyZFX5JoZfja4_NQHGejDS8bR32oh6HMvXFo1saN6SSB1l7z4r6c8wx1pPbm4Gs8-ySmupZPYVWUIfcvKtBIRYAqY8Betzux_KygnduPOawhskMpP4_ECT6pSYG8mniSefp_Dje4yssSY/s1600/sang+pemikat.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="429" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyZFX5JoZfja4_NQHGejDS8bR32oh6HMvXFo1saN6SSB1l7z4r6c8wx1pPbm4Gs8-ySmupZPYVWUIfcvKtBIRYAqY8Betzux_KygnduPOawhskMpP4_ECT6pSYG8mniSefp_Dje4yssSY/s200/sang+pemikat.jpg" width="139" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-ywza3MmUxP8/XJmINApmtAI/AAAAAAAAMQQ/ufWf-r6JS7E55O7et43o2saGLkRZGQ11QCLcBGAs/s1600/insan%2Btanpa%2Bwajah.png" imageanchor="1" style="clear: left; display: inline !important; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="638" data-original-width="423" height="200" src="https://2.bp.blogspot.com/-ywza3MmUxP8/XJmINApmtAI/AAAAAAAAMQQ/ufWf-r6JS7E55O7et43o2saGLkRZGQ11QCLcBGAs/s200/insan%2Btanpa%2Bwajah.png" width="132" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvZSHoX8pLiO96VhLeE1dYOcw1YdUntWbqqj4aed8FZt_gV8D6cambNpQ05jKnd2brk1EWnLtoKaQtfw2ObcPqB60IslO5S_zLAlREKDpIL3AhLxsj89WigWQ6Q_ZaEbJUcmnUuHaWR9Q/s1600/nyawa+titipan.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="436" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvZSHoX8pLiO96VhLeE1dYOcw1YdUntWbqqj4aed8FZt_gV8D6cambNpQ05jKnd2brk1EWnLtoKaQtfw2ObcPqB60IslO5S_zLAlREKDpIL3AhLxsj89WigWQ6Q_ZaEbJUcmnUuHaWR9Q/s200/nyawa+titipan.jpg" width="137" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Ratusan Tahun yang lalu, pada Masa Kerajaan Singosari, Suma Mahendra bertapa selama 30 tahun di gunung bromo dengan tujuan mencari kesaktian untuk membunuh Ken Arok. Suma Mahendra berniat untuk menuntut balas atas kematian pamannya yang tewas di tangan Ken Arok.<br />
Namun setelah pertapaan selesai Ken Arok telah meninggal. Menurut para dewa, Suma Mahendra tidak akan mendapatkan seluruh kesaktian dari Kitab Jagat Pusaka Dewa.<br />
Dia akan mendapatkan keseluruhan kesaktian melalui tangan orang lain. Suma mahendra akan menitis<br />
pada manusia lain, dan dengan tubuh itulah dia akan mendapatkan kesaktian dari kitab tersebut.<br />
Ratusan tahun kemudian, Suma Mahendra menitis pada bayi yang bernama Cakra Mentari. Utusan yang<br />
kelak akan memberikan kitab jagat pusaka Dewa, berpesan pada Ayah cakra mentari untuk memberikan<br />
kitab tersebut setelah cakra telah berusia 20 tahun.<br />
Namun rencana tersebut menjadi berantakan ketika Insan Tanpa wajah menukar kitab tersebut dengan Kitab Jagat Pusaka alam gaib. Kitab yang kelak akan menebar malapetaka dimana mana.<br />
Cakra mentari yang pada akhirnya dibawah kendali Insan tanpa wajah akibat salah membaca Kitab, kini<br />
menjadi pendekar penebar malapetaka.<br />
<br />
<br />
Sebelum insan tanpa wajah berhasil menguasai Cakra mentari, terjadi kejadian menggemparkan di Gurun Thar, India. Patung kamasutra yang berada di bawah pengawasan Resi Ketua Khandwa Abitar dan Resi Kepala Mirpur Patel mendadak Hilang. Merasa bersalah dengan kejadian tersebut, Resi Kepala Mirpur Patel akhirnya bunuh diri dihadapan Resi Ketua Khandwa Abitar.<br />
<br />
20 Tahun Setelah kelahiran cakra, Sumenep dan wilayah disekitarnya dibuat geger.<br />
Banyak para Wanita menjadi korban Perkosaan dan pembunuhan. Bahkan Liris merah yang merupakan saudara Lilis biru juga menjadi korbannya. Wiro sableng yang hendak menolong Raden ayu ambar sari, "cucu Pangeran tua Wirapala" dari perkosaan malah mendapat kesialan. Akibat Fitnah yang dibuat oleh Cakra, Wiro harus disekapdan di tahan di ruang Rahasia di Kotaraja. Wiro yang mendapat Fitnah telah memperkosa dan membunuh Raden Ayu Ambar sari, dan akan dihikum gantung oleh kerajaan.<br />
<br />
Wiro yang akan dihukum gantung, berhasil ditolong oleh Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu, tapi tidak berhasil memusnahkan totokan yang dilakukan oleh cakra. Cakra yang memiliki kesaktian dan kelicikan yang laur bisa,berhasil mengecoh Wiro sableng dengan berpura2 membantu melepaskan totokannya tersebut. Akibatnya, wiro seperti keluar dari mulut buaya tapi masuk ke mulut harimau. Totokan memang buyar, tapi Wiro gantian terkena racun yang mengancam masa depanya. Ki Tambak Pati dan Setan Ngompol secara tidak sengaja menemukan Wiro yang dalam keadaan terkena racun. Sekali lagi disini Cakra bermain dengan kelicikannya, dengan berpura2 menolong mereka saat<br />
diserang orang2 dari Keraton Kali Ningrat. Dia memancing Lilis Biru untuk pergi ke Kuto Gede.<br />
<br />
Wiro yang sedang terluka, berhasil diobati oleh teman2nya dengan bantuan Kitab 1000 pengobatan. namun untuk mengobati kejantanannya belum ditemukan cara mengobatinya. Yang menjadi kesedihan terdalam dalam kisah ini adalah tewasnya Luh Kentut oleh serbuan teman2 Wiro sableng saat terjadi proses penyembuhan Wiro.Dalam terpukulnya Wiro akibat blm sembuhnya kejantanannya ditambah tewas Luh kentut, Wiro memutuskan untuk bertemu Dengan Eyang Sinto Gendeng Di Gunung Gede dan akan menghabiskan Masa Hidupnya sebagai seorang pertapa.<br />
Liris biru yang menuntut balas akan kematian kakaknya,Liris Merah, pun akhirnya tewas di tangan Cakra.<br />
Berkat bantuan Deewana Khan yang memberikan Kitab Jagat pusaka dewa pada melalui Purnama, Wiro akhirnya berhasil mendapatkan petunjuk cara mengalahkan Cakra mentari. pada petunjuknya, Cakra baru bisa dikalahkan jika pelindung gaibnya berhasil dibuka. Perlindungan Gaib Cakra mentari sirna setelah insan tanpa wajah berhasil dikalahkan oleh Resi Ketua Khandwa Abitar. Resi Ketua Khandwa Abitar juga meminjamkan jurus kepada Wiro sableng untuk mengalahkan Cakra Mentari.<br />
<br />
Kisah ini lumayan panjang. Terdiri dari 6 judul,<br />
Petaka Patung Kamasutra, Misteri Bunga Noda, Insan Tanpa wajah, Sang pemikat, Topan di Gurun Tengger,dan Nyawa Titipan. Sebenernya waktu membaca sempet merasa bosan juga karena terlalu panjang mengulas sosok Cakra Mentari. tapi mungkin inilah Bastian Tito, meskipun agak turun ritmenya, tetep bikin penasaran untuk membaca sampai akhir ceritanya.<br />
<br />
Yang patut menjadi diskusi di kisah ini adalah,<br />
Siapakah dewi Pemikat?<br />
Siapakah Insan Tanpa Wajah?<br />
Kenapa Resi Kepala Mirpur Patel memilih Cakra mentari sebagai korban yang kebetulan titisan Suma Mahendra?<br />
Apakah Kejantanan Wiro sableng berhasil disembuhkan?<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-11738723023114771572019-03-18T15:09:00.002+07:002019-03-18T15:28:57.241+07:00Petualanagn Wiro Memecahkan Misteri Dadu SetanSetelah kematian Pangeran Matahari, Kisah Wiro Sableng selanjutnya dimulai dengan Kisah "Dadu Setan".<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT3uj7yQ7wnB0KkOSWBswpw2qHuGx4iXyjCjVNXoc-AT5u0O4NyLvtY4Sf4XjP-GCgSoYXbvlSDoeDfguQDXKqQFkj67UV1Yr6YjKTajQcXgaVSTqrYQd2heI_4Fv50iZh0eynUFu0JT4/s1600/149.+Si+Cantik+dari+Tionggoan.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="320" data-original-width="220" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT3uj7yQ7wnB0KkOSWBswpw2qHuGx4iXyjCjVNXoc-AT5u0O4NyLvtY4Sf4XjP-GCgSoYXbvlSDoeDfguQDXKqQFkj67UV1Yr6YjKTajQcXgaVSTqrYQd2heI_4Fv50iZh0eynUFu0JT4/s200/149.+Si+Cantik+dari+Tionggoan.jpg" width="136" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcokTgPaAtXa6_xSpZrwo1F0LE2DZpw2jrxTU94s2wqOQmqP4MDeJGQPOAaGNTZh4NydnyWudHiK2LCxNYkKMy_XrObP-IJzZOD-JA8dFubcDomt3wqZJxTxFx9cn2enE70M4qGOh9dFk/s1600/WS148+dadu+setab.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="441" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcokTgPaAtXa6_xSpZrwo1F0LE2DZpw2jrxTU94s2wqOQmqP4MDeJGQPOAaGNTZh4NydnyWudHiK2LCxNYkKMy_XrObP-IJzZOD-JA8dFubcDomt3wqZJxTxFx9cn2enE70M4qGOh9dFk/s200/WS148+dadu+setab.jpg" width="135" /></a></div>
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRR87OXTTA5ZehACWWDrTuF-sZ5xgXrz_qPa2ijwd6Dl_Ix3xlHy0NMzZZNDRFqVhOd_PMyK5JGPgIsMYm8ASSgtP-MHNSgdHE6Up9eOe7UOva2r46BA2dU7mjLjiGpajsQbBVjq6Kx8k/s1600/WS151+sang+pemubunh.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="438" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRR87OXTTA5ZehACWWDrTuF-sZ5xgXrz_qPa2ijwd6Dl_Ix3xlHy0NMzZZNDRFqVhOd_PMyK5JGPgIsMYm8ASSgtP-MHNSgdHE6Up9eOe7UOva2r46BA2dU7mjLjiGpajsQbBVjq6Kx8k/s200/WS151+sang+pemubunh.jpg" width="136" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ24Eyo7nIC43BzeLQEW_neqE_Q2njyuuM1vD9mIq4vxmUNNpTzjdx3cTEnrWJVTZ2sT6u5GCgLd4PIsoi7b7q5QXLdm6QS4S_51VhcZ8Qhvde6r5_FGlFoOxY8JosNG1cIqzVOWgWuQ4/s1600/WS150+pedang+naga+merah.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="441" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ24Eyo7nIC43BzeLQEW_neqE_Q2njyuuM1vD9mIq4vxmUNNpTzjdx3cTEnrWJVTZ2sT6u5GCgLd4PIsoi7b7q5QXLdm6QS4S_51VhcZ8Qhvde6r5_FGlFoOxY8JosNG1cIqzVOWgWuQ4/s200/WS150+pedang+naga+merah.jpg" width="136" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dadu setan yang berasal dari negeri cina, menghilang dan diduga berada di tanah Jawa.<br />
Banyak korban yang berjatuhan demi mendapatkan Dadu setan tersebut.<br />
sebut saja dua utusan dari Cina yang bernama Siauw Cie dan Bun Pek Cuan.<br />
Nyi inten Kameswari, Hantu Hitam, Hek Chiu Mo, eyang sepuh kembar tilu,<br />
Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng. Apesnya, Eyang sepuh kembar Tilu secara tidak sengaja bertemu dengan Wiro sableng sebelum kematiannya.<br />
Sebelum menemui ajal, Dia berpesan pada Wiro Sableng untuk mencari tau siapa pembunuhnya agar saudara kembarnya tidak menjadi gagu kembali.Perlu diketahui bahwa, Kembaran Eyang Sepuh kembar<br />
Tilu akan menjadi gagau selamanya jika Pembunuh Eyang Sepuh tidak di bunuh.<br />
Dalam mencari pembunuh Eyang Sepuh Kembar Tilu, Wiro bertemu dengan Kiang Loan Nio Nikouw, paderi dari negeri cina yang memiliki pedang Naga merah, Liong Ok Cun,"kakak Perguruan Nio Nikow", dan orang2 dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.<br />
Lewat kisah ini pula lah, diketahui bahwa pedang naga suci dan pedang naga geni. memiliki seorang anak bernama Putra Langit. Titisan putra langit itulah yang menjadi sosok<br />
Pedang Naga Merah yang saat itu berada ditangan Kiang Loan Nio Nikouw.<br />
Apa sebenernya Dadu Setan Itu?<br />
Apa Kesaktiannya sehingga menjadi rebutan dunia persilatan?<br />
Bagaimana Pedang Naga Merah Bisa ada ditangan Paderi Cina Itu?<br />
Siapa pembunuh eyang Sepuh kembar Tilu?<br />
Apa Itu Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga?<br />
Dapat Kita ikuti dalam Rangkaian Kisah dadu setan yang terdiri dari 4 episode, Dadu Setan, Si Cantik dari Tionggoan, Pedang Naga merah, dan Sang Pembunuh.<br />
<br />
Akhirnya kisahnya Dadu setan berhasil ditemukan Wiro dan diserahkan Pada Kiang Loan Nio Nikouw.<br />
Pedang Naga Merah pun Berhasil Wiro Sableng serahkan kepada Kiai Gede Tapa Pamungkas. Karena Wiro berhasil menemukan dan membunuh sosok pembokong Eyang sepuh, Kembaran Eyang yang gagu kini telah kembali dapat berbicara.Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-76152594930347899762019-02-27T14:24:00.001+07:002019-02-27T16:07:36.140+07:00Sosok Pangeran Matahari " Musuh Bebuyutan Wiro Sableng"Pangeran Matahari<br />
Ketika kemunculan pertama kalinya pada episode "pangeran matahari dari puncak merapi" sosok satu ini memang menjadi biang kerok kejahatan rimba persilatan. Selalu menjadi dalang malapetaka di mana mana yang tujuannya hanyalah untuk membunuh wiro sableng dan menjadi penguasa dunia persilatan.
Sosok ini seperti sosok penting dalam kisah Wiro Sableng yang bisa di bilang "Ga Ada Matinya"
Kisahnya yang hampir mati terus ga jadi, Dianggap sudah mati ga taunya idup lagi,
bahkan setelah mati pun mendadak muncul lagi, benar2 membuat pembaca Wiro Sableng seperti
dibuat penasaran sekaligus Geregetan.<br />
<br />
Beberapa kisah diantaranya seperti yang dituturkan dibawah ini.<br />
Ketika pangeran matahari menyekap bunga dalam episode "Kutunggu di Pintu Neraka".
Pangeran matahari yang pada waktu itu memiliki "cincin warisan setan" memklaim dirinya sebagai "Raja siluman".
Menjadi penguasa Kerajaan Siluman, pangeran matahari menyekap Bunga yg akan dijadikan umpan untuk membunuh wiro sableng. Wiro Sableng yang dibantu oleh Dewi Merak Bungsu dan kakek segala tahu, akhirnya berhasil menyelamatkan bunga dan keluar dari kerajaan siluman.<br />
<br />
Pada kisah Guci setan, dia Berperan sebagai Ki Ageng Lentut
Ki Ageng lentut adalah Kuncen Makam Pangeran Banowo.
Dengan kelicikannya, Pangeran matahari, memperkosa dan membunuh istri Suro Jelantik. Dan menyebar isu tentang kesaktian sebuah Guci Setan yang bisa mengetahui apa saja dari Masa depan dan masa lalu melalui Bantuan Kuncen dari Makam Pangeran Banowo yang bernama Ki Ageng Lentut. Guci sakti yang tersimpan di kerajaan, akhirnya berhasil didapatkan oleh Ramada Suro jelantik.
Lewat Guci itulah ki ageng lentut menyebar fitnah dengan mengatakan pada Suro Jelantik bahwa yang memperkosa dan membunuh istrinya adalah Pendekar Naga geni 212. Wiro Sableng.<br />
Pada perjalanan, Suro jelantik malah tewas di tangan Sangkolo bumi, alias Ki Ageng Lentut,alias
Pangeran Matahari. Setelah berhasil menyingkirkan suro jelantik dan menguasai Guci Setan. Pangeran Matahari berniat membunuh Wiro sableng, namun berkat bantuan Bidadari Angin Timur, usaha tersebut gagal, dan Guci setan yang menimbulkan malapetaka pun Ikut hancur dalam Pertempuran.<br />
<br />
Pada episode "Wasiat Iblis" sampai "kiamat di pangandaran".
Pangeran matahari yang telah mendapatkan Kitab wasiat iblis melakukan rencana jahat terhadap rimba persilatan. Dengan memperalat Pandan Arum, beberapa kali Pangeran matahari berhasil, menjebak wiro sableng dan mengumpulkan para tokoh sesat untuk melakukan pertempuran di pangandaran.
Pangeran Matahari bersekutu dengan Tiga bayangan setan, elang setan, si muka bangkai,jarot ampel, mahluk pembawa bala, dua mahluk berkulit hitam delapan tokoh kembar, melawan
Wiro Sableng dibantu oleh iblis tua ratu pesolek, si raja obat delapan penjuru angin, ratu duyung, dewa ketawa, puti andini, iblis pemabuk, bidadari angin timur, tua gila dari andalas, sinto gendeng, dan bujang gila tapak sakti,
Seluruh pendekar tersebut berkumpul di Pangandaran dan terjadi pertempuran yang dahsyat.
Pangeran matahari yang berhasil mencuri kapak sakti 212 dan batu pasangannya, bertempur hidup mati dengan wiro sableng. berkat perlindungan kitab wasiat iblis, Pangeran Matahari berhasil membuat wiro sableng kewalahan dan hampir saja berhasil membunuh Wiro sableng. Namun pada saat yang terdesak akhirnya Wiro memanggil Datuk rao Bamato Hijau. Pangeran Matahari menjadi leleh nyalinya setelah Datuk Rao bamato hijau berhasil menghancurkan kitab wasiat iblis yang ada pada dirinya. Dengan hancurnya kitab tersebut,pelindung sakti pangeran matahari menjadi lenyap, dan Wiro berhasil mengalahkan dan memukul pangeran matahari hingga jatuh ke Jurang.<br />
<br />
Berkisah setelah Wiro Sableng kembali dari Negeri Latanahsilam, Lagi lagi Pangeran matahari
muncul kembali. Setelah Pertempuran hidup dan mati dengan para Pendekar Golongan Putih pada Episode Kiamat di pangandaran, secara mengejutkan pangeran matahari muncul lagi di episode Kembali ke tanah Jawa. Ternyata kematian yang diharapkan oleh para pendekar golongan putih tidak menjadi kenyataan. Singo abang yang ingin menguasai Kitab Wasiat Iblis,
berhasil menyelamatkan nyawa Pangeran matahari dari kematian saat terjatuh ke jurang.
Berkat kelicikannya, Pangeran Matahari malah berhasil mencuri salah satu Ilmu kesaktian Singo Abang. <br />
Pangeran matahari yang melarikan
diri dari kejaran Singo Abang berhasil membentuk sebuah organisasi yang di sebut "Barisan Pocong" seperti dikisahkan dalam Episode "113 Lorong kematian".
Tujuannya mendirikan organisasi itu adalah ingin menguasai Rimba persilatan dengan memanfaatkan kekuatan alam roh dari bantuan "aksara Batu Bernyawa".
Namun lagi lagi rencana jahat tersebut berhasil digagalkan oleh Wiro sableng dan kawan2 dengan bantuan dari "bunga", salah satu sahabat Wiro dari Alam Roh".<br />
Dengan terluka baik di luar dan di luka dalam, Akhirnya Pangeran matahari berhasil meloloskan Diri saat Para Pendekar Golongan Putih Menggempur 113 Lorong Kematian.
Munculnya SI muka bangkai alias Guru dari sang pangeran dari alam roh, membuatnya kembali bernafsu untuk membalas dendam. Berbekal Lentera Iblis yang didapatnya dari sang Guru, Pangeran Matahari kembali menjadi biang onar rimba persilatan.
Pada Akhirnya, Kejahatan tidak akan pernah bisa mengalahkan kebaikan, Pada Episode Api di Puncak Merapi,lewat pertempuran yang dahsyat, Pangeran Matahari berhasil dibunuh oleh Bidadari Angin Timur.<br />
<br />
Tapi jangan kuatir, Kejahatan Pangeran matahari tidak berhenti sampai disitu, setelah dia menemui ajalnya, pada Episode
Dewi kaki tunggal, Mendadak Pangeran matahari Muncul dan memburu Wiro Sableng Kembali.
Meskipun kini dia telah berubah menjadi penghuni alam Roh.<br />
Makin penasaran kan dengan Mahluk yang satu ini?<br />
<br />
Ada satu Pendekar yang mirip perangainya dengan Pangeran Matahari. Dia berasal dari negeri Latanahsilam.<br />
Pendekar itu bernama "Hantu Muka Dua". Pada Kesempatan lainnya akan ane ulas sosok yang satu itu.<br />
Jadi yang mau ngasih masukan atau berdiskusi tentang "Kelakuan" atau hal lainya dari Pangeran Matahari, ditunggu di Kolom Komentar ya... <br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-80025649864807237402018-09-25T11:01:00.001+07:002018-09-25T11:33:08.517+07:00cara mempercantik tampilan pdf di blogFormat file yang umum dan digemari untuk menampilkan dokumen tetap utuh dan indah adalah format PDF. Jika ingin menampilkan isi file dari sebuah file PDF pada postingan website atau blog akan diperlukan aplikasi pihak ketiga. Namun jangan khawatir aplikasi tersebut gratis, aplikasi bantuan tersebut adalah Google Drive.
Google drive sendiri merupakan media penyimpanan online dengan kapasitas gratis 15GB. Tidak hanya media penyimpanan Google drive menyediakan paket office dan PDF reader secara terintegrasi.<br />
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Kita anggap anda sudah memiliki akun Google drive.<br />
2. Siapkan file PDF yang akan anda tampilkan<br />
3. Upload file tersebut ke Google drive milik anda.
Sebelum kita sematkan file PDF tersebut ke postingan website/blog, perlu merubah setelan untuk share akses.<br />
4. pilih file PDF dan klik kanan, pilih Share akan muncul dialog box seperti dibawah ini:<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_dzE1GK1P2lToBKerjWr2t9bFTnTtyWOvHrYnoz_nL9HFdLxTc80q_3RqQIIsQGnjWvDBL8UNITNj9lUlIElwoyF775Col-ZiNIjFJHIvPGApTRUs-wW4QOVXzqP7D1FTOzzLcKRu46s/s1600/dibawah+4.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="307" data-original-width="400" height="246" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_dzE1GK1P2lToBKerjWr2t9bFTnTtyWOvHrYnoz_nL9HFdLxTc80q_3RqQIIsQGnjWvDBL8UNITNj9lUlIElwoyF775Col-ZiNIjFJHIvPGApTRUs-wW4QOVXzqP7D1FTOzzLcKRu46s/s320/dibawah+4.PNG" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
5. klik Get shareable link, sebenarnya dengan meng-klik ini anda sudah mendapatkan link yang bisa disematkan. Tapi link ini biasa digunakan jika file PDF anda disematkan untuk di download. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh97_IYQ8tbMGFoTwWDRjsmNpQZECb7aySoORen2cXNsrdMllgxUV4XNahnrqN5W1fyOETeP2F1Z-WPuqOywqQQwwQQis3u00OYZMPbM-r2pKZst532bjAoaobDpXg_9O2vd3BW-cwBQU4/s1600/dibawah+5.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="305" data-original-width="400" height="244" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh97_IYQ8tbMGFoTwWDRjsmNpQZECb7aySoORen2cXNsrdMllgxUV4XNahnrqN5W1fyOETeP2F1Z-WPuqOywqQQwwQQis3u00OYZMPbM-r2pKZst532bjAoaobDpXg_9O2vd3BW-cwBQU4/s320/dibawah+5.PNG" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
6. Klik bagian Anyone with .... seperti gambar dibawah ini. Dan pilih More.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZJ9476fiAl8Ii1Fzomgmr-6hCWsNhfhhlWpXbtVha3McgX26E4hyzDqZfgmB_pkZUfdcbtv-N2nc7x2mRxC94f7kds3GxJPybBJDglOaCdmEGa6GMwb5RmY6ESkuYRV03gSGA6NkrPPY/s1600/dibawah+6.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="303" data-original-width="400" height="242" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZJ9476fiAl8Ii1Fzomgmr-6hCWsNhfhhlWpXbtVha3McgX26E4hyzDqZfgmB_pkZUfdcbtv-N2nc7x2mRxC94f7kds3GxJPybBJDglOaCdmEGa6GMwb5RmY6ESkuYRV03gSGA6NkrPPY/s320/dibawah+6.PNG" width="320" /></a></div>
<br />
7. Pilih bagian Public on the Web, lalu Save.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTCxfsakyQghoc1QvX4bpCweFq1hJo_7o6wr3m9K0nX5TFwpIm2SdoGZiedVJ9_g3khOXjosVWs2QFtJ4WFOGLKMledum3V-LUu2QY0wwy9n4oxNU_xNz06WQc1A8yr_cqaNb1hSK3LFY/s1600/dibawah+7.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="309" data-original-width="400" height="247" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTCxfsakyQghoc1QvX4bpCweFq1hJo_7o6wr3m9K0nX5TFwpIm2SdoGZiedVJ9_g3khOXjosVWs2QFtJ4WFOGLKMledum3V-LUu2QY0wwy9n4oxNU_xNz06WQc1A8yr_cqaNb1hSK3LFY/s320/dibawah+7.PNG" width="320" /></a></div>
<br />
8. Setelah muncul dialog box awal, silahkan klik Done.<br />
<br />
Tahap untuk ubah setelan sharing telah selesai, tahap berikutnya mendaptkan kode semat dalam bentuk iframe.<br />
1. Klik kanan pada file PDF anda dan pilih open with Google Docs.<br />
2. Setelah terbuka di Google Docs pilih menu File lalu pilih Publish to web.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-7UtSGnmnuVxI8cPVVmqZYP-QHEVB0fm1_VxFiAZ1heztdUW-lRdosH33is3Pojh4pNDq1H1m3EMku8LwFVs19iZMUnsuDEh9yqk9odLQGVuJBxthdbphoA8MP_PsmUK2dgb6JdlUT-4/s1600/dibawah+2+ke+2.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="351" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-7UtSGnmnuVxI8cPVVmqZYP-QHEVB0fm1_VxFiAZ1heztdUW-lRdosH33is3Pojh4pNDq1H1m3EMku8LwFVs19iZMUnsuDEh9yqk9odLQGVuJBxthdbphoA8MP_PsmUK2dgb6JdlUT-4/s320/dibawah+2+ke+2.PNG" width="280" /></a></div>
<br />
3. Akan muncul dialog box, pilih Embed lalu klik Publish<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-NMYvtJ1uQKk/W6mx6YtYukI/AAAAAAAAKIk/FRK1dKntJi4vAd4L86vVhcY_bVtD-j7qQCLcBGAs/s1600/dibawah%2B3%2Bke%2B2.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="227" data-original-width="400" height="181" src="https://1.bp.blogspot.com/-NMYvtJ1uQKk/W6mx6YtYukI/AAAAAAAAKIk/FRK1dKntJi4vAd4L86vVhcY_bVtD-j7qQCLcBGAs/s320/dibawah%2B3%2Bke%2B2.PNG" width="320" /></a></div>
<br />
4. Silahkan copy kode yang muncul (highlight biru) untuk disematkan ke postingan anda.
Kode inilah yang dapat anda sematkan pada postingan website/blog.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGNm1o66Hcwd-N4SJsFR17zJXzmt-QDZ5f-Qn2XCUurjuePR1Km0yo8LBqH3Zvy1B8f3jP1JS2nKvNlne2Moetl36AylzqswZp8imhI23oTCaoX_YKS7-5ihPN7V-sV6guk92Xyo9c004/s1600/dibawah+4+ke+2.PNG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="285" data-original-width="400" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGNm1o66Hcwd-N4SJsFR17zJXzmt-QDZ5f-Qn2XCUurjuePR1Km0yo8LBqH3Zvy1B8f3jP1JS2nKvNlne2Moetl36AylzqswZp8imhI23oTCaoX_YKS7-5ihPN7V-sV6guk92Xyo9c004/s320/dibawah+4+ke+2.PNG" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
Setelah mendapatkan alamat link PDF nya, langkah selanjutnya adalah membuat Frame dari PDF tersebut.<br />
1. kopi paste kode dibawah ini<span style="text-align: center;"> </span><br />
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
2. ganti kode ini <span style="text-align: center;">"http://urltujuan.com" pada kode diatas dengan link yg kita siapkan tadi.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="text-align: center;">3. Ingat pembuatan kode tersebut harus dalam mode HTML ya, jangan pada mode compose.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="text-align: center;"><br /></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="text-align: center;"><br /></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="text-align: center;">contohnya kurang lebih seperti ini</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<iframe height="350" src="https://drive.google.com/file/d/1pBJ6ZD41GAfNvvC4E8-6q729E3w5RKcl/view?usp=sharing" width="350"></iframe><br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-85186394772995463842018-04-25T10:10:00.001+07:002018-09-19T15:04:55.104+07:00120. Kembali Ke Tanah Jawa<div style="text-align: left;">
Episode Lanjutan dari rangkaian kisah wiro di Negeri Latanahsilam adalah episode Kembali Ke Tanah Jawa<strong>. </strong>Episode ini merupakan penutup sekaligus pengantar untuk episode Wiro Sableng di negeri Latanahsilam yang berakhir menggantung. Artinya kisah negeri Latanahsilam tidak hilang begitu saja, tetapi akan terus diulas meskipun berseting di tanah jawa. Kisah Wiro Sableng di negeri Latanahsilam yang selesai pada episode ke 119, yaitu Istana Kebahagian, akan berlanjut pada Episode ke 120 yang berjudul Kembali ke tanah jawa. Episode ini merupakan pengantar untuk kisah Wiro sableng selanjutnya di Tanah Jawa.<br />
<br />
Harapan gw, saat membaca episode kembali ke tanah Jawa, gw akan disuguhkan kisah berseting di negeri Latanahsilam, dan kisah wiro mungkin berpamitan ke sahabatnya dan dengan menggunakan batu pembalik waktu, kembali ke tanah Jawa. Tapi setelah gw membacanya, ternyata hanya ada kisah tiba tiba wiro muncul di Tanah jawa, selanjutnya berkisah tentang Adimesa atau Pendekar kipas Pelangi. Lagi Lagi kita dibuat penasaran bagaiaman kelanjutan ceritanya...Biar Ga penasaran, atau ada yang ragu dengan pendapat gw, monggo discrol kebawa untuk membaca kisahnya. Jangan Lupa komennya ya......<br />
<strong><br /></strong></div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong> </strong><strong>SATU</strong></div>
<div align="center">
<strong><br /></strong></div>
<div align="center">
<strong> </strong></div>
<div align="center">
<strong></strong></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1thOUd6IIEqbFVsRgdutMmCpslKe_pW1Of3IvxsZ7s9ZuR16UNT4NNe0ejYBX2lTGoKqKbVdMUM9R3tUfZkajdmU6Xlbk85WcflzsHiCZZdNclkkbWPEkTjra1zbThzlRA60OAzK2umk/s1600/WS120+kembali+ketanah+jawa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="429" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1thOUd6IIEqbFVsRgdutMmCpslKe_pW1Of3IvxsZ7s9ZuR16UNT4NNe0ejYBX2lTGoKqKbVdMUM9R3tUfZkajdmU6Xlbk85WcflzsHiCZZdNclkkbWPEkTjra1zbThzlRA60OAzK2umk/s200/WS120+kembali+ketanah+jawa.jpg" width="139" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<strong></strong>Malam gelap gulita. Tak nampak rembulan tak kelihatan kelipan
bintang. Udara dingin menusuk tulang sampai ke sumsum. Hembusan angin
laksana menyayat kulit. Suasana sunyi di kawasan bukit-bukit karang
sesekali dipecah oleh suara deburan ombak yang datang dari arah Teluk
Penanjung – Pangandaran, menghantam kaki bukit karang. Di arah timur,
dua bukit karang menjulang tinggi menghitam. Di antara dua batu karang
ini terbentang satu jurang dalam gelap gulita. Sesekali terdengar suara
aneh seperti ngiang tiupan seruling. Itulah suara angin yang terpesat
berputar masuk ke dalam jurang, tenggelam lalu menebar di dasarnya tak
mampu bergerak naik kembali.
</div>
Di salah satu sisi barat jurang pada kedalaman hanya sekitar dua
puluh kaki terdapat bagian dinding jurang mencekung ke dalam membentuk
goa seluas hampir 20 kaki persegi. Dari atas jurang goa besar ini tidak
kelihatan karena tertutup tubir batu dan semak belukar rimbun. Di
pertengahan goa, tenggelam dalam kegelapan ada sebentuk batu berlumut
setinggi menusia yang duduk bersila.<br />
Beberapa benda hidup bergerak menjalar di permukaan batu. Yang
pertama adalah sepasang ular besar berwarna coklat kehitaman. Walau
tempat itu gelap gulita tapi dua sosok binatang ini memancarkan kilap
yang menggidikkan. Benda hidup lainnya yang menjalar di atas batu adalah
empat ekor kalajengking berkaki biru. Lalu masih ada tiga ekor lipan
berwarna merah yang disebut lipan bara.<br />
Dari bentuk dan warna binatang-binatang itu jelas sekali mereka semua
adalah binatang-binatang berbisa sangat berbahaya. Jangankan manusia,
seekor kerbaupun jika sampai dipatuk atau disengat akan menemui ajal
dalam waktu singkat!<br />
Tak berapa jauh di sebelah kiri belakang batu besar di tengah
pedataran, satu sosok kelihatan mendekam duduk. Dari mulutnya yang
berkomat-kamit tiada henti keluar suara halus berkepanjangan seperti
orang tengah membaca. Dua lututnya dilipat di atas dada, dua tangan
memegang sebuah benda yang ternyata adalah lembaran-lembaran daun kering
dibentuk demikian rupa hingga menyerupai sebuah kitab. Salah satu jari
kelingkingnya yakni yang sebelah kiri buntung. Sikapnya saat itu
benar-benar lagak seorang yang tengah membaca. Dia memegang kitab sambil
sepasang mata dan kepala bergerak dari kiri ke kanan, kembali ke kiri
lalu balik lagi ke kanan.<br />
Pada bagian depan kitab yang merupakan sampul depan tertera tulisan “<em>Kitab Wasiat Iblis</em>”. Tapi di sebelah belakang ada lagi tulisan lain berbunyi “<em>Kitab Wasiat Malaikat</em>”.
Dan yang anehnya, halaman halaman dalam kitab dua judul itu sama sekali
tidak ada tulisannya, kosong melompong. Lalu apa yang dibaca orang ini
demikian asyiknya sampai-sampai mata dan kepalanya bergerak ke kiri dan
ke kanan sementara mulutnya mengeluarkan suara menyerupai orang sedang
membaca?!<br />
Sesekali sambil membaca orang ini melirik ke arah batu besar yang dijalari ular, lipan dan kalajengking.<br />
Mulutnya sesaat berhenti berkomat-kamit. Dia menyeringai lalu teruskan bacaannya. Begitu terus menerus.<br />
Orang ini sebenarnya masih muda. Tapi cacat di wajahnya serta badan
dan rambut yang tidak terpelihara membuat dia kelihatan tua. Hidungnya
yang mancung agak miring ke kiri pertanda tulang hidungnya pernah patah.
Lalu pipi dan rahang sebelah kiri melesak ke dalam hingga wajahnya
kelihatan pencong. Mungkin tulang pipi serta rahang itu juga pernah
cidera.<br />
Kemudian mata kiri tidak wajar keadaannya, agak terbenam ke dalam
rongga, memberi kesan bahwa orang ini dulunya pernah menderita hantaman
yang hebat. Masih ada satu cacat lagi di bagian kepala orang ini. Yaitu
satu luka besar yang telah mongering dan meninggalkan bekas di keningnya
sebelah kiri.<br />
Di atas batu, ular coklat hitam menjalar ke bagian atas diikuti oleh
pasangannya dan binatang-binatang berbisa lainnya. Di pertengahan batu
dua ular membuat gerakan melilit lalu mematuk bagian atas batu.<br />
Tiga ekor lipan dan empat kalajengking mencengkeramkan kaki
masing-masing lalu menyengat. Saat itu juga terjadi satu keanehan.
Bagian atas batu di tengah pedataran mendadak mengembang seolah binatang
atau tetumbuhan laut yang tiba-tiba bergerak mekar membentengi diri
dari bahaya.<br />
Ketika sekali lagi dua ular besar mematuk, dan lipan serta
kalajengking menyengat, dari dalam batu berlumut keluar suara mengaum.
Lalu batu itu bergerak. Dari sisi kiri dan kanan mencuat duia benda
menyerupai tangan. Astaga! Benda di tengah pedataran yang disangka batu
hitam berlumut ternyata adalah makhluk hidup yang sulit diduga apa
adanya sebenarnya.<br />
Sekali ada suara mengaum. Lalu menyusul bentakan keras. “Binatang
keparat! Kalian mematuk dan menyengat! Apa kalian kira enak daging tua
renta ini?! Kalian merusak ketenteramanku! Lagi-lagi kalian mengacaukan
samadiku! Selama ini aku biarkan kalian hidup bersama di jurang ini!
Tapi dasar makhluk tidak berbudi! Saat ini putus sudah kesabaranku! Hari
ini aku akan menghabisi kalian!” yang membentak ternyata adalah makhluk
yang disangka batu tadi.<br />
Begitu bentakan lenyap, sosok si makhluk melompat ke atas. Dalam
keadaan tegak berdiri ujudnya terlihat lebih nyata. Sosoknya ternyata
tinggi besar. Kepalanya tertutup rambut lebat berwarna coklat kemerahan
mengembang berjingkrak. Lapisan lumut yang menutupi mukanya laksana
leleh dan kini tampak kepala dengan raut muka yang mengerikan. Muka
makhluk ini ternyata menyerupai seekor singa berwarna merah!<br />
Dua ekor ular masih menggelung. Lipan dan kalajengking masih
menyengat. Tiba-tiba sosok berkepala singa ini memancarkan cahaya merah.
Semua binatang yang ada di tubuhnya menggeliat dan kepulkan asap
menebar bau daging terbakar!<br />
Makhluk kepala singa mengaum lalu hentakkan tumit kaki kirinya ke pedataran batu!<br />
“Wuttt… wuutttt… wuuuuttt!”<br />
Semua binatang berbisa yang masih menempel di tubuhnya tapi sudah
mati terpanggang hangus melesat mental ke satu arah. Yakni ke arah orang
berpakaian hitam yang duduk membaca di belakang sana.<br />
Orang ini langsung berhenti membaca kitab kosong. Matanya
memperhatikan dua ekor ular, tiga lipan dan empat kalajengking yang
bergeletakan di depannya. Dia melirik sebentar pada sosok tinggi besar
berkepala singa yang tegak di sebelah sana, lalu menyeringai.<br />
Tenggorokannya naik turun, lidahnya dijulurkan menjilat air liur.<br />
“Singo Abang!” orang berpakaian hitam berucap. “Enam ratus hari lebih
aku berada di tempat ini bersamamu! Baru hari ini kau berbaik hati
menyuguhkan makanan lezat untukku!”<br />
Orang ini masukkan kitab daun ke balik pakaiannya. Lalu beringsut ke depan.<br />
Di sebelah sana sosok tinggi besar keluarkan suara mengaum. Lalu
lontarkan ucapan keras. “Pangeran Miring! Tidak usah banyak mulut! Makan
saja pembagianmu!”<br />
“Ha… ha… ha! Akan aku santap dan habiskan semua!” Si baju hitam
mengambil tubuh ular yang matang terbakar dan masih mengepulkan asap.
Seperti orang kelaparan baru bertemu makanan, ular besar dilahapnya.
Dalam waktu sebentar saja ular panggang itu amblas itu masuk ke dalam
perutnya.<br />
“Ha… ha! Tidak sangka enak juga makanan pembagian Singo Abang ini!”
Si baju hitam tepuk-tepuk perutnya. “Ah, masih kosong! Aku masih lapar!”
Lalu orang ini sambar sosok ular ke dua. Seperti tadi dalam waktu
sebentar saja ular besar itu habis dimakannya. Tertawa-tawa dia melirik
pada tiga lipan dan empat kalajengking. Lalu sambil usap-usap perutnya
dia bertanya pada diri sendiri. “Apakah aku masih lapar?”<br />
“Pangeran Miring! Kalau kau mau makan, makan saja. Jangan banyak
bicara! Selesai makan kembali ke tempatmu duduk semula! Ingat, kau hanya
boleh berada sejauh sepuluh langkah dari dinding batu itu! Jangan
berani melanggar!”<br />
Mendengar kata-kata makhluk berkepala singa yang dipanggilnya dengan
nama Singo Abang itu, orang berpakaian hitam unjukkan muka merengut. Dia
mencibir lalu meludah. “Aku tidak lupa pada larangan kentut busuk itu!
Lebih dari enam ratus hari aku tidak boleh berjalan melewati sepuluh
langkah! Aku mulai bosan! Aku ingin jalan jauh. Aku ingin lari! Aku
ingin menghirup udara di luar jurang ini! Di atas sana pasti indah
pemandangannya. Bukit-bukit batu… jurang… laut di teluk. Aku tahu. Dulu
aku pernah melihat…”<br />
Singo Abang mengaum.<br />
“Kalau kau berani melakukan apa yang barusan kau ucapkan, siap-siap saja menerima gebukan dariku!<br />
Mukamu akan kubuat tambah pencong! Matamu akan kubuat melesak
kedua-duanya. Dan otakmu tambah kubuat miring! Biar kau benar-benar jadi
Pangeran Miring seumur-umur!”<br />
“Miring! Miring! Kau selalu menyebut aku Pangeran Miring! Padahal otakmu sendiri tidak waras!”<br />
“Wuttt!”<br />
Sekali lompat saja manusia kepala singa itu sudah berada di hadapan
orang yang selalu dipanggilnya dengan Pangeran Miring. Tangannya
bergerak menjambak rambut orang lalu ditarik ke atas hingga muka mereka
saling bertatapan dan terpisah hanya setengah jengkal.<br />
“Aku bicara apa adanya! Otakmu memang miring sejak kepalamu terbentur
batu waktu jatuh di jurang ini! Kalau aku tidak menolong, hidupmu pasti
lebih celaka dan lebih sengsara dari sekarang ini! Kau bukan cuma
miring tapi benar-benar gila! Sinting!”<br />
“Singo Abang! Kau selalu membangkit-bangkit semua budi pertolonganmu!
Aku merasa lebih baik dulu mati saja dari pada menerima pertolonganmu!
Apa aku pernah meminta?!”<br />
“Jangan bicara yang bisa membuat aku marah! Pangeran Miring! Apa kau lupa aku ini bukan cuma penolongmu, tapi juga gurumu?!”<br />
Pangeran Miring mendongak lalu tertawa gelak-gelak. “Kau yang bilang
begitu! Tapi aku tidak pernah mengakuimu sebagai guru! Guruku hanya
satu. Dia Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Orangnya sudah mati!
Selama ini apa yang kau ajarkan padaku! Malah aku merasa kau diam-diam
menyelidiki diriku, mempelajari semua ilmu yang aku miliki! Bukan
begitu! Ha… ha… ha…!”<br />
“Murid geblek!” Singo Abang mengaum. Tangannya yang menjambak
bergerak. Tubuh Pangeran Miring dilemparkannya ke dinding batu. Saking
kerasnya sampai batu itu ada yang retak dan gompal. Tapi sebaliknya
Pangeran Miring tidak merasa sakit malah menyeringai.<br />
Hanya dua matanya memandang berkilat-kilat tanda ada kemarahan dalam dirinya.<br />
“Kau tidak berani mambunuhku! Tidak berani! Mengapa? Aku tahu! Aku
tahu! Kau menginginkan sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu dariku! Kau
mencari sesuatu lewat diriku!<br />
Jika aku mati kau tidak akan menemukan apa yang kau cari! Bukan begitu? Ha… ha… ha…!”<br />
“Dasar manusia miring! Kalau aku bunuh benaran baru tahu rasa!”<br />
“Singo Abang! Aku tidak takut kau bunuh di tempat celaka ini!”
Pangeran Miring keluarkan kitab daun kering dari balik pakaian hitamnya.<br />
Singo Abang keluarkan tawa mengekeh yang aneh serta menggidikkan.
“Kasihan kau Pangeran Miring! Kitab itu kau sendiri yang membuat. Dari
daun-daun kering! Kau tulisi di sebelah depan Kitab Wasiat Iblis! Di
sebelah belakang kau tulis Wasiat Malaikat! Di dalamnya kosong
melompong! Lalu kau membaca seolah ada isi ilmu kesaktian dan ilmu
silat! Otak miringmu mengada-ada! Itu yang aku ketahui! Pangeran Miring!
Berhentilah bermimpi! Ha… ha… ha…!”<br />
“Singo Abang! Makhluk penghuni jurang celaka! Namaku bukan Pangeran Miring!<br />
Walau aku banyak lupa tentang masa laluku akibat benturan keras pada
kepalaku waktu jatuh di jurang jahanam ini, tapi satu hal aku masih
ingat siapa namaku. Aku adalah Pangeran Matahari. Pendekar Segala
Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!”<br />
Singo Abang mengaum lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya membahana menggetarkan jurang batu karang.<br />
“Masa lalumu telah lewat, sirna dan amblas! Pangeran Matahari tak ada
lagi! Yang ada kini hanyalah sisa sisa berupa rongsokan yang aku
panggil dengan nama Pangeran Miring!”<br />
“Mungkin aku kalah mengadu mulut denganmu1 tapi layani aku mengadu kekuatan!”<br />
teriak Pangeran Miring marah sekali lalu melompat sambil kirimkan satu jotosan keras dan cepat ke arah rusuk kanan Singo Abang.<br />
Makhluk berkepala singa mengaum. Ketika mulutnya terbuka kelihatan
deretan gigi besar dan taring mencuat runcing. Rambut-rambut panjang
tebal coklat kemerahan yang menutupi kepala, leher dan tengkuknya
mengembang berjingkrak pertanda diapun marah besar. Dia tidak melakukan
gerakan mengelak malah langsung angkat tangan kanannya, menggebrak
dengan satu tangkisan yang juga merupakan serangan dahsyat.<br />
“Bukkk!”<br />
Dua lengan beradu keras.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>DUA</strong></div>
<br />
Pangeran Miring mengeluh tinggi dan terpental menghantam dinding batu
lalu melosoh jatuh terduduk di pedataran dengan kepala termiring-miring
dan wajah pucat. Tubuhnya bergeletar. Lengan kanannya merah membengkak.
Sesaat kemudian dia berdiri kembali. Walau agak terbungkuk-bungkuk
karena masih menahan sakit tapi dia masih sanggup menyeringai dan
berucap.<br />
“Kau tidak bisa mengalahkanku Singo Abang! Kau tidak bisa membunuhku!”<br />
Makhluk berkepala singa sendiri saat itu tegak tertegun sambil
pegangi lengannya yang sakit bukan main. Dia meraba-raba karena kawatir
tulang lengan itu telah patah. Akibat pukulan tadi dadanya mendenyut
sakit dan jalan darah jadi tidak karuan. Muka singanya yang coklat
kemerahan tampak kelam membesi. Dia membatin. “Selama dua tahun aku coba
mengikis kekuatannya ternyata tidak ada yang hilang dalam dirinya.
Malah tenaga dalamnya seperti bertambah hebat. Kalau aku tadi tidak
mengerahkan dua pertiga tenaga dalamku pasti aku sudah dibuatnya celaka!
Dia bisa meraba hatiku!<br />
Jahanam betul! Kalau aku tidak mengharapkan benda itu sudah sejak
dulu dia kubunuh! Otaknya tak karuan. Berapa lama aku musti menunggu
sampai pikirannya kembali jernih dan dia bisa mengatakan dimana benda
itu berada…"<br />
"Singo Abang! Kau makhluk jahat! Aku tidak akan menyantap sisa-sisa
lipan dan kalajengking itu! Silahkan kau habiskan sendiri!” Pangeran
Miring Ialu melangkah surut hingga punggungnya membentur dinding batu.
Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri di tepi pedataran batu.<br />
Kitab daun dikembangkan. Mulunya komat-kamit, mata bergerak ke kiri
dan ke kanan bersamaan dengan gerakan kepala. Mulut mengeluarkan suara
seperti orang membaca padahal sebenarnya dia entah meracau apa.<br />
Tiba-tiba di udara melesat satu benda memancarkan cahaya
keputih-putihan. Singo Abang mendongak, keluarkan auman halus. Bola
matanya yang berwarna kelabu tampak membesar.<br />
Pada saat benda yang melesat di udara tadi lenyap di selatan jurang
batu, sosok makhluk kepala singa itu serta merta berkelebat ke atas.
Dalam gelap dia membuat beberapa kali lompatan. Luar biasa!<br />
Pinggiran jurang itu merupakan dinding yang hampir tegak lurus dan
hanya ada beberapa gundukan kecil menonjol keluar. Namun dengan cepat
dia mampu bergerak ke atas.<br />
Di satu gugusan batu Singo Abang hentikan gerakannya dan memandang ke
bawah. Muka singanya menunjukkan rasa kaget. Di bawah sana dia tidak
melihat lagi sosok Pangeran Miring.<br />
"Jahanam itu, kemana lenyapnya?” Singo Abang bertanya dalam hati.
"Mungkin kabur melarikan diri? Tapi bagaimana aku bisa tidak mengetahui.
Tak mungkin dia bergerak mendahului gerakanku!" Agak lama juga Singo
Abang berpikir-pikir. Akhirnya dia kembali melompat, meneruskan rnenuju
bagian atas jurang.<br />
Di bagian selatan jurang batu, dalam kegelapan dan dinginnya udara
malam yang mulai merayap memasuki pagi, sesosok tubuh tergeletak
menelungkup di tanah. Kulit muka, tangan dan kakinya kelihatan memar
kemerahan. Di sekitar hidung, liang telinga dan sudut bibir ada bekas
darah mengering. Pakaian putih yang melekat di tubuhnya cabik-cabik dan
ada yang hangus di beberapa tempat, Orang ini berambut panjang sebahu.
Rambut ini menjulai menutupi sebagian wajahnya.<br />
Ketika makhluk bertubuh manusia berkepala singa Singo Abang sampai di
tempat itu, dia terkejut besar karena dapatkan Pangeran Miring telah
lebih dulu berada di tempat itu dan tengah memeriksa sosok tubuh yang
tergeletak di tanah.<br />
"O ladalah! Apa ini benda yang tadi aku lihat melayang bercahaya?
Walah! Ternyata manusia juga adanya! Tapi heh?!" Pangeran Miring
pergunakan ujung kaki untuk menggulingkan tubuh yang tengkurap itu.
Tidak bisa.<br />
"Gila! Apa tubuh manusia satu ini lebih berat dari gajah" Sang
pangeran lalu membungkuk. Dia sibakkan rambut panjang yang menutupi
sebagian wajah orang. "Eh! Aku… aku seperti mengenali manusia ini!"
Kepala Pangeran Miring termiring-miring, bibirnya digigitnya berulang
kali dan matanya sebentar membesar mengerenyit mengecil. Lalu dengan
tangan kanan ditepuk-tepuknya punggung orang.<br />
"Hai! Kau ini pingsan, atau tidur! Atau memang sudah mampus?!"<br />
Tak ada jawaban. Sosok yang tergeletak tengkurap sama sekali tidak bergerak.<br />
Pangeran Miring kembali sibakkan rambut gondrong itu dan memandang dengan mata tak berkesip.<br />
"Mungkin dia… rasa-rasariya memang dial Kalau benar… ha… ha…ha! Akan
kubunuh! Akan kubikin mati, saat ini juga! Tapi mengapa? Mengapa aku
harus membunuhnya? Ah Otakku tak bisa bekerja … ! Harus kubalikkan
tubuhnya. Kalau sudah tertelentang aku akan bisa melihat seluruh
wajahnya!"<br />
Pangeran Miring Ialu ulurkan dua tangannya untuk membalikkan tubuh
yang tertelungkup. Dalam gelap walau tubuhnya tidak bergerak dan mulut
tidak mengeluarkan suara namun orang yang kini tertelentang di tanah
perlahan-lahan membuka sedikit sepasang matanya.<br />
Samar-samar dia melihat satu wajah. Dadanya bergetar, matanya terpejam kembali.<br />
Pangeran Miring membungkuk. Mendekatkan kepalanya ke wajah orang yang tergeletak di tanah.<br />
“Memang dia…. Benar, memang dia! aku boleh gila! Otakku boleh miring!
Tapi yang satu ini tak bisa lepas dari alam pikiranku! Tapi…. aku perlu
satu kepastian lagi! Rajah itu… Rajah tiga angka!"<br />
Pangeran Miring alihkan pandangannya ke dada pakaian orang di
bawahnya. Tangan kirinya bergerak hendak menyibakkan bagian dada pakaian
putih orang itu.<br />
Saat itulah Singo Abang muncul berkelebat dan mendorong bahu Pangeran Miring hingga dia terguling ke samping!<br />
"Makhluk jahat! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Pangeran Miring marah
sekali karena maksudnya hendak menyelidik dada orang tidak kesampaian.<br />
"Kau sudah melanggar pantangan Pangeran! Ingat! Kau tidak boleh
bergerak lebih sepuluh langkah darl dinding jurang! Kini kau berada di
sini! Sudah berapa ratus langkah yang kau langgar?!"<br />
"Persetan dengan.aturanmu! Aku mau membunuh orang ini kalau memang dia adanya!"<br />
"Tidak! Kau tidak boleh membunuh orang itu siapapun dia adanya! Kau harus kembali ke jurang. Sekarang!”<br />
“Tidak!"<br />
"Kau minta kugebuk!"<br />
"Akan kupecahkan kepalamu!” jawab Pangeran Miring.<br />
Singo Abang mengaum. Rambut di kepala dan lehernya mengembang. Di
mata Pangeran Miring scsok makhluk ini kelihatan menjadi dua kali lebih
besar. Dua tangannya yang sebelumnya berbentuk tangan manusia tiba-tiba
berubah menjadi tangan singa yang mencuatkan kuku-kuku hitam panjang!
Belum pernah Pangeran Miring melihat Singo Abang seperti ini.<br />
Selagi dia memandang tercekat seperti itu Singo Abang telah
berkelebat. Satu jotosan keras melabrak dada Pangeran Miring membuat
orang ini terpental dan menjerit keras. Belum sempat kaki atau bagian
tubuhnya menyentuh tanah satu jotosan lagi melanda ulu hatinya. Tak
ampun lagi sosok Pangeran Miring laksana dilemparkan ke udara lalu jatuh
di tanah. Walau dia mampu jatuh dengan berlutut dan satu tangan
menopang diri agar tidak rubuh namun dada dan perutnya seperti pecah.
Dari mulutnya mengucur darah.<br />
"Aku sudah lama menahan diri melakukan ini!Tapi kau sengaia meminta!
Kau memberi jalan aku menjajal jurus pukulan Dua Singa Berebut Mataharil
Ha… ha … ! Ternyata kau tidak sanggup mengelak ataupun menangkis!
Jangan bilang aku tidak bisa membunuhmu! Saat ini mudah sekali bagiku
membeset tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki!"<br />
Pangeran Miring hanya mendengar suara Singo Abang. Dia tidak melihat
sosoknya apa lagi gerakannya dan tahu-tahu satu hantaman lagi mendarat
di kepalanya. Tak ampun Pangeran Miring tersungkur terguling-guling dan
sosoknya tergeletak pingsan hanya satu langkah dari pinggiran jurang.<br />
Singo Abang mengaum. Tubuhnya yang tadi berubah besar perlahan-lahan
mengecil ke bentuk semula. Dia menatap sosok Pangeran Miring sesaat lalu
berpaling dan melangkah mendekati tubuh yang tengkurap di sebelah sana.
Ketika dia memeriksa orang ini, termasuk memeriksa bagian dada yang
terlindung di balik pakaian putih, makhluk kepala singa ini sampai
berjingkat dan mundur dua langkah. Mulut singanya mengerenyit dan dua
bola matanya yang kelabu membesar.<br />
"Pendekar 212!” Singo Abang berucap dengan suara bergetar. "Sekian
lama dia tidak pernah muncul, tak pernah diketahui berada di mana.Kini
mengapa bisa berada di tempat ini? Rajah tiga angka itul Tak pelak lagi!
Memang dia. Tapi ……Singo Abang memeriksa pinggang pakaian orang yang
tergeletak di tanah. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang membuat
tangannya serasa dingin dan cepat-cepat ditarik. Ketika pakaian di
bagian pinggang disingkapkannya, kelihatanlah menyembul kepala senjata
berbentuk kapak bermata dua."Kapak Maut Naga Geni 212! Manusia ini
memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Sulit dipercaya Apa yang membuatnya
sampai terlempar ke sini?<br />
Siapa yang melempar? Manusia atau setan?! Tubuh penuh lecet. Pakaian hangus…. Tapi jangan-jangan dia sudah mati!"<br />
Singo Abang tekapkan telapak tangannya ke lengan kiri orang. "Ada denyutan…. Dia masih hidup!"<br />
Lama Singo Abang tercekat diam sambil pegangi dagu. "Aku tak ada
permusuhan dengan manusia ini Apakah aku harus membunuhnya?!" Singo
Abang memandang sebentar ke arah Pangeran Miring yang tergeletak di
dekat jurang sana. “Mereka yang saling bermusuhan.<br />
Tidak…. Mungkin lebih baik aku tidak membunuhnya. Jika dia kubiarkan
hidup, siapa tahu bisa membuka jalan untuk mendapatkan benda yang aku
cari. Sekarang, apa yang harus aku lakukan…. Kapak mustika itu. Senjata
itu harus aku ambil! Rasanya, itu lebih berguna dari pada membunuhmya!"<br />
Makhluk setengah manusia setengah singa ini ulurkan tangan hendak
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggang pakaian tapi
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara aneh
mendatangi. Sepasang telinga singanya yang.menyembul di balik
rambut-rambut coklat merah bergerak.<br />
"Suara aneh. Seperti derap kaki kuda tapi aku yakin bukan kuda yang
berlari. Tadi kedengaran masih jauh. Kini sudah berada di belakangku!”
Rambut di kepala dan tengkuk Singo Abang mengembang mekar pertanda dia
mencium datangnya bahaya!<br />
Singo Abang palingkan kepala. Dia benar-benar tercekat ketika melihat siapa yang berlari mendatangi ke arahnya.<br />
“Momok Dempet Berkaki Kuda!” desis makhluk berkepala singa ini.
“Agaknya aku tidak berkesempatan mengambil kapak sakti itu. Kalau aku
paksakan pasti makhluk dempet jahanam ini akan menyerangku!<br />
Mencari urusan di saat Pangeran Miring masih tergeletak pingsan di
sebelah sana sangat tidak menguntungkan1 Lagi pula selama ini aku tidak
dapat menjajagi sampai dimana kehebatan sepasang momok ini!”<br />
Sebelum menjauhkan diri dari sosok yan tergeletak di tanah, Singo
Abang tepukkan tangan kirinya ke dada orang itu, mengalirkan setengah
tenaga dalam yang dimilikinya. Sosok yang ditepuk tersentak ke atas lalu
menggeliat. Singo Abang sendiri cepat-cepat berdiri. Tepat pada saat
dua sosok aneh mendatangi dan berhenti lima langkah di hadapannya.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>TIGA</strong></div>
<br />
Yang tegak di depan Singo Abang saat itu adalah dua orang lelaki
bertubuh kurus kering, memiliki tinggi hampir satu setengah kali
tingginya sendiri. Mereka tegak seperti sengaja bersisian tapi jika
diperhatikan ternyata tangan mereka-yang satu sebelah kanan dan satunya
lagi sebelah kiri-saling berdempetan satu sama lain! Berarti kemanapun
mereka pergi dan dimanapun mereka berada akan selalu bersisian seperti
itu. Jika yang satu menggerakkan tangan kiri, berarti yang satunya lagi
harus ikut menggerakkan tangan kanan!<br />
Masih ada keanehan lain pada sepasang manusia dempet ini. Yakni ke
empat kaki mereka. Kaki-kaki itu tidak berbentuk kaki manusia tapi
berupa kaki kuda lengkap dengan ladam besinya!<br />
Jika mereka berjalan atau berlari kaki-kaki itu akan mengeluarkan
suara seperti kuda berlari tapi akan terdengar aneh karena mereka
berlari bersisian, bukan seperti kuda sungguhan yaitu dua kaki di depan
dan dua kaki di belakang.<br />
Sejak dua tahun belakangan ini sepasang makhluk dempet ini muncul di
rimba persilatan tanah Jawa dengan menebar nama memperkenalkan diri
sebagai Momok Dempet Berkaki Kuda. Orang yang di sebelah kanan bernama
Tunggul Gono sedang yang di sebelah kiri bernama Tunggul Gini. Mereka
diketahui jelas bukan dari golongan putih. Tetapi di kalangan para tokoh
golongan hitam mereka kurang mendapat tempat. Karena sering ikut campur
urusan orang bahkan tidak segan-segan menjatuhkan tangan jahat. Kabar
terakhir dua tokoh silat di Jawa Timur telah menjadi korban mereka. Yang
pertama adalah tokoh golongan hitam sedang satunya masih kerabat
keraton Surakarta. Tidak heran kalau kini keduanya menjadi buronan yang
selalu dikejar oleh para pimpinan pasukan dan pendekar Keraton.<br />
“Malam tidak berbulan tidak berbintang. Udara dingin pula. Kerabat
bernama Jolo Pengging keluar dari sarang di dalam jurang! Tentu ada
kepentingan luar biasa!” Si tinggi kurus Si sebelah kanan yang berambut
awut-awutan dan bermata besar membuka mulut.<br />
“Saudaraku Tunggol Gono, kau betul. Hal ini membuat aku ingin
bertanya. Gerangan apa yang tengah ia lakukan di tempat ini!” Menyahuti
si tinggi di sebelah kiri yang juga berambut awut-awutan tapi bermata
sipit. “Di sebelah sana aku lihat ada sosok berpakaian hitam menggeletak
tak bergerak. Lalu di dekatmu juga ada satu sosok lagi. Berpakaian
putih, juga menggeletak tak bergerak! Siapa mereka? Kami bertanya apakah
kami akan mendapat jawaban?!”<br />
Singo Abang menyeringai lalu mengaum.<br />
“Kawasan Teluk Penanjung dan bukit-bukit karangnya adalah kawasan
kekuasaanku! Kemana aku pergi, dimana aku berada dan kapan aku mau
adalah suka-suka diriku! Mengenai pertanyaan kalian tadi tak ada
sulitnya menjawab. Di sana tergeletak seorang muda berpakaian putih.
Siapa dirinya aku tidak tahu. Kalian silahkan memeriksa dan menyelidiki
sendiri. Sosok yang tergeletak di dekat jurang sana adalah muridku!”<br />
Momok Dempet Berkaki Kuda saling berpandangan lalu tertawa bergelak.
Tunggul Gono di sebelah kanan berkata. “Kerabat kita Singo Abang rupanya
berhati jujur. Mau menjawab pertanyaan kita apa adanya Tapi nada
bicaranya agak sombong. Lagi pula aku rasa ada sesuatu yang
disembunyikannya pada kita…”<br />
“Kurasa demikian. Bertahun-tahun malang melintang di rimba
persilatan, baru hari ini aku tahu kalau Singo Abang punya murid! Ha…
ha…ha!”<br />
Singo Abang tidak perdulikan ucapan orang. Dia melangkah ke arah
sosok Pangeran Miring tergeletak. Tapi kemudian dia ingat akan sosok
yang satu lagi. “Kalau aku tinggalkan Pendekar 212 bersama orang-orang
ini, kapak sakti itu pasti akan mereka rampas. Dari pada mereka yang
mendapatakan lebih baik aku ambil saja!”<br />
Singo Abang dengan cepat memutar langkahnya lalu berkelebat ke arah sosok berpakaian putih.<br />
Tangannya diulurkan untuk mengambil kapak sakti. Namun sebelum sempat
menyentuh senjata itu tibatiba Momok Dempet Berkaki Kuda gerakkan
tangan mereka yang dempet. Selarik sinar hitam menderu dari sela tangan
yang bertempelan. Membuat Singo Abang mengaum keras dan terpaksa
melompat mundur.<br />
“Wusssss! Braaaakkkk!”<br />
Dinding batu terbongkar dihantam larikan sinar hitam. Sebuah lobang besar menguak mengerikan.<br />
“Kapak itu agaknya tidak berjodoh denganku! Perlu apa aku
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya!” kata Singo Abang lalu dengan
cepat dia berkelebat ke arah sosok Pangeran Miring.<br />
Sebelum tinggalkan tempat itu sambil memanggul muridnya dia berpaling pada dua makhluk dempet.<br />
“Momok Dempet! Harap kalian terima balasan penghormatan dariku!” Lalu
Singo Abang hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang sinar merah yan
menghampar hawa panas berkiblat.<br />
Tunggul Gono dan Tunggul Gini berseru kaget. Tidak menyangka orang berani membalas serangannya.<br />
Keduanya melompat setinggi satu tombak. Sinar merah lewat di bawah
kaki mereka terus menghantam gundukan batu karang di ujung pedataran
hingga hancur berkeping-keping dan mengepulkan asap panas!<br />
“Singo Abang! Kau minta mati!” Teriak Tunggul Gini marah. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya yang berdempet dengan tangan kiri Tungul Gono
dipukulkan ke arah Singo Abang.<br />
Untuk kedua kalinya larikan sinar hitam melabrak ke arah makhluk
kepala singa. Kali ini lebih dahsyat karena dua makhluk dempet ini
mengerahkan hampir seluruh hawa sakti yang mereka miliki. Tapi saat itu
Singo Abang sudah melompat terjun ke dalam jurang. Serangan maut Momok
Dempet hanya menghantam dinding batu karang di salah satu sudut jurang.
Untuk kesekian kalinya jurang itu digelegari oleh suara hancurnya
bebatuan.<br />
“Jahanam Singo Abang! Berani dia menantang kita! Aku ingin mengejarnya walau sampai ke dasar jurang!” Tunggul Gini berkata.<br />
“Jangan perturutkan amarah!” menjawab Tunggul Gono. “Hari masih
gelap. Kita tidak tahu seluk beluk jurang! Salah-salah bisa celaka kena
dijebak musuh! Bangsat kepala singa itu tidak seumur-umur mendekam di
dalam jurang. Kita minta bantuan beberapa kawan mengawasi keadaan
sekitar jurang ini. Satu saat pasti dia akan keluar. Kita cari
kesempatan lain untuk menghajarnya!”<br />
“Menurutmu apakah dia memang menyembunyikan dua kitab yang kita cari?”<br />
“Tak dapat kupastikan. Tapi jika keterangannya benar bahwa orang
berpakaian hitam tadi adalah muridnya, bukan mustahil salah satu kitab
itu ada padanya.” Jawab Tunggul Gono.<br />
“Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya.”<br />
Tunggul Gini menatap ke arah jurang kelam. “Pangeran Matahari
diketahui menemui ajal di jurang itu dua tahun silam. Bukan mustahil
Singo Abang menemukan Kitab Wasiat Iblis pada mayat Pangeran Matahari.
Tentang Kitab Wasiat Malaikat masih kabur bagi kita dimana beradanya…” (<em>Momok
Dempet Berkaki Kuda rupanya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan
Kitab Wasiat Iblis yang memang pernah dimiliki oleh Pangeran Matahari.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya yakni Episode
terakhir dari 8 Episode berjudul “</em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-90-kiamat-di.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Kiamat Di Pangandaran</em></a><span class="ext"></span><em>”,
kitab Wasiat Iblis telah ditelan oleh Datuk Rao Bamato Hijao harimau
sakti pelindung Wiro sewaktu terjadi pertempuran hidup mati antara
Pendekar 212 dengan Pangeran Matahari</em>).<br />
“Sekarang apa yang kita lakukan?” Bertanya Tunggul Gini.<br />
Tunggul Gono menunjuk ke arah sosok berpakaian putih di seberang
sana. “Kita periksa siapa adanya orang itu. Tadi kulihat Singo Abang
seperti hendak mengambil sesuatu dari orang itu…”<br />
“Bukan itu saja,” sahut Tunggul Gini. “Aku sempat melihat dia memukul dada orang, mengalirkan hawa sakti.’<br />
“Dia coba menyelamatkan orang. Berarti yang tergeletak itu seorang
yang amat penting. Mari kita selidiki siapa dia!” kata Tunggul Gono
pula. Kedua orang itu segera melangkah mendekati sosok berpakaian putih
yang kini tergeletak menelentang. Sementara kegelapan malam mulai bias
oleh kedatangan pagi.<br />
“Seorang pemuda berambut gondrong. Wajah dan tubuh penuh lecet.
Pakaian putih hangus…” kata Tunggul Gini begitu sampai di hadapan sosok
yang tergeletak di tanah. Tunggul Gono angkat tangannya, memberi isyarat
agar Tunggul Gini hentikan ucapan.<br />
Lalu dia membungkuk. Karena tangan mereka dempet, gerakan ini membuat
Tunggul Gini ikut membungkuk. “Lihat! Dada orang ini! Ada rajah tiga
angka!”<br />
Tunggul Gini delikkan mata lalu ternganga. “Gila! Pemuda ini Pendekar 212 Wiro Sableng!” katanya kemudian setengah berseru.<br />
“Sejak dua tahun lalu dia dikabarkan lenyap! Bahkan ada yang menduga sudah mati!<br />
Mengapa sekarang bisa muncul di sini?! Jangan-jangan ini hantunya!” kata Tunggul Gono pula.<br />
Tunggul Gini tidak perdulikan ucapan orang. Dia sibakkan pakaian
putih orang yang tergeletak di tanah di bagian pinggang. “Lihat! Kapak
Naga Geni 212!”<br />
“Tidak diduga tidak dinyana! Benar Pendekar 212 rupanya! Rejeki kita besar sekali di malam buta ini!<br />
Mungkin kitab sakti itu juga ada padanya!” seru Tunggul Gono. Tunggul
Gini menyeringai lebar. Tangan kanannya bergerak dengan cepat hendak
mencabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang orang. Tapi tidak terduga
tiba-tiba kaki kanan orang yang tergeletak di tanah melesat ke depan.<br />
“Bukkk!”<br />
Tunggul Gini menjerit. Satu tendangan keras mendarat di dadadnya.
Tubuhnya bersama-sama Tunggul Gono terpental lalu jatuh terjengkang di
tanah.<br />
“Jahanam berani mati!” teriak Tunggul Gono lalu menolong Tunggul Gini
bangun. Begitu keduanya berdiri pemuda berambut gondrong dan berpakaian
putih hangus telah tegak di depan mereka, memandang tajam tapi sambil
salah satu tangannya memijit-mijit kening sendiri.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>EMPAT</strong></div>
<br />
“Aku tidak percaya pemuda itu Pendekar 212 Wiro Sableng!” kata Momok
Dempet Tunggul Gono. “Tegaknya menghuyung seperti mau roboh!
Terus-terusan memijit kening seperti orang sinting sakit kepala!
Sikapanya macam orang bego! Lagi pula apa kau lupa kabar yang mengatakan
bahwa murid Sinto Gendeng itu menghilang entah kemana sejak dua tahun
lalu?”<br />
“Aku barusan merasakan tendangannya! Jika dia bukan pemuda
berkepandaian tinggi tak mungkin bisa menendang diriku!” jawab Tunggul
Gini bersungut sambil urut-urut dadanya yang masih terasa sakit.<br />
Di depan sana pemuda berpakaian putih hangus dan berambut gondrong
yang memang Pendekar 212, murid Eyang Sinto Gendeng adanya masih berdiri
dan terus memijit kening.<br />
Sambil matanya menatap ke depan, melirik ke samping dia bertanya-tanya dalam hati.<br />
“Heran, apa yang terjadi dengan diriku. Sekujur badan terasa ngilu.
Pemandangan berkunang. Kepala mendenyut sakit tak karuan. Dimana aku
saat ini! Gelap semua. Apa saat ini malam hari? Mana bocah brengsek Naga
Kuning? Aku tidak mencium bau pesing. Berarti kakek Si Setan Ngompol
itu juga tidak ada di sini. Lalu dua mahkluk bertangan dempet itu, siapa
mereka? Manusia atau setan jangkungan?!”<br />
Dalam keadaan seperti itu Wiro tidak dapat menjawab semua
pertanyaannya sendiri. Dia melihat satu gundukan batu di samping kiri.
Pemuda ini melangkah mendekati batu lalu duduk di atasnya. Tangan kiri
masih memijit kening. Tangan kanan menggaruk kepala.<br />
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (<a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-119-istana.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Istana Kebahagiaan</em></a><span class="ext"></span>)
sewaktu Batu Pembalik Waktu patah dua bersama dengan meledaknya Istana
Kebahagiaan, Wiro dan kawan-kawan bahkan semua orang yang ada dalam
Ruang Seribu Kehormatan tersedot oleh satu lingkaran cahaya tujuh
pelangi yang berputar laksana sebuah tong raksasa. Ketika lingkaran
cahaya itu melesat menembus angkasa, semua orang yang ada dalam Istana
Kebahagiaan termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terseret dan lenyap
seolah ditelan langit.<br />
“Latanahsilam… Latanahsilam, apakah aku masih berada di Negeri
Latanahsilam? Hantu Muka Dua… Luhrembulan, Luhcinta… Orang-orang itu,
dimana semua mereka?” Pikiran dan hati Pendekar 212 kembali dipenuhi
setumpuk pertanyaan.<br />
“Tunggul Gini, kau lihat pemuda itu. Dia bicara sendirian. Jangan-jangan kita cuma berhadapan dengan seorang gila!”<br />
“Kau tolol amat!” maki Tunggul Gini. “Orang gila mana bisa berkelahi.
Dia menendangku dengan pengerahan tenaga dalam! Kau buta tidak melihat
senjata berbentuk kapak yang terselip di pinggangnya?!”<br />
Tunggul Gono masih sangsi. Dia lantas berteriak. “Kampret! Apa kau orangnya bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212?!”<br />
“Kepalaku lagi sakit! Bangsat berujud setinggi galah itu mamaki seenaknya…” Wiro berkaa dalam hati.<br />
“Eh, apa memang aku sudah benaran berubah ujud? Jangan-jangan aku
benaran sudah jadi kampret!” Wiro usap tubuhnya sendiri. Pegang
kepalanya. Gosok-gosok telinga kiri kanan. Mengusap mulut. Lalu
perhatikan dua kaki dan sepasang tangannya. “Sialan betul. Ternyata aku
masih berbentuk manusia, dibilang kampret! Tapi…” Wiro meraba-raba ke
balik pakaian. Dua tangannya menyelinap ke bawah ketiak lalu ditarik dan
jari-jarinya ditempelkan ke hidung. “Ih… bau asem! Jangan-jangan aku
betulan sudah jadi kampret!”<br />
Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.<br />
Melihat tingkah laku Wiro itu Tunggul Gini jadi jengkel. “Benar-benar
kurang ajar! Dia tidak memperdulikan kita. Sepertinya kita tidak ada di
tempat ini! Dia juga tidak menjawab pertanyaan kita! Aku ingin
membunuhnya!”<br />
“Jangan dibunuh. Kita perlu menguras banyak keterangan dari mulutnya!
Kalau sudah dapat baru dihabisi!” kata Tunggul Gono. Lalu dia
mendahului menerjang. Tunggul Gini seta merta ikut melompat.<br />
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget ketika
dalam gelap dia melihat empat kaki aneh berbentuk kuda lengkap dengan
ladam besi berkilat, menghantam ke arah dirinya. Dua menderu ke arah
kepala, dua lagi mencari sasaran di perut dan dada! Inilah jurus
serangan Momok<br />
Dempet yang disebut Empat Ladam Kematian.<br />
Masih dalam keadaan terhuyung dan kepala mendenyut sakit, Wiro
menyadari datangnya bahaya maut ini. Tubuhnya dijatuhkan ke belakang.
Sambil menggulingkan punggung ke pedataran batu tangannya dibabatkan ke
atas untuk menangkis serangan yang mengarah kepala.<br />
Bersamaan dengan tiu dua kakinya ikut menendang untuk membabat dua serangan ke arah perut.<br />
“Ganti jurus!” salah satu dari Momok Dempet berteriak.<br />
Dua sosok jangkung setinggi galah berputar bergulung, mengambang di
udara lalu di lain kejap menggebrak ke arah Pendekar 212 yang saat itu
baru saja berguling di pedataran batu dan siap bangkit berdiri.<br />
Momok Dempet Berkaki Kuda memang memiliki ilmu silat aneh. Setengah
jalan, jika merasa serangan mereka tidak akan menemui sasaran atau bakal
menghadapi tangkisan hebat, maka kejapan itu juga mereka mampu merubah
jurus dan serangan yang dilancarkan. Pertama menggebrak mereka
menghantam dengan jurus yang disebut Empat Ladam Kematian. Begitu Wiro
bergerak menangkis dan balas menendang keduanya langsung batalkan
serangan dan ganti dengan serangan baru dalam jurus bernama Empat Ladam
Menghembus Roh.<br />
“Wuss!”<br />
Empat angin menderu dahsyat. Empat kaki berbentuk kuda terbungkus ladam keras menderu mengeluarkan angin dingin menggidikkan.<br />
“Edan!” maki Pendekar 212. Salah satu tendangan lawan lewat dekat
sekali di bawah dagunya. Yang dua bisa dielakkan, yang ketiga
menyerempet dada pakaiannya hingga baju putih yang telah hangus itu
robek besar!<br />
Wiro jatuhkan diri sama rata dengan pedataran batu. Saat itu dia
merasakan pedataran bergetar seperti digoyang gempa. Di belakangnya ada
suara benda keras menancap di batu. Lalu ada debu dan batu kerikil
beterbangan. Ketika Wiro berpaling memperhatikan kaget murid Sinto
Gendeng ini bukan kepalang. Empa kaki kuda Momok Dempe tenggelam amblas
ke dalam dinding batu karang!<br />
Tengkuk Wiro menjadi dingin. Dapat dibayangkan bagaimana kalau empat
kaki itu tadi sempat menancap di kepala atau tubuhnya! Tidak menunggu
lebih lama dia segera melompat berdiri. Saat itu Momok Dempet telah
mencabut empat kaki mereka yang menancap di batu karang. Keduanya
melesat di udara, berputar seperti baling-baling. Begitu berada di atas
Wiro tangan masing-masing menghantam ke bawah. Dari mulut mereka keluar
teriakan menyebut jurus pukulan yang dilancarkan.<br />
“Sepasang Palu Kematian!”<br />
Belum lagi serangan dua pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat Wiro goyang!<br />
“Gila!” maki Pendekar 212. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam
lalu sambil rundukkan tubuh dia balas menghantam dengan salah satu jurus
ilmu silat yang didapatnya dari Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk
Rao Basaluang Ameh.<br />
“Tangan Dewa Menghantam Matahari!” teriak sepasang Momok Dempet
hampir berbarengan lalu cepat cepat menyingkir. Dua pukulan laksana palu
godam yang dihantamkan Momok Dempet lewat di kiri kanan Pendekar 212.
Kalau mereka tidak cepat menyingkir dan menarik tangan masing-masing,
niscaya salah satu dari mereka akan berantakan dimakan pukulan Tangan
Dewa Menghantam Matahari.<br />
“Astaga! Bagaimana dua makhluk galah sialan ini tahu jurus serangan
yang lancarkan! Kenalpun baru hari ini. Di malam gelap pula!” Wiro
tersentak kaget dan berkata dalam hati.<br />
Momok Dempet saling berbisik. “Tunggul Gono, betul rupanya kabar yang
kita sirap. Pemuda itu memang menguasai ilmu langka inti Delapan Sabda
Dewa! Kita harus berhati-hati.<br />
Waktu pukulannya lewat di sisiku, tulang-tulang serasa mau remuk!”<br />
“Kalau tidak mau celaka kita harus serang dia dengan pukulan sakti
Ladam Setan. Lalu susul dengan Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata
Tunggul Gono dengan rahang menggembung.<br />
“Hantam!” teriak Momok Dempet. Keduanya membuat gerakan melompat.
Setengah jalan, sesaat tubuh mengapung di udara, keduanya pukulkan
tangan kiri dan kanan yang saling berdempetan. Dari celah dua telapak
tangan menghambur sinar hitam. Saat itu kegelapan masih menyungkup namun
gelapnya sinar pukulan sakti kedua orang ini lebih pekat hingga
kelihatan nyata menggidikkan. Inilah pukulan berbahaya Ladam Setan yang
sejak dua tahun belakangan ini telah banyak merenggut nyawa para tokoh
silat golongan putih maupun golongan hitam.<br />
Wiro terkejut bukan main. Apalagi tidak menyangka lawan bisa
selamatkan diri dari pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Sambil
membentak Wiro melesat satu tombak ke udara untuk selamatkan diri dari
sambaran maut sinar hitam. Di samping bukit sebelah kiri menggelegar
suara menggemuruh.<br />
Dinding karang terbongkar, mengepulkan asap, merah membara lalu
menghitam berubah jadi arang keras meninggalkan satu lobang besar
mengerikan.<br />
“Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!”<br />
Wiro mendengar Momok Dempet berteriak berbarengan. Lalu tubuh
keduanya lenyap. Di lain kejap kelihatan satu benda tinggi hitam,
berputar dahsyat. Di sebelah atas merentang palang seperti baling baling
siap membabat apa saja yang ada di depannya. Secara tak terduga putaran
itu berubah menjadi kemplangan laksana palu godam. Lalu terdengar pula
suara hentakan-hentakan yang menggetarkan bukit batu.<br />
“Kraakk! Byaaarrr!”<br />
Satu tonjolan batu karang runcing putus dibabat palang berputar. Di
sebelah bawah tanah dan batu terbongkar membentuk lobang-lobang. Melihat
hal ini Wiro yang semula hendak menangkis dan balas menghantam jadi
berpikir dua kali. Dia siapkan pukulan Bentang Topan Melanda Samudera di
tangan kiri sementara tanagn kanan membuat gerakan jurus Di Balik
Gunung Memukul Halilintar yang kemudian akan segera disusul dengan
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.<br />
Namun baru dia hendak bergerak menderu angin yang sangat keras
membuat Pendekar 212 terdorong dan tersurut terhuyung-huyung.
Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja tak bisa bertahan dan
terpaksa kembali mundur hingga akhirnya pungunggnya membentur dinding
batu.<br />
“Celaka!” keluh Wiro. Dia segera menyingkir ke kiri sambil melepas
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Sosok lawan yang satu setengah
kali lebih tinggi menimbulkan kesulitan baginya. Dia terpaksa memukul ke
arah dada. Lalu dengan cepat membungkuk sambil susupkan pukulan Dewa
Topan Menggusur Gunung.<br />
Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa mengejek. “Nama besar Pendekar 212 ternyata kosong belaka!”<br />
“Braakkk!”<br />
Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental. Tulang tangannya sebelah
kiri seperti hancur. Untuk sesaat dia tidak bisa menggerakkan tangan
itu. Dalam keadaan seperti itu dari atas tangan dempet sepasang Momok
datang mengemplang ke arah batok kepalanya. Inilah pukulan maut Palu Dan
Ladam Membongkar Bumi! Wiro terlambat bergerak, tidak sempat menangkis!<br />
“Mati aku!”<br />
Murid Sinto Gendeng masih berusaha kirimkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang dengan tangan kanan.<br />
“Bukkk! Desss!”<br />
Wiro menyangka dia berhasil memukul salah satu bagian tubuh lawan.
Ternyata jotosannya diredam oleh telapak tangan kiri Tunggul Gini. Lalu
dipelintir dan didorong hingga Wiro terjajar ke belakang.<br />
“Tanggal tulangku!” keluh Wiro. Dalam keadaan terjajar begitu rupa
tak mungkin lagi baginya untuk selamatkan kepalanya yang dikejar pukulan
Palu Membongkar Bumi. Sesaat lagi batok kepala murid Sinto Gendeng itu
akan dibuat hancur berantakan tiba-tiba melesat satu bayangan biru.
Momok Dempet Berkaki Kuda berteriak kaget dan marah. Tubuh mereka
terdorong ke samping. Pukulan Palu Membongkar Bumi walau masih terus
mendera ke bawah namun menyerempet dinding batu hingga menimbulkan
guratan panjang dan dalam serta menebar debu karang!<br />
“Jahanam! Setan dari mana berani campur tangan urusan Momok Dempet!”
Tunggul Gini berteriak marah. Tangan kirinya langsung menghantam dengan
pukulan sakti Ladam Setan.<br />
Walau hanya dia sendiri yang melepas pukulan ini tapi kehebatannya tetap saja mengandung kematian!<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>LIMA</strong></div>
<div align="center">
<br /></div>
Angin pukulan maut Palu Membongkar Bumi yang lewat satu jengkal di
sampingnya membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung dan jatuh
terduduk. Ketika dia mencoba bangkit dan memandang ke depan dilihatnya
seorang lelaki berpakaian ringkas warna biru tegak menghadapi Momok
Dempet Berkaki Kuda. Rambutnya tersisir rapi dan berkilat pertanda dia
memakai sejenis minyak pengkilap rambut. Karena membelakangi Wiro tidak
bisa melihat wajah si penolong ini. Sambil terus memperhatikan Wiro
berdiri lalu bersandar ke dinding batu di belakangnya.<br />
Momok Dempet memandang garang. Keduanya maju satu langkah lalu
hentakkan kaki ke tanah hingga tanah berhamburan dan batu berpecahan.<br />
“Bangsat baju biru! Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Pendekar 212
hingga mau mauan menyelamatkan batok kepalanya dari kehancuran?!”
Tunggul Gono membentak.<br />
Sepasang alis orang berpakaian biru mencuat naik ke atas. Keningnya sesaat mengerenyit.<br />
Tanda terkejut mendengar bentakan Tunggul Gono tadi. Dia tidak
menduga sama sekali kalau yang barusan ditolongnya adalah Pendekar 212.<br />
“Selama ini dia dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Mengapa
tahu-tahu ada di sini. Apa yang terjadi dengan dirinya?” Orang ini tak
bisa berpikir lebih panjang karena Tunggul Gono kembali menghardik.<br />
“Kalau kau ak mau menjawab kupecahkan batok kepalamu saat ini juga!
Katakan hubunganmu dengan Pendekar 212! Katakan juga siapa kau punya
nama!”<br />
“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan.
Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak
menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan!”<br />
Sementara Wiro terheran-heran mendengar jawaban orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet malah tertawa gelak-gelak.<br />
“Satu lagi kita menemui orang gila malam ini!” kata Tunggul Gono.<br />
"Betul! Orang gila yang barusan datang ini rupanya pendekar sejati.
Itu sebabnya dia tidak mau perkenalkan nama apalagi mengatakan julukan!
Ha… ha… ha!”<br />
“Dia tidak mau merepotkan kita!” menyahuti Tunggul Gini. “Karena dia
tidak mau memberi tahu nama, berarti kalu dia mati kita tidak perlu
susah-susah membuat papan nisan namanya segala! Ha… ha…ha…!”<br />
Orang berpakaian biru yang tegak membelakangi Wiro rangkapkan dua
tangan di depan dada lalu berkata. “Momok Dempet. Perkara bunuh membunuh
bagi kalian adalah perkara mudah. Semudah membalikkan telapak tangan.
Bertahun-tahun malang melintang hanya membuat keonaran, menumpah darah
mencabut nyawa. Tubuh kalian sudah bau tanah! Apakah akan menebar
kejahatan sampai ke liang kubur?!”<br />
Diam-diam Wiro mendengarkan dengan seksama semua percakapan orang.
Dia semakin menyadari kalau saat itu dia memang tidak lagi berada di
Negeri Latanahsilam. "Di Latanahsilam seingatku tidak ada makhluk
bernama Momok Dempet. Melihatnya pun baru sekali ini… Tapi kalau kulihat
sepasang kaki mereka menyerupai kaki kuda… Keanehan seperti itu hanya
ada di Negeri Latanahsilam!”<br />
Wiro garuk kepalanya. “Dimana aku berada saat ini sebenarnya?”<br />
“Ha… ha! Manusia satu ini ternyata bukan cuma pendekar sejati ! Tapi
dia juga pandai membaca syair di luar kepala!” kata Tunggul Gini
menanggapi ucapan si baju biru tadi. Lalu bersama Tunggul Gono dia
tertawa terpingkal-pingkal.<br />
“Malam begitu dingin. Tapi mengapa hawa terasa panas?” Orang berpakaian biru berucap aneh.<br />
Tangannya meraba ke balik dada lalu srettt! Sebuah kipas lipat tujuh
warna terkembang di tangan kirinya. Dia mulai berkipas-kipas sambil
dongakkan kepala ke langit kelam.<br />
“Pendekar Kipas Pelangi!” seru sepasang Momok Dempet berbarengan dan
sama-sama tersurut satu langkah. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa
melihat perubahan pada air muka sepasang momok. Mata keduanya memandang
mendelik ke arah kipas di tangan si baju biru.<br />
“Pendekar Kipas Pelangi,” Wiro mengulang dalam hati. “Belum pernah kudngar nama itu sebelumnya”.<br />
“Bertangan kidal. Memegang kipas di tangan kiri, pakaian biru, wajah
cakap berkumis! Itu ciri-ciri yang pernah aku dengar. Dia memang
Pendekar Kipas Pelangi…“ Bisik Tunggul Gini dengan suara bergetar.<br />
Tunggul Gono diam saja hanya dua matanya masih terus menatap ke depan tak berkesip.<br />
“Manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan.
Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak
menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan!” Orang berpakaian
serba biru berambut rapi berminyak mengulang ucapan yang tadi
dikeluarkannya.<br />
“Pendekar Kipas Pelangi, kami berdua menghormat nama besarmu. Selama
ini tidak ada pertikaian antara kita. Tapi mengapa hari ini kau muncul
dan mencampuri urusan kami?!”<br />
Bertanya Tunggul Gono. Nada suaranya tidak segalak dan seberangas sebelumnya.<br />
“Tadi aku berucap, mungkin kalian tidak menyimak. Biar kuulang sekali
lagi. Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Padahal
nyawa manusia bukan di tangan manusia lainnya. Mengapa kalian begitu
berani menentang kodrat dan kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam?!”<br />
Sesaat Momok Dempet Berkaki Kuda jadi terdiam mendengar kata-kata
orang berkipas yang disebut dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi.<br />
“Kami tidak bicara tentang Tuhan. Kami bertanya mengapa kau
mencampuri urusan kami!” bentak Tunggul Gono. Keberanian rupanya muncul
secara tiba-tiba dalam diri orang ini.<br />
“Rupanya kau masih kurang menyimak. Biar aku memberi penjelasan.
Nyawa manusia bukan milik manusia lainnya. Jika ada nyawa seseorang
terancam adalah keawajiban seorang lain untuk menolong…”<br />
“Kalau sebelumnya Momok Dempet memang merasa agak leleh nyalinya
menghadapi si baju biru, namun lama-lama keduanya menjadi jengkel juga.<br />
“Dengar Pendekar Kipas Pelangi. Kalau kami katakan kami
menghormatimu, bukan berarti kami takut atau bisa dilecehkan begitu
saja. Jangan berkata pongah di balik nama Tuhan serta dalih budi baik
menolong sesama manusia! Takdir manusia hidup mempunyai berbagai macam
urusan.<br />
Tapi banyak di antara manusia menjadi sombong, hendak menunjukkan
kehebatan dengan dalih menolong sesama. Salah satu di antaranya adalah
kau!”<br />
Orang berjuluk Pendekar Kipas Pelangi tersenyum dan angguk-anggukkan
kepala mendengar ucapan Tunggul Gono. Semenatara pasangannya yang
bernama Tunggul Gini batuk-batuk beberapa kali lalu berucap.<br />
“Maafkan saudaraku ini. Dia memang penaik darah dan mulutnya
terkadang tidak terbendung. Pendekar Kipas Pelanbgi, sebenarnya kami
tidak bermaksud membunuh pemuda itu.<br />
Tapi dia menyerang lebih dulu. Selain itu kami tengah mencari satu
benda pusaka sakti. Jika kau mau bersikap lunak, siapa tahu kau kelak
akan kebagian rejeki besar pula seandainya kami berhasil menemukan benda
keramat itu.”<br />
“Mencari rejeki besar dengan membunuh sesama bukan namanya mencari
rejeki. Tapi mencari dosa dan permusuhan. Tinggalkan tempat ini.
Pergilah mencari rejeki di tempat lain!”<br />
Ucapan Pendekar Kipas Pelangi ini membuat sepasang Momok Dempat menjadi geram.<br />
“Kami mencari rejeki dimana kami suka!” menyahuti Tunggul Gono.
“Kalau disini tidak ada rejeki, atau ada orang lain yang coba mengais di
lahan yang sama, apa boleh buat! Tapi sebelum pergi kami ingin mendapat
beberapa pelajaran darimu. Kami ingin mengukir satu kenangan sampai
dimana sebenarnya kehebatan Pendekar Kipas Pelangi.”<br />
“Sahabat! Serahkan dua makhluk galah itu padaku!“ Wiro yang sejak
tadi diam jadi tak tahan hati dan mulai membuka mulut berseru. “Nyawaku
yang diinginkannya! Jangan kau menyusahkan diri sendiri!”<br />
Orang berpakaian biru tidak menoleh. Dia hanya angkat tangan kanannya
memberi isyarat bahwa urusan itu akan dihadapinya sendiri. “<em>Menantang adalah sikap pongah menyombong kekuatan. Tidak melayani tantangan adalah sikap bersih dan jujur</em>.
Tapi dilecehkan dengan tantangan adalah pantangan para pendekar. Momok
Dempet Berkaki Kuda, aku tidak akan memberi petunjuk apa-apa pada kalian
karenaaku memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang patut diajarkan.
Justru aku yang akan meminta budi pelajaran dari kalian berdua.
Mudah-mudahan ada manfaatanya bagi diriku…”<br />
Mendengar ucapan orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet jadi
melengak, saling pandang lalu saling berbisik. Tiba-tiba keduanya
keluarkan suara aneh. Meringkik seperti kuda sambil kaki masing-masing
dihentak-hentakkan ke tanah berbatu.<br />
“Langit terlalu tinggi, samudera terlalu dalam. Satu-satunya tempat lari adalah liang kematian!”<br />
Yang keluarkan seruan itu adalah Momok Dempet di sebelah kiri yakni
Tunggul Gini. Lalu bersama Tunggul Gono secara berbarengan dia hantamkan
tangan kiri dan kanan. Di saat yang sama tangan mereka yang dempet juga
memukul ke depan. Empat larik sinar hitam Pukulan Ladam Setan
menghantam mengurung Pendekar Kipas Pelangi. Dua menderu di kiri kanan,
dua lagi melabrak di sebelah atas dan bawah. Orang berbaju biru itu
terjepit empat serangan maut.<br />
Seperti ucapan sepasang momok, tempat larinya hanyalah liang
kematian! Tapi sungguh mengagumkan, sikapnya tenang saja mengahdapi
bahaya!<br />
“Sahabata awas!” teriak Wiro lalu melompat ke depan sambil lepaskan
Pukulan Sinar Matahari. Sinar putih panas berkiblat. Tempat itu serta
merta menjadi terang benderang.<br />
“Terima kasih kau mau membantu!” kata Pendekar Kipas Pelangi. Masih
dengan sikap tenang. “Biar aku tambahkan bumbu penyedap pada pukulan
saktimu!”<br />
Habis berkata begitu srett! Pendekar Kipas Pelangi tutupkan kipas
lipatnya. Srettt! Ketika kipas itu dengan cepat kembali dikembangkan
maka terlihatlah satu pemandangan luar biasa!<br />
Tujuh sinar pelangi menderu membentuk sinar puitih setengah lingkaran
tegak lurus, mendukung sinar puith pukulan Sinar Matahari yang berada
di sebelah atas. Pendekar Kipas Pelangi putar lengan kirinya yang
memegang kipas. Tujuh sinar pelangi ikut berputar rebah membentuk
benteng bersusun lalu bersama Pukulan Sinar Matahari melabrak dahsyat
empat cahaya hitam Pukulan Ladam Setan!<br />
“Blaarrr! Blaaarrr! Blaarrr! Blaarr!”<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>ENAM</strong></div>
<br />
Bukit karang bergoncang hebat ketika empat suara letusan seperti
kilat menyambar berdentam empat kali berturut-turut. Di Teluk Penanjung
suara deburan ombak seolah tenggelam lenyap. Gelombang seperti tertahan
tak bergerak.<br />
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak terhuyung. Mukanya kelihatan pucat.
Debu menutupi rambut dan sekujur pakaiannya. Di sebelah depan Pendekar
Kipas Pelangi mengalami goncangan hebat. Sepasang lututnya goyah.
Bagaimanapun dia bertahan, perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut. Dada
berdenyut keras, aliran darah tak menentu. Seperti Wiro, wajahnya
kelihatan pucat seolah tak berdarah. Dia putar tangan kirinya yang
memegang kipas.<br />
“Sreetttt!”<br />
Kipas lipat tertutup kembali. Dengan cepat dia atur jalan darah,
pernafasan serta alirkan hawa sakti ke beberapa bagian tubuh. Ketika dia
memandang ke arah tempat dari mana tadi sepasang Momok Dempet
melancarkan serangan, makhluk aneh itu atak ada lagi di tempatnya.<br />
Di tanah kelihatan cabikan-cabikan pakaian hitam serta muntahan darah
segar! Bentrokan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tadi rupanya
telah membuat sepasang Momok Dempet mengalami luka dalam hebat lalu
melarikan diri.<br />
Perlahan-lahan Pendekar Kipas Pelangi memutar tubuhnya, membuatnya
kini untuk pertama kali berhadap-hadapan saling tatap dengan Pendekar
212 Wiro Sableng. Ternyata pendekar ini berwajah lumayan cakap. Sepasang
kumis kecil rapi meelintang di bawah hidungnya.<br />
Wiro membungkuk memberi penghormatan seraya berkata. “Sahabat, aku
mengucapkan terima kasih atas budi pertolonganmu. Entah kapan aku bisa
membalas hutang besar ini!”<br />
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lebar. Dia masukkan kipasnya ke balik pakaian.<br />
“Sahabat, kalau tadi kau tidak ikut menghantam dengan pukulan yang
memancarkan cahaya menyilaukan itu, belum tentu aku bisa menghadapi
pukulan dua momok itu. Mungkin aku sendiri saat ini sudah terluka
parah!”<br />
“Kau pandai merendah,” kata Wiro<br />
“Saling menolong antara sesama sahabat dalam rimba persilatan,
bukankah itu satu kebajikan yang selalu diajarkan oleh para guru?”
berkata Pendekar Kipas Pelangi.<br />
“Betul sekali, betul sekali…”<br />
“Sahabat, selama ini aku hanya mendengar cerita. Pukulan sakti
bercahaya menyilaukan serta menebar hawa panas tadi, apakah itu Pukulan
Sinar Matahari yang tersohor di delapan penjuru angin?”<br />
Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.<br />
“Apakah saat ini aku benar berhadapan dengan tokoh rimba persilatan
bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”<br />
Masih tersenyum murid Eyang Sinto Gendeng menyahuti. “Turut ucapanmu
tadi, manusia lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat
julukan. Nama dan julukan hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati
tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan….”<br />
Pendekar Kipas Pelangi tertawa lepas mendengar ucapan Wiro itu.
“Tepat sekali! Kau mengingat setiap baris kata-kataku tanpa salah!
Sungguh luar biasa! Sungguh aku beruntung bisa bersahabat denganmu!”<br />
“Sepasang makhluk aneh Momok Dempet tadi, siapa mereka?” bertanya murid Sinto Gendeng.<br />
“Mereka belum lama muncul di rimba persilatan. Konon bersal dari
sebuah pulau di laut selatan. Sepak terjang mereka tidak disenangi
berbagai pihak. Malah para tokoh silat keraton dan pasukan kerajaan
mencari mereka karena beberapa pembunuhan yang mereka lakukan terhadap
orang-orang istana.”<br />
Wiro ingat kejadian beberapa saat sebelumnya. Salah seorang dari
Momok Dempet itu hendak mengambil kapak sakti yang terselip di
pinggangnya. Apakah kemunculan mereka di tempat ini memang sengaja
hendak merampas kapak itu atau ada maksud lain? Maka diapun bertanya
pada Pendekar Kipas Pelangi.<br />
“Sahabat, apakah kau bisa menduga apa tujuan sepasang momok itu datang ke tempat ini?”<br />
“Namanya saja momok. Mereka bisa muncul secara tak terduga dimana
saja. Turut apa yang aku dengar mereka tengah kasak kusuk mencari
sesuatu. Tadipun sudah mereka ucapkan. Malah menawarkan mau membagi
rejeki besar itu bersamaku. Yang tengah mereka cari adalah sebuah
kitab…”<br />
“Sebuah kitab?” mengulang Wiro. “Kitab apa?”<br />
Pendekar Kipas Pelangi mengangkat bahu. “Sebuah kitab sakti. Aku lupa
namanya. Konon kitab ini sudah jadi pembicaraan di rimba persilatan dan
dicari banyak tokoh rimba hijau…” “Aku tidak membawa kitab. Tadi salah
seorang dari mereka hendak mengambil senjataku…” Wiro berpikir sejenak.
Lalu berkata. “Keadaan mereka aneh. Dua tangan saling dempet, empat kaki
seperti kaki kuda, lengkap dengan ladam besi…”<br />
“Menurut ceritanya, mereka dilahirkan kembar dan dalam keadaan cacat
demikian rupa. Tangan dempet, kaki tidak punya tapak tidak berjari.
Keanhean ini telah menarik perhatian seorang tokoh jahat yang pernah
hidup di selat Madura. Tokoh ini memang suka mengumpulkan orang-orang
aneh, lalu melakukan percobaan-percobaan sambil menciptakan ilmu silat
dengan jurus-jurus aneh pula. Masih kanak-kanak kedua orang itu
dibawanya ke tempat kediamannya, diberi pelajaran silat aneh. Agar bisa
berjalan empat kaki mereka dibungkus dengan besi menyerupai ladam kuda.
Ternyata bukan cuma untuk memungkinkan bisa berjalan saja, tapi juga
merupakan senjata luar biasa. Jangankan tubuh manusia, batupun bisa
mereka bobol!”<br />
Wiro memandang berkeliling lalu bertanya. “Tempat ini. Terus terang
aku masih bingung saat ini berada di mana. Daerah ini apa namanya? Aku
mendengar suara tiupan angin seperti bunyi seruling. Di kejauhan
lapat-lapat ada suara seperti deburan ombak…”<br />
Mendengar pertanyaan Wiro itu, Pendekar Kipas Pelangi jadi terheran-heran. Dalam hati dia membatin.<br />
“Dia berada di sini. Tapi tidak tahu tempat apa dan daerah apa. Lalu
bagaimana bisa datang ke sini? Aneh… Apa yang terjadi dengan dirinya
sebenarnya? Sebentar-sebentar dia menggaruk kepala. Apa dia tengah
berpikir atau memang kebiasaannya begitu. Orang-orang mengatakan dia
bertingkah laku aneh. Tapi mengapa kulihat saat ini dia seperti ada yang
tidak beres? Apa perlu aku memberitahu dimana dia berada?”<br />
“Sahabat Wiro, saat ini kau berada di satu bukit karang. Dekat sebuah
teluk di kawasan Pangandaran. Teluknya bernama Teluk Penanjung.
Bertahun-tahuan kau malang melintang di tanah Jawa ini. Mustahil kau
tidak tahu saat ini berada di mana. Aku tidak yakin kau tersesat atau
kesasar berada di kawasan ini…”<br />
“Teluk Penanjung… Pangandaran… jadi saat ini aku berada di tanah Jawa? Benarkah?!”<br />
Wiro memandang dengan mata dibesarkan pada Pendekar Kipas Pelangi sambil garuk-garuk kepala. Yang dipandang bertambah heran.<br />
“Kau ini aneh, masakan kau tidak tahu kalau saat ini berada di tanah
Jawa? Memangnya ada Teluk Penanjung dan Pangandaran di tempat lain?”<br />
“Tanah Jawa! Tuhan Maha Besar! Benar aku saat ini sudah kembali ke
tanah Jawa? Berada di tanah Jawa?! Lalu dimana teman-temanku yang lain?
Setan Ngompol, Naga Kuning… Ah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?”
Sedikit demi sedikit ingatan Wiro kembali pulih. “Negeri Latanahsilam…
Terakhir sekali aku berada di Istana Kebahagiaan! Lalu ada ledakan. Aku
sempat menghantam kening Hantu Muka Dua. Lalu… Aku terseret oleh satu
gelombang tujuh warna, membumbung ke angkasa menembus langit….” Wiro
menatap lekat-lekat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.<br />
“Wiro, apa yang ada dalam benakmu? Apa yang kau pikirkan? Barusan kau bicara seorang diri…”<br />
“Tunggu….” Wiro berkata. “Aku coba mengingat. Aku…. Mungkin sekali
aku pernah berada di tempat ini sebelumnya. Aku…” Sepasang mata Pendekar
212 membesar. Tengkuknya seperti dijalari binatang merayap. Dia ingat.
“Dulu di kawasan ini pernah terjadi bentrokan hebat antara para tokoh
silat golongan hitam melawan golongan putih. Eyang Sinto Gendeng guruku…<br />
Bujang Gila Tapak Sakti sahabatku… Dewa Ketawa… Dewa Tuak… Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur… Semua mereka itu…”<br />
“Dua nama terakhir yang kau sebutkan itu.” Kata Pendekar Kipas
Pelangi pula. “Mereka sekian banyak dari gadis-gadis cantik yang
mencarimu…”<br />
“Aku dicari gadis-gadis cantik?” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiba-tiba senyumnya lenyap.<br />
“Pangeran Matahari!” desisnya. Tubuhnya mendadak bergeletar. Dia memandang berkeliling. Bola matanya membesar.<br />
“Manusia itu sudah lama mati.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.<br />
Wiro gelengkan kepala. “Aku melihat satu wajah…. Wajah Pangeran
Matahari. Wajah orang yang tadi membalikkan tubuhku sewaktu tergeletak
menelungkup…”<br />
Kini Pendekar Kipas Pelangi yang gelengkan kepala. Dipegangnya bahu
Wiro lalu berkata. “Sahabat, agaknya ada satu guncangan besar membuat
kau banyak lupa tentang masa lalumu.<br />
Kau tadi menyebut satu tempat bernama Negeri Latanahsilam. Kau juga
menyebut nama-nama aneh. Apakah… pasti sebelumnya kau telah mengalami
satu kejadian…”<br />
“Mungkin tadi aku hanya menerawang. Atau setengah bermimpi…” kata Pendekar 212.<br />
“Wiro, selama ini kau dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Dua
tahun lebih kau menghilang. banyak orang berusha mencari tapi mereka
menemui jalan buntu. Sahabatku, apakah kau sengaja memencilkan diri
menuntut ilmu baru di satu tempat? Atau bersamadi menambah kehebatan
tenaga dalam?”<br />
“Aku… Jadi, benar selama dua tahun aku berada di Negeri Latanahsilam.” Wiro garuk kepalanya.<br />
Dalam hati dia berkata. “Tidak mungkin aku ceritakan padanya. Selain
baru kenal mungkin dia juga tidak akan bisa mempercayai. Salah-salah aku
bisa dianggapnya gila. Benar-benar sableng!” (<em>Mengenai riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam harap baca serial Wiro Sableng terdiri dari 18 Episode, dimulai dari “</em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-102-bola-bola-iblis.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Bola-Bola Iblis</em></a><span class="ext"></span><em>”</em>)
Wiro berpikir lagi. “Kalau kini aku benar berada di tanah Jawa, apakah
beberapa ilmu yang aku dapat di Negeri Latanahsilam masih kumiliki? Tadi
sewaktu menghadapi dua momok sialan itu mengapa tidak aku jajal dengan
ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang diberikan Luhrembulan? Ah… gadis
itu. Aku…”<br />
“Pendekar 212! Kau melamun atau tengah memikirkan sesuatu?!”<br />
Teguran Pendekar Kipas Pelangi membuat Wiro tersadar. Dia menatap ke
depan dan melihat pemuda berkumis di hadapannya itu memandang
terheran-heran padanya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan dengan
bertanya. “Pendekar Kipas Pelangi, aku tidak tahu banyak mengenai
dirimu. Mengapa kau juga bisa berada di tempat ini?”<br />
Yang ditanya tak segera menjawab. Setelah perhatikan wajah Pendekar 212 sejurus lamanya baru dia membuka mulut.<br />
“Aku tengah mencari seseorang…”<br />
“Pasti seorang gadis cantik!” kata Wiro pula.<br />
Pemuda berkumis rapi itu gelengkan kepala. “Aku mencari kakak
kandungku. Kami berpisah ketika aku berusia empat tahun dan dia enam
tahun. Lebih dari lima belas tahun kami tidak pernah bertemu. Begitu
turun gunung sekitar tiga tahun lalu, aku berusaha mencarinya., tapi tak
kunjung kutemui. Kakakku itu bernama Adisaka. Apakah kau pernah
mendengar nama itu?<br />
Syukur-syukur kau kenal orangnya…”<br />
“Adisaka… Tak pernah aku mendengar nama itu. Bagaimana kisahnya kalian bisa berpisah. Apakah orang tua kalian…”<br />
“Desa kami musnah dilanda bencana alam. Gunung meletus. Kami tercerai
berai. Semua penduduk menemui ajal. Termasuk orang tua kami…”<br />
“Apa kau yakin kakakmu itu masih hidup?” tanya Wiro.<br />
“Aku yakin sekali. Aku sering kedatangan firasat bahwa dia masih hidup. Itu yang menimbulkan semangat untuk mencarinya…”<br />
“Mengapa tidak memulai penyelidikan dari desa kelahirannya?” tanya Wiro.<br />
“Bukannya tidak pernah. Ketika aku kembali ke sana, desa itu sudah
berubah menjadi hutan jati. Tak ada seorangpun tinggal di sana.”<br />
“Kau tentunya mempunyai riwayat hidup luar biasa. Aku senang kalau kau mau menceritakannya.”<br />
Pendekar Kipas Pelangi terdiam sesaat. Kemudian dia berkata.<br />
“Tidak ada salahnya aku menuturkan riwayat diriku. Siapa tahu kau
memberi jalan, bisa membantu urusan yang kuhadapi. Mari kita mencari
tempat duduk yang baik…”<br />
Wiro mengangguk. Dua orang ini pergi duduk di atas gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi lalu mulai menceritakan kisahnya.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>TUJUH</strong></div>
<br />
Sebelum mengetahui kisah hidup yang akan diriwayatkan Pendekar Kipas
Pelangi kepada Pendekar 212 Wiro Sableng, kita kembali dulu pada satu
kejadian beberapa waktu sebelumnya, yakni sebelum Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol terpesat ke Negeri Latanahsilam.<br />
KESUNYIAN di tepi rimba belantara kawasan selatan dipecahkan oleh
suara derap kaki kuda tak berkeputusan. Baik kuda maupun penunggangnya
masih belum nampak. Tak lama berselang, dari tikungan jalan berdebu baru
kelihatan muncul dua kuda hitam, berlari kencang menuju ke barat. Di
atas punggung kuda sebelah kiri duduk seorang kakek berpakaian serba
hitam. Walau usianya sudah mencapai delapan puluh tahun tapi kumisnya
yang melintang di bawah hidung masih hitam berkilat, juga rambutnya yang
menjulai keluar dari balik destar hitam yang bertengger di atas kepala.
Sepasang mata si kakek memandang tajam ke depan. Di balik ketenangan
wajah tua ini, di lubuk hatinya si kakek dibebani oleh satu ganjalan.
Itu sebabnya dia menoleh ke samping dan berkata.<br />
“Kita sudah mencarinya di Nusakambangan. Manusia keparat itu tidak ada di sana.<br />
Padahal petunjuk terakhir membuktikan dia memang ada di situ,
membantai satu keluarga besar yang hendak menuntut balas atas kematian
seorang gadis yang diculik dan diperkosanya.”<br />
Orang yang diajak bicara yakni penunggang kuda hitam sebelah kanan
adalah seorang nenek berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang
keriputan berwarna hitam legam sedang sebelah kanan putih seperti bulai.
Begitu juga alis dan bulu matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam
mencorong, sebaliknya bagian kanan putih memirang.<br />
Di atas kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah
tengah lalu dijalin menjulai panjang ke punggung. Seperti wajahnya
rambut si nenek sebelah kiri berwarna hitam sedang sebelah kanan putih
pirang. Lalu anggota badannya yakni tangan dan kaki juga hitam di
sebelah kiri dan putih di sebelah kanan.<br />
Yang luar biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna
berlainan. Bola mata sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan
putih mengidikkan!<br />
Pada ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain
sebagai penghias. Tapi yang ada di ujung jalin nenek muka hitam putih
ini bukannya pita, melainkan seekor kalajengking hidup. Aslinya binatang
ini berwarna hitam legam. Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh
kalajengking ini dengan cat warna putih hingga sosoknya menyerupai
dirinya.<br />
Nenek ini mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan warna wajah
serta rambutnya. Di sebeleh kiri pakaian ini hitam sementara sebelah
kanan berwarna putih.<br />
“Riku Pulungan,” kata si nenek yang sebenarnya bernama Nini Wetan.
Namun orangorang rimba persilatan lebih suka menyebutnya dengan nama
Nini Setan. Dia adalah kakak si kakek berkumis hitam. “Kalau otakmu
masih terang, sekitar empat tahun lalu aku memberi ingat. Jangan kau
memberikan Kipas Pemusnah Raga pada mujridmu si Warangas itu!”<br />
“Siapa bilang aku memberikan!” memotong si kakek bernama Riku
Pulungan. “Waktu aku menyerahkan kipas padanya, jelas-jelas kukatakan
kipas itu aku pinjamkan. Bukan aku berikan. Tiga tahun setelah dia
kulepas dari pertapaan dia harus mengembalikan senjata itu.<br />
Karena dalam waktu tiga tahun itu aku sudah bisa mengira dia pasti
telah mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Jadi sudah cukup
sekian lama saja dia memegang senjata itu.”<br />
Nini Setan menyeringai. “Nyatanya ucapanku asin, tidak meleset!
Warangas mempergunakan kipas sakti itu untuk berbuat seribu satu macam
kejahatan! Kau tahu dan sudah dengar dosa apa yang telah dilakukan
muridmu itu! Merusak kehormatan anak gadis dan istri orang! Salah satu
korbannya adalah istri Kebo Panaran, Adipati Gombong. Kebo Panaran
sendiri kemudian dihabisinya secara biadab. Lalu dia juga membunuh salah
seorang dari guru-gurunya yakni kakek sakti di puncak gunung Slamet
bernama Wulur Pamenang. Itu terjadi setelah dia ketahuan menghamili adik
seperguruannya bernama Wulandari. Salah seorang gurunya yang lain,
bernama Jagat Kawung kabarnya juga tengah mengejar muridmu itu. Hemmm…
Kalau saja kau mendengar nasihatku dulu, semua malapetaka angkara murka
ini tidak akan terjadi… Berkat perbuatan tololmu Warangas memang telah
mendapat nama besar. Tapi nama besar penuh kekejian! Kurasa tidak ada
makhluk lain yang dosanya seabrek-abrek seperti muridmu itu! Jangan kau
menyesal Pulungan! Hik… hik… hik!”<br />
Riku Pulungan menghela nafas panjang. “Kata orang penyesalan selalu
terjadi belakangan. Aku mungkin keliru memberi pinjam kipas sakti itu.
Tapi aku tidak merasa menyesal. Karena aku tetap akan meminta
pertanggung jawaban murid celaka itu! Aku akan mencarinya sampai ke
liang neraka sekalipun!”<br />
“Sekarang kau mau mengajak aku mencarinya kemana?” Tanya Nini Setan. “Liang neraka tidak ada di dunia ini.<br />
Adanya di akhirat! Hik… hik!” Nini Setan mengejek lalu tertawacekikikan.<br />
Wajah putih si kakek sesaat jadi merah mendengar ejekan saudaranya itu.<br />
“Jangan kau membuat hatiku tambah panas. Turut yang aku dengar dari
beberapa orang yang pernah tahu Warangas,pemuda itu memencilkan diri di
satu tempat di kawasan Teluk Segara Anakan. Dari sini Segara Anakan
tidak berapa jauh. Kita menuju ke sana sekarang juga.”<br />
“Turut yang aku ketahui, muridmu itu bukan memencilkan diri, tapi
melarikan diri. Karena banyak orang berkepandaian tinggi mengejarnya!”
kata Nini Setan pula.<br />
“Itu lebih baik. Berarti aku tidak akan terlalu repot untuk menangani
manusia bejat itu! Nyawanya aku tidak akan peduli. Kalau dia mati di
tanganku ya syukur-syukur. Kalaupun dia dicincang dihabisi sekian banyak
musuhnya rasanya itu sudah jadi bagiannya. Yang pentin aku harus
dapatkan Kipas Pemusnah Raga itu kembali. Aku harus mempertanggung
jawabkannya pada Eyang Guruku!”<br />
<div align="center">
***</div>
PENUNGGANG kuda coklat yang sejak tadi memacu kudanya sekencang yang
bisa dilakukan, mendadak sontak menarik lalu menahan tali kekang
tunggangannya hingga kepala binatang ini terdongak ke atas. Busah
menyembur dari hidung dan mulutnya. Dua kaki depan naik ke atas
sementara sepasang kaki belakang menyerosot meninggalkan guratan panjang
dan dalam di tanah.<br />
Siapakah adanya penunggang kuda ini? Namanya Suramanik. Dulu dia
adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong. Suramanik terpkasa melepaskan
jabatannya karena dipecundangi oleh seorang pemuda bernama Handaka.
Handaka ini bukan lain adalah Warangas murid Riku Pulungan si pemilik
Kipas Pemusnah Raga. Dia juga pernah berguru pada seorang kakek sakti di
puncak gunung slamet yakni Eyang Wulur Pamenang yang kemudian
dibunuhnya. Lalu dia muncul di banyak tempat dengan nama-nama samaran
seperti Prana, Dipasingara dan sebagainya.<br />
Sejak dia dikalahkan dalam satu pertandingan adu jotos dan kehilangan
jabatannya sebaai Kepala Pengawal Kadipaten Gombong, sejak itu pula
Suramanik memendam dendam terhadap Handaka yang saat itu memakai nama
Dipasingara. Dendam kesumat itu semakin menggunung ketika dia menyirap
kabar bahwa atasannya, Adipati Gombong Kebo Panaran tewas dibunuh
Dipasingara. Setelah suaminya menemui ajal dan Dipasingara
meninggalkannya begitu saja, Galuh Resmi lalu nekad bunuh diri di
hadapan mayat suaminya.<br />
Selesai menimba ilmu baru untuk bekal menghadapi Dipasingara maka
Suramanik lalu menemui pencarian terhadap si pemuda. Dia mendapat kabar
konon sejak dirinya dikejar sekian banyak orang yang sakit hati padanya,
Dipasingara memencilkan diri di suatu tempat di kawasan Teluk Segara
Anakan si pantai selatan. Saat itu Suramanik dalam perjalanan menuju
kawasan tersebut.<br />
Apa yang terjadi? Mengapa Suramanik tiba-tiba menghentikan kudanya?
Tadi, sayupsayup di antara deru angin dan derap suara kaki kuda, dia
mendengar suara orang menangis.<br />
“Suara tangis perempuan. Memilukan sekali,” kata Suramanik dalam hati
lalu melompat turun dari kudanya. Tegak di tanah dia memasang telinga
kembali, untuk mengetahui dari mana arah datangnya suara tangisan tadi.
Begitu dia bisa memastikan arah sumber suara dengan cepat dia melangkah.<br />
Tak selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat
dilihatnya seorang perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya
mengenaskan sekali. Pakaiannya bukan saja lusuh dan kotor tapi juga
banyak robekan. Rambutnya yang panjang tergerai awut-awutan.<br />
“Aku tak dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka.
Perutnya… Astaga! Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil.
Paling tidak sekitar enam bulan…”<br />
Suara tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah
tiba-tiba melesat ke atas dalam satu gerakan melompat yang cepat.<br />
“Srettt!”<br />
Sebilah pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan
perempuan hamil. Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini
dapat melihat wajah perempuan itu.<br />
Ternyata dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun
kecantikannya tidak dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil
ini membelalak, memandang berputar.<br />
Air mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai
lalu satu jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan
dibabatkan beberapa kali. Semak belukat rambas bertebaran.<br />
“Mampus! Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!”<br />
“Kasihan sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras,” kata Suramanik
dalam hati. “Dari gerakan tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan
ini memiliki kepandaian silat tidak rendah. Siapa dia adanya? Siapa pula
orang bernama Handaka yang seperti hendak dicincangnya. Apakah aku
harus mendatanginya.<br />
Tapi gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah aku bisa dibabat sambaran pedangnya!”<br />
Selagi Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba
perempuan hamil tadi kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur
lari, cepat sekali., ke jurusan satu pedataran diapit bukitbukit tandus
dia arah selatan yakni arah Teluk Segara Anakan. Suramanik terkejut
menyaksikan.<br />
“Dugaanku tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Ilmu larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya
beberapa kali berkelebat dia sudah berada di ujung sana!” Suramanik
menunggu sesaat lalu naik ke atas punggung kudanya mulai menguntit
mengikuti perempuan hamil tadi.<br />
Siapakah adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu? Dia bukan
lain adalah Wulandari, murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah
terbujuk rayuan Handaka alias Warangas alias Dipasingara hingga gadis
ini mau menyerahklan kehormatannya. Padahal sebenarnya dia telah
,mempunyai seorang kekasih, seorang pemuda bernama Sanjaya yang
merupakan murid tertua Eyang Wulur Pamenang.<br />
Selagi mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng
berlari kencang mendatangi dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.<br />
“Kalau bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat ini. Lari mereka seperti angin…”<br />
“Berhenti!” Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak.
Sesaat kemudian ke tiganya sudah berkelebat, memotong jalan di depan
kuda Suramanaik.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>DELAPAN</strong></div>
<br />
Maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan
sembarangan, Suramanik serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda
berhenti dia segera memperhatikan tiga orang di hadapannya. Yang pertama
seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong.<br />
Lalu seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga
seorang pemuda berwajah gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan
kotor. Di atas punggung kudanya Suramanik duduk tak bergerak.<br />
Dia menunggu sambil memperhatikan penuh waspada.<br />
“Bukan dia…” berkata pemuda berambut gondrong.<br />
“Memang bukan murid celaka itu,” menyahuti si orang tua.<br />
“Ki sasak bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap
menghindar dari hadapan kuda. Aku ada keperluan lain.” Suramanik
akhirnya angkat bicara menegur.<br />
“Harap maafkan,” yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara
pemuda gondrong tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan
dada. “Kami kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Bapak, apakah
Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?”<br />
“Tak seberapa jauh lagi. Di ujung sana,” jawab Suramanik. Dia
perhatikan pemuda berambut gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan.
“Kalian bertiga ini siapa adanya? Siapa pula orang yang tengah kalian
cari?”<br />
Kakek muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan
ke sela bibir lalu meraba-raba pakaiannya. “Ah, sial sekali. Batu apiku
entah kemana! Mulutku bakalan asam seharian ini!” Si kakek cabut rokok
kawungnya lalu bicara perkenalkan diri.<br />
“Si tua buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku
ini bernama Sanjaya. Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng…”<br />
“Astaga! Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama
besar! Harap maafkan aku yang tidak melihat tingginya gunung!” Suramanik
cepat-cepat melompat turun dari kudanya lalu membungkuk memberi
penghormatan.<br />
Jagat Kawung menyeringai. “Kau sendiri siapakah adanya?” Tanya orang tua ini kemudian.<br />
“Ah, ah…” Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak
memberitahu bahwa dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong
dia merasa sungkan. Tapi akhirnya dia bicara juga. “Namaku Suramanik.
Aku berasal dari gombong.”<br />
“Gombong… Gombong… Gombong…” Jagat Kawung mengulang-ulang. “Apa kau
pernah mendengar peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?”<br />
Suramanik merasakan dadanya berdebar. “Peristiwa apa maksudmu orang tua?”<br />
“Istri Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang jadi Kepala Pengawal.<br />
Adipati tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya tiu. Sang
istri kemudian msnikam dada bunuh diri.” Suramanik menatap wajah ke tiga
orang itu berganti-ganti. Sebenarnya dia sudah mengetahui peristiwa
itu. Justru saat itu dia tengah mencari si pembunuh Adipati Gombong itu.<br />
Dia berpaling pada Sanjaya dan berkata. “Orang muda, tadi kau mengatakan tengah mencari seseorang.<br />
Dari pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara Anakan.
Siapakah orang yang kalian cari? Terus terang aku sendiri juga tengah
mencari seseorang.”<br />
“Orang yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam
berbagai sosok. Tapi orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama
Dipasingara alias Handaka alias Prana…”<br />
Berubahlah wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu.
Sebenarnya dia ingin bertanya mengapa ke tiga orang tersebut mencari
Dipasingara. Suaranya bergetar ketika dia berkata.<br />
“Kita mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada
baiknya aku memberi keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal
Kadipaten Gombong! Suatu ketika muncul seorang pemuda mengaku bernama
Dipasingara. Dia inginkan jabatanku dengan cara menantang berkelahi.
Jika aku dikalahkannya maka aku harus menyerahkan jabatanku padanya.
Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan oleh sikap perbuatan dan ucapan
pemuda itu. Aku tak mungkin mengelakkan tantangannya. Kami melakukan adu
kekuatan. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Aku kalah.<br />
Jabatanku hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian
aku mendengar berita menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui.
Adipati Kebo Panaran tewas di tangan Dipasingara. Istrinya menemui ajal
bunuh diri.”<br />
Suramanik diam sebentar lalu berkata. “Saudara bertiga, aku terpaksa meninggalkan kalian.”<br />
Si gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama kalinya membuka mulut.<br />
“Sobat berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?”<br />
Kalau orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan
meradang tersinggung. Tapi karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut
gondrong yang menyandang julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini
maka dia menjawab apa adanya.<br />
“Ketika kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang
perempuan muda aneh mengenaskan.” “Aneh bagaimana?” Sanjaya yang
bertanya.<br />
“Otaknya tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana…” Suramanik menunjuk ke arah timur.<br />
“Pasti Wulandari!” kata Sanjaya setengah berteriak. “Aku punya
firasat buruk sejak tadi pagi. ”Muka pemuda ini tambah pucat. Dia
memandang pada Wiro dan si kakek. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia
menghambur lari ke arah timur yang ditunjuk Suramanik. Wiro dan Jagat
Kawung segera mengejar.<br />
Suramanik melompat naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti orangorang itu.<br />
Tak selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar bergulung-gulung memecah di pantai.<br />
“Ini Teluk Segara Anakan!” menerangkan Suramanik. “Ada sebuah goa di
sekitar sini. Belakangan ini kabarnya Dipasingara sering berada di
tempat itu…”<br />
“Kita cari goa itu sekarang juga!” kata Sanjaya.<br />
Ketika orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi isyarat.<br />
“Tunggu… Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-jeritan perempuan…”<br />
Semua orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua
Jagat Kawung berubah. “Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara
tertawanya si keparat murid murtad Warangas! Datangnya dari balik
gundukan karang besar sebelah sana…”<br />
“Mari kita menyelidik!” kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak
sabaran lalu mendahului berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro
dan Jagat Kawung menyusul. Suramanik mengikuti.<br />
Semakin dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara
tawa. Suara jeritan perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan
keras.<br />
“Handaka manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!”<br />
Begitu sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan
disambut oleh satu pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut
panjang awut-awutan dalam keadaan mengandung besar, dengan sebilah
pedang di tangan menyerang habis-habisan seorang pemuda.<br />
Dari gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat
tinggi. Namun bila diperhatikan kentara sekali walau bagaimanapun
hebatnya gebrakan ilmu pedang perempuan hamil, tingkat kepandaiannya
masih di bawah lawannya. Kenyataannya si pemuda menghadapi gempuran
mautnya sambil terus tertawa bergelak. Kedua orang itu bertempur di
depan sebuah goa. Di mulut goa seorang gadis berkulit hitam manis
berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan setengah mati. Gadis ini
adalah anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di goa itu
hendak digagahi oleh si pemuda.<br />
Namun sebelum niat mesumnya kesampaian, perempuan muda bersenjata pedang keburu memergoki.<br />
“Jahanam! Betul murid sesat itu rupanya!” merutuk Jagat Kawung dengan
mata mendelik begitu dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur
melawan perempuan muda bersenjata pedang.<br />
“Warangas! Ajalmu sudah di depan mata!”<br />
Sementara ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun
dengan mata membeliak mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan
perempuan muda itu.<br />
“Wulandari…” suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan
pandangan ke arah si pemuda, darahnya langsung mendidih. Dia tidak kenal
dan sebelumnya tidak pernah melihat pemuda lawan bekas kekasihnya itu.
Tapi dia yakin pemuda itu adalah Handaka alias Prana alias Dipasingara.
Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya segera hunus pedangnya dan menyerbu ke
kalangan pertempuran.<br />
“Durjana keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!”<br />
Warangas tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat
hanya satu jengkal di samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua
langkah, bersikap waspada sambil memasang kuda-kuda.<br />
Pandangan matanya tidak berkesip. Hatinya mengira-ngira.<br />
“Pemuda muka pucat! Siapa kau!” bentak Warangas.<br />
Belum sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari.
Gadis ini seperti melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya
membentur Sanjaya. Dia lari ke balik gundukan batu karang rendah.<br />
Di sini dia menangis dan berteriak-teriak tak karuan.<br />
Belum sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang
barusan menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat.
Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke
seluruh tubuh Warangas alias Dipasingara.<br />
“Jahanam Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan
di Kadipaten Gombong!” teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan
diri.<br />
“Penyesalanmu akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang
ada yang mau mengubur!” jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan
goloknya, dari arah lain Sanjaya telah menyerbu pula.<br />
“Kalian boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad
aku yang punya! Aku akan patahkan batang lehernya!” Kakek bernama Jagat
Kawung menyerbu dengan tangan kosong, melepas Pukulan Baja Merah.
Selarik sinar merah berkiblat menggidikkan.<br />
Diserang tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat
Warangas membuang diri ke samping lalu melompat setinggi satu tombak.
Selagi mengapung di udara dia keluarkan senjata saktinya yaitu Kipas
Pemusnah Raga.<br />
“Srettt!”<br />
Sinar hitam bertabur ke arah tiga penyerang.<br />
“Lekas menyingkir!” teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya
segera dipukulkan ke depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa
Topan Manggusur Gunung. Pukulan sakti ini adalah warisan dari Tua Gila,
tokoh sakti di Pulau Andalas.<br />
“Bummm!”<br />
Satu ledakan menggoncang teluk.<br />
“Dess… desss!”<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>SEMBILAN</strong></div>
<br />
Warangas merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti
dipelintir. Kipas hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat
Warangas dorongkan tangan kirinya lalu melompat ke samping. Baru satu
kakinya menginjak tanah tiba-tiba Sanjaya, Suramanik dan Jagat Kawung
telah datang menyerbu kembali.<br />
“Mengeroyok tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar
aku yang mempesiangi!” teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya
ketika pedang Sanjaya berkelebat dingin di samping telinga kirinya.<br />
“Tidak perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala
peradatan! Mari kita sama-sama berebut pahala mencincangnya!” teriak
Sanjaya lalu kirimkan satu tusukan dan dua kali babatan.<br />
Warangas kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar hitam yang memiliki
daya kekuatan luar biasa membuat Sanjaya terdorong. Pemuda ini berlaku
nekad. Sambil pukulkan tangan kiri kembali dia mengejar dengan serangan
pedang.<br />
“Sahabat, jangan berlaku bodoh!” berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat tarik tangan kiri Sanjaya.<br />
“Wussss!”<br />
Sinar hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk!
Menghantam satu gundukan batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan
berpelantingan di udara,.<br />
“Breettt!”<br />
Pakaian Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum
habis kejutnya dari samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat
Kawung mengarah leher. Kakek ini agaknya memang ingin mematahkan batang
leher murid bejat itu. Warangas berlaku sigap.<br />
Sambil miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.<br />
Jagat Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh.
Tendangan lawan hanya menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan
dengan itu si kakek susupkan satu jotosan ke perut Warangas.<br />
“Bukkk!”<br />
Warangas keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana
jebol. Dadanya sesak. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi
hebatnya dia masih bisa berdiri walau dengan dua lutut sedikit tertekuk.
Rahangnya menggembung.<br />
“Awas. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Pendekar 212
Wiro Sableng ketika melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur
mengempis. Murid Sinto Gendeng ini segera pula alirkan tenaga dalamnya
ke tangan kanan. Cepat sekali tangan itu berubah menjadi putih seperti
perak menyala!<br />
“Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!”<br />
Warangas marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia
melompat ke atas sebuah batu. Tangan kanannya berputar setengah
lingkaran bergerak ke atas seperti mencungkil.<br />
Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu
menyapu ke arah Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro
Sableng.<br />
Di mulut goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang
ini terguling roboh dalam keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas
Pemusnah Raga menghantam dirinya.<br />
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran
selamatkan diri. Suramanik menjerit. Sosoknya berlutut di tanah.
Pakaiannya sebelah kiri kelihatan hangus. Kulit dan sebagian dagingnya
merah seperti terpanggang. Dengan kertakkan rahang dia mecoba bangkit
berdiri.<br />
Namun saat itu tanah dirasakannya bergetar hebat. Lalu ada sinar
putih berkiblat menyilaukan disertai bertaburnya hawa sangat panas. Di
depan sana Warangas keluarkan teriakan keras.<br />
“Pukulan Sinar Matahari!” Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi diri.<br />
Ketika taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur
cahaya putih panas, satu letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk.
Percikan bunga api bertebar dimana-mana.<br />
Kuda coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri
jatuhkan diri ke tanah mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan
cahaya putih. Secara cerdik dia sengaja menggulingkan diri ke arah musuh
yang dikenalnya dengan nama Dipasingara.<br />
Jagat Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro
sendiri terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh
duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit dan pelipisnya seperti
ditusuk-tusuk.<br />
Warangas sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya
keluar jeritan setinggi langit ketika melihat bagaimana kipas saktinya
robek bertaburan di udara.<br />
“Kipasku… kipasku…” Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah
hangus kehitaman. Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang
masih ada dalam genggamannya dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti
mana mungkin dia menghadapi empat musuh berkepandaian begitu tinggi. Tak
ada jalan lain. Dia harus melarikan diri mencari selamat.<br />
Tidak menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu
karang. Dia sama sekali tidak menduga kalau di balik batu karang ini
justru ada yang menunggunya.<br />
Satu sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari atas ke bawah.<br />
“Wulandari!” Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan
seruan tertahan. Dia berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi
terlambat.<br />
Mendadak sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit
seperti mengoyak seluruh tubuhnya. Seakan-akan tanah yang dipijaknya
roboh amblas, tubuh Warangas terbanting jatuh. Dua kakinya buntung
sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan Wulandari. Darah
membanjir! Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya
bertambah dahsyat ketika Suramanik yang bergulingan mendatanginya
membabatkan golok besarnya. Lalu dari jurusan lain pedang Sanjaya
bertubi-tubi melanda tubuhnya.<br />
“Orang muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!” Sosok Jagat Kawung melesat ke arah Warangas.<br />
Dijambaknya rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika dia
hendak memuntir tanggal kepala Warangas tiba-tiba satu sinar putih
menderu. Cairan merah kental hangat membasahi pakaian dan muka putih
kakek keriput itu. Jagat Kawung melompat mundur.<br />
Sosok Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas
pasir. Lalu sewaktu dia memperhatikan benda yang masih dijambaknya,
kakek ini tersentak kaget. Benda itu adalah kepala Warangas yang sudah
putus!<br />
“Ih!” si kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke
tanah. Wulandari menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang
berdarah masih di tangan gadis ini lari ke arah laut. Wiro coba
menghalangi. Tapi sambaran pedang ganas Wulandari membuatnya terpaksa
mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat meneruskan larinya ke arah
laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga sudah maklum apa
yang akan hendak dilakukan bekas kekasihnya itu.<br />
Dengan cepat dirangkulnya tubuh Wulandari.<br />
“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!” teriak Wulandari.<br />
“Sadar Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh diri adalah kesesatan tak terampuni!”<br />
“Aku memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan!
Aku sudah ditunggu Eyang Guru! Hik… hik… hik!” Wulandari meronta coba
melepaskan rangkulan Sanjaya tapi tak berhasil. Mendadak dia ingat kalau
saat itu masih memegang pedang. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya
ke dadanya.<br />
“Wulan! Jangan!” teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi
terlambat. Pedang menancap masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini
berteriak lalu tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap.<br />
Sepasang matanya mendelik. Tapi ajalnya belum sampai. “Wulan… kenapa
kau lakukan ini. Aku… aku masih mencintaimu. Kenapa kau tega
meninggalkan diriku, Wulan?”<br />
Suara Sanjaya tersendat serak.<br />
Di saat kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah
jernih. Air mata mengucur di kedua pipinya yang pucat. “Semuanya sudah
kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni
dosaku Sanjaya. Aku telah mengkhianati janji cinta kita. Sebenarnya
akupun tetap mencintaimu… Selamat tinggal kakak…”<br />
“Wulan! Adikku!”<br />
Kepala Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan
kedua tangannya. Berurai air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.<br />
Suramanik tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk
kepala. (<em>Kisah segitiga antara Wulandari, Sanjaya dan Handaka alias
Dipasingara bisa pembaca ikuti secara utuh dalam serial Wiro Sableng
berjudul “</em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-20-hidung-belang.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Hidung Belang Berkipas Sakti</em></a><span class="ext"></span><em>”</em>)<br />
<div align="center">
***</div>
SEPERTI diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku
Pulungan dan Nini Setan tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara
Anakan dalam mencari pemuda bernama Warangas. Di satu tempat si kakek
hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si nenek bermuka
belang agar berhenti di sebelahnya.<br />
“Aku mendengar suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi…” kata Riku Pulungan.<br />
Nini Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. “Suara itu datang dari balik gugusan karang. Kita menyelidik ke sana!”<br />
Dua orang tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih
cepat sampai ke balik gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan
berputar tapi lansung menerjang mendaki bukit rendah. Tepat pada saat
mereka mencapai puncak salah satu gugus bukit karang tiba-tiba satu
dentuman dahsyat menggelegar di seantero teluk. Bukit karang bergetar
keras.<br />
Sepasang kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing
sebelum kuda-kuda mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke
atas batu. Memandang ke bawah, kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan
seruan tertahan. Wajahnya pucat, matanya mendelik dan sekujur tubuhnya
terasa lemas.<br />
“Nini, kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu…”<br />
Si nenek bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam. Lalu berucap.<br />
“Kipas itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari
segala-galanya. Kita akan menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan
bekas murid bejatmu ….. Orang-orang itu pasti akan membantainya!”<br />
Ucapan si nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat
kemudian. Di bawah sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas
alias Dipasingara tengah menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas
saktinya hancur dihantam pukulan Sinar Matahari dia berusaha melarikan
diri. Tapi di balik bukit karang dihadang oleh Wulandari lalu diserbu
oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat Kawung hingga akhirnya menemui
ajal secara mengerikan.<br />
Sosoknya tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.<br />
“Aku mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi…” Riku Pulungan berucap perlahan.<br />
Kakek ini mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.<br />
“Kau mau kemana?!” bertanya Nini Setan. “Mau membuat perhitungan
dengan orangorang yang telah membunuh muridmu?! Jangan bertindak bodoh!”
Riku Pulungan hentikan langkahnya. Dia memandang pada si nenek
saudaranya lalu gelengkan kepala. “Aku yakin orang-orang itu menghabisi
Warangas karena mereka mempunyai dendam kesumat amat besar. Malah aku
bersyukur mereka telah meringankan bebanku… Aku terlalu kecewa pada
manusia satu itu.”<br />
“Lalu mengapa kau mau turun ke pantai sana?” tanya Nini Setan kembali.<br />
“Kipas Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa kayu dan gagangnya….”<br />
Jawab Riku Pulungan.<br />
“Kau gila? Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?”<br />
“Aku akan membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku
kembalikan padanya. Kalau dia bersedia aku akan minta Eyang Guru
menggabung-gabunkannya kembali.<br />
Menjadikannya untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti
mandraguna. Kelak senjata baru itu akan kuberikan kepada muridku yang
sekarang…”<br />
“Hemm… Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya penuh pada muridmu yang sekarang ini?”<br />
“Aku percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang
dengan malam. Mungkin ini satu satunya kebajikan terakhir yang bisa aku
buat sebelum menghadap Gusti Allah.”<br />
“Terserah kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke
balik karang sana dulu. Dari tadi aku menahan kencing! Hik… hik… hik…!”<br />
Ketika Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga
tiba-tiba seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak
di hadapannya. Sesaat ke dua orang ini saling beradu pandang.<br />
“Kek, kau tengah melakukan apa?” si pemuda menegur.<br />
Sepasang mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat rajah tiga angka tertera di dada penuh otot.<br />
“Jika mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah
menduga, bukankah saat ini aku berhadapan dengan tokoh muda
berkepandaian tinggi bergelar Pendekar 212, murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede?”<br />
Si pemuda yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali
orang tapi orang mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk
kepala dia berkata. “Orang jelek ini memang murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede. Kau sendiri siapakah adanya Kek? Sedang apa di tempat ini?
Kulihat kau memunguti cabikan-cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana
kemana menghilangnya?”<br />
Wiro melirik ke puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang di atas sana.<br />
“Saudaraku itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa
menahan kencing…” Si kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah
Raga yang dipegangnya. Lalu berkata. “Seperti kau lihat sendiri, aku
tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas ini… “<br />
“Untuk apa?” Tanya Wiro heran.<br />
“Aku tak bisa mengatakannya padamu, anak muda…”<br />
“Kau juga tidak mau mengatakan siapa namamu?”<br />
“Aku Riku Pulungan,” jawab si kakek.<br />
Wiro tertawa bergelak.<br />
“Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya si kakek heran.<br />
“Cocok dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala sisa kipas rongsokan kau kumpulkan. Ha… ha… ha…“<br />
Wajah putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan tertawa.<br />
Wiro lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.<br />
“Anak muda, tunggu dulu…” si kakek berseru.<br />
“Ada apa?” tanya Wiro pula.<br />
“Kalau umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan rongsokan kipas ini…”<br />
Wiro pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya.
Sambil melangkah pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. “Sial, dia
bilang kalau umurku panjang.<br />
Memangnya aku ini mau mati besok apa? Beberapa tahun di muka, aku
akan bertemu lagi dengan kipas rongsokan itu. Edan…” Wiro garuk
kepalanya. Ketika dia berpaling ke belakang, kakek aneh bernama Riku
Pulungan itu tak ada lagi di tempatnya semula!<br />
<div align="center">
***</div>
DUA HARI dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun
orang yang ditunggu tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam
ketiga, selagi matanya setengah terpejam karena tidak sanggup menahan
kantuk, orang tua ini tiba-tiba merasa ada sambaran angin disusul
berkelebatnya satu bayangan.<br />
Satu sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku Pulungan.<br />
Orang ini sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut itu begitu panjang hingga hampir menjela tanah.<br />
“Eyang Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu
menyangkut Kipas Pemusnah Raga…” Riku Pulungan sendiri adalah seorang
kakek berusia hampir delapan puluh tahun.<br />
Jika dia memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia paling tidak di atas seratus tahun.<br />
“Tiga tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku Riku Pulungan, ikuti aku.”<br />
Orang tua berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya
enteng sekali seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia
menyalakan sebuah lampu minyak lalu duduk di atas sebuah bantalan
tipis. Riku Pulungan sendiri duduk membungkuk hormat di hadapannya.<br />
“Apakah kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?” bertanya sang Eyang Guru.<br />
“Saya sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam keadaan seperti ini.”<br />
Lalu dari balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan robekan-robekan
kipas, patahan kayu kipas serta bagian gagang kipas yang hangus. Benda
itu semuanya diletakkan di lantai di hadapan Eyang Guru.<br />
“Jika ada satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku ingin tahu siapa gerangan yang melakukannya?”<br />
“Menjelang ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang
ingin menuntut balas. Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng….”<br />
“Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?” Tanya Eyang Guru.<br />
“Benar sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah menghantam murid saya dengan pukulan Sinar Matahari…”<br />
Orang tua berjubah hijau terdiam sesaat. “Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan muridmu yang bernama Warangas itu?”<br />
“Dia menemui ajal di tangan orang-orang itu,” jawab Riku Pulungan.<br />
“Dia telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,” kata sang Eyang Guru.<br />
Lalu dia menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini membuat Riku
Pulungan merasa seperti ditindih batu besar. “Aku senang bertemu
denganmu. Sisa-sisa kipas bisa kau tinggalkan di sini. Sebelum kita
berpisah, apakah ada sesuatu yang hendak kau tanyakan atau hendak kau
sampaikan?”<br />
“Ada Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau
permintaan saya ini Eyang anggap satu kelancangan atau tak mau belajar
dari pengalaman. Saya mohon dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini Eyang
bisa membuatkan satu senjata baru dalam bentuk yang sama, yakni sebuah
kipas…”<br />
Orang tua berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak
tangannya satu sama lain. “Riku Puliungan, permintaanmu akan
kuperhatikan. Tapi ada satu nasihatku padamu.<br />
Jika kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan kaji dulu dalam-dalam.<br />
Kau harus tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin peristiwa murid
sesat seperti si Warangas itu terulang kembali. Hal semacam itu membuat
rohku kelak tidak akan tenteram di alam barzah…”<br />
“Nasihat Eyang akan saya ingat baik-baik…” kata Riku Pulungan pula.<br />
“Aku dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain…”<br />
“Benar sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Harapan saya sangat besar padanya…”<br />
“Jika dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu
senjata baru dan kuserahkan padamu, apakah kelak senjata itu akan kau
berikan pada muridmu bernama Adimesa itu?”<br />
“Saya tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi
Eyang nasihatkan, saya harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung
dan membuat kesalahan sampai dua kali.”<br />
Eyang Guru anggukkan kepalanya. “Kau boleh pergi. Datanglah kemari
satu tahun lagi. Siapa tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku
bisa menciptakan satu senjata yang bermanfaat bagi dunia persilatan di
tanah Jawa ini…”<br />
“Saya mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk
meninggalkan tempat ini.” Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa
lalu berdiri. Setelah membungkuk dalamdalam dia segera tinggalkan tempat
itu. Hatinya terasa lega. Satu tahun tidak terlalu lama.<br />
Sementara menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang bernama Adimesa itu.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>SEPULUH</strong></div>
<br />
Kita kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng
bertemu dan ditolong oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan
Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di atas
sebuah gundukan batu. Pendekar Kipas Pelangi memulai penuturan riwayat
dirinya.<br />
CUACA pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih
kebiruan. Angin segar bertiup sepoi sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan
terdengar riak arus kali kecil, salah satu anak sungai Bengawan Solo
yang mengalir dan menyuburi desa Kaliurang.<br />
Di satu jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak
lelaki duduk dia atas dua ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan
enam tahun. Tubuh mereka walau kecil tapi tegap dan pipi mereka
kelihatan merah segar pertanda keduanya memiliki badan yang sehat.<br />
Sambil menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak tawa ceria.<br />
“Kakak Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari
batang padi untukku. Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang
padi?”<br />
“Adikku,” jawab anak satunya. “Membuat puput bisa kita lakukan
kemudian. Kita harus melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini
perlu dimandikan. Kau lihat sendiri, badan mereka sangat kotor, tubuh
mereka mulai bau…”<br />
“Tapi kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak mampir saja dulu di sawah. Jadi tidak pulang balik…”<br />
Anak bernama Adisaka tersenyum. “Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku
senang punya adik cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi
pkiran nakal. Perintah orang tua tidak boleh diabaikan dengan alasan
apapun. Jadi kita tetap harus memandikan kerbau-kerbau ini sesuai
perintah ayah. Nah, sekarang kau mau memilih mana. Ikut jalan pikiranmu
atau taat perintah orang tua…”<br />
Si adik tertawa lebar. “Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang punya kakak sebaikmu.”<br />
Adisaka ikut tertawa lebar. “Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah
tinggi. Makin cepat kita memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa
ke sawah mencari batang padi untuk puput…”<br />
“Baik Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita
sama-sama menyanyikan lagu Kami Anak Desa. Kau mau?” Adisaka mengangguk.
Lalu dua anak kakak adik itu mulai menyanyi di atas punggung kerbau
masing-masing.<br />
<em>Kaliurang desa tercinta</em><br />
<em>Terletak di kaki Gunung Merapi</em><br />
<em>Di sana kami dilahirkan</em><br />
<em>Alamnya indah penduduknya ramah</em><br />
<em>Kami anak desa</em><br />
<em>Bangun pagi sudah biasa</em><br />
<em>Hawa dingin tidak terasa</em><br />
<em>Kerja di sawah membuat sehat</em><br />
<em>Kerja di ladang membuat kuat</em><br />
<br />
<em>Kami anak desa</em><br />
<em>Rajin membantu orang tua\</em><br />
<em>Menolong Ibu di rumah</em><br />
<em>Membantu Ayah di sawah</em><br />
<br />
<em>Kami anak desa</em><br />
<em>Tidak lupa sembahyang mengaji</em><br />
<em>Rendah hati dan tinggi budi</em><br />
<em>Selalu unjukkan jiwa satria.</em><br />
<br />
Dua kakak adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya
mencapai satu pertigaan jalan. Di hadapan mereka kini terbentang daerah
persawahan. Untuk menuju kali kecil tempat mereka biasa memandikan
jerbau, keduanya harus membelok ke kiri. Belum selang berapa alam
Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan tiba-tiba ada suara
menggemuruh keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau hentikan lari
melenguh keras ketakutan. Adimesa pegangi leher kerbaunya kuat-kuat.
Dengan muka pucat dia memandang pada kakaknya. “Kak, kau dengar suara
aneh di dalam tanah itu?”<br />
“Aku dengar…”<br />
”Apa yang terjadi?”<br />
Adisaka memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah timur.<br />
“Agaknya mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan sinarnya yang terik…”<br />
Tanah kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari yang tadi.<br />
“Kak, aku ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang dirantai mengamuk mau melepaskan diri…” kata Adimesa.<br />
“Aku mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda
meringkik, gaduh suara ayam, kambing dan ternak lainnya…” Adisaka juga
mulai ketakutan.<br />
“Kita pulang saja Kak,” kata adiknya.<br />
“Ya, mari kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa…”<br />
Baru saja Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan
sinar terang disertai suara menggemuruh seperti ada satu ledakan
berangkai di dalam perut bumi. Dua kakak beradik ini sama-sama
memalingkan kepala ke utara dimana menjulang Gunung Merapi.<br />
“Kakak! Lihat!” Adimesa berteriak. “Ada api menyembur dari puncak gunung!”<br />
“Gunung itu meletus! Gunung Merapi meletus!” teriak Adisaka.<br />
Saat itu udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi
pemandangan. Udara mulai panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur
cahaya merah menggidikkan lalu ada cairan membara mengucur ke luar dan
cepat sekali menebar ke berbagai penjuru, menuju lereng dan seterusnya
ke kaki gunung.<br />
“Kak, kerbau-kerbau kita lari!” bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua
kerbau yang tadi hendak dimandikan berlari ketakutan meninggalkan
tempat itu. “Aku akan mengejar!”<br />
“Jangan!” mencegah si kakak. “Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan memintas kembali ke Kaliurang!”<br />
Dua kakak beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan.
Keduanya mengalami kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga
suara gemuruh dahsyat yang menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh
terhenyak berulang kali.<br />
“Kak, aku takut!” Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.<br />
Adisaka cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat
aman. Namun saat itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang
adalah semburan-semburan sinar dan bendabenda aneh dari mulut gunung.
Adisaka berlaku cerdik. Dia membawa adiknya lari menjauhi cahaya terang
itu. Akan tetapi dua anak ini tak sempat lari jauh karena semburan
benda-benda panas membara yang jatuh di rimba belantara menyebabkan
kebakaran hebat luar biasa.<br />
“Api dimana-mana…” ujar Adisaka. “Kita lari ke sungai. Harus ke sungai…”<br />
Kembali Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.<br />
Namun dua buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah
belakang muncul suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang
keluar dari mulut gunung Merapi. Dua anak kecil itu terkurung tak
mungkin lari, tak mungkin menyelamatkan diri. Mereka tinggal menunggu
mana yang lebih cepat. Dilahap api kebakaran atau digulung lumpur
menyala!<br />
“Kak…! Aku takut! Aku kepanasan…!” ratap Adimesa. “Kita … kita mau lari kemana?”<br />
Saat itu mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa
panas memanggang. Walau takut setengah mati tapi anak ini masih bisa
berucap. “Adimesa, jangan takut! Pasti ada yang menolong kita!
Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil Tuhan!”<br />
Lalu dua anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak. “Ayah! Ibu! Tuhan! Tolong kami!”<br />
Suara teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak
pohon-pohon yang terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh
gemuruh ledakan gunung yang menggoncang bumi. Dua tubuh kecil ini tak
sanggup bertahan. Adimesa jatuh lebih dulu. Satu patahan batang pohon
yang dikobari nyala api entah dari mana datangnya tiba-tiba melayang
turun ke arah sosok si kecil Adimesa yang tergeletak di tanah. Melihat
hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di atas tubuh adiknya untuk
melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam
menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam
benaknya adalah ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan
mengalami bahaya yang bakal merenggut jiwanya.<br />
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda.
Dari kobaran api di samping kiri melesat seekor kuda besar berwarna
putih. Bersamaan dengan itu serangkum angin dahsyat menderu membelah
udara. Batang kayu besar menyala yang hendak menimpa tubuh Adisaka dan
Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih, penunggangya seorang
nenek berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan dengan satu
gerakan cepat luar biasa menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia menggebrak
tali kekang kudanya maka bersama tunggangannya itu dia menghambur lenyap
dari tempat itu.<br />
Hanya sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari
jurusan yang hampir bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya
ternyata seorang kakek berjubah putih. Kobaran api dan tebaran debu
menghalangi pemandangannya.<br />
“Jangan-jangan aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan anak itu lebih dulu…”<br />
Penunggang kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan tubuhnya
seolah terpanggang oleh kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari
kaki kudanya hampir menginjak sosok kecil Adimesa yang tergeletak
menelungkup di tanah. Binatang ini meringkik keras dan hentak-hentakkan
kaki depannya sebelah kanan. Si kakek cepat meneliti ke bawah. Dalam
keadaan begitu rupa untuk pertama kali dia melihat tubuh Adimesa. Tanpa
tunggu lebih lama kakek ini segera membungkuk menyambar tubuh itu lalu
secepat kilat menghilang dari tempat tersebut.<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>SEBELAS</strong></div>
<br />
DUA PULUH tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek
berkuda hitam, di satu tikungan sungai yang arus airnya menderu keras,
seorang pemuda berpakaian biru melompat dari satu potongan bambu ke
potongan bambu lainnya yang bertebaran di atas permukaan air. Ada tujuh
potongan bambu dan satu sama lain saling diikat dengan seutas tali. Di
tangan kiri dia memegang setangkai daun kering berbentuk kipas. Sambil
melompat daun kering di tangannya dipukulkan kian kemari. Ternyata angin
yang keluar dari kipas daun ini sanggup membuat luruh daun-daun
pepohonan rendah di tepi sungai!<br />
Dari apa yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua
jenis ilmu silat. Pertama ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang
ilmu meringankan tubuhnya tanggung-tanggung saja pasti tidak akan mampu
melompat di atas bambu-bambu yang berada di permukaan air sungai berarus
deras dan selalu begerak kian kemari. Lalu ilmu kedua yang tengah
dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu mempergunakan senjata aneh dari
daun kering berbentuk kipas tadi dijadikan sebagai senjata pengganti.<br />
Hampir seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya
dia tidak akan berhenti kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu
bahwa Ki Riku Pulungan memanggilnya. Si pemuda hentikan latihannya.
Sambil melayang dia menyambar salah satu potongan bambu lalu menyeretnya
naik ke daratan. Setelah menggulung tujuh potong bambu itu dengan tali
pengikat dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar si pemuda
merapikan pakaian dan rambutnya lalu cepat-cepat melangkah ke sebuah
pondok terletak di satu tanah ketinggian.<br />
Di dalam pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang
tua ini memberi isyarat agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak
seperti biasanya, kali ini si pemuda merasa ada debaran aneh di dadanya.
Agaknya ada sesuatu hal penting yang hendak dikatakan orang tua itu
padanya.<br />
“Adimesa muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan
tahun. Sambil menduga-duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan
dirimu boleh meninggalkan pondok ini.<br />
Muridku, ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di
sini. Besok pagi-pagi sekali, selesai kau melakukakn sembahyang Subuh,
kau boleh meninggalkan tempat ini. Kemana kau akan pergi, apa yang akan
kau lakukan terserah padamu. <em>Namun selalu ingat, setiap langkah yang
kau jalani, setiap perbuatan yang kau lakukan, bahkan setiap ucapan
yang kau keluarkan hendaklah selalu mengingat kepada Dia Yang Maha
Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena hanya dengan selalu mengingat
Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala perbuatan yang tidak
baik dan terlindung dari marabahaya…</em>”<br />
“Semua ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik…” jawab pemuda bernama Adimesa itu.<br />
Dalam hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun
menunggu akhirnya dia diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di
balik kegembiraan itu ada rasa sedih. Belasan tahun dia bersama Ki Riku
Pulungan, menerima segala budi kebaikan, bukan cuma ilmu kesaktian dan
ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan. Hingga dia tahu jalan lurus yang
harus ditempuhnya demi keselamatan dunia akhirat.<br />
“Sebagai bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata
padamu. Senjata ini tidak aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga
tahun. Setelah tiga tahun kau harus mengembalikannya padaku di pondok
ini. Apakah kelak senjata ini akan kuserahkan padamu lagi atau tidak,
belum dapat kuputuskan sekarang…”<br />
Kembali Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang
akan diberikan gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah
mengajarkan ilmu silat dengan memakai senjata. Yang paling sering
dilatihnya adalah ilmu silat aneh mempergunakan daun kering berbentuk
kipas sebagai senjata.<br />
Dari balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang
ketika dikembangkan dan diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah
sebuah kipas lipat memiliki tujuh buah jalur lipatan dan masing-masing
jalur berlainan warna.<br />
“Mungkin selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu
melatih diri mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku
sudah merencanakan bahwa kelak senjatamu adalah benda sederhana ini.
Sederhana bentuknya tapi kehebatannya tidak di bawah keris, pedang
ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas Pelangi, dibuat oleh guruku Kiai
Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas juga, bernama Kipas
Pemusnah Raga. Ini adalah satu senjata dahsyat yang bisa membunuh orang
semudah kau membalikkan telapak tangan. Karena itu harap kau jaga
baikbaik dan hanya dipergunakan untuk menghancurkan angkara murka, atau
dalam keadaan terdesak menghadapi musuh yang tak bisa dibuat sadar
dengan kata-kata dan nasihat. Ambillah kipas itu Adimesa…”<br />
Si pemuda susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk
sampai tiga kali baru dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi
astaga! Bagaimanapun dicobanya mengambil, kipas itu tak sanggup
diangkatnya dari atas tikar di hadapannya.<br />
Dalam kejutnya si pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini
tenang saja. Adimesa kembali coba mengambil kipas itu. Tetap tidak
terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga luar. Masih tidak bisa.<br />
Kini dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya
jangankan kipas sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih
bisa diangkat.<br />
Alangkah terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat
memercik di keningnya dan dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia
tidak mampu mengangkat kipas itu.<br />
Ketika dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai! Adimesa cepat
duduk bersila. Pakaiannya yang tadi memang sudah basah oleh keringat
sewaktu berlatih di sungai kini menjadi tambah basah. “Guru, maafkan
saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak bisa mengangkat kipas
itu.”<br />
Ki Riku Pulungan tersenyum. “Muridku, agaknya ada satu hal yang
mengganjal di lubuk hatimu. Hingga kipas itu merasa kurang tenteram
untuk kau sentuh…”<br />
“Saya… saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa…” jawab Adimesa.<br />
“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu…” kata sang giuru pula masih tersenyum.<br />
“Tenangkan dulu hatimu baru mulai berpikir.”<br />
Si pemuda mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati,
mengatur nafas dan jalan darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia
akhirnya berkata.<br />
“Maafkan saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya
sewaktu tadi guru mengatakan bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama
tiga tahun. Bukan diberikan untuk selama-selamanya…”<br />
Senyum menyeruak lagi di mulut sang guru. “Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau kecewa?” tanya orang tua itu.<br />
“Mungkin… Mungkin dua-duanya…” kata Adimesa mengakui.<br />
“Itu penyebab kau tidak bisa mengangkat kipas,” ujar Ki Riku
Pulungan. “Kipas itu walau benda mati tapi tetap saja mempunyai
perasaan. Jika kau merasa sedih atau kecewa maka kipas ini akan merasa
tidak tenteram berada di tanganmu. Itu sebabnya dia tidak mau diangkat,
tidak mau ikut bersamamu.<br />
Kecuali jika kau menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru
itu. Kau sekali-kali tidak boleh berkecil hati karena kipas itu hanya
kupinjamkan. Padahal itu cuma satu ujian bagimu. Dapat tidak kau
memiliki senjata ini untuk selama-lamanya tergantung pada dirimu
sendiri. Bagaimana kau menjaganya, bagaimana kau mempergunakannya…”<br />
“Guru, kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya.” Adimesa susun
sepuluh jari di atas kepala lalu membungkuk dan berucap. “Kipas Pelangi,
maafkan diriku. Aku mengaku bersalah karena memiliki hati yang tidak
lurus terhadapmu. Aku berjanji akan menjagamu baik-baik, mempergunakanmu
secara baikbaik dan dengan ikhlas akan mengembalikanmu pada guruku Ki
Riku Pulungan di masa tiga tahun mendatang.”<br />
“Sekarang coba kau ambil kipas itu,” kata Ki Riku Pulungan pula.<br />
Walau agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa ulurkan tangannya.<br />
Begitu jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk menjalar
memasuki tubuhnya. Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih
ringan dari kipas daun yang selama ini dibuatnya untuk latihan!<br />
Adimesa mencium kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya
di atas pangkuan. Ki Riku Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu
Adimesa seraya berkata. “Aku harapkan di masa tiga tahun mendatang,
Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan dirimu…”<br />
“Terima kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya
banyak membuat kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati
guru. Hanya sebelum pergi saya ingin menanyakan lagi, ingin meminta
kejelasan mengenai diri saya…”<br />
Ki Riku Pulungan usap jangut pendeknya. “Seperti yang pernah
kuceritakan padamu, aku tidak dapat mencari tahu siapa adanya kedua
orang tuamu. Aku hanya bisa menduga kau berasal dari sebuah desa di kaki
selatan Gunung Merapi. Mungkin sekali desa Kaliurang. Aku pernah
menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa itu telah lenyap, berubah
menjadi hutan jati. Mungkin kau perlu menyelidik sendiri…”<br />
Adimesa terdiam sejenak. “Guru, seperti pernah saya katakan pada
guru, saya ingat sekali kalau saya punya seorang kakak laki-laki bernama
Adisaka. Waktu bencana gunung Merapi meletus itu saya ada bersamanya.
Saat itu kami dalam perjalanan ke sungai hendak memandikan kerbau…”<br />
“Muridku, waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa pasti ingatanmu tidak keliru?”<br />
“Saya merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu Merapi meletus. Kami berdua terkurung api…”<br />
Ki Riku Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada
peristiwa sekitar delapan belas tahun silam. “Terus terang dalam rimba
persilatan tersiar kabar tentang diri kalian dua bersaudara.<br />
Dikabarkan, salah satu dari kalian memiliki susunan tubuh luar biasa
sempurna, yang tidak dimiliki kebanyakan anak-anak lainnya. Karena itu
diam-diam banyak orang pandai yang mengincar salah satu dari kalian,
ingin mengambil menjadikan murid. Hanya saja saat itu kabarnya agak
sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara kalian berdua
benar-benar memiliki susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri tanpa
diketahui lain orang sudah mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki
kesempurnaan itu.”<br />
“Di antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang
menginginkan dirimu adalah aku sendiri dan seorang nenek sakti yang
kurang baik perangainya dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.<br />
Selama beberapa waktu aku mengintai semua perilaku kalian berdua,
kebiasaan kalian. Dimana kalian bermain dan apa saja yang kalian
lakukan. Agaknya hal ini bukan cuma aku yang melakukan tapi juga
dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai pada satu hari memutuskan
untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga memilih hari yang sama.
Kami tahu hari itu kau dan saudaramu akan memandikan kerbau di kali.
Tapi tidak terduga terjadi bencana. Gunung Merapi meletus. Aku dan si
nenek berebut cepat berusaha mencarimu Ketika berada di dalam rimba
belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur menyala, kau kutemukan
tertelungkup di tanah dalam keadaan pingsan…”<br />
“Hanya saya sendiri?”<br />
“Hanya kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana…”<br />
“Aneh,” kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya bersama kakak Adisaka.<br />
Dia berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk selamatkan
diri! Mungkin kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah
Hati itu…”<br />
“Tidak dapat kupastikan…”<br />
“Mungkin saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya
siapa tahu saya bisa mendapat keterangan tentang kakak saya…”<br />
“Manusia itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu…”<br />
“Mungkin akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung badan saya akan mencarinya sampai kemanapun.”<br />
Ki Riku Pulungan mengangguk. “Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau
lakukan, muridku. Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar
lagi saatnya untuk menunaikan sholat Lohor.”<br />
Adimesa mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk
memberi hormat pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian
belakang pondok.<br />
<div align="center">
***</div>
SETELAH mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu,
Wiro coba mengingat-ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di
Negeri Latanahsilam, berarti satu tahun sebelum itulah dia bertemu
dengan orang tua bernama Riku Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum sendiri
ketika dia ingat bagaimana dia mengatakan pada kakek itu sebagai seorang
pemulung karena sewaktu ditemui dia tengah mengumpulkan sisa-sisa
kipas. Dia kembali tersenyum begitu ingat bahwa Kipas Pemusnah Raga itu
pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar Matahari sewaktu terjadi
perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias Dipasingara alias
Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.<br />
Melihat Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.<br />
Dalam hati dia membatin. “Pendekar ini benar-benar aneh. Aku
bercerita panjang lebar. Dia hanya tersenyum-senyum…” Akhirnya pemuda
ini berdiri dari batu yang didudukinya. “Sahabat Pendekar 212, aku
terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi tiba, aku harus berada di satu
tempat… Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar ihwal kakakku Adisaka
agar memberi tahu aku…”<br />
“Akan aku lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?” tanya Wiro.<br />
“Kau benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan
kalau tidak membuat janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu
tempat. Kau boleh memilih tempat dan waktunya…’<br />
“Kau saja yang menentukan…” ujar Wiro.<br />
“Baiklah,” Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau
kita bertemu di tempat ini lagi lima purnama dari sekarang?”<br />
“Setuju!” kata Wiro.<br />
“Aku pergi sekarang. Selamat tinggal…”<br />
“Tunggu dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan kawasan ini adalah kawasan Pangandaran…”<br />
“Kau tak usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”<br />
Wiro menggaruk kepala. “Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima
kasih sekali lagi atas pertolonganmu menyelamatkan diriku…”<br />
“Lupakan hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban bagimu…”<br />
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku
Pulungan sewaktu mereka bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun
yang silam. Kelak jika dia berumur panjang dia akan melihat kembali
Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur berantakan itu dalam bentuk lain.<br />
Ternyata ucapan itu memang terbukti. Murid si kakek yang bernama Adimesa muncul membawa Kipas Pelangi.<br />
Tak lama setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai
terang-terang tanah. “Aku akan menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku
berada di teluk Penanjung, pasti aku bisa menemukan jurang itu. Aku
harus yakin, sosoknya samar-samar kulihat itu benar-benar Pangeran
Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke dalam jurang. Apa mungkin
dia masih hidup? Atau rohnya yang tadi kulihat?”<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>DUABELAS</strong></div>
<div align="center">
<br /></div>
Sejak pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di
pinggiran jurang batu karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya
menghadapi kesunyian, tak ada yang bergerak, tak ada satu makhluk
hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar dari batu karang di jurang itu
telah diselimuti lumut.<br />
“Tak ada maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari
kuhantam jatuh ke dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun
dia tidak mati sampai di dasar jurang, tidak masuk akal kalau dia bisa
merayap naik selamatkan diri. Makhluk yang kulihat tadi, mungkin rohnya.
Atau mungkin hanya bayangan alam pikiranku saja…” Wiro memandang
kelangit. Sang surya mendekati titik tertingginya.<br />
Saat itu baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.<br />
Tanpa setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak
belukar serta terhalang oleh gundukan batu karang yang menonjol, sejak
petama dia berada di sana, sejak saat itu pula sepasang mata berbola
mata pipih aneh memperhatikannya hampir tidak berkesip. Inilah sepasang
mata makhluk berkepala singa yang dikenal dengan nama Singo Abang.
Sesekali dia berpaling ke dalam goa memperhatikan sosok berpakaian hitam
yang masih tergeletak pingsan di lantai batu.<br />
“Pangeran Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan
memaksa dia memberi keterangan. Aku sudah cukup lama menunggu…” Makhluk
berkepala singa memandang ke arah tepi jurang di atas sana.<br />
“Kalau saja Momok Dempet celaka itu tidak muncul aku pasti sudah
dapatkan Kapak Naga Geni 212 miliknya. Apa yang dilakukan Pendekar 212,
hampir setengah harian duduk di tepi jurang. Menyelidik?”<br />
Di belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.<br />
Dilihatnya tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah memperhatikan sejenak dia lalu membentak.<br />
“Pangeran Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!”<br />
Sosok Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya
rambut awut-awutan Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu
tubuh Pangeran Miring terangkat langsung didorongnya ke dinding goa.
“Kau dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam. Kalau aku tidak
mengobati umurmu paling lama hanya tinggal tiga hari…” Dua mata Pangeran
Miring terbuka sedikit, lalu mengatup kembali. “Kau bunuh aku
sekarangpun aku tidak takut!”<br />
“Pangeran jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati!
Apa kau masih belum mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis
dan Kitab Wasiat Malaikat? Salah satu dari kitab sakti itu pasti ada
padamu. Dimana kau sembunyikan?!”<br />
Pangeran Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian.
“Kau inginkan dua kitab itu? Ambillah!” dari balik pakaian hitamnya.
Pangeran Miring keluarkan setumpuk lembaran-lembaran daun kering disusun
demikian rupa seperti sebuah kitab. Di sebelah depan kitab itu tertera
tulisan “Kitab Wasiat Iblis”. Di sebelah belakang ada tulisan berbunyi
“Kitab Wasiat Malaikat”. Di sebelah dalam kitab daun itu tak ada
sepotong tulisanpun.<br />
“Jahanam kurang ajar!” Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab
daun itu dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari
daun-daun itu hancur bertaburan sebagian lagi menancap di dinding karang
yang keras!<br />
Pangeran Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu
Singo Abang membenturkan kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas
Pangeran Miring melosoh ke lantai goa, kembali pingsan tak sadarkan
diri.<br />
Singo Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro Sableng tak kelihatan lagi di tempatnya semula.<br />
Malam itu pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang
biasanya sering berdebur keras dan memecah di pantai kini hanya muncul
sekali-sekali. Di langit bulan setengah lingkaran memancarkan cahayanya
yang sejuk sementara bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip menambah
indahnya pemandangan.<br />
Di sebuah tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat
bayangan berkelebat. Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat
dipercaya karena mereka ternyata adalah empat orang gadis cantik
berpakaian hitam sangat ketat hingga lekuk-lekuk tubuh mereka kelihatan
dengan nyata. Dalam waku singkat mereka sudah sampai di ujung tanjung.
Seperti memang sengaja menunggu di tempat itu, tampak berdiri seorang
perempuan tinggi semampai, mengenakan pakaian berlapis manik-manik
hingga berkilauan di bawah sapuan cahaya rembulan setengah lingkaran.
Angin laut meniup belahan tinggi di kedua sisi pakaian hingga tersibak
sampai ke pinggul, menyembulkan aurat yang putih mulus.<br />
Perempuan bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke
tengah laut lepas, membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.<br />
Walaupun tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.<br />
“Ratu, kami datang membawa kabar.”<br />
“Kalian berhasil menemui orang itu?” bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia masih saja tegak membelakangi memandang ke laut.<br />
“Kami melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan…”<br />
“Seorang diri?”<br />
“Betul. Dia hanya sendirian.”<br />
“Apa yang dilakukannya di sana?”<br />
“Tak jauh dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi
kesana, memeriksa kuburan satu persatu. Ketika kami pergi dia masih
berada di sana. Dua orang teman kami masih ada di sekitar situ,
berjaga-jaga mengawasi orang itu.”<br />
Perempuan bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk
memberi penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar
biasa cantiknya. Bola matanya berwarna biru. Di kepalanya ada sebuah
mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah. Di tangan kanan dia
memegang gagang sebuah cermin bulat yang didekapkan ke dada. Setelah
pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke
wajahnya. Bukan untuk memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di
kejauhan.<br />
“Aku melihat Candi Pawan…” gadis bermahkota yang dipanggil dengan
sebutan Ratu berkata perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di
depannya. “Aku melihat dua kawan kalian mendekam di balik satu pohon
besar. Aku tidak melihat gadis itu… Tunggu dulu. Ada sesuatu bergerak
dekat kuburan paling ujung. Bidadari Angin Timur. Hemm…. Memang dia…
Gadis itu masih berada di pekuburan. Kalian boleh kembali. Bawa cermin
sakti ini. Aku akan segera menuju Candi Pawan…”<br />
“Ratu, kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu…”<br />
“Tidak usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana.” Gadis bermata biru serahkan cermin bulat pada salah seorang gadis.<br />
“Ratu, cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan…”<br />
“Tidak usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi sekarang.”<br />
“Ratu, kami tidak berani melawan perintahmu,” gadis di samping kiri
berkata. “Tapi kami benar-benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di
luaran tanpa cermin itu.”<br />
Gadis yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.<br />
“Mungkin kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian boleh tinggalkan tempat ini.”<br />
Empat gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu
berlari cepat ke ujung tanjung. Satu persatu mereka mencebur masuk ke
dalam laut!<br />
Siapakah adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang
barusan masuk lenyap ke dalam laut? Dalam rimba persilatan tanah Jawa
gadis bermata biru itu dikenal sebagai Ratu Duyung. Seorang gadis sakti
mandraguna yang bisa hidup di dua alam yakni laut dan daratan. Empat
gadis tadi adalah anak buah atau pengawalnya. (<em>Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul “</em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-83-wasiat-iblis_8.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Wasiat Iblis</em></a><span class="ext"></span><em>” terdiri dari 8 Episode</em>).<br />
Setelah empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak
segera tinggalkan tempat itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung
semua hasil penyelidikan yang dilakukan anak buahnya. Lalu dalam hati
dia membatin.<br />
“Bidadari Angin Timur… Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di beberapa tempat.<br />
Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar 212
Wiro Sableng lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di
kawasan selatan. Agaknya dia mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga
jangan-jangan dirinya ada sangkut paut dengan lenyapnya Wiro. Kini
bukan mustahil kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang
didatangi orang. Kuburan yang diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa
gadis itu berada di sana, malam-malam begini dia sengaja mendahului
rencana pertemuan yang sudah ditetapkan…”<br />
Ratu Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di
sebelah samping kiri. Lalu sekali berkelabat sosoknya pun lenyap dari
tempat itu.<br />
Candi Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan.
Dalam waktu tidak berapa lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan
candi itu. Di balik dinding candi sebelah timur dia keluarkan suara
seperti kicau burung. Dua orang gadis yang mendekam di balik pohon besar
saling berbisik. “Ratu telah datang…”<br />
Sekali lagi terdengar suara kicau burung. “Ratu memberi tanda. Kita
boleh pergi dari sini…” Dua gadis di balik pohon tanpa suara dan
tersamar oleh kegelapan malam segera tinggalkan tempat sejak tadi mereka
bersembunyi.<br />
Dari balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan.
Seorang gadis berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan
kuburan-kuburan tua yang hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun
memiliki nisan. Gadis ini memiliki rambut berwarna pirang yang
melambai-lambai ditiup angin malam. Tubuh, pakaian dan rambutnya menebar
bau harum mewangi. Sambil berjalan pikirannya diputar dan hatinya
membatin.<br />
“Tidak ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal, tidak mungkin dimakamkan di tempat ini.”<br />
Selagi berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis
menangkap suara kicau burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan
pepohonan yang ada di sekitar reruntuhan Candi Pawan.<br />
“Aneh… Ada suara burung di malam hari.” Membatin gadis di tengah
kuburan. “Aku menaruh firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm…
Aku yakin dia bukan bangsa penjahat… Biar kupancing dia keluar dari
tempat persembunyiannya!”<br />
Dengan tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua.
Di hadapan sebuah kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak
menendang.<br />
“Braakkk!”<br />
Tanah kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.<br />
“Braaaakkkk!”<br />
Kuburan tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis berbaju biru ini membentak.<br />
“Orang di dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau ingin kukubur hidup-hidup!”<br />
Si gadis menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.<br />
“Kau memang minta mati!” Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan
kanannya diangkat ke atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu
pukulan dahsyat. Tetap saja tak ada yang muncul.<br />
“Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak termakan pancinganku!”<br />
Baru saja si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan
terdengar suara tawa berderai. Lalu muncul sesosok tubuh berpakaian
bermanik-manik,melangkah tenang mendatangi gadis berambut pirang.<br />
Gadis cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya
ketika melihat siapa yang muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia
menegur, orang itu telah menyapa lebih dulu.<br />
“Sahabatku Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah
kuburan, di kawasan terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau
perbuat?”<br />
Bidadari Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung pipit di pipinya kiri kanan.<br />
“Ratu Duyung!” seru Bidadari Angin Timur. “Aku juga punya pertanyaan yang sama.<br />
Gerangan apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu,
mendatangi kuburan. Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut.
Apakah tidak ada tempat yang lebih indah dari pekuburan ini hingga kau
sampai tersesat kemari?”<br />
Walau maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum.
“Kita mempunyai kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara?
Bukankah hari pertemuan untuk membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya
tinggal beberapa hari di muka. Tapi agaknya kau telah bertindak
mendahului kesepakatan…”<br />
“Jangan kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai
menyalahi aturan. Termasuk dirimu…” kata Bidaari Angin Timur pula.<br />
“Tidak ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan
orang yang sama. Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan
rahasia lenyapnya pendekar itu?”<br />
“Usulanmu baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi aturan…”<br />
“Sahabatku Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa untungnya mengungkit-ungkit masa lalu?”<br />
“Sahabatku Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu.
Baiklah, aku tidak mau bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan
dirimu dan kita bertemu lagi beberapa hari di muka dengan para sahabat
lainnya, sesuai perjanjian.”<br />
Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.<br />
Ratu Duyung menghela nafas dalam. “Kukira hatinya benar-benar polos
terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…” Sambil berkata
sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke arah kuburan yang jebol
akibat injakan kaki Bidadari Angin Timur tadi. Bola mata biru sang Ratu
mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu dilihatnya
bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya sedikit. Memperhatikan
tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam kuburan.
Ratu Duyung terpekik keras. Nyawanya seperti terbang dan tubuhnya
laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke belakang!<br />
<div align="center">
***</div>
<br />
<div align="center">
<strong>T A M A T</strong></div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-22052352479752297392018-04-24T16:54:00.001+07:002018-04-24T16:54:12.557+07:00102. Bola Bola Iblis.<div style="text-align: left;">
Kisah Wiro Sableng di negeri Latanahsilam dimulai pada episode Bola Bola Iblis. bagi yang mau baca monggo udah gw siapin. kisah di negeri latanahsilam sendiri terdiri dari 18 episode sampai dengan episode kembali ke tanah jawa. pada kesempatan lain udah gw buat coretan ringkas per episode dan tokoh tokohnya. <strong>Let's Go......</strong></div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>SATU</strong></div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnpOotJlUEFNNr36eS1dTnZeLJFPIplz5cIAhhSc5FwfNrIfpH0lGS6fvzQheHFAZfu4oOOJ9oClTVzFxFgMcekp4lECrKy3EQJ79L8ZhPu1l4DC96H3Z1ezYdj1DvTx5eZAAqvq8muo8/s1600/WS102+cola+cola+iblis.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="429" data-original-width="300" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnpOotJlUEFNNr36eS1dTnZeLJFPIplz5cIAhhSc5FwfNrIfpH0lGS6fvzQheHFAZfu4oOOJ9oClTVzFxFgMcekp4lECrKy3EQJ79L8ZhPu1l4DC96H3Z1ezYdj1DvTx5eZAAqvq8muo8/s200/WS102+cola+cola+iblis.jpg" width="139" /></a></div>
<strong></strong>Tiga orang lelaki bertelanjang dada memacu tunggangan mereka,
menghambur menyeberangi sungai berair kehijauan. Ikan-ikan dalam sungai
yang tengah berenang menikmati kesejukan alam pagi terkejut berlompatan
ke permukaan air. Binatang tunggangan tiga orang tadi bukanlah kuda
melainkan tiga ekor kadal raksasa berkulit coklat berkilat. Setiap
telinga mereka ditarik binatang-binatang itu keluarkan suara menguik
aneh lalu berlari lebih kencang.
Pada saat matahari muncul lebih tinggi di balik bukit hijau di
sebelah timur, tiga penunggang kadal raksasa berhenti di sebuah bangunan
tinggi terbuat dari batu berwarna merah. Ketiganya memandang ke arah
sebuah jendela di ketinggian bangunan. Di belakang jendela tampak tegak
seorang perempuan masih sangat muda, berambut hitam yang diberi hiasan
sederet sunting. Di wajahnya yang cantik tapi pucat terpancar bayangan
keletihan dan juga rasa gelisah. Sejak kemarin pagi dia berada di
belakang jendela itu. Menatap ke arah jalan kecil yang membelah kawasan
penukiman.<br />
Tadi malam boleh dikatakan dia sama sekali tidak bisa memicingkan
mata. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ketika di jalan di
bawah sana tiga penunggang kadal coklat muncul, sepasang mata perempuan
di bangunan tinggi membuka besar-besar. Hatinya kecewa karena ternyata
yang datang bukan orang yang ditunggunya.<br />
“Wahai tiga kerabat suamiku, penunggang kadal coklat! Gerangan kabar
apa yang kalian bawa! Mana suamiku Lakasipo?!” Perempuan di belakang
jendela bertanya.<br />
Salah seorang penunggang kadal angkat dua tangannya di atas kepala.
Telapak tangan dirapatkan. “Wahai Luhrinjani istri Kepala Negeri
Latanahsilam! Datang kami membawa kabar buruk!”<br />
Berdesir darah perempuan di belakang jendela. Tengkuknya mendadak terasa dingin dan wajahnya bertambah pucat.<br />
“Istri Kepala Negeri, bolehkah kami menyampaikan kabar buruk itu
sekarang juga…?” Lelaki di atas punggung kadal coklat ajukan pertanyaan.
Setiap mulai bicara dia rapatkan telapak tangan di atas kepala.<br />
“Wahai kerabat suamiku! Yang buruk tak bisa dihindarkan, yang baik
belum tentu didapat. Berucaplah engkau! Kabar buruk itu katakan padaku!”
kata perempuan muda bernama Luhrinjani.<br />
Lelaki di bawah sana berpaling dulu pada dua temannya lalu menjawab.
“Wahai Luhrinjani! Tabahkanlah hatimu. Suamimu Lakasipo tewas di tangan
komplotan pemberontak! Maafkan kami Luhrinjani….”<br />
Lantai batu di bawah kaki Luhrinjani seolah runtuh. Ucapan orang
seolah sambaran petir di depan wajahnya. Bola matanya membesar. Lehernya
yang putih jenjang turun naik.<br />
“Tidak boleh jadi! Lakasipo seorang sakti! Mana mungkin terbunuh dia
di tangan pemberontak!” Suara Luhrinjani tersendat. Tubuhnya mendadak
terasa lemas. Cepat-cepat dia menggapai pinggiran jendela batu agar
tidak terhuyung jatuh.<br />
“Maafkan kami Luhrinjani. Kami hanya menyampaikan apa yang kami
lihat. Sebentar lagi kerabat Lahopeng akan datang! Kau bisa dari dia
mendapat lebih jelas keterangan!”<br />
Baru saja pengawal itu selesai bicara tiba-tiba terdengar suara genta
berkepanjangan. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki berwajah
tampan, berambut ikal. Wajahnya yang kebiru-biruan dihias kumis dan
janggut hitam berkilat. Seperti tiga lelaki penunggang kadal, pemuda ini
juga bertelanjang dada. Di pinggangnya melingkar sebuah sabuk kulit
penuh tempelan batu-batu berbagai warna. Di balik sabuk ini terselip
sebilah parang pendek terbuat dari batu berwarna kelabu. Orang ini
datang dengan menunggang seekor biawak raksasa bersisik hitam. Pada
leher biawak tergantung sebuah genta besi yang setiap bergerak
mengeluarkan suara berkerontang.<br />
Tiga penunggang kadal rapatkan tangan di depan kening. Yang di tengah
berkata. “Wahai kerabat Lahopeng. Berita buruk sudah kami sampaikan
pada istri kerabat Luhrinjani.”<br />
Pemuda bernama Lahopeng mengangguk sedikit. “Kalian bekerja bagus.
Hadiah yang kujanjikan kuberikan pasti. Bertiga kalian sekarang boleh
pergi.”<br />
Tiga orang penunggang kadal rapatkan tangan di depan kening lalu
segera tinggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi penunggang biawak
memandang ke atas bangunan. Setelah menatap sejurus maka dia pun berkata
dengan suara keras.<br />
“Wahai Luhrinjani, istri sahabatku Lakasipo. Aku hadir sudah di bawah sini. Apa aku boleh memberi keterangan dari tempat ini?”<br />
Di atas jendela Luhrinjani mengusap dadanya. “Wahai Lahopeng, sahabat
suamiku adalah kau! Wakil suamiku adalah kau. Naiklah ke atas sini agar
kau bisa memberi keterangan lebih jelas.”<br />
Mendengar ucapan Luhrinjani, Lahopeng melompat dari atas punggung
biawak lalu berlari ke arah sebuah pintu di bagian bawah bangunan. Di
sini ada tangga menuju tingkat atas. Sesaat kemudian Lahopeng telah
berhadap-hadapan dengan Luhrinjani. Tempat di mana mereka berada
ternyata adalah ruang ketiduran.<br />
“Salam dalam duka cita untukmu wahai Luhrinjani. Aku tidak berani
memberi penjelasan jika tidak kau meminta,” kata Lahopeng setelah
menatap perempuan muda di hadapannya itu beberapa ketika.<br />
“Aku masih rasa-rasa tidak percaya pada keterangan tiga kerabat tadi
wahai Lahopeng. Katakan, apa salah aku mendengar atau para kerabat
berucap salah. Atau memang suamiku Lakasipo benar telah tewas di tangan
para pemberontak?”<br />
“Maafkan aku wahai Luhrinjani. Benar adanya berita itu. Aku merasa
ikut bersalah tak dapat menolong suamimu. Musuh sangat kuat. Aku sendiri
pasti kalau tidak berlaku cerdik sudah menjadi korban keganasan para
pemberontak. Aku terpaksa menyelamatkan diri. Masih sempat kulihat
kerabat Lakasipo dikurung lawan lalu dibantai. Maafkan aku wahai
Luhrinjani.”<br />
Sesaat sepasang mata Luhrinjani menatap tak berkesip pada pemuda di
hadapannya. Lalu tampak mata itu berkaca-kaca. Isaknya tersendat.
“Lakasipo lelaki sakti. Mungkin bagaimana dia bisa mengalami nasib buruk
begitu?!”<br />
“Aku tahu kehebatan suamimu wahai Luhrinjani. Tapi para pemberontak yang tak seberapa itu ternyata dibantu oleh Hantu Muka Dua.”<br />
“Hantu Muka Dua?” Luhrinjani mengulang nama itu dengan penuh rasa
kejut. Air mata mulai menetes jatuh ke pipinya yang pucat. “Antara
suamiku dan Hantu Muka Dua selama ini tak ada silang sengketa. Mengapa
dia berbuat jahat tega-teganya.”<br />
“Wahai Luhrinjani, kau tahu sendiri adanya siapa Hantu Muka Dua.
Kejahatannya setinggi langit sedalam lautan. Hari ini jadi teman besok
jadi lawan. Hatinya tak bisa ditimba. Apalagi sejak dia mengagulkan diri
sebagai raja di raja para Hantu di negeri Latanahsilam ini. Sementara
kita mencari jalan untuk membalas dendam, kau kuharap bisa bertabah diri
wahai Luhrinjani.”<br />
Luhrinjani tak bisa menahan tangisnya lagi. Ratapannya menyayat hati.
“Buruk nian nasib diriku. Ayah tiada ibu tak punya. Baru tiga hari aku
menjadi istri kanda Lakasipo. Belum lagi kami sempat mengecap cita rasa
bahagianya pengantin baru. Tahu-tahu suamiku terbunuh. Kejam sekali
hidup di alam ini.”<br />
“Suamimu mati secara terhormat wahai Luhrinjani. Sebagai pahlawan
perkasa gagah. Aku sudah meminta beberapa kerabat untuk menyelamatkan
jenazah Lakasipo dan memakamnya di satu tempat.”<br />
“Aku ingin melihat dirinya terakhir kali sebelum dikuburkan….”<br />
“Aku mohon Luhrinjani. Hal itu jangan kau lakukan,” kata Lahopeng.<br />
“Mengapa wahai Lahopeng?” tanya Luhrinjani heran.<br />
“Karena…. Karena keadaan jenazah suamimu sangat rusak. Jika sampai
kau melihat, aku khawatir bayangan rasa ngeri akan seumur hidup
menghantuimu.”<br />
“Aku bersumpah untuk membalas dendam!”<br />
“Sebelum sumpah itu kau ucapkan wahai Luhrinjani, aku sudah lebih
dulu tujuh kali bersumpah. Namun saat ini hanya satu pintaku….”<br />
Kepala Luhrinjani yang tertunduk terangkat sedikit. “Apa yang hendak kau katakan Lahopeng?”<br />
“Kau tahu selama ini perasaanku terhadapmu. Cintaku setinggi langit.
Kasihku sedalam lautan. Hanya nasibku yang belum beruntung. Karena cinta
kasihmu kau berikan pada Lakasipo. Sekarang setelah Lakasipo tidak ada
lagi, apakah kau berkenan mengambil diriku sebagai penggantinya?”<br />
Luhrinjani menatap dalam-dalam ke mata pemuda itu. “Lahopeng, jenazah
suamiku saja belum kulihat. Mungkin bagaimana kau sampai hati berkata
begitu?”<br />
“Maafkan aku wahai Luhrinjani,” kata Lahopeng. Sepasang matanya
menatap tajam seolah mau menembus sampai ke kepala perempuan muda cantik
di hadapannya. “Aku mengikuti hanya adat kebiasaan di negeri leluhur
ini. Yaitu jika ada seorang perempuan menjadi randa, jangan ditunggu
sampai lewat tujuh hari. Dirinya harus segera mendapatkan suami baru.
Atau para roh akan mengutuk dan dia harus menunggu sampai dua puluh
empat kali bulan purnama. Jangan kau lupa wahai Luhrinjani. Kalau paman
dan bibimu tidak ikut campur terlalu jauh, diriku pasti adalah suamimu
satu-satunya. Sekarang kesempatan terbuka bagiku. Walau kini kau hanya
seorang randa….”<br />
“Lahopeng, mana mungkin aku melupakan adat di negeri Latanahsilam
ini. Tapi aku tak bisa memikirkan hal itu saat ini. Aku ingin melihat
suamiku terakhir kali. Bagaimanapun keadaan jenazahnya.”<br />
“Kalau begitu akan kuperintahkan para kerabat untuk mendapatkan mayat
suamimu. Namun kuharap kau mau berjanji. Malam ini, jika kau mau
memberi kepastian, aku akan memanggil nenek Lamahila si juru nikah. Kita
cari seorang saksi. Bersama kita pergi ke Bukit Batu Kawin. Di situ
kita memadu cinta sebagai tanda ikatan suami istri. Sebelum matahari
terbit kita sudah kembali kesini.”<br />
Luhrinjani tegak dengan mulut terkancing. Dia seperti tidak percaya akan pendengarannya. Air mata semakin deras mengucur.<br />
“Lahopeng, aku tahu kau mencintaiku. Kita pernah berkasih sayang.
Tapi aku tak bisa menolak pesan ayah bundaku melalui paman dan bibi.
Bahwa harus aku menikah dengan Lakasipo….”<br />
“Luhrinjani, yang sudah terjadi biar berlalu. Saat ini aku menunggu
jawabanmu. Jika memang diriku tidak lagi berkenan di hatimu, aku akan
pergi dari Latanahsilam ini. Membawa kehancuran hati….”<br />
“Lahopeng, aku perlu bicara dengan paman dan bibiku dulu terlebih.”<br />
“Luhrinjani tambatan hatiku. Jangan lupakan adat istiadat negeri
kita. Seorang perempuan yang telah bersuami, maka lepas dirinya dari
segala ikatan dua orang tuanya. Apalagi sekarang kau cuma punya paman
dan bibi. Hanya kau sendiri yang berhak menentukan apa yang kau
lakukan….”<br />
“Lahopeng, aku….” Luhrinjani tak bisa meneruskan ucapannya. Perempuan
ini menangis keras dan tanpa sadar menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan
pemuda yang memang pernah dicintainya.<br />
“Luhrinjani, aku mencintaimu. Aku akan menerimamu apa adanya….” bisik
Lahopeng seraya menjatuhkan ciumannya ke kening Luhrinjani.<br />
“Lahopeng, aku kini memang seorang randa. Tapi ketahuilah…. Lakasipo belum sempat menyentuh diriku secara keseluruhan….”<br />
“Waktu upacara pengukuhan perkawinanmu di Bukit Batu Kawin….?”<br />
“Dia tidak melakukan hal itu Lahopeng. Karena dia terlalu sayang
padaku. Dia sengaja menunggu sampai di rumah. Namun sampai terbunuh, dia
belum sempat melakukannya….”<br />
“Wahai Luhrinjani,” bisik Lahopeng dengan nafas memburu. “Maksudmu sampai saat ini kau masih perawan?”<br />
Luhrinjani mengangguk dalam pelukan si pemuda.<br />
“Ah, nasib peruntunganku ternyata tidak seburuk yang kuduga….” lalu
Lahopeng memeluk tubuh Luhrinjani dengan sangat bernafsu. Ketika dia
coba menekankan tubuhnya ke tubuh perempuan itu di dinding ruangan
sambil tangannya mengusap ke dada, Luhrinjani cepat mendorong pemuda
itu.<br />
“Dengar Lahopeng. Aku tidak akan memberikan apapun padamu sebelum kita berada di Bukit Batu Kawin.”<br />
“Maafkan aku wahai Luhrinjani. Aku terlalu gembira hingga lupa diri….”<br />
“Sekarang ku harap kau mau pergi dulu Lahopeng. Untuk beberapa lama ingin aku bersunyi diri di tempat ini….”<br />
“Aku akan menunggumu di bawah sana wahai Luhrinjani….” kata Lahopeng lalu mencium kening Luhrinjani.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>DUA</strong></div>
<br />
Dalam gelapnya malam dan dinginya udara di puncak bukit batu, empat
sosok kelihatan duduk bersila mengelilingi perapian kecil. Dua pertama
adalah pasangan Lahopeng dan Luhrinjani. Yang ke tiga seorang nenek
berambut putih riap-riapan berwajah angker dan dari mulutnya terus
menerus keluar suara meracau entah merapal apa.<br />
Dia adalah Lamahila nenek yang dikenal sebagai juru nikah di negeri
Latanahsilam. Di sebelah si nenek duduk seorang lelaki berusia sekitar
setengah abad bernama Laduliu. Lamahila duduk membelakangi sebuah batu
besar rata setinggi lutut, berbentuk tempat ketiduran. Di ujung sebelah
kiri ada dua buah gundukan batu rata menyerupai dua buah bantal.<br />
Tiba-tiba suara racau si nenek berhenti. Menyusul mulut perotnya
berucap mengajukan pertanyaan. “Wahai kalian yang meminta dipertemukan
dalam satu perkawinan sakral! Bukit Batu Kawin telah siap. Apakah berdua
kalian sudah siap?”<br />
“Kami sudah siap nek,” jawab Lahopeng dan Luhrinjani berbarengan.<br />
“Sebutkan nama kalian. Satu persatu!” kata si nenek Lamahila.<br />
“Aku Lahopeng.”<br />
“Aku Luhrinjani.”<br />
Lamahila memandang dengan sepasang mata dibesarkan pada dua orang di
depannya lalu mendongak ke langit kelam dan lengkingan satu pekik
menggidikkan.<br />
“Wahai Lahopeng, apa kau kunikahkan bersedia dengan Luhrinjani? Apa kau bersedia menjadi suami Luhrinjani?”<br />
“Aku bersedia karena aku mencintainya,” jawab Lahopeng.<br />
“Wahai randa tiga hari bernama Luhrinjani. Apa kau kunikahkan
bersedia dengan Lahopeng? Apa kau bersedia menjadi istri Lahopeng?”<br />
“Aku bersedia nek,” jawab Luhrinjani.<br />
Si nenek lontarkan seringai angker pada kedua orang itu. Dia angkat
kedua tangannya ke atas lalu berseru. “Aku Lamahila hanyalah si juru
nikah. Segala apa yang terjadi di tempat ini tanggung jawabku menjadi.
Tapi semua apa yang terjadi setelah itu adalah bagian tanggung jawab
kalian berdua! Wahai Lahopeng dan Luhrinjani. Apa kalian berdua bersedia
menerima tanggung jawab itu?!”<br />
“Kami bersedia nenek Lamahila,” Lahopeng dan Luhrinjani sama berikan jawaban.<br />
“Langit bersaksi. Bumi bersaksi. Di antara keduanya roh dan para Peri
dan Dewa ikut bersaksi! Wahai anak manusia bernama Laduliu, apa kau
sudah siap menjadi saksi hidup di bawah langit di atas bumi?!”<br />
Lelaki separuh baya yang duduk di sebelah si nenek segera menjawab.
“Aku Laduliu siap menjadi saksi perkawinan antara Lahopeng dengan
Luhrinjani. Dengan syarat segala tanggung jawab adalah bagian mereka
berdua!”<br />
Dari mulut Lamahila melengking satu pekik keras. Lalu dari balik
bajunya nenek ini keluarkan sepotong kayu. Begitu ujung kayu disorongkan
ke perapian dan terbakar maka tempat itu serta merta menjadi sangat
wangi harumnya bau kayu cendana.<br />
“Syarat perkawinan di Negeri Latanahsilam! Ada lelaki sebagai
pengantin lelaki. Ada perempuan sebagai pengantin perempuan. Jika dia
gadis maka jadilah dia pengantin perawan. Jika dia seorang randa maka
jangan menunggu sampai lewat tujuh hari. Kecuali kalau dia mau menunggu
selama dua puluh empat kali bulan purnama. Ada saksi di langit. Ada
saksi di bumi. Ada saksi di antara keduanya. Bukit Batu Kawin! Malam ini
aku Lamahila yang dikuasakan sebagai juru nikah di Negeri Latanahsilam
ingin melakukan pengesahan perkawinan antara pemuda bernama Lahopeng
dengan seorang randa bernama Luhrinjani. Perkenankan sepasang pengantin
ini bersatu raga di atas pelaminan batu!”<br />
Saat itu terjadilah satu hal yang aneh. Batu besar berbentuk tempat tidur di belakang si nenek tiba-tiba bergoyang lima kali.<br />
Luhrinjani merasakan dadanya berdebar dan mukanya seolah tidak
berdarah. Terbayang olehnya peristiwa empat hari lalu. Di tempat itu
juga dia melakukan upacara perkawinan dengan Lakasipo.<br />
“Tanda terlihat sudah. Perkenan sudah didapat. Upacara syahnya
perkawinan siap dilaksanakan.” Lamahila memberi isyarat agar semua orang
yang ada di situ bangkit berdiri. Tongkat kayu cendana yang ujungnya
masih terbakar nyala api diputar-putar di udara membentuk
lingkaran-lingkaran merah sabung menyabung dan menebar bau harum
kemana-mana.<br />
“Wahai Lahopeng dan Luhrinjani. Berjalanlah kalian berdua. Tangan
berpegangan. Kelilingi batu pelaminan. Tiga kali dari arah kiri. Tiga
kali dari arah kanan. Setelah itu lepaskan pakaian masing-masing. Naik
ke atas pelaminan batu. Di situ kalian harus melakukan kewajiban pertama
kalian sebagai suami istri yang syah.”<br />
Lamahila memberi isyarat pada Laduliu. Orang yang bertindak sebagai
saksi merangkap pembantu si nenek ini segera mengambil selembar tikar
terbuat dari jerami berwarna kuning yang sudah disiapkannya. Tikar ini
dibentangkan di atas pelaminan batu. Lamahila keluarkan sebuah
pundi-pundi kecil terbuat dari tanah berisi cairan harum yang kemudian
dituangkannya di empat sudut tikar. Lalu dari sebuah kantong kain
diambilnya beberapa jumput tujuh macam bunga dan disebar di atas tikar
jerami.<br />
Setelah melakukan itu semua Lamahila diikuti Laduliu melangkah mundur
ke tempat gelap. Dari mulut si nenek kembali terdengar suara meracau
tapi sangat perlahan, antara terdengar dan tidak. Dari tempat gelap
bersama pembantunya dia siap menyaksikan apa yang akan dilakukan
Lahopeng dan Luhrinjani.<br />
Diterangi nyala perapian, sambil berpegangan tangan Lahopeng dan
Luhrinjani melangkah mengelilingi pelaminan batu. Mula-mula tiga kali
dari sebelah kiri. Setelah itu berputar ke sebelah kanan.<br />
Seperti apa yang dikatakan si juru nikah Lamahila, Lahopeng
menanggalkan pakaiannya yakni sehelai celana berwarna merah. Akan halnya
Luhrinjani, perempuan muda ini tidak segera mengikuti apa yang
dilakukan si pemuda. Dari arah kegelapan tiba-tiba terdengar suara
Lamahila.<br />
“Jika terjadi keragu-raguan di salah satu pihak. Maka perkawinan di Bukit Batu Kawin ini menjadi batal!”<br />
“Luhrinjani,” bisik Lahopeng. “Lekas tanggalkan pakaianmu.”<br />
Saat itu di pelupuk mata Luhrinjani mendadak muncul bayangan wajah
suaminya. “Lakasipo…” desis Luhrinjani. Dia melihat Lahopeng seolah
sosok Lakasipo. Itu sebabnya perempuan ini diam saja ketika Lahopeng
mulai melepas tali pengikat pinggang pakaiannya. Tali pengikat jatuh
kebawah. Sebagian aurat Luhrinjani tersingkap.<br />
Pada saat itulah sekonyong-konyong di kejauhan terdengar suara
menggemuruh derap kaki kuda. Bergerak cepat sekali menuju puncak Bukit
Batu Kawin. Semua orang yang ada di tempat itu tersentak kaget.<br />
Luhrinjani putar kepalanya ke arah datangnya suara itu. “Lakasipo…”
bibir Luhrinjani bergerak bergetar. “Aku mengenali suara binatang
tunggangannya.”<br />
Melihat gelagat yang tidak baik itu Lahopeng bergegas berusaha menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuh Luhrinjani.<br />
Laksana hantu turun dari langit tiba-tiba melesatlah sesosok makhluk
hitam besar disertai gelegar ringkik kuda. Tiupan angin kencang
menerbangkan tikar jerami kuning dari atas pelaminan batu. Bunga-bunga
aneka warna bertebaran ke udara.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>TIGA</strong></div>
<br />
Braaakkk! Tiga pasang kaki berbulu aneh mendarat di atas bukit batu.
Itu adalah kaki-kaki seekor kuda hitam bermata merah yang pada kepalanya
terdapat dua buah tanduk mencuat tajam. Keanehan lain dari kuda ini
ialah dia memiliki tiga pasang kaki. Tiga di sisi kiri dan tiga di sisi
kanan!<br />
Di atas kuda aneh itu duduk seorang lelaki yang muka dan tubuhnya penuh luka bersimbah darah.<br />
“Lakasipo!” teriak Luhrinjani begitu melihat orang di atas kuda yang
bukan lain adalah suaminya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi.
Bukankah menurut Lahopeng suaminya itu telah menemui ajal di tangan
komplotan pemberontak. Luhrinjani berpaling ke arah Lahopeng. Pemuda ini
tampak tegak tertegun. Matanya terbeliak dan mukanya yang kebiru-biruan
mendadak pucat. Luhrinjani hendak menghambur lari mendapatkan lelaki
itu tapi langkahnya tertahan begitu sadar akan keadaan dirinya yang saat
itu tidak tertutup selembar benang pun karena tadi Lahopeng telah
sempat menanggalkan pakaiannya. Dengan cepat Luhrinjani mengambil
pakaiannya lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. Lahopeng segera pula
menyambar celana merahnya.<br />
Walau matanya laksana ditusuk tombak api dan dadanya seolah terbakar
menyaksikan keadaan istrinya namun Lakasipo tidak perdulikan perempuan
itu. Dia melesat dari atas kuda dan langsung menghadapi Lahopeng.<br />
“Lahopeng kerabat keparat! Busuk tidak kusangka sifatmu! Diriku kau khianati!”<br />
“Lakasipo, jangan salah kau bersangka! Biar kujelaskan padamu…” Lahopeng tergagap.<br />
“Tidak perlu penjelasan! Aku tahu sudah apa yang terjadi! Lebih dari
itu sudah kubuktikan sendiri apa yang ada dalam bungkusan kepalamu!
Keji!” Alis dan kumis Lakasipo yang lebat sampai berjingkrak saking
marahnya.<br />
“Lakasipo, tunggu dulu!”<br />
“Jahanam! Jangan kau berani bermulut banyak! Kau sengaja menjebak aku
Lahopeng! Kau katakan ada sekelompok orang hendak merampas kedudukanku
sebagai Kepala Negeri Latanahsilam. Kau bawa aku ke Lembah Labengkok.
Ternyata yang menunggu di sana bukan pemberontak. Tapi kaki tanganmu.
Dibantu Hantu Muka Dua! Kau begitu yakin aku akan terbunuh! Kau beritahu
Luhrinjani bahwa aku sudah tewas. Agar kau bisa mengawininya!
Pengkhianat laknat terkutuk! Dari belakang kau menohok! Kau gunting
leherku dalam lipatan! Tapi para roh dan para dewa menolongku! Aku masih
hidup Lahopeng! Kau harus tebus kejahatanmu dengan nyawa busukmu!”<br />
“Lakasipo wahai suamiku!” jerit Luhrinjani yang saat itu sudah
mengenakan pakaiannya dan menghambur ke arah Lakasipo. Tapi lelaki itu
membentaknya dengan suara garang dan wajah sebuas setan.<br />
“Perempuan tidak berbudi! Mana kesetiaanmu!”<br />
“Suamiku….”<br />
“Jangan panggil aku suamimu! Tiga hari baru kau jadi istriku! Belum
satu minggu kau kukawini! Sampai hati kau menyerahkan hati dan tubuhmu
pada lelaki lain!”<br />
“Lakasipo, aku tertipu. Aku….”<br />
“Kau tidak tertipu Luhrinjani! Justru kau sendiri menipu diri!”
Lakasipo lalu mendorong tubuh perempuan itu hingga Luhrinjani jatuh
terjengkang dekat pelaminan batu.<br />
Di tempat gelap Lamahila dan Laduliu saling berbisik.<br />
“Tak kusangka hal seperti ini bakal terjadi! Lahopeng dan kaki
tangannya rupanya sengaja menipu Luhrinjani agar dapatkan randa itu.
Kita ikut tertipu Nenek Lamahila…” suara Laduliu bernada penuh khawatir.<br />
“Ditakuti tak ada yang perlu!” jawab Lamahila. “Bukankah aku sudah
merapal. Apapun yang bakal terjadi semua tanggung jawab Lahopeng dan
Luhrinjani! Itu perjanjian disaksikan langit dan bumi. Disaksikan
pelaminan batu! Didengar para roh, para Peri dan para Dewa!”<br />
“Tapi Nenek Lamahila. Pikirkan keselamatan sendiri. Lebih baik kita segera angkat kaki dari puncak Bukit Batu Kawin ini!”<br />
Si nenek berambut putih riap-riapan anggukkan kepala. “Aku setuju
ucapanmu Laduliu! Lekas kita merat dari sini!” kata si nenek pula. Lalu
dua orang itu dengan cepat segera tinggalkan Bukit Batu Kawin,
menghilang dalam kegelapan.<br />
Dengan keluarkan suara menggembor Lakasipo menerjang ke arah
Lahopeng. Tangan kanannya bergerak. Lima jari tangan kanannya menjentik.
Lima larik sinar hitam menderu menghantam Lahopeng.<br />
“Pukulan Lima Kutuk Dari Langit!” teriak Lahopeng yang mengenali
pukulan maut itu dan menjadi sadar kalau Lakasipo benar-benar nekad
ingin membunuhnya.<br />
Secepat kilat Lahopeng jatuhkan diri ke bukit batu. Lima larik sinar
hitam lewat hanya sejengkal di sampingnya. Menghantam dua buah pohon
besar enam tombak di ujung kiri. Sesaat kemudian terdengar suara
bergemeletak seperti kayu kering dimakan api. Padahal tak ada kayu yang
terbakar. Ketika Lahopeng palingkan kepalanya untuk melihat apa yang
terjadi, mukanya yang kebiru-biruan menjadi putih dan nyawanya seperti
terbang. Dua pohon tinggi besar yang terkena pukulan Lima Kutuk Dari
Langit saat itu telah berubah ciut mengkeret menjadi dua pohon kering
kerontang tanpa daun. Dan tingginya kini hanya sampai sebatas lutut!<br />
Lahopeng sadar bahaya besar yang dihadapinya. Dia memang memiliki
ilmu kesaktian. Tapi ilmu yang dimiliki Lakasipo sulit ditandingi.
Padahal lawan baru mengeluarkan satu saja dari beberapa ilmu hebat yang
dimilikinya.<br />
Sambil melompat bangkit Lahopeng cabut senjata yang terselip di
pinggangnya. Yakni sebilah parang terbuat dari batu kelabu. Walau
bentuknya buruk namun parang batu ini bukan senjata sembarangan.
Jangankan tubuh manusia, batu sebesar apapun bisa hancur kena
tikamannya. Selain itu untuk menyerang musuh senjata itu tidak perlu
tetap digenggam di tangan. Cukup dilempar dilepas ke udara maka parang
batu ini akan melayang menyerang musuh.<br />
“Parang Batu Penjungkir Arwah!” ujar Lakasipo dengan suara bergetar
menyebut nama senjata di tangan Lahopeng. Dia tahu betul kehebatan
senjata itu. Tapi nyalinya tidak leleh. “Lahopeng! Boleh kau punya
sepuluh parang sakti! Aku Lakasipo tidak takut!”<br />
Lahopeng pemuda berwajah kebiru-biruan menyeringai. “Waktu sudah
kuminta untuk memberi penjelasan. Tapi kau mendesak dan memburu laksana
setan! Jangan menyesal Lakasipo! Kalau kau benar-benar mati menjadi
setan!”<br />
“Jahanam takabur! Perampok istri orang! Kau punya roh yang bakal
minggat duluan! Kau yang bakal jadi setan gentayangan! Arwahmu
tergantung antara langit dan bumi! Tersiksa dalam siang maupun malam!
Tersesat di delapan penjuru angin! Para Peri dan Dewa mendengar
kutukku!”<br />
“Aku tidak merampok istri Lakasipo! Kau yang merampas kekasihku!” teriak Lahopeng.<br />
“Kalian berdua! Hentikan perkelahian!” teriak Luhrinjani. Perempuan
ini tidak berani mendekati dua orang yang tengah berhadap-hadapan untuk
saling membunuh itu.<br />
Namun tak ada yang memperdulikan jeritan Luhrinjani.<br />
“Lakasipo, jika kau memang merasa diri hebat! Jika kau masih inginkan istrimu majulah!” tantang Lahopeng.<br />
Lakasipo merasa sekujur tubuhnya seperti terbakar mendengar ucapan
orang. “Aku tidak ingin perempuan penjual cinta dan tubuh itu! Hanya
satu niatku saat ini! Membunuhmu sampai lumat!”<br />
“Kau mimpi Lakasipo! Majulah cepat! Akan kubuktikan bahwa kau seorang
lelaki tak berguna! Kau tidak pantas menjadi Kepala Negeri
Latanahsilam. Lebih dari itu kau tidak pantas menjadi suami Luhrinjani!”<br />
Lakasipo keluarkan suara menggereng dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke
depan. Di saat yang sama Lahopeng lemparkan Parang Batu Penjungkir Arwah
ke udara. Senjata ini serta merta memancarkan sinar kelabu lalu secara
aneh berputar seperti titiran. Memancarkan cahaya kelabu dan
mengeluarkan angin dingin menggidikkan. Parang batu ini menyambar ganas
ke arah Lakasipo. Menyerang bagian-bagian tubuh secara tidak terduga!<br />
Lakasipo tahu kehebatan senjata lawan cepat berkelebat mengelak.
Tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang. Sambil mengelak tangannya
bergerak tiada henti.<br />
“Hulu parang… hulu parang! Aku harus dapat menangkap hulu parang!”
kata Lakasipo dalam hati berulang kali. Dia memang tahu kelemahan
senjata lawan. Siapa saja yang diserang tapi sanggup menangkap gagang
parang batu maka senjata itu akan menjadi miliknya, dapat dipergunakan
untuk menyerang lawan termasuk pemiliknya. Tapi bukan hal mudah untuk
dapat menangkap hulu parang batu. Selama Lahopeng memiliki senjata itu,
sekian lama pula ayahnya menguasai parang tersebut sebelum diwariskan
pada Lahopeng, tidak pernah ada satu musuh pun yang sanggup menangkap
parang batu! Agaknya Lakasipo juga tidak mungkin melakukan hal itu.
Usahanya bukan saja sia-sia tapi dua lengan dan tangannya yang
sebelumnya memang sudah penuh luka bergelimang darah kini tampak cidera
bertambah parah. Satu tikaman malah mengoyak lambungnya hingga tulang
iganya tersembul memutih. Luhrinjani terpekik!<br />
“Lakasipo! Kematian akan segera menjemputmu! Aku bersedia memberi
pengampunan! Tinggalkan tempat ini! Jangan berani kembali ke Negeri
Latanahsilam!”<br />
Lakasipo mendengus keras. Dari hidung dan mulutnya mengepul hawa
putih. “Memang aku akan pergi jauh Lahopeng. Aku akan pergi ke Negeri
Neraka Langit Ke Tujuh! Dan kau akan kubawa serta!”<br />
Habis berkata begitu Lakasipo keluarkan satu pekik dahsyat. Tubuhnya
mencelat dua tombak ke atas. Dari ujung dua kakinya mengepul asap hitam
yang langsung membungkus kedua kakinya sampai sebatas betis sehingga
saat itu dia seperti mengenakan sepasang kasut hitam memancarkan cahaya
angker.<br />
“Kaki Roh Pengantar Maut!” seru Lahopeng penuh kejut. Dalam hati dia
membatin kecut. “Jadi benar rupanya dia telah memiliki ilmu luar biasa
itu. Aku waspada harus! Atau….”<br />
“Wutttt!”<br />
“Wuuuut!”<br />
Laksana dua ekor elang besar, dua kaki Lakasipo melayang turun,
menyambar ke dada dan kepala Lahopeng. Dua larik sinar menggidikkan
menambah angker serangan maut itu. Lahopeng cepat berkelebat selamatkan
diri sambil gerakkan tangan kanannya. Di bawah kendali gerakan tangan
itu, Parang Batu Penjungkir Arwah melesat ke atas memapasi hantaman dua
Kaki Roh Pengantar Maut.<br />
“Breettt!”<br />
Sambaran parang merobek selaput hitam yang membungkus kaki kiri
Lakasipo dan merobek telapak kakinya. Darah mengucur. Namun kemarahan
dendam kesumat membuat Lakasipo tidak merasakan sakitnya luka di kaki
itu. Kaki kanannya digerakkan menghantam parang batu.<br />
“Braaakkk!”<br />
Parang Batu Penjungkir Arwah patah dua mengeluarkan suara seperti
hancurnya sebuah batu besar. Dua patahan parang terlempar lenyap dalam
kegelapan.<br />
Putuslah nyali Lahopeng melihat apa yang terjadi dengan senjata yang
sangat diandalkannya itu. Tanpa menunggu lebih lama dia berkelebat ke
balik sebatang pohon besar lalu melesat ke atas biawak hitam
tunggangannya dan kabur melarikan diri dari puncak Bukit Batu Kawin.<br />
“Jahanam Lahopeng! Mau ke mana kau lari!” teriak Lakasipo. Masih
melayang di udara tubuhnya membuat gerakan berjungkir balik lalu melesat
mengejar ke arah larinya pemuda berwajah biru. Kaki kanannya
menghantam.<br />
“Braaakkk!”<br />
Batang pohon besar di balik mana barusan Lahopeng menyelinap kabur
hancur terkena tendangan Lakasipo lalu tumbang menggemuruh. Lakasipo
berkelebat mengejar ke balik tumbangan pohon. Namun Lahopeng dan
tunggangannya telah lenyap dalam kegelapan malam. Lakasipo kertakkan
rahang. Dia siap lari mendatangi kuda berkaki enam yang jadi
tunggangannya untuk mengejar. Tapi tiba-tiba Luhrinjani telah memagut
tubuhnya. Merasa dirinya dihalangi Lakasipo membentak marah.<br />
“Sengaja kau menghalangi diriku mengejar pemuda jahanam itu! Makin
jelas bagiku kau ingin membela melindunginya! Pertanda kau bukan
perempuan suci! Bukan perempuan setia bisa dipercaya! Kudengar di masa
muda ibumu juga bersifat seburuk dirimu!”<br />
Luhrinjani menjerit mendengar kata-kata Lakasipo itu. Perempuan ini jatuhkan diri dan merangkul kaki Lakasipo seraya meratap.<br />
“Wahai Lakasipo, sabarkan dirimu. Buang amarahmu jauh-jauh. Jika sudah kau menguasai diri, mari kita bicara dulu….”<br />
Lakasipo mendengus dan sibakkan dua tangan Luhrinjani. “Jangan sentuh
diriku Luhrinjani! Mulai saat ini tidak aku sudi lagi melihat dirimu!
Pergi kejar Lahopeng! Kawini dirinya! Bukan dengan tubuh kasarnya! Tapi
dengan roh busuknya! Karena aku akan segera membunuhnya! Pasti!”<br />
“Lakasipo….”<br />
“Jangan panggil namaku!” teriak Lakasipo lalu menjambak rambut
Luhrinjani sehingga sederet sunting yang menghias kepalanya berjatuhan.
“Ingat malam perkawinan waktu kita berada di pelaminan batu sana empat
hari lalu! Aku begitu mengasihimu hingga tidak sungguh-sungguh bersatu
badan denganmu! Sebagai istriku hal itu bisa kudapatkan nanti. Bukan
disaksikan oleh orang banyak yang punya adat kebiasaan gila itu!
Menyuruh orang bersatu badan sementara mereka menyaksikan! Bejat sungguh
adat gila negeri ini!”<br />
“Lakasipo! Jangan kau berani berkata begitu. Itu adat aturan Negeri
Latanahsilam sejak jaman nenek moyang kita…!” seru Luhrinjani.<br />
“Kujaga dirimu baik-baik pada malam pengantin kita! Tapi tadi kau
begitu mudah hendak menyerahkan tubuhmu pada Lahopeng pemuda pengkhianat
keparat itu! Sungguh budimu rendah sekali! Martabatmu di mana sebagai
gadis terpandang di Negeri Latanahsilam! Perempuan lacur di Negeri
Lahansesat sekalipun jika dikawini secara baik-baik tidak akan berbuat
serendah pekerti dirimu!”<br />
Luhrinjani terpekik mendengar ucapan Lakasipo itu. Mukanya pucat
memutih. Matanya terbelalak dan sekujur tubuhnya menggeletar. Dua
tangannya dipergunakan menekap pipinya kiri kanan. Dalam keadaan
setengah berjongkok dia bersurut mundur. Sekali lagi perempuan ini
menjerit. Lalu tiba-tiba sekali dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan
lari ke arah timur puncak Bukit Batu Kawin di arah mana terdapat sebuah
jurang batu sedalam seratus tombak.<br />
“Luhrinjani!” teriak Lakasipo. Dia segera mengejar karena sadar apa
yang hendak dilakukan perempuan itu. Namun lelaki ini hanya sempat
menyentuh pundak istrinya itu. Luhrinjani telah lebih dulu menghambur
membuang diri ke dalam jurang batu. Suara pekikannya menggema selagi
tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Lalu suara pekik itu lenyap. Puncak
Bukit Batu Kawin ditelan keheningan. Tak ada suara apa-apa. Bahkan suara
hembusan angin pun tidak menyentuh pendengaran. Lakasipo tegak
terkesiap, memandang membeliak ke dalam jurang gelap menghitam.<br />
“Luhrinjani!” Tiba-tiba Lakasipo berteriak. Hanya gema suaranya yang menyahuti, menggaung dari dasar jurang batu yang kelam.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>EMPAT</strong></div>
<div align="center">
<br /></div>
(<em>Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul “</em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-99-wasiat-malaikat.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Wasiat Malaikat</em></a><span class="ext"></span><em>” Episode ke 9 dari 11 Episode</em>)
ketika masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, Puti Andini alias Dewi
Payung Tujuh telah ditelan oleh ular naga betina peliharaan Kiai Gede
Tapa Pamungkas. Di dalam perut ular gadis ini menemukan tiga buah benda.
Pertama Pedang Naga Suci 212 yang memang tengah dicarinya atas perintah
Tua Gila. Benda ke dua adalah sebuah kitab daun lontar bernama Kitab
Wasiat Malaikat. Benda ke tiga sebuah batu aneh memiliki tujuh macam
warna seperti warna pelangi.<br />
Sewaktu perut ular robek besar oleh sambaran Pedang Naga Suci 212,
senjata sakti ini bersama Kitab Wasiat Malaikat dan batu tujuh warna
terpental ke luar. Pedang Naga Suci 212 diperebutkan oleh beberapa orang
tokoh silat antara lain Sinto Gendeng, Sika Sure Jelantik dan Sabai Nan
Rancak. Setelah berpindah tangan pedang sakti itu akhirnya jatuh ke
tangan Puti Andini dan dipergunakan untuk menyembuhkan Pendekar 212 dari
musibah kutuk yang dideritanya.<br />
Kitab Wasiat Malaikat didapat oleh Ratu Duyung sedang batu tujuh
warna berhasil diambil oleh kakek aneh bermata jereng bertelinga lebar
yang dikenal dengan panggilan Si Setan Ngompol.<br />
Setelah peristiwa besar di saat gerhana matahari di Telaga
Gajahmungkur yang mengisahkan matinya dedengkot golongan hitam Datuk
Lembah Akhirat (<em>dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “</em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-101-gerhana-di.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Gerhana Di Gajahmungkur</em></a><span class="ext"></span><em>”</em>)
tiga dari sekian banyak tokoh silat golongan putih yang terlibat dalam
peristiwa itu kini tersesat di kawasan pantai selatan. Mereka adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng, si bocah bernama Naga Kuning alias Naga Cilik
alias Naga Kecil. Lalu kakek berjuluk Si Setan Ngompol.<br />
“Kita pergi tanpa tujuan. Mendingan aku ikut saja bersama Ratu Duyung
yang cantik itu. Mencari Hantu Balak Anam yang katanya membekal Kalung
Permata Kejora. Atau ikut dengan gadis berambut pirang Bidadari Angin
Timur. Pergi dengan kalian pemandanganku malah jadi sepet. Apa untungnya
aku ikut kalian!”<br />
Pendekar 212 dan Setan Ngompol saling pandang dan kedipkan mata.
Setan Ngompol baru saja hendak menjawab ucapan si bocah Naga Kuning tadi
tapi mendadak ada suara lain mendahului.<br />
“Wahai bocah jelek! Tidak ada memang untungnya! Malah kau segera akan jadi buntung!”<br />
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol serta merta sama palingkan kepala
ke arah datangnya suara tadi. Mereka melihat seorang kakek tak dikenal
duduk bersila di atas sebuah batu. Orang tua berambut, berkumis dan
berjanggut putih riap-riapan ini mengenakan pakaian aneh, terbuat dari
sejenis daun yang dikeringkan. Dia duduk bersila di atas sebuah batu.
Wajahnya aneh karena kening, hidung dan pipinya sama rata. Di balik
keanehan ini terpancar sesuatu yang menakutkan.<br />
“Aneh,” bisik Wiro. “Barusan kita melewati batu itu tak ada
siapa-siapa di sana. Bagaimana sekarang tahu-tahu kakek itu berada di
situ?” Naga Kuning tidak sahuti ucapan Wiro. Dia yang barusan ditegur
dan memang sedang jengkel langsung berkata pada si orang tua.<br />
“Kakek tak dikenal. Tolong jelaskan apa maksud ucapanmu barusan.”
Naga Kuning lalu melangkah mendekati orang tua itu. Tapi Si Setan
Ngompol cepat pegang lengan si bocah seraya berkata.<br />
“Cuma seorang jembel bulukan begitu perlu apa dilayani.”<br />
Naga Kuning – bocah yang sebenarnya adalah seorang kakek berusia
lebih dari seratus tahun ini – semula hendak mengiyakan. Namun mendadak
Pendekar 212 Wiro Sableng pegang bahu Naga Kuning dan Setan Ngompol
seraya berkata setengah berbisik.<br />
“Coba kalian perhatikan. Tadinya aku mengira kakek itu duduk di atas
batu. Ternyata tubuhnya berada setengah jengkal di atas batu! Dia duduk
mengapung di udara!”<br />
Setan Ngompol dan Naga Kuning sama-sama besarkan mata lalu sama-sama tersurut. Setan Ngompol leletkan lidah.<br />
“Hanya orang-orang berkepandaian sangat tinggi mampu melakukan hal
seperti itu. Nyanyuk Amber tokoh paling hebat dalam rimba persilatan
sekalipun belum tentu bisa berbuat seperti itu….”<br />
Wiro garuk-garuk kepalanya. Maju selangkah lalu cepat menjura. “Ah,
maafkan kami yang buta ini. Tidak tahu kalau saat ini tengah berhadapan
dengan seorang pandai. Kek, siapa kau gerangan dan mengapa berada di
rimba belantara ini. Apa kau kesasar…?”<br />
Kakek yang mengapung di atas batu tertawa mengekeh. Suara kekehannya
terdengar aneh karena seolah bergema di empat sudut hingga Wiro dan
kawan-kawannya memandang berkeliling terheran-heran.<br />
“Kau benar-benar hebat Kek! Memiliki ilmu memindahkan suara hingga tawamu terdengar di empat tempat!” Pendekar 212 memuji.<br />
Si kakek gelengkan kepala. “Wahai anak muda. Ilmu memindahkan suara
yang kau kenal adalah dasar paling rendah dari kepandaian mempermainkan
lidah dan tenaga dalam dari perut. Yang barusan padamu aku perlihatkan
adalah ilmu bernama Empat Penjuru Angin Menebar Suara! Lima tingkat
lebih tinggi dari ilmu memindahkan suara!”<br />
“Ah, seumur hidup baru sekali ini aku mendengar ilmu yang kau
sebutkan itu!” kata Setan Ngompol. “Sahabat tua, kami belum mendengar
penjelasanmu. Apa benar kata sahabatku ini tadi. Kau kesasar ke tempat
ini?”<br />
“Wahai kakek yang tubuhnya menebar bau kencing kuda! Tidak kesasar
aku ini! Perjalanan dan pertemuan ini sudah kurencanakan sejak lima abad
silam memang!”<br />
Tiga orang itu melengak ternganga. Wiro berbisik. “Si tua ini bukan
saja aneh keadaan tubuhnya tapi caranya bicara juga aneh. Kata-kata
dalam ucapannya kadang-kadang terbalik-balik. Lalu katanya dia telah
merencanakan ini sejak lima abad lalu….”<br />
“Biar aku yang bicara,” kata Setan Ngompol. Lalu dia maju satu
langkah mendekati orang di atas batu. “Sobat, kita sama-sama tua.
Pengalaman hidup kita tentu sudah bergudang-gudang. Tapi baru sekali ini
aku mendengar ada orang merencanakan perjalanan dan pertemuan sejak
lima ratus tahun lalu. Bagaimana ini?”<br />
“Wahai bagi bertiga kalian mungkin saja aneh. Tapi bagiku sama sekali
anehnya tidak ada. Apa yang kurencanakan kini menjadi kenyataan. Kalian
bertiga sudah ada dalam penglihatanku lima ratus tahun lalu. Nyatanya
wahai kini kalian hadir benar-benar di hadapanku!”<br />
“Aku melihat gelagat tidak baik,” bisik Setan Ngompol pada Pendekar
212. “Melihat pada pakaiannya yang terbuat dari daun kering tidak
mustahil dia ini lama terpendam dalam rimba belantara.”<br />
“Kek, rencana apa yang ada dalam benakmu sejak lima ratus tahun silam itu?” bertanya Naga Kuning.<br />
Belum si kakek menjawab Wiro menyambung. “Kek, setiap bicara kau suka
memakai kata wahai. Selain itu logat bicaramu aneh. Kata-katamu suka
terbalik-balik. Kau bukan orang sini. Kau dari mana sebenarnya Kek?”<br />
Kembali kakek di atas batu tertawa mengekeh dan seperti tadi suara tawanya terdengar menggema di empat tempat.<br />
“Aku datang dari negeri seribu dua ratus tahun silam…” kata orang tua
di atas batu sambil menyeringai lalu mengusap mukanya yang rata.<br />
“Kakek kau tentu bergurau!” kata Naga Kuning pula.<br />
“Kek, kami memang tidak kenal siapa kau. Tapi kalau katamu kau datang
dari masa seribu dua ratus tahun silam, rasanya sulit kupercaya…” kata
Wiro sambil garuk-garuk kepala.<br />
“Itulah sifat jelek manusia hidup dalam jamanmu wahai anak muda.
Terkadang tidak mau percaya pada kenyataan. Tapi lebih percaya pada
kebohongan. Percuma saja aku menjelaskan pada wahai kalian bertiga.
Karena kujelaskan pun kalian tidak akan mengerti. Biar satu contoh aku
berikan!” Kakek yang duduk mengapung di atas batu memandang pada Naga
Kuning. “Orang ini. Perwujudan muka dan sosok tubuhnya adalah seorang
bocah. Berusia tidak lebih dari dua belas tahun. Tapi siapa mengira
sebenarnya kalau dia adalah seorang tua berusia seratus dua puluh tahun!
Siapa bisa menerangkan keanehan ini! Padahal keanehan dalam dirinya
adalah sepersepuluh saja dari segala keanehan yang terdapat dalam
kehidupanku!”<br />
Naga Kuning diam-diam menjadi gelisah. “Bagaimana orang tua ini tahu keadaan diriku,” ujarnya dalam hati.<br />
“Kek, tadi pun kami sudah mengatakan kau adalah orang hebat. Bukan
sembarangan. Sekarang apakah kau mau mengatakan siapa dirimu? Apa
rencanamu terhadap kami sesuai penglihatanmu lima ratus tahun yang
lalu?”<br />
Mendengar ucapan Wiro itu orang tua di atas batu berkata. “Wahai anak
muda yang jarah tiga angka ada di dadanya! Akan kujawab tanyamu. Coba
pandang dulu wajahku baik-baik!” Habis berkata begitu si orang tua
gerakkan tangan kanannya untuk mengusap wajah serta bahunya kiri kanan.
Saat itu juga wajahnya yang tadi rata kini berubah menjadi wajah makhluk
sangat menyeramkan. Rambutnya berjingkrak lurus berwarna merah. Dari
kulit kepalanya mengepul asap kemerah-merahan. Hidungnya panjang tinggi
dan bengkok. Lalu sepasang matanya seolah berada di luar rongga,
membeliak merah. Dari sela bibirnya yang kini berubah biru pekat mencuat
keluar barisan gigi-gigi panjang besar dan lancip. Sesekali lidahnya
terjulur keluar bergelimang cairan merah seperti darah! Perubahan yang
terjadi atas diri orang tua ini tidak sampai disitu saja. Ternyata
tangannya kini telah menjadi empat buah. Dua di kiri dua di kanan! Empat
tangan itu bergerak kian kemari tak bisa diam.<br />
Pendekar 212, Naga Kuning dan Setan Ngompol tersurut sampai tiga
langkah. Setan Ngompol langsung terkencing-kencing.”Celaka!
Jangan-jangan kita berhadapan dengan dedemit rimba belantara!” bisik
kakek ini sambil pegangi bagian bawah perutnya kencang-kencang menahan
kencing.<br />
Didahului suara tawa bergelak, sosok menyeramkan kakek di atas batu
kembali berubah seperti semula. Mukanya kembali rata dan tangannya
kembali hanya dua. Wiro beranikan diri berkata. “Kami sudah lihat
keadaan dirimu. Sungguh luar biasa. Cuma kalau tanganmu empat seharusnya
kakimu juga kau rubah empat, tidak cuma dua!”<br />
Naga Kuning tertawa cekikikan. Setan Ngompol senyum-senyum tak berani tertawa keras-keras karena takut terkencing-kencing.<br />
“Orang tua, sekali lagi kami meminta. Harap terangkan siapa dirimu adanya!” Naga Kuning kini yang bicara.<br />
Wajah rata si orang tua tampak hitam mengelam. Dadanya bergoncang
tanda dia menahan perasaan tidak enak akibat ucapan Wiro yang
memperolokkannya tadi.<br />
“Wahai kalian bertiga. Ketahuilah sejak lahir tidak pernah diriku
diberi nama. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Hantu Tangan Empat!”<br />
“Hantu Tangan Empat!” mengulang Wiro sementara Setan Ngompol dan Naga Kuning saling berpandangan.<br />
“Aneh,” bisik Setan Ngompol. “Hantu benaran mana bisa bicara ngobrol
seperti dia! Kita harus hati-hati. Aku punya firasat dia ada niat jahat
terhadap kita bertiga! Bukankah dia sengaja mencegat kita di tempat ini.
Seperti yang katanya direncanakan sejak lima ratus tahun lalu? Gila!
Apa masuk di akal?!”<br />
Wiro pegang lengan Setan Ngompol lalu berkata pada Hantu Tangan
Empat. “Kakek hebat! Terima kasih kau sudah memberi tahu siapa dirimu.
Sekarang apa kau suka menjelaskan rencana apa yang kau buat terhadap
kami bertiga?”<br />
“Wahai anak muda! Dalam penglihatanku lima ratus tahun yang silam
maka adalah kau orangnya yang bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Benar?”<br />
Wiro garuk kepala lalu mengiyakan walau dalam hati dia membatin.
“Lima ratus tahun yang lalu lahir pun aku belum! Semakin aneh manusia
satu ini bagiku!”<br />
Kakek di atas batu berpaling pada Naga Kuning. “Dan kau wahai bocah!
Seperti aku kau juga dilahirkan tidak bernama. Orang-orang menyebutmu
Naga Kuning alias Naga Kecil alias Naga Cilik. Salahkah ucapanku?!”<br />
“Kau, kau benar wahai Kakek!” jawab Naga Kuning. Walau heran tapi dia
sengaja meniru cara bicara si orang tua yang sering-sering
mempergunakan kata wahai.<br />
“Siapa diriku, apakah kau juga tahu?” bertanya Si Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.<br />
“Wahai orang tua berjereng mata, berlebar telinga. Menerka siapa
dirimu semudah membalikkan tangan. Badanmu menebar bau pesing kencing
kuda. Pasti sudah kau adalah manusianya yang dijuluki Si Setan Ngompol!”<br />
“Ah!” Setan Ngompol berkata setengah berseru, kagum lalu terkencing.<br />
“Sekarang Kek, harap katakan apa rencanamu terhadap kami,” ucap Wiro pula.<br />
Kakek yang mengaku sebagai Hantu Tangan Empat tertawa lebar. Dia usap
muka ratanya lalu rangkapkan dua tangan di atas dada. Setelah mendongak
ke langit baru dia berkata.<br />
“Aku mendapat tugas dari Hantu Muka Dua….”<br />
“Hemmm…. Kau tadi mengaku sebagai Hantu Tangan Empat. Hantu Muka
Dua…. Siapa dia? Temanmu, gurumu, embahmu, atau pimpinanmu?” Yang
bertanya adalah Naga Kuning.<br />
“Hantu Muka Dua adalah raja di raja semua hantu di negeri seribu dua ratus tahun silam Latanahsilam!” jawab Hantu Tangan Empat.<br />
“Hantu Muka Dua memberimu tugas. Tugas apa…?” tanya murid Sinto Gendeng Wiro Sableng.<br />
Hantu Tangan Empat terlebih dulu pandangi satu persatu tiga orang di depannya. Lalu dia menyeringai dan berucap.<br />
“Tugasku membunuh kalian bertiga!”<br />
Setan Ngompol langsung terkencing. Naga Kuning pegangi lengan Wiro.
Pendekar 212 sendiri menatap si orang tua sambil garuk kepala, tak
percaya atas apa yang barusan dikatakan.<br />
“Apa kubilang,” bisik Setan Ngompol.<br />
“Manusia ini ternyata memang punya maksud jahat terhadap kita bertiga!”<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>LIMA</strong></div>
<br />
Pendekar 212 maju selangkah mendekati orang tua yang bersila
mengapung di atas batu. “Hantu Tangan Empat, kami baru sekali ini
bertemu denganmu….” “Aku sudah bertemu dengan kalian sejak lima ratus
tahun silam wahai anak muda!”<br />
“Tidak perduli kapan kau bertemu kami. Yang jelas antara kita tak ada
silang sengketa. Kami tidak tahu di mana itu negeri seribu dua ratus
tahun silam! Kami juga tidak tahu siapa adanya Hantu Muka Dua. Mengapa
tahu-tahu muncul kau ingin membunuh kami bertiga?! Apa tidak edan?!”<br />
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Wahai Pendekar 212. Dengar
baik-baik. Bagi kami para Hantu, tidak perlu harus ada alasan saling
silang sengketa untuk membunuh seseorang. Tidak sudi aku bicara
berpanjang-panjang. Siapa di antara kalian yang secara suka rela ingin
lebih dulu menyerahkan nyawa!”<br />
“Keparat sialan…!” maki Wiro dengan suara perlahan lalu berpaling
pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. “Apa yang harus kita lakukan?”<br />
“Aku mendengar segala macam hantu takut pada air kencing,” berkata Naga Kuning.<br />
“Bagaimana kalau kau kencingi saja kepalanya sekarang juga! Ayo Kek, lekas buka celanamu….”<br />
Si Setan Ngompol terkesiap bimbang. “Makhluk keparat itu tangannya
empat. Bagaimana kalau salah satu dari tangannya sampai meremas
barangku! Bisa celaka diriku seumur-umur!”<br />
“Kalau begitu celanamu saja buka. Bukankah celanamu sudah basah oleh air kencingmu. Lemparkan celana itu ke kepalanya!”<br />
“Naga Kuning, jangan kau berani menyuruh seenaknya. Kau tahu di balik
celana luar ini aku hanya mengenakan sehelai celana kolor rombeng! Kau
mau suruh aku berdiri bugil di sebelah bawah?!”<br />
“Wahai kalian bertiga! Apa berunding tengah menentukan siapa yang mau
mati duluan?!” Hantu Tangan Empat berseru. “Berunding jangan keliwat
lama! Aku bisa tidak sabaran dan menyapu kalian bertiga sekaligus!”<br />
“Hantu sialan! Bagaimana kalau aku hantam saja dia saat ini juga!” Naga Kuning jadi naik darah.<br />
“Tunggu, ada sesuatu yang harus kita selidiki!” kata Wiro.<br />
“Dari tadi kulihat matanya berulang kali melirik ke arah pinggang
Setan Ngompol. Seperti ada yang diincarnya.” Murid Sinto Gendeng ini
lalu maju lebih mendekati orang tua di atas batu.<br />
“Hantu Tangan Empat, kau menyembunyikan sesuatu. Mustahil Hantu Muka
Dua menugaskanmu membunuh kami tanpa satu alasan. Kurasa ada sesuatu
yang kalian inginkan dari kami bertiga!”<br />
Hantu Tangan Empat menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu tertawa
gelak-gelak. “Kau cerdik wahai anak muda berambut gondrong! Terkadang
kecerdikan seseorang bisa menyelamatkan dirinya dari kematian. Dari
kalian kami memang menginginkan sesuatu! Tidak masalah kalian mau
memberikan apa tidak. Karena yang terjadi apapun bertiga kalian tetap
saja akan menemui kematian!”<br />
“Hemm… begitu,” ujar Wiro sambil menyeringai. Otak jahilnya mulai bekerja.<br />
“Katamu kau mendapat tugas dari Hantu Muka Dua. Pernahkah kau
mendengar makhluk bernama Hantu Muka Tiga? Satu muka di kepala, satu di
dada, satu lagi di bawah selangkangan!”<br />
“Di negeri seribu dua ratus tahun silam tidak ada Hantu seperti itu,” jawab Hantu Tangan Empat.<br />
“Hantu Muka Tiga adalah bapak dari Hantu Muka Dua! Dan Hantu Muka
Tiga adalah sahabat kami! Jika kau berani macam-macam Hantu Muka Tiga
akan merebusmu dalam kuali raksasa!!”<br />
Kakek di atas batu sesaat terdiam tapi mulutnya menyunggingkan seringai.<br />
“Sebaiknya kita panggil saja Hantu Muka Tiga sekarang juga! Biar tua
bangka satu ini dilalapnya mentah-mentah!” berkata Naga Kuning.<br />
“Betul!” sahut Setan Ngompol. “Biar aku yang memanggil!” Orang tua
yang sudah tahu akal-akalan Wiro ini melesat ke cabang sebuah pohon.<br />
Hantu Tangan Empat tertawa bergelak.<br />
“Kami para Hantu tidak pernah termakan tipu daya manusia!” Tangan
kanannya diacungkan ke depan. “Wahai Pendekar 212! Aku minta senjata
saktimu! Nyawamu sekaligus!”<br />
Bersamaan dengan itu Hantu Tangan Empat gerakkan tangan kanannya.
Tangan itu robek di bagian pinggang sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng
berseru kaget sambil pegangi pinggangnya. Di depan sana dilihatnya si
kakek masih tetap duduk mengapung di atas batu dan di tangan kanannya
orang tua itu telah memegang Kapak Maut Naga Geni 212!<br />
“Tua bangka berkedok hantu! Ternyata kau adalah maling tengik yang
mencoba menjadi rampok picisan!” teriak Wiro. Tangan kanannya segera
diangkat. Tangan ini sampai sebatas siku serta merta berubah menjadi
seputih perak.<br />
Kakek di atas batu gelak mengekeh. “Pukulan Sinar Matahari! Wahai
Pendekar 212! Apakah aku mendapat kehormatan untuk merasakannya?!”<br />
Habis berkata begitu si kakek usap muka dan bahunya kiri kanan.
Seperti tadi maka wajahnya segera berubah. Sangat menyeramkan. Tangannya
yang dua kini menjadi empat. Salah satu dari empat tangan itu memegang
Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro.<br />
“Wussss!”<br />
Pukulan Sinar Matahari berkiblat. Cahaya putih panas menyambar.<br />
“Bummm!”<br />
Tanah di tempat itu bergetar keras. Pepohonan berderak-derak. Batu
besar hancur berkeping-keping, mengepulkan asap seolah berubah menjadi
bara. Di sebelah sana Hantu Tangan Empat tetap tak terusik dari
tempatnya semula. Duduk bersila mengapung di atas batu yang telah
hancur. Satu tangan memegang kapak, tiga lainnya bergerak kian kemari
menggulung cahaya putih pukulan Sinar Matahari yang masih bersisa.
Begitu tiga tangan dihantamkan ke depan maka buntalan cahaya Sinar
Matahari menderu menyambar ke arah pemiliknya sendiri, Wiro Sableng!<br />
Murid Sinto Gendeng berteriak kaget dan cepat jatuhkan tubuh
selamatkan diri. Cahaya putih panas menderu di atasnya. Cahaya yang
berasal dari pukulan Sinar Matahari yang secara aneh luar biasa
ditangkap oleh Hantu Tangan Empat menghantam pohon, membakar semak
belukar!<br />
Setan Ngompol dalam keadaan terkencing-kencing berkata. “Celaka! Kalau begini naga-naganya kita bisa mati semua!”<br />
“Aku sudah bilang! Buka celanamu, lemparkan pada jahanam itu! Dia pasti tidak berdaya kalau kena air kencing!” kata Naga Kuning.<br />
Termakan oleh ucapan si bocah Setan Ngompol segera loloskan celana
luarnya hingga kini dia hanya mengenakan baju dan sehelai celana rombeng
butut. Begitu celana yang basah kuyup oleh air kencing lepas dari
tubuhnya lalu diberikan Wiro. “Kau saja yang melemparkan!”<br />
“Sialan! Mengapa aku!” jawab Wiro sambil pencongkan hidung menutup
jalan nafas karena sengitnya bau pesing dari celana yang disodorkan
padanya. “Berikan pada Naga Kuning! Dia yang menyuruh, dia yang harus
melakukan!”<br />
“Wuuuut!”<br />
Setan Ngompol lemparkan celana basahnya yang bau pesing yang jatuh
tepat di kepala Naga Kuning. Sesaat bocah ini jadi kelagapan dan memaki
habis-habisan. Celana yang menutupi kepala dan tubuhnya ditarik lalu
dilemparkan ke arah Hantu Tangan Empat.<br />
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. Sebelum celana yang basah oleh
air kencing itu menimpa kepalanya, salah satu dari dua tangan kirinya
didorongkan ke depan. Celana milik Setan Ngompol yang melayang di udara
mencelat mental, bertaburan menjadi cabikan-cabikan kecil!<br />
“Naga Kuning! Ajaranmu tak ada gunanya! Lihat! Sekarang aku jadi setengah bugil seperti ini!” teriak Si Setan Ngompol.<br />
“Setan Ngompol! Awas!” Wiro tiba-tiba berteriak. Saat itu dilihatnya
salah satu dari dua tangan kanan Hantu Tangan Empat tiba-tiba melesat ke
depan, menyambar ke arah pinggang Si Setan Ngompol.<br />
Sambil berteriak murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan “Kunyuk
Melempar Buah.” Segulung angin laksana batu raksasa yang tidak kelihatan
menggelundung melabrak sosok kakek yang sampai saat itu masih tetap
dalam keadaan duduk bersila mengapung di udara. Di saat yang sama Naga
Kuning menarik tangan Setan Ngompol hingga keduanya jatuh bergulingan di
tanah. Ketika dia berdiri kembali Setan Ngompol sudah basah kuyup kedua
pahanya. Tangan kanannya meraba ke pinggang kiri. Cepat dia
menyingkapkan pakaiannya. Hatinya lega ketika melihat batu tujuh warna
masih terselip di pinggang celana kolornya.<br />
Walau dia tidak tahu batu apa itu adanya tapi entah mengapa saat itu
dia merasa benda itu merupakan satu barang yang sangat berharga dan
harus diselamatkannya seperti dia menyelamatkan jiwa sendiri!<br />
“Kek, benda apa itu?!” bertanya Naga Kuning.<br />
“Batu. Aku sendiri tidak tahu batu apa! Aku merasa Hantu Tangan Empat mengincar benda ini!”<br />
“Bukkkk!”<br />
Pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah menghantam tubuh Hantu Tangan
Empat. Sosok manusia ini bergoyang tergontai-gontai beberapa saat. Empat
tangannya bergerak kian kemari. Walau dari mulutnya keluar teriakan
keras namun kakek ini sama sekali tidak cidera sedikit pun! Padahal
jangankan manusia. Pohon saja pasti akan tumbang. Tembok tebal akan
jebol dan batu besar bisa hancur berantakan dilanda pukulan sakti itu!<br />
Empat tangan Hantu Tangan Empat bergerak semakin cepat. Kapak Naga
Geni 212 yang ada di salah satu tangan kanannya mengiblatkan cahaya
putih perak menyilaukan disertai gaung seperti suara tawon mengamuk.
Sepasang matanya yang memberonjol merah terus menerus mengincar ke
pinggang Setan Ngompol. Waktu tadi Setan Ngompol menyingkapkan
pakaiannya Hantu Tangan Empat sempat melihat batu tujuh warna yang
terselip di pinggang kakek itu. Kilatan aneh memancar dari dua matanya
yang merah. Tubuhnya mendadak berputar seperti gasing. Begitu putaran
berhenti terdengar seruannya.<br />
“Wahai Pendekar 212! Aku berubah pikiran! Aku kembalikan Kapak Naga Geni 212 padamu! Terimalah!”<br />
Hantu Tangan Empat lemparkan kapak sakti yang dipegangnya ke arah
Wiro. Walau tidak mengerti mengapa hal itu dilakukan lawan namun
Pendekar 212 cepat melompat menyambar senjata saktinya.<br />
“Hati-hati! Pasti ada sesuatu yang jahat dalam benak makhluk jahanam itu!” berbisik Naga Kuning.<br />
“Hantu Tangan Empat, apa yang ada dalam otakmu hingga kau berubah
pikiran?” bertanya murid Sinto Gendeng sambil melintangkan Kapak Maut
Naga Geni 212 di depan dada. Hantu Tangan Empat menyeringai.<br />
“Wahai Pendekar 212, dalam otakku tetap saja ada darah dan kematian!
Tetapi jika kita bisa berunding mungkin ada sedikit kebaikan bagi
bertiga kalian! Setan Ngompol harus menyerahkan padaku Batu Sakti
Pembalik Waktu!”<br />
Naga Kuning dan Pendekar 212 berpaling pada Si Setan Ngompol.
“Memangnya kau memiliki benda yang disebutkan tua bangka keparat itu?”
Bertanya Naga Kuning dengan suara setengah berbisik.<br />
“Aku memang membekal sebuah batu. Tapi aku tidak tahu kalau itu batu sakti,” jawab Setan Ngompol.<br />
“Jangan-jangan ini tujuan sebenarnya Hantu Tangan Empat mencegat kita
di sini! Malah seperti katanya dia telah merencanakan sejak lima ratus
tahun silam!” ujar Wiro.<br />
“Dengar kalian berdua. Apapun yang terjadi benda itu jangan sampai
jatuh ke tangan Hantu Tangan Empat!” Lalu Wiro berbalik pada kakek aneh
yang masih dalam keadaan bersila mengapung di udara. “Hantu Tangan
Empat, benda yang kau sebutkan itu tidak ada pada sahabatku si Setan
Ngompol!”<br />
“Wahai Pendekar 212! Kau tak tahu apa-apa! Malah berani dusta bicara!
Mataku sendiri melihat batu itu tersembul di pinggang kolornya!”<br />
“Yang kau lihat bukan batu! Tapi barang si kakek yang memang panjang, tersembul di balik kolor bututnya!” ujar Wiro.<br />
“Benar! Aku pernah melihat anunya!” menimpali Naga Kuning.<br />
“Setan Ngompol barangnya memang panjang tapi peot hitam. Ada lumutnya
sedikit! Sepintas memang seperti batu! Pasti itu yang kau lihat! Hik…
hik!” Naga Kuning tak bisa menahan tawanya. Sebaliknya Setan Ngompol
memaki.<br />
“Anak gila! Enak saja kau bilang barangku panjang! Peot! Berlumut! Kapan kau pernah melihat?!”<br />
“Diam saja! Aku dan Naga Kuning coba mengakali manusia satu itu!” kata Wiro.<br />
Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh.<br />
“Jadi yang menyembul dibalik celana kolor si mata jereng itu adalah
barangnya sendiri! Kalau begitu biar kubetot lepas sampai ke
akar-akarnya!”<br />
Setan Ngompol tersentak kaget. Kencingnya terpancar. “Apa kataku! Sekarang aku yang kebagian celakanya!”<br />
Hantu Tangan Empat tiba-tiba melayang di udara, melesat ke arah Setan
Ngompol. Empat tangan berkelebat. Dua mengarah leher siap mencekik.
Satu menjotos ke arah dada dan tangan ke empat menyambar ke pinggang di
mana terselip batu tujuh warna!<br />
Seumur hidup baru kali ini Setan Ngompol mendapat serangan begitu
hebat. Dia berseru kaget lalu terkencing. Dua kakinya menekuk ke bawah.
Di lain kejap tubuhnya membal ke belakang.<br />
“Breettt!”<br />
Salah satu tangan Hantu Tangan Empat yang tadi hendak mencekik masih
sempat merobek leher pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini kembali
terkencing-kencing.<br />
Masih dalam keadaan bersila dan mengapung di udara Hantu Tangan Empat
bergerak melayang memutari Setan Ngompol. Sekonyong-konyong tubuh itu
membuat gerakan dan tahu-tahu telah melesat ke jurusan Setan Ngompol.
Empat tangan membuat gerakan ganas, lancarkan serangan maut.<br />
Kali ini Setan Ngompol tidak tinggal diam. Tangan kirinya ditekapkan ke bawah perut. Tangan kanan dipukulkan ke depan.<br />
“Setan Ngompol Mengencingi Bumi!” teriak Setan Ngompol menyebut jurus
yang dimainkannya. Dari tangan kanan kakek ini melesat angin deras
menebar bau pesing luar biasa!<br />
Hantu Tangan Empat keluarkan suara seperti tercekik. Salah satu
tangannya cepat ditutupkan ke hidung menghindari bau pesing yang
menyengat. Angin bau pesing itu ternyata bukan saja menyesakkan
pernafasan tapi juga memerihkan mata dan menusuk kulit!<br />
“Ilmu sampah tak berguna! Tanganku makan!!” teriak Hantu Tangan
Empat. Tangan kanan sebelah bawah melesat membuat gerakan mengemplang ke
batok kepala Setan Ngompol. Tangan kanan yang memukul ini telah berubah
menjadi panjang besar. Jari-jarinya saja sebesar pisang tanduk!<br />
Selagi Setan Ngompol terkesial kaget melihat perubahan tangan yang
menyerangnya, si Naga Kuning serta Pendekar 212 Wiro Sableng juga
terkejut melihat perubahan tangan Hantu Tangan Empat itu. Keduanya
segera kirimkan serangan untuk menyelamatkan Setan Ngompol.<br />
Wiro hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pinggang Hantu Tangan
Empat. Cahaya putih panas berkiblat disertai gaung seperti suara ratusan
tawon mengamuk. Naga Kuning melesat sambil dorongkan dua tangannya ke
depan. Dua larik sinar biru pekat disertai letupan-letupan keras
menyambar ke arah kepala dan dada Hantu Tangan Empat. Mendapat serangan
begitu hebat Hantu Tangan Empat malah tertawa keras. “Begini caranya
orang di negeri ini bermain keroyok!” Satu tangan masih menekap hidung,
tiga lainnya berkelebat cepat.<br />
“Bukkk!”<br />
Pendekar 212 Wiro Sableng mengeluh tinggi ketika lengan kanannya
beradu keras dengan salah satu tangan lawan. Kapak Maut Naga Geni 212
terlepas mental. Belum sempat dia imbangi diri tiba-tiba rambutnya yang
panjang telah dijambak orang. Ada hawa aneh mengalir ke dalam tubuhnya
lewat rambut yang dijambak. Hawa aneh ini laksana puluhan jarum menusuk
kulit kepalanya hingga Wiro mengeluh kesakitan. Namun dari dalam tubuh
Wiro saat itu juga ada aliran sakti yang berusaha mencegat hawa aneh
itu.<br />
Begitu saling bentrokan Wiro merasa kepalanya seperti ditindih batu
besar. Sebaliknya Hantu Tangan Empat berteriak kaget karena mendadak
tangannya yang menjambak terasa panas! Serta merta dia sentakkan rambut
Wiro dan lemparkan pemuda ini sampai setinggi tiga tombak ke udara!
Melayang jatuh Wiro cepat memasang kuda-kuda namun tak urung tubuhnya
terbanting jatuh punggung. Dari atas tiba-tiba melesat kaki kanan Hantu
Tangan Empat. Menghunjam ke arah perutnya!<br />
“Wahai Pendekar 212! Sudah lama aku tidak melihat isi perut manusia! Jebol perutmu! Amblas ususmu!” teriak Hantu Tangan Empat.<br />
Di saat yang sama dari samping kiri melesat dua sinar biru pekat.
Inilah serangan hebat yang dilancarkan Naga Kuning. Tapi seperti tak
acuh, Hantu Tangan Empat kibaskan dua tangannya sebelah kiri.<br />
Naga Kuning terkesiap kaget melihat bagaimana kibasan dua tangan
lawan bukan saja sanggup mematahkan serangannya, malah dua larik sinar
biru serangannya bergulung-gulung di udara ketika lawan gerakkan dua
tangannya berputar-putar di udara. Begitu Hantu Tangan Empat pukulkan
dua tangannya itu ke bawah maka dua larik sinar biru menderu ke arah
Naga Kuning! Sambil berteriak keras Naga Kuning melompat ke samping lalu
jatuhkan diri di tanah dan berguling cari selamat.<br />
Sementara itu kaki kanan Hantu Tangan Empat terus saja menghunjam ke
perut Wiro. Hanya sesaat lagi kaki itu akan menghantam ambrol perut sang
pendekar tiba-tiba dari arah depan melesat Setan Ngompol.<br />
“Setan Ngompol Mengencingi Pusara!” seru Setan Ngompol menyebutkan
jurus serangannya. Gerakan kakek ini luar biasa cepatnya hingga Hantu
Tangan Empat tidak sempat menghindar. Dua paha Setan Ngompol tahu-tahu
telah menindih bahunya kiri kanan. Dua tangan mencengkeram kepala.
Sedang bagian bawah perutnya yang hanya mengenakan celana kolor butut
basah oleh air kencing mendarat telak di permukaan wajah angker Hantu
Tangan Empat.<br />
“Huueeekkk!”<br />
Hantu Tangan Empat keluarkan suara tercekik lalu mulutnya menghambur
muntah. Muntahan ini tentu saja menyembur tepat di selangkangan Setan
Ngompol. Si kakek memaki panjang pendek. Namun suara makiannya berubah
menjadi jeritan keras begitu salah satu tangan kiri Hantu Tangan Empat
menjotos perutnya. Setan Ngompol terpental sampai dua tombak.<br />
Tapi karena dia tidak mau melepaskan cengkeraman dua tangannya di
kepala Hantu Tangan Empat maka sang hantu ikut tertarik hingga keduanya
jatuh saling tindih. Hal ini menyelamatkan Wiro dari hantaman kaki kanan
Hantu Tangan Empat. Namun Setan Ngompol menerima celakanya. Karena
begitu jatuh kembali Hantu Tangan Empat menghantam.<br />
“Bukkkk!”<br />
Jotosan keras melabrak dada Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras.
Matanya mendelik putih. Dua kakinya tersentak ke atas. Kencingnya
terpancar habis-habisan. Dari mulutnya menyembur darah segar!<br />
Selagi Setan Ngompol meliuk kesakitan, kaki kanan Hantu Tangan Empat kembali berkelebat. Menyambar ke kepala Setan Ngompol.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>ENAM</strong><strong></strong></div>
<br />
Dua hantaman melabrak sosok Hantu Tangan Empat. Hantaman pertama
bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 yang melanda bahu kiri. Hantaman ke dua
berupa jotosan yang dilancarkan Naga Kuning dan bersarang tepat di
punggung. Padahal saat itu sebenarnya Hantu Tangan Empat sudah siap
untuk merampas batu tujuh warna yang terselip di celana kolor Setan
Ngompol.<br />
Hantu Tangan Empat terbanting ke tanah sejauh dua tombak. Wiro dan
Naga Kuning segera mengejar, siap untuk menghantam kembali. Namun
mendadak tubuh orang ini lenyap dari hadapan mereka.<br />
“Menghilang ke mana dia!” seru Naga Kuning sambil usap-usap tangan
kanannya yang lecet akibat memukul tadi. Wiro sendiri saat itu tengah
terbengong-bengong menyaksikan bagaimana kapak saktinya tidak mampu
melukai lawan malah tangannya bergetar pedas.<br />
Tiba-tiba terdengar tawa mengekeh. Naga Kuning dan Wiro mendongak ke
atas sementara Setan Ngompol masih terkapar di tanah mengerang
kesakitan. Hantu Tangan Empat yang tadi lenyap kini kelihatan berdiri di
atas cabang sebuah pohon. Hantaman kapak memang tidak melukainya tetapi
pakaiannya yang terbuat dari daun kering tampak hangus di bagian bahu.
Begitu juga di bagian punggung yang tadi kena jotosan Naga Kuning,
kelihatan berlubang hitam.<br />
“Wiro, jangan-jangan kita memang benar-benar berhadapan dengan hantu,” ujar Naga Kuning.<br />
“Aku tadi mengerahkan tenaga dalam penuh. Pukulanku hanya sanggup
melubangi pakaiannya. Padahal batu karang saja bisa ambrol
berkeping-keping! Makhluk apa dia kalau bukan hantu?!”<br />
“Jangankan cuma tangan,” sahut Wiro.<br />
“Kapak saktiku saja tidak mempan! Aku masih penasaran! Bangsat itu
telah menciderai kawan kita Si Setan Ngompol!” Kapak Naga Geni 212
dipentang keatas. Tangan kiri bersilang di depan dada memancarkan sinar
putih menyilaukan pertanda murid Sinto Gendeng itu telah mengerahkan
hampir seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.<br />
Didahului teriakan menggelegar tubuh Pendekar 212 melesat ke arah
pohon di mana Hantu Tangan Empat tegak berdiri di atas salah satu cabang
sambil terus mengumbar tawa bergelak. Tangan kiri melepas pukulan Sinar
Matahari. Tangan kanan memutar Kapak Maut Naga Geni 212. Suara gelegar
pukulan Sinar Matahari dan gaung suara seperti ratusan tawon mengamuk
yang keluar dari Kapak Maut Naga Geni 212 bergabung menjadi satu.<br />
“Wuusss!”<br />
“Kraakk!”<br />
Pohon besar di mana Hantu Tangan Empat berada dilalap sinar putih
panas. Di lain kejap pohon itu telah dilamun api. Lalu bagian batang
yang kena sambaran kapak sakti putus amblas dan terbakar. Bagian atas
tumbang mengeluarkan suara menggemuruh.<br />
Apa yang terjadi kemudian dan sempat disaksikan Naga Kuning dari
bawah pohon sungguh luar biasa. Hantaman pukulan Sinar Matahari dan
sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 bukan saja tidak sanggup membakar dan
melukai Hantu Tangan Empat, malah sambil tertawa bergelak sementara Wiro
melayang ke atas pohon Hantu Tangan Empat malah melayang turun dengan
empat tangan terkembang. Dari mulutnya mengumbar tawa bergelak. Sesaat
lagi tubuh Wiro dan tubuh Hantu Tangan Empat siap untuk bertabrakan.
Tapi anehnya sosok Wiro seolah melewati bayang-bayang. Seperti menembus
makhluk yang terbuat dari asap. Dia lewat begitu saja!<br />
Saking kagetnya Wiro jadi hilang keseimbangan dan hampir terpeleset
jatuh sewaktu berusaha menginjakkan kakinya di cabang pohon besar.<br />
“Aneh atau gila ini namanya! Jelas-jelas aku tadi mau tabrakan dengan
keparat itu! Mengapa aku seolah hanya melewati angin?!” Kuduk Pendekar
212 jadi dingin dan bulu kuduknya merinding.<br />
“Hanya hantu yang memiliki tubuh seperti itu…” desis murid Sinto Gendeng.<br />
Di bawah pohon Naga Kuning juga terkejut besar melihat apa yang
terjadi. Selagi dia tertegun bengong tahu-tahu sosok Hantu Tangan Empat
melayang lewat di depannya, menukik ke arah Setan Ngompol yang masih
tergeletak di tanah. Satu dari dua tangan kiri dipukulkan ke batok
kepala Setan Ngompol sedang tangan kanan sebelah bawah menyambar ke arah
pinggang.<br />
“Naga Kuning! Awas! Dia hendak membunuh Setan Ngompol dan merampas
batu tujuh warna!” teriak Wiro dari atas pohon lalu dengan cepat
melompat turun seraya tangan kirinya lepaskan pukulan jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi dalam jurus yang disebut Tangan Dewa
Menghantam Tanah. Ini merupakan salah satu dari enam jurus ilmu silat
yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa berintikan Delapan Sabda
Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.<br />
Di bawah sana begitu mendengar teriakan Wiro dan melihat sendiri apa
yang hendak dilakukan Hantu Tangan Empat, Naga Kuning serta merta
melesat memotong gerakan Hantu Tangan Empat. Kepalanya ditandukkan ke
tubuh sebelah kanan lawan. Tangan kanan menusuk ke ulu hati. Sementara
itu dari atas datang menyambar pukulan jarak jauh yang dilepaskan Wiro.<br />
“Dukkkk!”<br />
“Bukkkk!”<br />
“Wussss!”<br />
Kepala Naga Kuning mendarat telak di sisi kanan Hantu Tangan Empat
membuat makhluk dari masa seribu dua ratus tahun silam ini terdorong
satu tombak. Di saat yang sama tangan kanan Naga Kuning yang menggebuk
menghunjam di ulu hatinya. Dari mulut Hantu Tangan Empat keluar jeritan
keras. Tapi itu bukan jeritan kesakitan melainkan jeritan kemarahan. Dia
berputar ke arah Naga Kuning. Empat tangannya melesat ke depan. Begitu
cepatnya gerakan tangan-tangan ini hingga Naga Kuning tidak sempat
menghindar. Rambutnya yang jabrik kena dijambak. Bahu kirinya diremas.
Dua tangan lainnya mencengkeram di batang leher.<br />
“Anak celaka! Mampus kataku harus mampus!” kertak Hantu Tangan Empat.
Lalu empat tangannya bergerak. Tangan yang menjambak membetot ke atas.
Dua tangan yang mencengkeram siap mematahkan batang leher Naga Kuning.
Bahu yang dicengkeram pasti akan hancur luluh. Sekejapan lagi kepala
Naga Kuning akan tanggal, pukulan yang dilepaskan Wiro mendarat di
punggung Hantu Tangan Empat.<br />
Untuk ke dua kalinya makhluk ini berteriak marah. Pakaiannya yang
terbuat dari daun hancur berantakan hingga bagian belakangnya nyaris
bertelanjang. Namun tubuhnya tidak cidera sedikit pun. Dan empat
tangannya yang mencekal tubuh Naga Kuning tidak satu pun dilepaskan.
Ketika hantaman pukulan Wiro membuatnya terdorong keras ke depan dan
jatuh saling tindih dengan Naga Kuning, empat tangan itu tetap
mencengkeram. Dengan menyeringai makhluk berwajah seram luar biasa itu
menoleh ke arah Wiro yang saat itu telah menjejakkan kakinya di tanah.<br />
“Kau boleh menghantamku dengan seribu pukulan! Jangan harap kau bisa
menolong bocah ini!” Lalu tanpa perdulikan Wiro lagi Hantu Tangan Empat
berpaling pada Naga Kuning.<br />
“Tanggal kepalamu!” teriak Hantu Tangan Empat. Tangan yang menjambak
membetot ke atas, dua tangan yang di leher mencengkeram ganas. Sesaat
lagi kepala Naga Kuning benar-benar akan dibuat tanggal terjadilah hal
yang aneh. Hantu Tangan Empat mendadak merasakan rambut, leher dan bahu
Naga Kuning licin sekali seolah-olah diselimuti sejenis minyak.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga, jambakannya pada rambut jabrik si
bocah terlepas. Sepuluh jari tangannya yang mencekik leher melejit kian
kemari seolah terbenam dalam lumpur licin. Begitu juga tangannya yang
hendak menghancurkan bahu seperti berada di atas batu yang dilumuri
minyak.<br />
Setiap dicoba menekan tangan itu hanya meluncur di atas pakaian hitam
Naga Kuning. Apa yang sebenarnya terjadi. Seperti diketahui Naga Kuning
bukanlah seorang anak biasa. Keadaannya saat itu memang terlihat
seperti seorang bocah. Padahal sebenarnya dia adalah seorang kakek sakti
mandraguna yang telah berusia 120 tahun dan menjadi orang kepercayaan
Kiai Gede Tapa Pamungkas, satu makhluk setengah roh setengah manusia. (<em>Baca serial Wiro Sableng </em><a class="ext" href="http://duniaandromedaku.blogspot.com/2010/01/wiro-sableng-episode-91-tua-gila-dari.html" rel="nofollow" target="_blank"><em>Tua Gila Dari Andalas</em></a><span class="ext"></span> <em>terdiri dari 11 Episode</em>).<br />
Satu dari sekian banyak ilmu yang dimiliki Naga Kuning adalah yang
disebut Ilmu Ikan Paus Putih. Dengan mengerahkan ilmu ini maka tubuh
serta pakaiannya akan berubah sangat licin hingga tak ada satu kekuatan
pun yang bisa memegang sosoknya.<br />
“Anak jahanam! Jangan kau coba mengakali diriku!” bentak Hantu Tangan
Empat. Dari mulutnya melesat satu pekikan keras. Dua puluh jari
tangannya mendadak sontak berubah menjadi besar. Selain itu pada setiap
jari mencuat gerigi-gerigi tajam dan runcing! Hantu Tangan Empat tertawa
mengekeh. “Sekujur tubuhmu boleh berubah selicin belut! Apa sekarang
masih sanggup lolos?!”<br />
Naga Kuning mencibir. Kepalanya digoyangkan. Tubuhnya digeliatkan.<br />
“Huppp!” Si bocah berteriak keras. Saat itu juga tubuhnya terlepas
dari cengkeraman empat tangan. Dia melompat menjauhi lawan. “Ha-ha! Aku
mampu lolos! Apa katamu sekarang?!” ujar Naga Kuning seraya tertawa
mengejek ha-ha hi-hi.<br />
Dalam kagetnya Hantu Tangan Empat juga marah sekali. Dia melompat
mengejar. Empat tangannya kembali berkelebat. Saat itu Naga Kuning tetap
tegak di tempatnya. Namun tangannya dengan cepat membuka pakaian
hitamnya di bagian dada. Begitu tubuhnya tersingkap di dada anak ini
kelihatan terpampang gambar naga bergelung berwarna kuning memiliki
sepasang mata berwarna merah. Naga Kuning usap dadanya yang bergambar
sosok naga itu.<br />
Lompatan Hantu Tangan Empat mendadak sontak jadi tertahan. Dua
matanya yang memberojol seolah mau keluar dari rongganya menatap tak
berkesip. Ada getaran aneh masuk ke dalam tubuhnya lewat sepasang mata.
Hantu Tangan Empat mundur satu langkah. Lalu mundur lagi dua langkah
ketika dilihatnya bagaimana gambar naga di dada Naga Kuning seolah
berubah hidup, membesar lalu bergerak keluar dari rongga dada si bocah
dengan mulut membuka besar memperlihatkan lidah hijau bercabang serta
gigi-gigi besar runcing siap menerkam! Dari liang hidung naga kuning ini
keluar semburan asap biru.<br />
Wiro yang menyaksikan kejadian itu tersentak kaget. Untuk beberapa
lamanya dia tegak tertegun tak bergerak seolah terkena sirap. Setan
Ngompol yang masih terhantar di tanah dalam keadaan kesakitan dan
barusan mencoba bangkit berdiri langsung rebah ke tanah sambil
terkencing-kencing! Baik Wiro maupun Setan Ngompol yang sudah cukup lama
mengenal anak itu baru kali ini mengetahui kalau Naga Kuning memiliki
satu ilmu yang begitu hebat tapi mengerikan.<br />
“Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh!” teriak Hantu Tangan Empat
tercekat. Serta merta sosoknya yang angker berubah kembali ke asal.
Tangannya yang tadi empat kini kembali menjadi dua. Dia mundur dengan
sangat ketakutan. Sepuluh jari disusun. Dua tangan dirapatkan lalu
diletakkan di atas kening. Sikapnya seperti orang menyembah.<br />
“Ampun…. Wahai Naga Hantu…. Aku mohon maaf. Aku tidak tahu kalau
berada kau dalam tubuh anak itu. Aku mohon ampun beribu ampun!” Ketika
punggungnya tertahan sebatang pohon besar, Hantu Tangan Empat jatuhkan
diri berlutut. Dua tangan terus menerus melakukan sikap menyembah.<br />
Naga Kuning tidak perduli. Dia maju dua langkah. Ular naga kuning
yang keluar dari tubuhnya meluncur di udara, menyambar ke arah Hantu
Tangan Empat. Jeritan Hantu Tangan Empat setinggi langit begitu binatang
ini menggelung di pohon besar sekaligus melibat tubuhnya.<br />
“Jangan bunuh diriku! Mohon ampun beribu ampun wahai Naga Kuning!
Jangan biarkan Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh membunuhku! Jangan…
tolong!”<br />
“Kreekek!”<br />
“Kraaakk!”<br />
Batang pohon berderak hancur. Hantu Tangan Empat berusaha bertahan.
Gelungan ular naga kuning semakin keras siap menghancurkan dan melumat
tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala. Darah mengucur dari mata,
telinga, hidung dan mulutnya. Sosok Hantu Tangan Empat boleh dikatakan
tidak terlhat lagi, lenyap dalam gelungan naga kuning.<br />
“Naga Kuning! Tahan!” Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru sambil mengangkat kapak saktinya.<br />
“Eh, apa maumu Wiro?!” tanya Naga Kuning.<br />
“Lepaskan dia! Jangan dibunuh!!”<br />
“Eh, kau sudah gila?! Atau sudah kerasukan hantu temannya kakek itu?!” ujar Naga Kuning.<br />
“Kau betul!” Setan Ngompol ikut berteriak sambil pegangi perutnya
sebalah bawah. “Aku hampir mampus di tangannya! Kau tadi hendak
dibunuhnya! Tahu-tahu sobat kita satu ini menjadi gila memintamu tidak
membunuh makhluk itu! Benar-benar gila! Otakmu pasti sudah sableng
Wiro!”<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>TUJUH</strong></div>
<br />
Wiro melangkah mendekati Naga Kuning dan bicara cepat tapi perlahan.
“Jangan jadi orang tolol seumur-umur! Jika dia memang bangsanya hantu
apa kau kira kau benar-benar bisa membunuhnya? Dia bisa punya seribu
nyawa. Muncul lagi dalam ujud lain. Mungkin datang bersama puluhan
temannya! Apapun kesaktianmu, apa kau kira bisa selamatkan diri dari
pembalasannya?! Dia mengaku salah, takut dan minta ampun. Kalau dia bisa
kita manfaatkan jadi sahabat….”<br />
“Gila! Hantu hendak kau jadikan sahabat! Hari ini kau berteman besok kau mampus dicekiknya!”<br />
“Dengar Naga Kuning, aku melihat keanehan di balik semua ini. Aku
minta sekali lagi agar kau melepaskannya! Apa untungnya membunuh
hantu?!”<br />
Naga Kuning mencibir. Dia melirik ke arah Setan Ngompol. Lalu
berkata. “Baik, aku akan bebaskan makhluk itu. Jangan menyesal kalau
begitu bebas kau yang duluan ditelannya!”<br />
“Aku yakin dia tidak akan melakukan hal itu,” jawab Wiro.<br />
“Asal kau mau tanggung saja akibatnya!” kata Naga Kuning.<br />
“Bocah! Jangan ikut-ikutan sableng! Jangan dengar apa yang dibilangnya! Bunuh makhluk itu!” kata Setan Ngompol.<br />
“Lakukan apa yang aku katakan Naga Kuning!” kata Wiro dengan suara keras.<br />
“Baik… baik!” jawab Naga Kuning seraya mencibir. Tangan kanannya
diusapkan ke dada. Ular naga kuning besar menderu keras. Asap biru
membuntal keluar dari lubang hidungnya. Mulutnya membuka lebar dan
kepalanya ditegakkan ke atas. Perlahan-lahan binatang jejadian ini
lepaskan gelungannya dari pohon dan tubuh Hantu Tangan Empat. Lalu
sosoknya melayang mundur di udara, bergerak ke arah Naga Kuning.
Buntutnya bergerak masuk ke dalam dada anak itu, menyusul bagian
tubuhnya yang lain dan akhirnya bagian kepalanya yang menyeramkan ikut
lenyap. Kini yang kelihatan adalah gambaran naga kuning bergelung
bermata merah terpampang di dada si bocah.<br />
Di bawah pohon sosok Hantu Tangan Empat tergeletak dengan muka
bergelimang darah. Salah satu bahunya remuk dan beberapa tulang iganya
patah. Tulang pahanya sebelah kiri retak. Dari mulutnya terdengar suara
mengerang. Lalu tubuh itu bergerak, berusaha bangkit dan duduk di tanah.
Sepasang matanya yang basah oleh darah menatap ke arah Naga Kuning. Dua
tangan dirapatkan di atas kepala. Sambil membungkuk Hantu Tangan Empat
berkata pada si bocah.<br />
“Terima kasih kau telah mengampuni selembar nyawaku….” Lalu kakek ini beringsut ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.<br />
“Terima kasihku juga padamu wahai Pendekar 212. Kalau tidak karena
gerak hati dan kehendakmu tentu aku sudah menemui ajal saat ini. Hantu
Tangan Empat tidak akan melupakan budi baikmu.” Habis berkata begitu
kakek ini letakkan dua tangannya di atas tanah. Kepalanya diturunkan
hingga keningnya menyentuh tanah. Lalu “dess… desss!”<br />
Asap putih mengepul dari tanah yang disentuh dua tangannya. Bersamaan
itu tubuhnya terangkat ke atas lalu melesat ke udara. Seolah amblas
masuk ke dalam langit sosok Hantu Tangan Empat kemudian lenyap tanpa
bekas.<br />
“Makhluk aneh….” ujar Wiro.<br />
“Seumur hidup baru sekali ini melihat ada sebangsa hantu yang bisa minta maaf dan berterima kasih!” ujar Naga Kuning pula.<br />
Kedua orang itu lalu mendekati Setan Ngompol yang saat itu tengah
berusaha bangkit berdiri. Wiro memberikan sebutir obat sedang Naga
Kuning memeriksa bagian-bagian tubuh Setan Ngompol yang terluka sambil
mengalirkan hawa sakti dari tubuhnya ke dalam badan si kakek untuk
mempercepat penyembuhan.<br />
“Setan Ngompol,” kata Wiro. “Hantu Tangan Empat mengincar batu yang
terselip di pinggang kolormu. Dari mana kau dapat benda itu. Boleh aku
melihat?”<br />
Setelah duduknya tenang dan nafas serta peredaran darahnya lancar
kembali, Setan Ngompol lalu menuturkan riwayat batu yang didapatnya di
Telaga Gajahmungkur itu. Batu kemudian diambilnya dan diserahkan pada
Wiro.<br />
Setelah memperhatikan batu berwarna tujuh itu sejenak Wiro berkata.
“Hantu Tangan Empat menyebut batu ini sebagai Batu Sakti Pembalik Waktu.
Satu nama yang aneh. Apa khasiat batu ini sebenarnya?”<br />
“Aku sendiri baru tahu kalau batu itu bernama begitu. Soal khasiatnya mana aku mengerti,” jawab Setan Ngompol.<br />
“Aku menaruh kira batu itu sesuatu yang sangat berharga bagi Hantu
Tangan Empat. Katanya Hantu Muka Dua menugaskan dirinya untuk mencari
batu tersebut. Rencana sudah disusun sejak lima ratus tahun silam…. Aku
jadi ingin melihatnya.” Naga Kuning ulurkan tangan. Wiro serahkan batu
tersebut pada si anak. Lama Naga Kuning memperhatikan batu itu. Dielus
dan dibolak balik berulang kali.<br />
“Bentuknya hampir tidak beda dengan batu pengasah pisau. Memiliki
tujuh warna depan belakang. Bagian sebelah sini ujungnya bulat seperti
kepala manusia. Di pinggiran kiri kanan ada tonjolan seperti telinga
orang. Jangan-jangan batu ini mengandung satu rahasia besar. Mungkin
merupakan satu senjata sakti mandraguna….”<br />
“Aku tidak setuju pendapatmu,” kata Setan Ngompol.<br />
“Kalau itu senjata sakti mengapa aku masih terus-terusan ngompol?”<br />
“Jangan tolol. Batu sakti tak ada sangkut pautnya dengan penyakitmu
Kek! Walau batu itu kau tempelkan di bawah perut dekat anumu!” kata Wiro
pula.<br />
“Mungkin juga di dalam batu ini ada sesuatu petunjuk. Peta harta karun atau…. Bagaimana kalau kita pecahkan saja?!”<br />
“Itu batu milikku! Jangan kau berani lancang memecahkannya! Kembalikan padaku!” teriak Setan Ngompol.<br />
Naga Kuning mencibir. “Cuma batu jelek begini saja disayang-sayang!”
Batu pipih tujuh warna diulurkannya pada Setan Ngompol. Sewaktu
mengembalikan batu ini Naga Kuning acuh tak acuh memegang hanya dengan
jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya, pada tonjolan berbentuk
telinga. Jari-jari tangannya menekan sedikit lalu batu digoyang-goyang.
Pada saat itulah tiba-tiba terjadi satu hal aneh. Dari dua tonjolan di
kiri kanan batu melesat tujuh larik sinar seperti cahaya pelangi
disertai terdengarnya suara mendesing keras. Dua kumpulan sinar ini lalu
bergerak bergelung ke satu arah, bersambung satu dengan yang lain
hingga akhirnya membentuk satu lingkaran cahaya besar yang berputar
terus menerus dengan ketinggian dua kali tinggi manusia.<br />
Terkurung dalam putaran lingkaran cahaya Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol seolah berada dalam sebuah tong besar yang berputar dan tembus
pandang.<br />
“Astaga! Apa yang terjadi! Tubuhku terangkat ke atas!” teriak Naga Kuning.<br />
“Tubuhku juga!” seru Setan Ngompol terkejut dan langsung terkencing.<br />
Wiro memandang ke tanah. Ternyata tubuhnya juga saat itu perlahan-lahan terangkat ke atas.<br />
“Jangan-jangan ini pekerjaan tipu dayanya Hantu Tangan Empat!” teriak Setan Ngompol dengan muka pucat.<br />
“Sudah kubilang bangsa hantu mana bisa dipercaya!” kata Naga Kuning.<br />
Dalam bingungnya ketiga orang itu bergerak kian kemari, berusaha
menerobos lingkaran cahaya tujuh warna. Tapi tidak berhasil. Malah
mendadak muncul hawa sejuk dan ketiganya seolah terkena sirap, hanya
bisa tegak berdiri tak mampu bergerak sementara tubuh mereka terangkat
ke udara. Makin lama makin cepat. Demikian cepatnya hingga mereka tidak
dapat lagi melihat keadaan di sekeliling atau di bawah mereka. Yang
masih bisa mereka lihat hanyalah langit putih di atas kepala!<br />
“Celaka! Apa yang terjadi!” seru Naga Kuning.<br />
Setan Ngompol tak bisa mengeluarkan suara. Yang keluar hanya kencingnya.<br />
“Gila! Kita melesat ke langit!” teriak Wiro yang saat itu masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanannya.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>DELAPAN</strong></div>
<br />
Dalam keadaan basah kuyup karena diguyur hujan lebat Lahopeng
hentikan tunggangannya biawak raksasa di depan goa di puncak bukit.
Dengan cepat dia melompat turun lalu masuk ke dalam goa. Bau harum tapi
angker menggidikkan menusuk hidung Lahopeng. Di lantai, dinding dan
langit-langit goa yang dilewatinya bertebaran tulang-belulang dan
tengkorak manusia.<br />
Di ujung dalam goa ada sejenis asap tipis seperti kabut menutupi
pemandangan. Samar-samar di balik kabut tipis itu tampak duduk seorang
nenek kurus yang tubuhnya sebelah bawah ditimbuni tumpukan jerami
kering. Di sekelilingnya ada selusin pendupaan berasap, sumber bau harum
angker. Orang ini walau sosoknya berwujud manusia tapi mukanya
mirip-mirip seekor burung gagak. Selain muka itu tertutup bulu-bulu
hitam, hidung dan mulutnya jadi satu berbentuk paruh burung. Sepasang
matanya hitam kecil tanpa alis, menatap setiap apa yang ada di
hadapannya dengan pandangan dingin menggidikkan.<br />
“Sudah lama tidak ada tamu yang datang! Orang bagus bermuka biru
siapakah dirimu! Maksud apa kedatanganmu?!” Nenek bermuka burung gagak
menegur. Suaranya aneh. Kecil tapi keras menyentak.<br />
Orang yang barusan masuk rapatkan dua tangan di atas kepala lalu
membungkuk dan duduk bersila. “Aku Lahopeng. Penduduk Latanahsilam.
Maksud kedatanganku untuk meminta tolong padamu wahai Hantu Santet
Laknat.”<br />
“Hemmm…” nenek bermuka burung gagak hitam yang disebut sebagai Hantu
Santet Laknat bergumam. Mulutnya yang berbentuk paruh burung
dipencongkan ke kanan. “Nama dan riwayatmu pernah kudengar wahai anak
muda. Aku bisa menebak saat ini kau tengah berada dalam satu masalah
besar.”<br />
Lahopeng susun sepuluh jari di atas kepala dan mengangguk. “Tebakanmu benar adanya wahai Hantu Santet Laknat.”<br />
“Wahai Lahopeng, pertolongan apa yang kau maukan. Imbalan apa yang bisa kau berikan….”<br />
“Aku ingin kau membunuh seseorang. Dan ini imbalan yang bisa kuberikan….”<br />
Lahopeng mengeluarkan sebuah kantong kulit, membuka ikatannya lalu
menebar isi kantong itu di lantai goa di hadapan nenek Hantu Santet
Laknat.<br />
Sepasang mata si nenek kelihatan membuka berkilat ketika melihat
butir-butir batu permata aneka warna yang ditebar Lahopeng di depannya.<br />
“Wuuuttt!”<br />
Tangan kiri Hantu Santet Laknat bergerak. Sekali menyambar semua
butiran batu permata yang ada di lantai disapunya bersih. Mulut paruh
burungnya dibuka lebar. Semua batu yang dipegangnya dimasukkan ke dalam
mulut. Sekali mulutnya menelan dan tenggorokannya bergerak maka semua
batu permata itu amblas ke dalam perutnya.<br />
Lahopeng tercekat melihat apa yang dilakukan si nenek. Sebaliknya
Hantu Santet Laknat tertawa cekikikan sambil mengusap air liur yang
berlelehan di mulutnya seolah barusan dia habis menyantap makanan lezat.<br />
“Wahai Lahopeng, sudah kutelan imbalan darimu. Sekarang katakan siapa yang ingin kau santet?” Bertanya Hantu Santet Laknat.<br />
“Seorang bernama Lakasipo. Aku ingin kau membunuhnya saat ini juga wahai Hantu Santet Laknat….”<br />
Si nenek luruskan lehernya, menatap angker pada Lahopeng lalu tertawa
panjang. “Aku sudah tahu riwayat dirimu. Aku sudah menduga siapa yang
kau inginkan nyawaku! Hik… hik… hik. Lebih dari itu bukankah kau dulu
pernah bercinta dengan istri Lakasipo, Kepala Negeri Latanahsilam itu?”<br />
“Aku mendengar kabar perempuan itu telah menemui ajal. Bunuh diri di
jurang Bukit Batu Kawin satu hari yang lalu…” kata Lahopeng dengan suara
sedih.<br />
“Aku ikut bersedih atas nasib malangmu wahai Lahopeng. Kemauan para
Dewa dan takdir para Peri tak bisa dihindari. Dengar baik-baik wahai
Lahopeng. Sebelum aku melakukan apa pintamu, perlu aku mengetahui
keadaan korban. Ilmu kepandaian apa yang dimiliki Lakasipo?”<br />
“Dia punya beberapa ilmu kesaktian. Tapi cuma dua yang aku tahu wahai Hantu Santet Laknat.”<br />
“Dua sudah bagus dari pada tidak tahu sama sekali. Katakan ilmunya yang dua itu!”<br />
“Pertama yang disebut ilmu Lima Kutuk Dari Langit. Apa saja yang
terkena hantaman ilmu ini sosoknya akan ciut mengkeret, hitam gosong dan
mati! Ilmunya yang ke dua adalah Kaki Roh Pengantar Maut. Ini ilmunya
yang sangat berbahaya. Benda apa saja yang terkena tendangan kedua
kakinya pasti hancur. Makhluk bernyawa apa saja yang terkena
tendangannya pasti menemui ajal. Hanya itu yang aku ketahui wahai Hantu
Santet Laknat…. Harap kau segera membunuhnya!”<br />
“Akan kulihat dulu keadaan. Akan kuperhatikan dulu suasana di langit
dan di bumi. Akan kujajagi dulu hawa udara. Akan kutanyakan dulu pada
para Peri dan Dewa. Kalau nasib peruntunganmu baik, aku akan
menyantetnya mampus dalam sekejapan mata saja. Harap kau suka menunggu
dan tidak bergerak di tempatmu!”<br />
Si nenek bermuka burung gagak hitam lalu ambil enam buah pendupaan
berasap. Enam pendupaan yang sangat panas itu diletakkannya satu persatu
di atas kepalanya, disusun tiga tingkat. Walau pendupaan itu panas
bukan main tapi baik tangan maupun rambut serta kepala si nenek sama
sekali tidak cidera sedikit pun. Lalu dia angkat dua tangannya ke atas,
dikembangkan lebar-lebar. Mulutnya meracau aneh. Mata kecilnya memandang
ke langit-langit goa. Lalu perlahan-lahan dipejamkan. Kepulan asap dari
enam pendupaan yang disusun di atas kepala semakin membuntal. Hawa
harum aneh semakin menusuk hidung membuat Lahopeng hampir sulit
bernafas.<br />
Menunggu tak berapa lama si nenek hentikan racauannya. Secara aneh
satu persatu pendupaan di atas kepalanya melayang turun, kembali ke
tempatnya semula.<br />
“Wahai Lahopeng, nasib buruk bagimu! Mendapat petunjuk aku. Lakasipo tidak bisa dibunuh secara langsung dengan ilmu santetku!”<br />
Berubahlah tampang pemuda bernama Lahopeng. “Mengapa begitu wahai Hantu Santet?”<br />
“Pertama para Peri ternyata memberikan perlindungan padanya. Dua para
roh yang ada di sekitar Negeri Latanahsilam ternyata berpihak padanya.
Ke tiga ilmu kesaktiannya yang bernama Kaki Roh Pengantar Maut sulit
ditembus….”<br />
Lahopeng seperti dihenyakkan ke lantai goa mendengar ucapan si nenek.
Tapi si nenek sendiri keluarkan tawa cekikikan. “Lahopeng anak muda
malang. Wahai kau jangan dulu berputus asa. Hantu Santet Laknat masih
bisa mencari jalan. Memang Lakasipo tak bisa segera dibunuh. Tapi apa
salahnya kalau dirinya dibuat mati tidak hidup pun tidak!”<br />
“Tidak mengerti aku ucapanmu wahai Hantu Santet….”<br />
“Kau memang tidak perlu mengerti. Yang jelas kau tak perlu takutkan
pembalasan dendam dari Lakasipo. Selama langit terkembang dan bumi
terbentang di atas Latanahsilam, orang itu tidak akan bisa mengganggumu.
Dia akan menemui ajal secara perlahan-lahan. Sekarang kau boleh pergi.
Pulanglah ke rumahmu wahai Lahopeng!”<br />
Sebenarnya banyak yang hendak ditanyakan Lahopeng tapi pemuda ini
takut si nenek akan menjadi kesal dan marah. Dia sudah mendengar banyak
tentang keanehan si tukang santet ini. Orang yang minta tolong bisa saja
bukan ditolong malah akhirnya dibunuhnya! Setelah memberi penghormatan
dengan menyusun tangan di atas kepala dan membungkuk dalam, Lahopeng
segera tinggalkan goa di puncak bukit itu.<br />
<div align="center">
***</div>
Dua hari dua malam lamanya Lakasipo menyiapkan makam batu untuk
istrinya di lereng Bukit Latinggihijau. Sore itu pekerjaannya selesai.
Sebuah makam batu sedalam lima jengkal siap menerima jenazah Luhrinjani
yang telah diawetkan dengan sejenis bubuk kayu yang diramu dalam cairan
hingga tidak rusak dan busuk. Tubuhnya terasa sangat letih. Kakinya
seperti tidak menginjak bumi lagi sedang dua tangannya penuh luka. Namun
Lakasipo merasa puas. Semua keletihan dan rasa sakit terhibur dengan
selesainya makam batu itu.<br />
Disaksikan oleh sang surya yang sebentar lagi akan segera tenggelam,
Lakasipo mendukung jenazah Luhrinjani. Perlahan-lahan dia melangkah
mendekati lubang batu. Dengan hati-hati jenazah istri yang hanya sempat
dikawininya selama tiga hari itu diturunkan ke dalam lubang. Pada saat
itulah cuaca mendadak sontak berubah.<br />
Gulungan awan hitam menutupi langit. Di utara petir sabung menyabung.
Gelegar suara guntur menggetarkan lereng bukit Latinggihijau. Lalu
hujan yang sangat lebat turun mendera bumi.<br />
“Petunjuk buruk apa yang hendak diberikan para Dewa dan Peri padaku…”
membatin Lakasipo seraya memandang ke langit. Sesaat gerakannya
menurunkan jenazah Luhrinjani terhenti. Udara cepat sekali menjadi
gelap. Lakasipo memandang ke dalam lubang batu. Air hujan melai
menggenangi makam itu. Lakasipo segera membungkuk. Dengan hati-hati
jenazah Luhrinjani dimasukkannya ke dalam lubang batu. Kilat kembali
menyambar. Sesaat keadaan di tempat itu menjadi terang benderang.
Lakasipo melihat satu keanehan. Sepasang mata Luhrinjani yang sejak tadi
tertutup terlhat terbuka dan wajahnya tampak tersenyum.<br />
“Luhrinjani…” desis Lakasipo. Cahaya kilat lenyap. Bukit
Latinggihijau kembali tenggelam dalam kegelapan. Sesaat Lakasipo masih
terkesiap. Namun begitu sadarkan diri dia segera mengangkat sebuah batu
pipih besar dan meletakkannya di atas makam sebagai batu penutup. Enam
buah batu besar kemudian disusunnya di atas batu penutup makam.<br />
“Wahai Luhrinjani…. Apapun yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku
Lakasipo telah melupakan den memaafkan semuanya. Di bawah hujan lebat
ini, dalam gelapnya udara, disaksikan oleh bukit dan makammu! Disaksikan
para Peri dan Dewa, aku Lakasipo bersumpah untuk membalaskan sakit hati
kematianmu. Akan kucari Lahopeng. Akan dia kubunuh! Bila dendam
terbalas nanti aku akan menyusul dirimu. Kau lihat sendiri Luhrinjani.
Aku sudah menyiapkan satu makam untuk diriku di samping makammu!”
Lakasipo melirik ke arah sebuah makam kosong yang sengaja dibuatnya di
sebelah kubur Luhrinjani. Sebelumnya memang lelaki itu telah membuat
sebuah makam untuk dirinya sendiri.<br />
“Wahai Luhrinjani, akau akan meninggalkanmu. Aku akan kembali dan
sering-sering melihatmu. Tenanglah dalam tidurmu. Para Dewa dan para
Peri akan menghiburmu. Selamat tinggal wahai Luhrinjani….” Lakasipo
mencium batu makam di bagian kepala lalu bangkit berdiri. Sesaat sebelum
pergi dipandanginya makam batu itu. Di bawah hujan yang mulai mereda,
Lakasipo menuruni bukit Latinggihijau, mendapatkan kuda berkaki enam
tunggangannya yang ditinggalkan di bawah bukit. Dalam gelapnya udara
Lakasipo mendera binatang itu, memacunya sepembawa sang tunggangan.<br />
Belum lama menunggangi kudanya tiba-tiba lelaki ini melihat satu
bayangan putih melintas di depannya. Kuda besar kaki enam bertanduk dua
mendadak sontak hentikan larinya. Empat dari enam kakinya diangkat ke
atas. Dari mulut binatang aneh ini keluar ringkikan keras. Dua matanya
yang merah memancarkan sinar aneh.<br />
Lakasipo cepat mengusap tengkuk binatang itu seraya berbisik.
“Laekakienam…. Tenanglah. Tak ada yang perlu ditakutkan.” Lakasipo
memandang berkeliling, menduga-duga berada dimana dia saat itu. Menurut
perkiraannya dia menjelang mencapai kaki bukit Latinggihijau, kira-kira
setengah hari perjalanan dari Negeri Latanahsilam. Sudut mata Lakasipo
menangkap sesuatu di sebelah kiri. Kudanya yang bernama Laekakienam
kembali gelisah. Lakasipo cepat berpaling. Bayangan putih itu! Lakasipo
kembali melihatnya.<br />
Dia memperhatikan dengan dada berdebar dan mata terbuka lebar. Di
kejauhan sana, di antara kerapatan pepohonan dia melihat sosok seorang
perempuan berpakaian aneh berwarna putih. Sosok itu meliuk-liuk seperti
asap atau kabut tertiup angin. Ketika dia memperhatikan wajah perempuan
itu terkejutlah Lakasipo. Wajah itu adalah wajah Luhrinjani.<br />
“Wahai Luhrinjani…. Bagaimana mungkin! Barusan saja aku menguburmu di makam batu…” desis Lakasipo.<br />
Sosok putih di depan sana tiba-tiba melambai-lambaikan tanganya seperti memanggil Lakasipo. Lalu sayup-sayup ada suara.<br />
“Lakasipo…. Lakasipo suamiku…. Datanglah kemari. Tolong diriku…. Keluarkan aku dari alam gelap ini. Lakasipo kemarilah….”<br />
“Wajah itu wajah Luhrinjani. Suara itu suara Luhrinjani…” ujar Lakasipo.<br />
“Lakasipo kemarilah…. Turun dari kudamu. Datang kemari. Tolong diriku wahai suamiku….”<br />
Mula-mula Lakasipo masih diselimuti rasa takut, heran dan bimbang. Matanya digosok berulang kali.<br />
“Aku tidak bermimpi. Itu memang Luhrinjani…” desis lelaki ini. Lalu
da bergerak turun dari kuda kaki enam tunggangannya. Setengah berlari
lelaki ini segera mendekati sosok putih Luhrinani. Dia berlari di
sela-sela pepohonan, melompati semak belukar. Tidak memperhatikan lagi
jalan yang dilaluinya.<br />
“Wahai Lakasipo suamiku…. Lekaslah. Larilah lebih cepat. Jarak kita
hanya tinggal dekat….” Di depan sana sosok Luhrinjani kembali berseru.<br />
Lakasipo melompati serumpunan semak belukar pendek. Tapi begitu turun
ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam dua buah lubang sedalam
pangkal betis. Kalau tidak cepat mengimbangi diri lelaki ini pasti jatuh
tersungkur di tanah. Dia tarik dua kakinya. Tapi alangkah terkejutnya
Lakasipo. Dia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan kedua kakinya. Lalu
dia mendengar suara menggelegak seperti air mendidih. Ketika dia
memandang ke bawah tambah kagetlah Kepala Negeri Latanahsilam ini. Di
dalam dua lubang dilhatnya ada cairan aneh berwarna kelabu menyembul
berbuih-buih. Begitu gejolak buih berhenti, cairan itu berubah menjadi
keras, memendam sepasang kaki Lakasipo ke tanah.<br />
“Wahai…. Apa yang terjadi…?!” ujar Lakasipo. Dia membungkuk. Meraba cairan beku yang membenam dua kakinya.<br />
“Batu…” desis Lakasipo begitu tangannya menyentuh.<br />
“Tidak bisa jadi…!” Laki-laki ini gerak-gerakkan kakinya berusaha
melepas diri. Tak berhasil. Dia memukul dengan tangan kanannya berulang
kali.<br />
“Dukkk… dukkk… dukkk!”<br />
Batu itu tak sanggup dihancurkan. Maka dia segera kerahkan ilmu
kesaktian Lima Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam menggidikkan
menghantam batu di sebelah kanan.<br />
“Wussss! Buummmm!”<br />
Sinar hitam berbalik mental ke udara mengeluarkan suara dentuman
keras. Tapi batu keras yang memendam kaki Lakasipo hanya bergeming
sedikit saja. Jangankan hancur, retak saja tidak!<br />
Lakasipo tidak mau menyerah. Kini dia kerahkan ilmu kesaktian Kaki
Roh Pengantar Maut. Cahaya hitam keluar dari kakinya kiri kanan. Tapi
segera meredup lenyap. Malah lelaki ini mengeluh kesakitan karena
pendaman batu seperti mencengkeram membuat kedua kakinya sebatas pangkal
betis ke bawah sakit bukan kepalang.<br />
“Celaka, tak bisa aku melepaskan diri! Apa yang terjadi dengan
diriku? Pasti ada orang jahat….” Lakasipo ingat pada sosok putih
Luhrinjani yang tadi ada di depannya. Ketika dia memandang ke depan
justru dilihatnya sosok itu bergerak seperti melayang mendekatinya.<br />
“Luhrinjani…. Wahai….”<br />
Tiba-tiba terdengar suara berdentringan. Sosok Luhrinjani ternyata
memegang sebuah rantai di tangan kanannya. Pada kedua ujung rantai ini
ada penjapit besi besar.<br />
“Luhrinjani…. Betul kau yang ada di hadapanku ini?” ujar Lakasipo begitu sosok putih itu sampai di hadapannya.<br />
Luhrinjani tersenyum. Justru pada saat itu pula wajah perempuan itu
berubah. Mula-mula pada mulutnya. Mulut itu mencuat menonjolkan
gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit wajahnya seolah leleh hingga tinggal
tulang tengkorak. Menyusul dua matanya berubah menjadi sepasang rongga
mengerikan. Rambut hitam juga lenyap. Yang tinggal hanyalah kepala licin
plontos sebuah tengkorak mengerikan. Dua tangannya yang tersembul dari
balik pakaian putih berubah menjadi tulang belulang menggidikkan.<br />
Lakasipo menjerit keras saking kaget dan takut.<br />
Sosok tengkorak merunduk. Dengan satu gerakan cepat makhluk ini
memasang dua japitan rantai besi pada pangkal betis Lakasipo kiri kanan.
Selesai memasang jepitan rantai makhluk ini berdiri kembali, melangkah
mundur menjauhi Lakasipo.<br />
“Kau bukan Luhrinjani. Kau makhluk jahat jejadian…!” teriak Lakasipo.<br />
“Lakasipo…” sosok aneh itu berucap. “Takdir buruk jatuh padamu! Kau
akan terpendam dalam dua batu bernama Bola-Bola Iblis seumur hidupmu.
Tubuhmu akan rusak, busuk dan hancur. Kau akan menemui kematian secara
tersiksa… perlahan-lahan!”<br />
“Makhluk jahanam! Kau pasti suruhan orang! Katakan siapa yang menyuruhmu!” teriak Lakasipo.<br />
Kau akan mendapatkan jawaban lama sekali Lakasipo…” jawab makhluk bermuka tengkorak.<br />
“Setelah sosokmu berubah menjadi jerangkong dan rohmu melayang di langit hampa!”<br />
Mendengar jawaban itu Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Lima Larik
sinar hitam menderu. Itulah pukulan sakti Lima Kutuk Dari Langit.<br />
“Bummmm!”<br />
Pukulan sakti menghantam telak sosok putih di depan sana.<br />
“Braaakkk! Byaaarrr!”<br />
Sosok putih itu hancur berantakan. Serpihan tulang tengkorak dan
tulang jerangkok bertaburan di udara lalu berubah menjadi asap dan
lenyap tanpa bekas.<br />
Lakasipo meraung keras. Seperti orang gila dia menghantam dengan
pukulan-pukulan sakti kian kemari. Namun akhirnya dia lemas sendiri dan
jatuh terduduk di tanah.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>SEMBILAN</strong></div>
<br />
Lingkaran cahaya tujuh warna berbentuk tabung besar laksana sambaran
kilat menukik ke bawah menghunjam ke bumi. Sejarak dua ratus tombak dari
permukaan tanah daya jatuhnya berubah menjadi perlahan. Akhirnya bagian
bawah lingkaran cahaya menyentuh tanah. Bersamaan dengan itu lingkaran
tujuh warna lenyap. Maka kelihatanlah tiga sosok tegak saling tertegun
yakni Pendekar 212 Wiro Sableng, si bocah Naga Kuning dan si kakek Setan
Ngompol.<br />
Untuk beberapa lamanya mereka kelihatan seperti berada dalam sirapan.
Tidak bergerak, tidak bersuara. Wiro masih memegang Kapak Maut Naga
Geni 212 di tangan kanan. Naga Kuning masih memegang batu tujuh warna
yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu. Sedang Setan Ngompol tegak
terbungkuk sambil pegangi bagian bawah perutnya dengan tangan kiri.<br />
Sesaat kemudian, seolah terbangun dari tidur ketiga orang itu sama-sama tersadar.<br />
“Eh, kita berada dimana saat ini?” Wiro yang pertama sekali membuka
mulut lalu memandang berkeliling. Begitu memandang begitu sang pendekar
jatuh terduduk dan berseru kaget.<br />
Setan Ngompol terkencing dan berteriak. “Apa yang terjadi denganmu Wiro?! Apa yang terjadi dengan kita?!”<br />
“Lihat! Lihat sekeliling kalian! Buka mata kalian lebar-lebar!” jawab Wiro dengan suara keras tapi bergetar.<br />
Naga Kuning dan Setan Ngompol sama memandang berkeliling. Barulah
keduanya kaget. Berseru tegang dan jatuh terduduk di samping Wiro.<br />
“Pohon-pohon raksasa… batu-batu sebesar rumah…. Rumput setinggi manusia. Ya Tuhan, di mana kita berada?!” seru Naga Kuning.<br />
Seperti yang mereka saksikan sendiri, saat itu mereka berada di satu
tempat asing yang pepohonannya besar tinggi luar biasa. Di sekitar
mereka rerumputan tumbuh setinggi bahu. Lalu di sebelah sana ada sederet
batu-batu sebesar rumah. Suara deru angin pun terdengar aneh kencang
menakutkan. Ketiga orang itu sampai terhuyung-huyung terkena
sambarannya.<br />
Wiro memandang pada Naga Kuning. Memperhatikan batu tujuh warna yang masih berada dalam genggaman anak ini.<br />
“Batu celaka itu!” seru Wiro. “Kau ingat apa namanya yang disebut Hantu Tangan Empat?!”<br />
“Batu Sakti Pembalik Waktu…” jawab Naga Kuning dengan lidah serasa kelu.<br />
“Ya Tuhan…. Sesuatu telah terjadi dengan kita! Jangan-jangan….”<br />
Mendadak ada suara menggeresek di samping kanan mereka. Ketiganya cepat menoleh.<br />
“Tiga ekor kucing!” ujar Setan Ngompol dan tentu saja sambil
memancarkan kencingnya. Matanya dan juga mata Wiro serta Naga Kuning
sama-sama mendelik. Di sela-sela rerumputan bergerak tiga sosok binatang
sebesar kucing.<br />
“Besarnya memang sebesar kucing. Tapi binatang-binatang ini bukan
kucing! Coba kalian perhatikan!” kata Wiro lalu memperhatikan lebih
teliti tapi tak berani mendekati.<br />
“Semut!” teriak sang pendekar kemudian.<br />
“Tiga ekor binatang ini bukan kucing tapi semut! Paling tidak menyerupai semut!”<br />
“Jangan ngacok! Mana ada semut sebesar kucing!” kata Naga Kuning pula.<br />
“Kawan-kawan…. Kurasa kita tidak berada lagi di dunia kita. Lihat
pohon-pohon raksasa itu! Lihat batu-batu sebesar rumah di sebalah sana.
Rasakan tiupan angin yang membuat kita terhuyung-huyung. Lalu
semut-semut sebesar kucing itu. Lihat…. Gila! Di sebelah sana ada
puluhan lagi bergerak ke jurusan tiga temannya ini!” Wiro melangkah
mundur. Naga Kuning begitu melihat langsung lari menjauh. Setan Ngompol
melompat, tapi terserandung jatuh. Berteriak ketakutan sambil terkencing
lalu lari sambil menubruk Wiro hingga keduanya jatuh bergulingan.
Malang bagi Pendekar 212 waktu bergulingan selangkangan Setan Ngompol
menempel di mukanya!<br />
“Kakek sialan! Jaga barangmu! Jangan sampai kuremas hancur!” teriak
Wiro marah dan pergunakan baju putihnya untuk mengusapi mukanya yang
basah oleh air kencing.<br />
“Aku tidak sengaja! Aku….”<br />
Wiro lemparkan tubuh Setan Ngompol ke samping sambil terus mengomel panjang pendek.<br />
“Sebaiknya kalian berdua jangan bertengkar. Aku khawatir kita berada
dalam bahaya besar. Jika makhluk disela-sela rumput dan yang merayap di
tanah itu benar semut apa kalian bisa membayangkan berapa besar
makhluk-makhluk lainnya yang pasti ada di sekitar sini?”<br />
“Wuuttt… wuuttt… wutttt!”<br />
Tiba-tiba ada angin deras menerpa dari atas. Ketiga orang ini sama
berteriak kaget dan jatuh terjengkang. Dari balik rerumputan mereka
melihat ke atas. Tiga benda besar tampak melayang cepat di udara.
Kepakan sayap mereka menimbulkan angin kencang yang membuat tiga orang
itu tersapu jatuh ke tanah!<br />
“Burung-burung raksasa…” ujar Naga Kuning. “Apa kataku! Kita berada di antara makhluk-makhluk aneh!”<br />
“Kita harus tinggalkan tempat ini! Mencari tempat yang aman!” kata Setan Ngompol.<br />
“Tapi kita mau kemana?” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Untuk
menjaga segala sesuatunya Wiro masih terus menggenggam kapak saktinya.<br />
Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba ada suara menghentak-hentak
keras sekali. Tanah di mana mereka berada bergetar hebat. Untuk kesekian
kalinya ketiga orang ini jatuh berpelantingan.<br />
“Apa yang terjadi?” desis Setan Ngompol dengan muka pucat.<br />
“Gempa…. Pasti gempa!” menyahuti Naga Kuning. Lalu dia berpaling pada
Wiro. “Wiro bukankah kau memiliki ilmu kesaktian bernama Menembus
Pandang. Kau bisa melihat di mana kita berada. Kau bisa mengetahui apa
saja yang ada di sekitar kita!”<br />
“Betul! Kita harus segera cari selamat!” kata Setan Ngompol lalu
dengan cepat diambilnya batu tujuh warna dari tangan Naga Kuning.<br />
Wiro mengangguk lalu kerahkan tenaga dalamnya ke kepala. Sepasang
matanya melihat ke arah kejauhan, menembus rerumputan tinggi yang
menghalang di sekitarnya. Sementara itu suara hentakan keras tadi
semakin dahsyat. Sebelum tubuhnya terbanting ke tanah murid Sinto
Gendeng ini masih sempat melihat sesuatu di kejauhan yang membuatnya
berteriak ketakutan.<br />
“Apa yang kau lihat!” tanya Naga Kuning sambil menjatuhkan diri di
samping Wiro. Setan Ngompol segera pula mendekati kedua orang itu.<br />
“Binatang raksasa aneh. Tubuhnya setinggi bukit! Bentuknya menyerupai
kuda. Tapi memiliki tanduk dan berkaki enam. Tiga di kiri tiga di
kanan….”<br />
“Kau jangan menakut-nakuti kami!” kata Setan Ngompol sambil menahan kencing.<br />
“Siapa yang menakut-nakuti!” bentak Wiro jadi jengkel.<br />
Saat itu tiba-tiba suara hentakan berubah menjadi suara menggemuruh.
Bumi laksana terbalik-balik porak poranda. Debu menggebubu menutupi
seantero tempat.<br />
“Wuutttt!”<br />
Satu makhluk luar biasa besarnya menderu melewati mereka. Rerumputan
hancur luluh. Pasir dan bebatuan beterbangan. Sebuah batu sempat
menyerempet kening Pendekar 212 hingga luka dan mengucurkan darah.<br />
Di tanah kelihatan lubang-lubang besar. Tiga orang itu mencelat
bermentalan dan sama-sama berseru tegang. Setan Ngompol hampir
terperosok ke dalam salah satu lubang kalau tidak cepat ditolong Naga
Kuning. Tanpa diketahui oleh Setan Ngompol Batu Sakti Pembalik Waktu
yang barusan diselipkannya di pinggang celana kolornya jatuh ke dalam
lubang. Ketiga orang itu terbatuk-batuk akibat debu yang memasuki jalan
pernafasan. Muka mereka bercelemongan debu.<br />
“Itu!” teriak Wiro sambil menunjuk ke arah kejauhan.<br />
“Itu binatang raksasa yang aku lihat. Dia barusan lewat di tempat ini!”<br />
Walau binatang itu sudah lari jauh namun Setan Ngompol dan Naga
Kuning masih sempat melihat. Keduanya menggigil ketakutan. Wiro kembali
kerahkan ilmu kepandaiannya untuk melihat jauh. Lalu mengatakan apa yang
dilihatnya. “Kuda raksasa itu lari ke jurusan sana. Aku melihat sebuah
batu besar, mungkin bukit batu. Ah, bukan… bukan bukit batu. Benda itu
bergerak…. Astaga! Ya Tuhan…!” Dua mata Wiro terbelalak. Tubuhnya
gemetaran.<br />
“Katakan apa yang kau lihat!” tanya Naga Kuning.<br />
“Ada makhluk raksasa di sebelah sana. Duduk di tanah. Kepalanya
seperti menyondak langit. Mukanya tertutup rambut lebat, janggut dan
kumis panjang. Dua kakinya terbenam ke tanah. Ada seuntai besi besar
mengikat kakinya. Gila…. Dia menyeringai melihat kedatangan kuda
raksasa. Gigi-giginya sebesar jendela!”<br />
Tiba-tiba kembali tanah bergetar dahsyat dua kali berturut-turut.<br />
“Apa yang terjadi?” tanya Setang Ngompol. “Apa yang kau lihat Wiro?!”<br />
“Kuda raksasa itu. Ternyata dia membawa dua buah bola besar. Astaga
bukan bola tapi dua butir buah kelapa sangat besar. Kelapa-kelapa itu
dijatuhkannya di tanah di hadapan manusia raksasa. Itu barusan yang
menimbulkan getaran hebat. Raksasa membelah buah kelapa dengan hantaman
tangan. Dia meneguk air kelapa…. Tobat!”<br />
“Apa yang tobat!” tanya Setan Ngompol.<br />
“Ada sesuatu terbang di atas kepala raksasa itu….”<br />
“Pasti burung!” kata Naga Kuning.<br />
“Bukan….” Wiro kedipkan matanya beberapa kali. “Bukan burung. Tapi
seekor kelelawar sebesar tetampah! Raksasa pergunakan tangan kirinya
menangkap kelelawar. Lalu….” Wiro perlihatkan muka jijik dan ngeri.
“Raksasa melahap mentah-mentah kelelawar itu! Habis! Tak ada yang
tersisa!”<br />
“Hueekk!” Setan Ngompol muntah. Bukan cuma dari mulut tapi juga dari bawah perut alias terkencing-kencing.<br />
“Lebih cepat kita meninggalkan tempat ini lebih baik!” kata Naga
Kuning dengan wajah memucat. Dia menarik tangan Wiro. Setan Ngompol
sudah bergerak lebih dulu.<br />
“Tunggu! Kalian semua jangan bergerak! Sembunyi di balik rumput lebat….”<br />
“Memangnya ada apa?” tanya Naga Kuning.<br />
“Ssstttt! Jangan bicara keras-keras. Manusia raksasa itu kulihat
tengah memasang telinga. Matanya memandang liar kian kemari seperti
mencari-cari. Hidungnya mengendus-endus membaui sesuatu! Dia… dia tegak
berdiri. Memandang ke arah sini! Celaka! Lekas berlindung!”<br />
Wiro mendorong Naga Kuning dan Setan Ngmpol ke balik rumput lebat.
Dari celah-celah rumput dengan muka pucat dan dada berdebar ketakutan
mereka menyaksikan satu sosok tinggi besar luar biasa berdiri berkacak
pinggang. Rambutnya kotor panjang awut-awutan. Kumis dan jenggotnya
riap-riapan tak karuan. Matanya yang merah memandang ke jurusan di mana
tiga orang itu bersembunyi.<br />
“Kudaku Laekakienam, sayup-sayup aku mendengar suara halus. Seperti ada makhluk yang bicara. Apakah kau juga mendengar?”<br />
Bagi Wiro dan dua kawannya, suara makhluk raksasa seolah suara guntur
menggelegar. Ketiganya tekap telinga masing-masing sementara suara
raksasa itu membuat mereka tergoncang-goncang.<br />
Kuda kaki enam yang di ajak bicara luruskan leher dan gerakkan daun
telinganya. Lalu binatang ini meringkik keras. Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol berteriak kaget. Tubuh mereka kembali bermentalan di
sela-sela rerumputan. Suara teriakan ketiga orang ini tertangkap oleh
makhluk raksasa. Dia memandang ke bawah, ke arah kelebatan rerumputan di
mana Wiro dan dua kawannya bersembunyi.<br />
“Aha! Aku melihat sesuatu…. Mungkin serangga atau kutu daun…. Tapi….”
Si raksasa membungkuk. Matanya dibuka lebar-lebar memandang tak
berkesip ke arah rerumputan. Dia hendak bergerak maju tapi tertahan oleh
kedua kakinya yang tertanam ke batu. Dia terpaksa membungkuk lalu
meniup.<br />
Bagi Wiro dan dua kawannya tiupan itu tidak beda dengan angin puting
beliung. Rerumputan tersibak dan ketiganya terpelanting berkaparan.<br />
“Wahai, ada tiga makhluk aneh di sela rerumputan!” seru makhluk
raksasa yang suaranya bagi Wiro dan dua kawan seolah gelegar guntur.
Merasa senasib seketakutan ketiganya saling berangkulan. Pada saat
itulah makhluk raksasa ulurkan tangannya menyambar tubuh ketiga orang
itu.<br />
“Mati kita semua!” jerit Naga Kuning.<br />
“Pecah barangku!” teriak Setan Ngompol.<br />
Wiro tak bisa berteriak karena salah satu jari tangan raksasa tepat
menekan mukanya. Kepalanya serasa remuk. Makhluk raksasa perlahan-lahan
duduk kembali di tanah. Tangan kanannya yang menggenggam dibuka. Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol bergeletakan di atas telapak tangannya.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>SEPULUH</strong><strong></strong></div>
<br />
Tiga makhluk aneh cebol! Ha… ha… ha!” Suara tawa makhluk raksasa
membuat ketiga orang yang ada di atas telapak tangan bergulingan. Setan
Ngompol malah sempat jatuh, tapi lekas di sambut kembali oleh makhluk
raksasa itu. Untuk beberapa lamanya ketiganya tertelentang di atas
telapak tangan, tak bergerak dan telinga masing-masing seolah mau pecah.<br />
“Wahai makhluk-makhluk aneh, kalian dari mana datang! Mengapa sosok kalian sekecil ini! Perutku masih lapar….”<br />
Tiga orang di atas tangan tergoncang-goncang. “Kalau dia terus bicara hancur telinga kita bertiga!” teriak Naga Kuning.<br />
“Wahai, kau si cebol yang bicara! Apa yang barusan kau ucapkan?!”
Makhluk raksasa bertanya seraya gerakkan tangan kanannya sedikit hingga
tiga orang itu terlempar ke atas lalu cepat disambut kembali. Bagi si
raksasa melempar-lemparkan Wiro ke udara mungkin hanya sekedar
permainan. Tapi bagi ketiga orang itu sangat menyakitkan. Tubuh mereka
jatuh saling tindih dan kepala pada benjut karena beradu!<br />
“Wahai, makhluk yang paling cebol! Kau tidak menjawab pertanyaanku! Apa mau aku tindis seperti kutu di kepalaku?!”<br />
Wiro menepuk bahu Naga Kuning. “Lekas kau jawab pertanyaannya tadi! Kalau dia sampai marah kita bertiga bisa dibunuhnya!”<br />
“Aku mati ketakutan! Aku tak ingat apa pertanyaannya tadi!” jawab Naga Kuning.<br />
“Bocah sialan! Sudah! Biar aku saja yang bicara!” kata Pendekar 212.
Lalu perlahan-lahan dia coba bangkit. Kapak di tangan kanannya
digoyang-goyangkan. Lalu dia berteriak.<br />
“Hai!”<br />
“Kau mau bilang apa? Suaramu tidak kedengaran wahai orang cebol!”<br />
Wiro garuk kepalanya dan berteriak kembali. Tapi tetap saja tidak
terdengar apa yang diucapkannya. Makhluk raksasa gerakkan tangan
kanannya ke dekat telinganya. Telinga raksasa itu seolah sebuah goa
mengerikan bagi Wiro dan kawan-kawannya.<br />
“Hai! Apa sekarang kau bisa mendengar?!” teriak Wiro.<br />
Raksasa menyeringai. “Suaramu masih kecil tapi kudengar sudah bisa!”<br />
“Hai! Tanganmu jangan digoyang-goyang. Kami bertiga bisa jatuh! Kalau bicara jangan keras-keras! Telinga kami bisa pecah!”<br />
Raksasa itu tertawa gelak-gelak. Akibatnya Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol kembali berpelan-tingan. Tahu apa yang terjadi si raksasa
hentikan tawanya, lalu bicara perlahan. “Wahai makhluk-makhluk cebol
lekas katakan siapa kalian bertiga! Sosokmu menyerupai diriku tapi
mengapa kecil begini? Jari tanganku saja lebih besar dari kalian!”<br />
“Kami manusia biasa…. Kami bukan orang cebol!” teriak Naga Kuning.<br />
Raksasa tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu tertawa. “Manusia
biasa adalah seperti diriku ini! Kalian hanya tiga ekor kutuyang
menyerupai manusia! Kalian bukan manusia benaran!”<br />
“Kami manusia benaran, kau yang raksasa. Ini pasti negeri raksasa!” ujar Wiro.<br />
“Huh?! Apa katamu? Di Negeri Latanahsilam tidak ada makhluk bernama raksasa!”<br />
Naga Kuning membisikkan sesuatu ke telinga Wiro. “Kau benar Naga Kuning, biar aku tanyakan…”<br />
“Wahai tiga makhluk cebol! Perutku masih lapar. Walau sosok kalian tidak mengenyangkan tapi lumayan dari cuma makan angin!”<br />
“Mati aku!” kata Setan Ngompol lalu terkencing. Merasakan ada sesuatu
membasahi tangannya si raksasa kerenyitkan alis dan mengendus-endus
berutang kali.<br />
“Hai!” teriak Wiro. “Kami bertiga tidak akan mengenyangkan perutmu!
Tidak ada gunanya membunuh dan menelan tiga ekor kutu seperti kami! Kami
tidak sengaja kesasar ke tempat ini! Dengar dulu! Caramu bicara
mengingatkan kami pada seseorang. Mungkin dia juga berasal dari tempat
ini. Orang itu mengaku bernama Hantu Tangan Empat!”<br />
Raksasa gerakkan tangan kanannya ke depan mata. Melihat mata besar
luar biasa itu Wiro dan kawan-kawan merasa ngeri bukan main. Apalagi
dari lubang hidungnya yang sebesar lubang sumur selalu menyambar
hembusan nafas panas.<br />
“Hantu Tangan Empat! Bagaimana kalian tahu nama itu! Kalian mengenal orang itu?” bertanya makhluk raksasa.<br />
“Kami bertemu dengan Hantu Tangan Empat beberapa waktu lalu di dunia kami!” jawab Naga Kuning.<br />
“Mustahil dia bisa berada di luar Latanahsilam. Kecuali jika kau bisa menceritakan apa yang terjadi wahai manusia kutu!”<br />
“Sialan! Kita terus-terusan dikatakannya manusia kutu!” kata Wiro
pada dua temannya, Walau mengomel namun kemudian Wiro menceritakan
pertemuannya dan kawan-kawan dengan Hantu Tangan Empat.<br />
Si raksasa manggut-manggut berulang kali. “Ceritamu menarik! Aku
memang mengenal Hantu Tangan Empat. Kami sama-sama berasal dari Negeri
Latanahsilam….”<br />
“Berarti negeri seribu dua ratus tahun silam!” kata Setan Ngompol yang bicara untuk pertama kalinya.<br />
“Eh, bagaimana kau tahu hal itu?”<br />
“Hantu Tangan Empat yang mengatakan sewaktu bertemu. Berarti antara
negeri kami dan negeri ini terpaut sejauh seribu dua ratus tahun silam!”<br />
“Hemmm…. Apakah Hantu Tangan Empat berhasil menemukan benda yang
dicarinya? Lalu bagaimana sampai kalian bisa kesasar ke tempat ini?”
tanya si raksasa pula;<br />
“Hantu Tangan Empat tidak berhasil menemukan benda yang dicari,”
jawab Wiro. “Dia seperti ketakutan terhadap sesuatu lalu lenyap
menggaibkan diri. Perihal bagaimana kami bisa kesasar ke tempat ini kami
bertiga juga tidak mengerti.” Wiro sengaja tidak menceritakan batu
sakti tujuh warna yang ada pada Setan Ngompol.<br />
“Aneh, kalian bertiga sungguh aneh….”<br />
“Kau juga aneh! Mengapa tubuhmu seperti raksasa begini!”<br />
“Aku bukan raksasa! Aku manusia biasa! Tubuhmu yang sekecil kutu hingga menganggap aku raksasa!”<br />
“Apa kau bisa mempertemukan kami dengan Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro.<br />
“Mengapa kalian ingin menemuinya?”<br />
“Mungkin dia bisa menolong mengembalikan kami ke alam kami semula….”<br />
“Hantu Tangan Empat memang sakti, banyak ilmunya. Tapi untuk
mengembalikan kalian ke alam kalian semula dia tidak akan mampu
melakukan. Para Peri dan Dewa sekalipun tidak bisa melakukan!”<br />
“Celaka kita bertiga!” seru Setan Ngompol lalu kembali
terkencing-kencing. Naga Kuning dan Wiro Sableng terdiam tak bisa
mengeluarkan ucapan barang sepatah pun.<br />
“Tunggu dulu,” kata Setan Ngompol.<br />
“Aku teringat pada satu ujar-ujar yang mengatakan begini. Setiap ada
jalan masuk tentu ada jalan keluar. Setiap ada pintu masuk pasti ada
pintu keluar.”<br />
“Ujar-ujar itu hanya berlaku di duniamu, tidak di dunia kami! Ada
jalan masuk belum tentu ada jalan keluar. Ada pintu masuk belum pasti
ada pintu keluar. Kecuali jika kalian bisa menemukah benda yang dicari
Hantu Tangan Empat itu.”<br />
“Maksudmu Batu Sakti Pembalik Waktu?” tanya Naga Kuning.<br />
Makhluk raksasa anggukkan kepala,<br />
“Kalau batu itu yang kau maksud, ada pada temanku kakek berkuping lebar ini!”<br />
“Berkuping lebar dan bau!” kata si raksasa pula sambil menyeringai.<br />
“Setan Ngompol! Lekas keluarkan batu saktimu. Perlihatkan padanya!”<br />
Setan Ngompol segera meraba pinggang kirinya. Tangannya berpindah ke
pinggang kanan. Seluruh pinggang diraba. Tidak percaya si kakek
singkapkan baju atasnya, merorotkan celana kolornya, bahkan selinapkan
tangannya sampai ke bawah perut. Mukanya pucat<br />
“Celaka! Batu itu lenyap!”<br />
Naga Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut besar. Lalu ikut
bantu menggeledahi aurat si kakek. Tetap saja Batu Sakti Pembalik Waktu
tidak ditemukan.<br />
“Jangan-jangan jatuh di kawasan rerumputan tadi…” kata Wiro. “Kita harus mencarinya sampai dapat!”<br />
“Batu itu besarnya tak sampai seujung jari kelingkingku! Bagaimana mungkin kalian bisa menemukan?!” ujar makhluk raksasa.<br />
“Bagimu sebesar ujung kuku jari. Bagiku dan kawan-kawan sebesar
lengan!” jawab Wiro. Lalu cepat menyambung ucapannya. “Kuharap kau mau
berbaik hati. Menurunkan kami bertiga di tempat tadi….”<br />
“Kalau itu maumu wahai kutu cebol, silahkan saja…. Tapi ingat
sebentar lagi hari akan gelap. Siang akan berganti malam. Di sekitar
sini banyak binatang buas. Kalian bertiga mungkin tidak akan disantap.
Tapi kalau sempat terpijak, maka kalian akan mati percuma!”<br />
“Kalau begitu aku minta kau berbaik hati sekali lagi. Turunkan kami
ke tanah. Jika tidak dapat kau boleh mengambil kami kembali!” kata Wiro
pula.<br />
Makhluk raksasa membungkuk. Tangannya diulurkan dekat-dekat ke tanah
yang ditumbuhi rumput. Jari-jarinya yang menggenggam dibuka. Ketiga
prang itu menggelinding jatuh. Memang dengan keadaan . tubuh mereka yang
begitu kecil bukan satu bal yang mudah untuk mencari batu tujuh warna
itu. Setelah mencari cukup lama termasuk meneliti ke dalam lubang-lubang
bekas injakan kaki kuda, mereka tak berhasil menemukan. Sementara itu
hari mulai gelap.<br />
“Manusia-manusia cebol! Kalian bertiga akan terus mencari atau ikut
bersamaku kembali?!” Makhluk raksasa bertanya. Suaranya yang keras
membuat tiga orang yang berada di sela-sela rerumputan itu tersentak
kaget dan terhenyak ke tanah.<br />
“Kami memilih tetap di sini! Kami akan mencari batu itu sampai
dapat!” jawab Setan Ngompol. Tentu saja suaranya tidak sampai ke telinga
si makhluk raksasa.”<br />
“Jangan berlaku tolol Setan Ngompol. Kita bisa mati kedinginan di tempat serba asing dan aneh ini!” kata Naga Kuning.<br />
“Jangan bicara,” kata Wiro tiba-tiba. “Aku mendengar ada langkah-langkah berat mendatangi. Lekas sembunyi ke balik rumput!<br />
Tak lama menunggu Wiro dan kawan-kawannya melihat satu sosok besar
berwarna hijau berbenjol-benjol menyeruak di antara rerumputan. Sepasang
kaki depan memiliki kuku-kuku hitam panjang menghunjam ke tanah. Satu
mulut besar dengan lidah hijau ber-cabang dua terbuka mengerikan. Lalu
sepasang mata merah bergerak liar kiah kemari.<br />
“Kodok…” bisik Naga Kuning dengan suara bergetar.<br />
“Kodok raksasa….”<br />
“Jangan bicara, jangan berani bergerak!” bisik Wiro. Tapi terlambat.
Katak raksasa hijau di depan mereka telah mengetahui kehadiran ketiganya
di balik rerumputan. Binatang ini ulurkan kaki depannya lalu turunkan
kepalanya ke bawah. Dengan satu gerakan luar biasa cepatnya mulut
binatang ini menyambar.<br />
Sesaat lagi Wiro dan dua kawannya akan menjadi lahapan kodok raksasa,
tiba-tiba satu tangan menyambar dan membawanya tinggi-tinggi ke udara.
Selamatlah ketiga orang ini dalam genggaman makhluk raksasa,<br />
Wiro megap-megap sementara Naga Kuning tertelentang tak bisa
berkata-kata. Sedang Si Setan Ngompol duduk menungging di atas telapak
tangan makhluk raksasa, beser habis-habisan!<br />
“Terima kasih, kau sudah menyelamatkan kami dari kodok raksasa itu…” kata Wiro megap-megap. Lalu sambungnya,<br />
“Kurasa kita bisa bersahabat….”<br />
Makhluk raksasa tertawa bergumam. “Apa untungnya dengan kalian
bersahabat! Paling-paling kalian bertiga hanya kujadikan barang mainan.
Kalau bosan sudah dan tak berguna lagi kalian kulempar ke mana aku
suka!”<br />
“Kami makhluk tak berdaya mau berkata apa! Tapi siapa tahu diantara
kita bisa saling tolong menolong! Kulihat kakimu seperti dipendam ke
dalam batu. Lalu masih ada sebuah rantai besi. Di negeri kami jika
seseorang diperlakukan seperti dirimu maka dia adalah seorang penjahat
maha buas! Apa kau juga seorang penjahat besar di negeri ini?!”<br />
“Makhluk cebol keparat! Kau tahu apa tentang diriku! Sekali lagi kau
berani bilang penjahat besar aku ini, kulumat kalian bertiga!” Makhluk
raksasa marah bukan kepalang.<br />
“Sahabatku, jangan marah dulu!” kata Wiro.<br />
“Mengapa tidak kau ceritakan pada kami apa yang telah terjadi dengan
dirimu? Kami bertiga berasal dari tanah Jawa. Kami tidak tahu dimana
saat ini kami berada. Mengapa makhluk di sini semua besar-besar. Namaku
Wiro Sableng. Anak ini bernama Naga Kuning. Kakek itu biasa dipanggil
dengan sebutan Si Setan Ngompol!”<br />
“Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Pasti kau sudah mengencingi
tanganku berulang kali!” kata makhluk raksasa tapi raut wajahnya
tidakmenunjukkan kemarahan.<br />
”Wahai tiga manusia cebol. Tak ada salahnya aku memperkenalkan diri.
Aku Lakasipo. Aku adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Diriku sampai
berada dalam keadaan seperti ini tidak ada salahnya aku ceritakan pada
kalian.”<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>SEBELAS</strong></div>
<br />
Mendengar riwayat yang dituturkan Lakasipo Wiro dan kawan-kawannya
jadi terdiam untuk beberapa lama. Namun begitu mereka ingat nasib mereka
sendiri, ketiganya kembali menjadi gelisah.<br />
“Sobatku Lakasipo…” akhirnya Wiro membuka mulut. “Kau sudah bisa mengira-ngira siapa yang mencelakaimu sampai jadi begini?”<br />
“Siapa lagi kalau bukan Lahopeng si keparat itu! Tapi dia tidak
bekerja sendirian. Pasti ada yang membantu. Kesaktiannya tidak sampai
pada kemampuan untuk mencelakai diriku seperti ini.”<br />
“Kau juga tahu siapa yang membantunya?” Naga Kuning ganti bertanya.<br />
“Di Negeri Latanahsilam satu orang hanya yang mampu berbuat sejahat
ini! Seorang dukun durjana dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat! Aku
bersumpah untuk membunuhnya!”<br />
“Sahabat Lakasipo, melihat keadaan dirimu sudah berapa lama kau
dipendam di tempat ini?” Setan Ngompol ikut bertanya. Sampai saat itu
dia lebih banyak memejamkan mata. Takut pandangannya membentur ke bawah,
membuatnya jadi gamang dan terkencing-kencing.<br />
“Kalau aku tidak berhitung salah, mungkin sudah enam kali bulan purnama!”<br />
“Lama sekali! Bagaimana kau bisa bertahan hidup…?” tanya Wiro pula.<br />
Lakasipo menggoyangkan kepalanya ke arah kuda tunggangannya. “Kudaku
yang setia itu. Dia yang mencarikan makanan untukku di hutan sekitar
sini….”<br />
“Kuda aneh. Kakinya saja enam…” kata Naga Kuning sambil goleng-goleng kepala.<br />
“Selama enam bulan kau tidak berhasil meloloskan diri. Bagaimana mungkin kau akan membalas dendam?” tanya Wiro.<br />
Lakasipo mehgheja nafas dalam. “Jika ini memang pekerjaan si dukun
laknat Hantu Santet, berarti aku terpaksa menunggu sampai dia menemui
ajal. Begitu mati ilmunya akan leleh dan aku akan terbebas. Tapi berapa
lama baru dia akan mampus? Orang di sini rata-rata hidup sampai sampai
ratusan tahun. Hantu Santet kurasa baru berusia sembilan puluh tahun!”<br />
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi saling pandang mendengar ucapan Lakasipo itu.<br />
“Tapi setiap hari aku selalu berdoa memohon pertolongan para Dewa dan
para Peri. Aku tidak putus asa. Disamping itu diam-diam aku berusaha
meningkatkan tenaga dalamku dengan melakukan samadi berhari-hari. Satu
ketika kelak aku bisa memutus rantai dan mencabut dua kakiku yang
terpendam dalam batu celaka ini!”<br />
Wiro terdiam sambil garuk-garuk kepala. Tidak sadar meluncur saja
ucapannya. “Kalau saja keadaan tubuhku sebesar dirimu, mungkin aku bisa
menolong membebaskan dirimu….”<br />
Lakasipo tertawa bergelak hingga tiga orang yang ada di telapak
tangannya itu terpental-pental ke udara. “Ilmu kepandaian apa yang kau
miliki manusia cebol! Yang harus kau pikirkan justru bagaimana kau bisa
keluar dari alam ini! Kecuali kalau kalian bertiga memang sudah pasrah
hidup seumur-umur di tempat ini!”<br />
“Kami akan berusaha. Tapi kalau bisa kami ingin menolong dirimu lebih dulu…” kata Wiro pula.<br />
“Aku tidak mengharapkan hal itu,” kata Lakasipo. “Malam datang sudah.
Aku harus melakukan doa dan semedi pada para Peri dan para Dewa….”<br />
“Kami akan berdoa dan memohon pada Tuhan Yang Masa Kuasa….”<br />
“Tuhan…?” ujar Lakasipo. “Makhluk apa itu? Apa dia sesakti Peri dan Dewa?”<br />
Wiro hendak tertawa bergelak. Tapi Setan Ngompol cepat membisiki.
“Jangan kau bersilat lidah dengan dia soal yang satu ini. Kita berada di
alam seribu dua ratus tahun silam. Lakasipo mana mengenal Tuhan!”<br />
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Lakasipo, kalau kau mau
memberi izin kami bertiga akan mencoba. Harap kau menurunkan kami ke
tanah, tepat di depan dan antara kedua kakimu!”<br />
“Makhluk-makhluk cebol yang sombong!” kata Lakasipo, Tapi dia menurut
juga. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanannya ke tanah. Begitu
tangan dimiringkan maka menggelindinglah sosok Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol ke tanah. Lakasipo letak-kan kepalanya di tanah. “Apa yang
hendak kalian lakukan sobat-sobatku kutu boncel?”<br />
Wiro angkat tangan kanannya yang memegang kapak sakti.<br />
“Pertama akan kucoba memutus rantai besar itu dengan senjata ini. Mungkin butuh lebih dari sepuluh bacokan untuk memutusnya!”<br />
“Hemmm, aku tidak mau merendahkan seorang sahabat. Aku berterima
kasih ada yang coba mau menolong! Lakukanlah!” Lakasipo angkat
kepalanya. Dia duduk dengan kaki terkembang.<br />
Pendekar 212 kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Maut Naga Geni
212 mengeluarkan cahaya panas menyilaukan. Di mata Lakasipo cahaya itu
tidak lebih dari satu percikan api kecil jauh di tengah lautan atau
padang pasir!<br />
Wiro berteriak keras. Kapak Naga Geni 212 dihantamkan ke pertengahan
rantai besi yang menggeletak di tanah antara dua kaki Lakasipo.
“Traanggg!” Bunga api memercik.<br />
Wiro terpekik. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak. Kapak Naga Geni 212 lepas dari pegangannya. Mukanya seputih kertas.<br />
“Wahai sobatku! Apa kataku. Kau tidak berhasil!” berucap Lakasipo.<br />
Pendekar 212 merasa sangat malu. Cepat-cepat dia ambil kapaknya
kembali. Ketika dia memandang ke arah rantai, pemuda ini jadi kaget.
“Lihat, hantaman kapak telah meretakkan satu mata rantai!”<br />
“Wahai sobatku, jangan terlalu gembira. Sebelum kau bisa memutus
salah satu mata rantai, senjatamu itu mungkin sudah hancur dan tanganmu
sudah tanggal dari persendian! Jangan keliwat memaksa. Biar para Dewa
dan para Peri yang menolongku!”<br />
“Aku belum menyerah!” kata Wiro seraya simpan Kapak Maut Naga Geni 212 di balik pinggang pakaiannya.<br />
“Apalagi yang hendak kau lakukan Wiro?” tanya Setan Ngompol.<br />
Wiro tak menjawab. Dia tegak dengan kaki terkembang di depan rantai
besi. Mulutnya tertutup rapat. Sepasang matanya menatap tepat-tepat ke
arah rantai besi besar. Tiba-tiba dari mulutnya keluar satu teriakan
keras.<br />
“Sepasang Pedang Dewa!” Saat itu juga dari dua mata Pendekar 212
melesat keluar dua larik sinar hijau menyilaukan. Sinar hijau ini
laksana sepasang pedang panjang yang sangat tajam, bergabung menjadi
satu lalu dengan kecepatan yang sulit dilihat mata membabat ke
pertengahan rantai besi besar yang tergeletak di tanah. Bagi Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol kilauan sinar hijau itu merupakan satu hal yang
luar biasa.<br />
Tapi di mata Lakasipo yang keadaan, tubuhnya seperti raksasa
dibanding ketiga orang itu, kilauan cahaya sakti yang disebut Sepasang
Pedang Dewa itu tidak lebih dari percikan sinar sepanjang jari
telunjuknya! Padahal ilmu kesaktian itu adalah ilmu sangat langka yang
didapat Pendekar 212 Wiro Sableng dari Datuk Rao Basaluang Ameh makhluk
setengah roh setengah manusia. Ilmu kesaktian ini dalam waktu 360 hari
hanya bisa dikeluar dan dipergunakan sebanyak dua kali.<br />
Satu letupan keras berkumandang begitu gabungan dua sinar hijau
menghantam rantai besi. Tanah di antara dua kaki Lakasipo terbongkar.
Rantai besi mengeluarkan suara berdentrangan dan terangkat ke tanah lalu
jatuh kembali ke tanah. Wiro sendiri terhuyung mundur empat langkah
lalu jatuh duduk di tanah.. Dua larik sinar hijau yang keluar dari
matanya lenyap. Di depan sana rantai besi tidak berubah walau tadi
sempat terbungkus sinar hijau seolah dilamun api.<br />
Lakasipo menunduk lalu angkat rantai besi dengan tangan kirinya.
“Wahai sobatku Wiro. Paling sedikit kau harus menghantam lima kali
dengan ilmu kesaktianmu tadi. Baru rantai ini bisa putus!”<br />
Wiro tak berkata apa-apa. Sambil garuk-garuk kepala dia bangkit
berdiri dan melangkah mendekati Naga Kuning. “Mungkin dengan ilmu gaib
Naga Kuning yang mendekam di dadamu kau bisa menolong Lakasipo,”
katanya.<br />
Tapi Naga Kuning gelengkan kepala. “Aku mau mencoba. Kalau gagal
kemana kubuang rasa maluku! Kita berhadapan dengan ilmu kesaktian aneh
beberapa tingkat lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki, Wiro. Ingat
kata-kata Hantu Tangan Empat mengenai ilmu memindahkan suara? Ilmu yang
dimilikinya empat tingkat lebih tinggi dari yang diketahui orang di
tanah Jawa….”<br />
Murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala. “Aku mau mencoba satu kali lagi!” katanya kemudian.<br />
Wiro angkat tangan kanannya. Diusapnya beberapa kali. Ketika dia
hendak meniup, niatnya dibatalkan. Dia merenung sejenak. Lalu memusatkan
alam pikiran pada satu titik gaib yang seolah ada di antara kedua
matanya. Mulutnya berucap. “Datuk Rao Bamato Hijau sahabat dan
pelindungku! Dengan Kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam aku mohon bantuanmu!
Datanglah padaku!”<br />
Baru saja Wiro selesai berucap tiba-tiba terdengar suara menggereng
disusul auman dahsyat. Setan Ngompol langsung terkencing sedang Naga
Kuning bersurut dua langkah. Sesaat kemudian satu sosok harimau berbulu
putih dengan sepasang mata memancarkan sinar hijau muncul di tempat itu.<br />
“Seekor kutu berbentuk harimau, apa yang bisa dilakukannya!” kata
Lakasipo dalam hati sambil geleng-geleng kepala ketika melihat
kemunculan harimau yang dikenal dengan panggilan Datuk Rao Bamato Hijau
itu. Namun apa yang terjadi kemudian membuat Lakasipo tersentak kaget
hampir terloncat dari duduknya, didahului auman dahsyat yang menggelegar
sosok harimau yang tadinya kecil itu perlahan-lahan berubah besar.
Makin besar, bertambah besar dan akhirnya sampai sebesar sosok Lakasipo.
Membuat orang ini bergidik ngeri. Wiro sendiri melompat ke balik sebuah
batu. Setan Ngompol sudah lebih dulu lari terkencing-kencing sementara
Naga Kuning sembunyi di balik sebatang pohon besar.<br />
Datuk Rao Bamato Hijau merangkah berputar-putar mengelilingi
Lakasipo. Mulutnya tiada henti mengeluarkan auman. Ekornya melesat kian
kemari. Tiba-tiba binatang jejadian ini merunduk. Moncongnya menyambar
ke arah rantai besi besar yang tergeletak di tanah.<br />
“Kraaakkk!”<br />
Rantai besi putus dihantam gigitan Datuk Rao Bamato Hijau. Binatang
ini mengaum keras. Lakasipo berteriak gembira. Namun dia masih belum
bebas. Dua kakinya masih berada dalam batu yang terpendam di tanah.<br />
Datuk Rao Bamato Hijau kembali mengelilingi Lakasipo. Lalu seperti
tadi dia membuat gerakan mendadak. Kalau tadi mulutnya yang bekerja kini
dua kaki depannya dengan cepat menggaruk tanah sekitar dua kaki
Lakasipo yang terpendam. Beberapa „saat -kemudian dua lubang besar
kelihatan di tanah. Dua batu dimana sepasang kaki Lakasipo terpendam
ternyata berbentuk bulat seperti bola. Sambil mengaum keras dengan
garang Datuk Rao Bamato Hijau mencengkeram dan menggerogot bola batu di
kaki kanan Lakasipo.<br />
“Kraaakkk… kraakkk… kraaakkk!” Terdengar suara berderakan berulang kali. Namun batu besar itu tidak gugus, retak atau pecah!<br />
Harimau putih mengaum keras lalu mundur beberapa langkah. Makhluk
jejadian ini melompati batu sebelah kiri. Kembali terdengar suara
berderak-derak ketika Datuk Rao Bamato Hijau coba menghancurkan batu
dengan gigi dan cakaran kukunya. Namun seperti batu pertama, batu yang
satu ini juga kukuh atos tak mampu diapa-apakan. Datuk Rao menggereng
panjang. Dari sela-sela giginya kelihatan lelehan darah.<br />
“Datuk Rao…” seru Wiro.<br />
Harimau berbulu putih itu gelengkan kepalanya. Seolah mau mengatakan
bahwa dia tidak mampu membebaskan sepasang kaki Lakasipo yang dipendam
dalam bola batu yang oleh sosok jejadian Luhrinjani disebut sebagai
Bola-Bola Iblis! Datuk Rao Bamato Hijau mendongak ke langit lalu mengaum
panjang. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil kembali. Wiro segera melompat
mendekati Datuk Rao Bamato Hijau. Tangan kiri mengusap kuduk binatang
itu tangan kanan menyeka lelehan darah.<br />
”Datuk Rao Bamato Hijau sahabatku. Aku tidak berkecil hati dan jangan
kau kecewa. Kau telah berusaha keras hingga mengeluarkan darah dari
mulutmu. Walau kau tidak dapat menghancurkan batu itu tapi kau telah
menolong Lakasipo dari pendaman yang membuatnya menderita selama puluhan
hari. Aku berterima kasih. Lakasipo juga pasti sangat berterima
kasih….”<br />
Datuk Rao Bamato Hijau kedip-kedipkan matanya seolah mengerti apa
yang diucapkan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tiba-tiba satu tangan besar
menyambar sosok Datuk Rao Bamato Hijau. Lakasipo mengangkat binatang ini
ke atas, didekatkan ke mukanya. “Makhluk kecil berbentuk harimau putih!
Aku Lakasipo berterima kasih atas pertolonganmu! Para Dewa dan Peri
akan membalas jasa dan budi baikmu….”<br />
Di atas telapak tangan Lakasipo Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras.
Lalu sosoknya berubah menjadi kabut yang kemudian sirna dari
pemandangan mata Lakasipo.<br />
“Makhluk luar biasa…” desis Lakasipo. Dia ingat pada Wiro dan dua
temannya. Dengan cepat Lakasipo membungkuk mengambil ketiganya. “Kalian
bertiga, terutama kau wahai Wiro Sableng telah menolongku! Aku sangat
berterima kasih! Hari ini mulai, aku mengangkat sumpah bahwa kalian
bertiga adalah saudara satu darahku!”<br />
“Terima kasih kau mau berbaik hati mengangkat kami jadi saudara-saudaramu!” kata Wiro.<br />
“Mudah-mudahan saja kau tidak malu punya tiga saudara kutu cebol begini!”<br />
“Ya,” menyahuti Naga Kuning. Dia menudingkan ibu jari tangan kanannya pada Setan Ngompol.<br />
“Apalagi saudaramu yang satu ini. Sudah kakek peot, eh tukang ngompol bau pesing lagi!”<br />
“Bocah sialan! Jaga mulutmu! Rasakan ini!” Setan Ngompol memaki marah
lalu mengerukkan tangannya ke bawah perut. Tangan yang basah dengan air
kencing ini kemudian dipoleskannya ke hidung dan mulut Naga Kuning
hingga bocah ini meludah-ludah dan ganti memaki panjang pendek!<br />
Lakasipo buka mulutnya lebar-lebar hendak tertawa bergelak mendengar ucapan Naga Kuning itu. Tapi Wiro cepat berteriak.<br />
“Jangan tertawa! Kami bertiga bisa mental ke udara! Jatuh ke tanah!”<br />
Lakasipo segera tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu berkata.
“Sahabat Wiro, sebelumnya aku telah berulang kali mengejek dan
menghinamu dan dua kawanmu- Ternyata kau seorang sakti berkepandaian
tinggi. Ilmu memelihara dan memanggil harimau sakti seperti yang kau
miliki itu benar-benar luar biasa. Kau dan kawan-kawanmu ini siapakah
sebenarnya…?”<br />
Wiro garuk-garuk kepala. “Soal diriku tidak usah dibicarakan dulu.
Yang penting saat ini adalah urusan dirimu sendiri. Tadi kau saksikan
sendiri Lakasipo. Harimau putih itu tidak sanggup menghancurkan
bola-bola batu yang membungkus dua kakimu. Menurut aku yang tolol, bisa
saja dua bola batu itu kini menjadi sepasang senjata maut yang hebat!
Jangankan manusia. Gunung pun bisa kau hancurkan!”<br />
Lakasipo ternganga mendengar kata-kata Wiro itu. Untuk beberapa saat
dia pandangi wajah Wiro yang besarnya seujung kuku. Perlahan-lahan
Lakasipo memandang ke bawah memperhatikan dua kakinya.<br />
“Kau mungkin benar wahai Wiro saudaraku. Dengan pertolongan para Dewa
dan para Peri, dua kakiku ini bisa menjadi senjata ampuh. Aku teringat
pada ucapan seseorang. Bola-Bola Iblis…” desis Lakasipo begitu dia ingat
akan ucapan sosok gaib Luhrinjani satu malam puluhan hari lalu di kaki
Bukit Latinggihijau. Sekujur tubuhnya bergetar.<br />
“Wahai para Dewa dan Peri, aku mohon pertolonganmu! Jadikan sepasang
kakiku benar-benar sebagai Bola-Bola Iblis untuk menghancurkan
manusia-manusia yang telah memperlakukan diriku secara jahat dan
sewenang-wenang! Jadikan dua kakiku sebagai dua senjata sakti agar aku
dapat membalaskan sakit hati kesumat dendam atas ke-matian Luhrinjani!”
Sekujur tubuh Lakasipo kembali bergetar. Di atas telapak tangannya Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol terhuyung-huyung kian kemari; Untuk cari
selamat agar tidak jatuh ke bawah ketiganya segera baringkan diri di
atas telapak tangan Lakasipo.<br />
Selama 180 hari lebih sepasang kaki Lakasipo telah dipendam dalam
batu. Selama itu pula dia tidak pernah berjalan melangkahkan kaki. Kini
kakinya bebas, tapi masih terpendam dalam dua bola batu. Sanggupkah dia
menggerakkan kakinya dan berjalan. Lakasipo sesaat merasa cemas. Dengan
menabahkan hati disertai pengerahan tenaga, dia angkat kaki kanannya
keluar dari lubang di tanah. Terasa sangat berat. Dia kerahkan lagi
tenaga lebih besar. Keringat memercik di muka dan tengkuknya.
Otot-ototnya melembung bergetar. Perlahan-lahan bola-bola batu itu
bergerak sedikit. Lakasipo genggamkan lima jari tangan kanannya lalu
berteriak keras.<br />
“Dukkk!”<br />
Batu besar yang membungkus kaki kanan Lakasipo keluar dari lubang dan
menghunjam di tanah. Tanah bergetar hebat. Pohon-pohon bergoyangan.
Untuk ke dua kalinya Lakasipo berteriak sambil mengerahkan tenaga.<br />
“Dukkkk!”<br />
Seperti kaki kanan tadi kaki kiri juga mampu dikeluarkannya dari dalam lubang. “Dukkkk..,, dukkk… dukk… dukkk!”<br />
Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan suara keras serta getaran di tanah.<br />
“Bunyi apa itu?!” seru Setan Ngompol dalam genggaman Lakasipo.<br />
“Rasanya kita seperti melayang-layang!” ujar Naga Kuning pula.<br />
Lakasipo buka genggaman tangan kanannya.<br />
“Wahai kalian bertiga…. Ada tugas besar yang harus aku laksanakan.
Aku.akan mencari manusia-manusia yang telah membuat diriku celaka!
Kalian, bertiga tidak akan kutinggal. Akan kubawa kemana aku pergi!”<br />
Di pinggang Lakasipo ada sebuah ikat pinggang kulit. Pada bagian
sebelah kanan terdapat sebuah kocek terbuat dari jerami kering yang
dianyam. Lakasipo membuka penutup kocek lalu memasukkan Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol kedalam kocek!<br />
“Hai! Kau masukkan kemana kami ini?!”; teriak Naga Kuning. “Gelap sekali di sini!”<br />
“Aku tak bisa bernafas!” seru Setan Ngompol. “Aduh! Mau kencing rasanya!”<br />
“Awas! Jangan kau berani beser di tempat ini!” teriak Wiro.<br />
“Duukkk… duukkkk.„ dukkk… dukkkk!”<br />
Lakasipo kerahkan tenaga luar dan tenaga dalamnya.<br />
Ketiga orang itu tergoncang-goncang ketika Lakasipo melang kah cepat
mendekati kuda tunggangannya. Dua buah batu berbentuk bola besar yang
membungkus sepasang kaki Lakasipo sampai ke pangkal betis beratnya bukan
kepalang. Apalagi ditambah dengan potongan besi yang masih mencantel.
Namun karena memiliki ilmu dan tenaga dalam tinggi dan didorong oleh
dendam kesumat hendak membalaskan sakit hati maka walau diberati
benda-benda itu dia mampu melangkah.<br />
Namun baru berjalan beberapa langkah ke arah kudanya yang menunggu
sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul tiga sosok yang segera
menghadang jalan Lakasipo.<br />
“Lakasipo! Manusia durjana! Di cari-cari akhirnya kau kami temui
juga! Telah kau membunuh Luhrinjani keponakanku! Nyawa busukmu jadi
tebusan! Roh jahatmu akan tergantung antara langit dan bumi!” Orang
paling depan membentak.<br />
Kawan di sebelahnya berucap kaget. “Lihat! Bagaimana bangsat jahat ini bisa lepas dari pendaman batu iblis?!”<br />
“Ada batu berbentuk bola dan rantai putus mengganduli dua kakinya!” Orang ke tiga ikut bicara.<br />
“Wahai tiga orang penghadang di malam hari! Lantai terjungkal tidak
kucari. Segala fitnah tidak kusenangi! Izinkan aku memberi keterangan
terlebih .dulu!”.<br />
Di dalam kocek jerami kering, Wiro dan dua kawannya mendengar jelas
bentakan-bentakan itu. Dengan susah payah mereka menggeser penutup kocek
lalu mengintai.<br />
“Celaka, naga-naganya akan terjadi perkelahian hebat!” kata Naga
Kuning. “Kalau sampai tendangan atau senjata lawan mengenai kocek ini,
kita bisa medel semua!”<br />
“Kalau begitu biar aku ke luar saja dan merosot lewat kaki celana Lakasipo!” kata Setan Ngompol.<br />
“Mati hidup kita tetap dalam kocek ini! Berada di luar mungkin lebih
besar bahayanya!” kata Wiro lalu menarik daun telinga lebar Setan
Ngompol.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>DUA BELAS</strong></div>
<br />
Lelaki di sebelah depan yang mengenakan destar tinggi warna hitam
terbuat dari sejenis kulit kayu meludah ke tanah. “Dasar manusia anjing!
Setelah membunuh ke-ponakanku kau masih bisa berkata tidak mencari
lantai terjungkat! Menuduh kami memfitnah! Jahanam!”<br />
“Wahai Lasalut, Pamanda, Luhrinjani istri yang kucintai! Perihnya
hati dan jiwa akibat kematian istri masih terobat belum! Bagaimana
tega-teganya kau menuduhku membunuh Luhrinjani?!” ujar Lakasipo dengan
sikap tetap tenang walau telinganya panas mendengar ucapan orang.<br />
“Iblis jahanam! Jangan kau berani bermanis mulut! Aku punya, saksi
yang melihat kau membunuh Luhrinjani keponakanku! Mayatnya kau lemparkan
ke dalam jurang di sisi Bukit Batu Kawin!”<br />
“Kau boleh punya seribu saksi Lasalut Pamanda, tapi aku punya saksi para Peri dan Dewa!”<br />
“Kurang ajar! Berani-beraninya kau membawa-bawa nama Dewa dan Peri!” bentak orang bernama Lasalut.<br />
“Aku berani karena aku tidak membunuh Luhrinjani. -Dia bunuh diri
menjatuhkan badan ke dalam jurang! Itu bukti penyesalan diri karena
berlaku khianat. Mau mengawini Lahopeng yang menjadi pangkal bencana!”<br />
“Pandainya dia memutar balik kenyataan!” kata lelaki di samping kanan
Lasalut yang kira-kira seusia dengan Lakasipo. Dia adalah Laberang,
saudara sepupu Luhrinjani. “Lahopeng sendiri yang menyaksikan kau
melempar tubuh saudara sepupuku itu ke dalam jurang!”<br />
“Laberang, aku tahu sejak lama kau benci padaku! Jangan kesempatan ini kau pergunakan untuk mengarang cerita membela Lahopeng!”<br />
“Lakasipo! Ketahuilah bahwa Lahopeng kini telah menjadi Kepala Negeri
Latanahsilam! Seorang Kepala Negeri tidak akan berdusta! Karena dia
telah disumpah oleh para Dewa dan para Peri untuk berkata benar!”<br />
Lakasipo menyeringai. “Kebenaran seseorang tidak dinilai dari jabatan
yang dimilikinya! Apalagi Lahopeng menduduki jabatan Kepala Negeri
secara curang! Kuharap bertiga kalian menyingkir dari hadapanku!”<br />
“Laberang dan Lakasat! Mengapa kalian tidak segera berebut pahala menghabisi manusia jahanam ini?!” seru Lasalut.<br />
Mendengar kata-kata paman Luhrinjani itu, dua orang muda Laberang dan
Lakasat segera menghunus parang besi. Keduanya langsung menyerbu
Lakasipo. Di antara kedua serangan itu secara licik Lasalut hantamkan
tangan kanannya. Sebuah benda bulat berpijar melesat ke arah kepala
Lakasipo!<br />
Lakasipo tidak gentar menghadapi sambaran dua parang besi. Yang
dikhawatirkannya justru benda bersinar yang dilemparkan Lasalut ke
arahnya. Dengan cepat Lakasipo jatuhkan diri ke tanah. Dalam keadaan
miring, sementara tangan kiri bersitahan ke tanah, kaki kanan Lakasipo
tiba-tiba melesat ke atas. Bola batu dan rantai besi berputar menderu
berkerontangan.<br />
“Traanggg… traaangg!”<br />
Dua parang besi terlepas dari tangan para penyerang. Hancur patah
menjadi beberapa bagian dan mental ke udara. Lakasat dan Laberang
berseru kaget lalu cepat melompat mundur dengan muka pucat.<br />
Lasalut menggereng geram ketika benda yang dilemparkannya berhasil
dielakkan Lakasipo. Sekali lagi dia melemparkan benda serupa. Kali ini
dua kali sekaligus. Begitu melempar dia melesat sambil kirimkan satu
pukulan tangan kosong yang ganas.<br />
Saat itu Lakasipo baru saja berusaha bangkit. Melihat dua benda
bercahaya kembali menyambar ke arahnya dengan kertakkan geraham lelaki
ini menyongsong serangan lawan dengan bola batu yang membungkus kaki
kanannya:<br />
“Bummm!”<br />
Satu letusan keras menggelegar begitu kaki batu Lakasipo menghantam
hancur benda bercahaya paling depan. Kakinya bergetar hebat dan terasa
panas sampai ke pangkal paha! Di dalam kocek di pinggang Lakasipo Setan
Ngompol tak dapat lagi menahan pancaran kencingnya: Wiro dan Naga Kuning
mengomel panjang pendek.<br />
Benda bercahaya ke dua datang menyambar bersamaan dengan angin
pukulan tangan kosong Lasalut. Menyadari bola-bola batu yang membungkus
kakinya dapat diandalkan sebagai senjata ampuh, untuk ke dua kalinya
Lakasipo tendangkan kakinya menyambut serangan. Untuk ke dua kalinya
pula benda bercahaya itu hancur mengeluarkan letusan keras. Lakasipo
merasakan anggota tubuhnya sebelah kanan seperti bertanggalan. Selagi
dia jatuhkan diri menahan sakit datanglah hantaman pukulan tangan kosong
Lasalut.<br />
Lakasipo menjerit keras ketika pukulan sakti itu menghantam telak di
dadanya. Lelaki ini terbanting ke tanah sambil muntahkah darah segar!
Merasa dia bakalan dapat mengalahkan lawannya Lasalut segera melompat
untuk menghabisi riwayat orang yang dianggapnya sebagai pembunuh
keponakannya itu. Namun malang bagi dirinya. Selagi tubuhnya masih
melayang di udara, Lakasipo telah melompat dan menyergap dengan
tendangan kaki kiri.<br />
“Kraakkk!”<br />
Lasalut menjerit keras. Tulang pinggulnya hancur.<br />
Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak. Untuk beberapa lama dia
menggeliat-geliat di tanah lalu merangkak mendekati Lakasipo. Mukanya
seperti setan. Dari mulutnya keluar buih berwarna kehijauan, Mukanya
tiba-tiba berubah menjadi muka seekor ular kepala hijau. Perlahan-lahan
tubuhnya ikut berubah menjadi tubuh ular.<br />
“Hantu Ular Siluman!” teriak Lakasipo tegang. Dia memang pernah
mendengar kalau paman Luhrinjani ini memiliki semacam ilmu yang bisa
merubah dirinya menjadi ular besar berwarna hijau. Namun baru sekali ini
dia menyaksikan sendiri.<br />
Di hadapan Lakasipo ular hijau bergerak secara aneh. Binatang ini
tidak melata di tanah melainkan, tegak lurus di atas ekornya yang
laksana besi dipancang. Didahului desisan keras dan semburan racun
berwarna hijau, sosok Lasalut yang telah jadi ular itu melesat ke depan.
Kepala mematuk ke arah leher sedang bagian tubuh berusaha menggelung
sementara ujung ekor tetap tegak di tanah dan mampu bergerak cepat kian
kemari.<br />
Wiro, Setan, Ngompol dan Naga Kuning yang berada dalam kocek jerami
dan menyaksikan apa yang terjadi menjadi sangat ketakutan. Kalau sampai
hantaman ular jejadian itu mengenai kocek maka tamatlah riwayat mereka
bertiga!<br />
Sambil menyingkir hindari serangan Lakasipo berseru.<br />
“Wahai Pamanda Lasalut! Aku Lakasipo yang muda bersedia menyudahi perkelahian ini. Asalkan kau mau menghentikan serangan!”<br />
Tapi Lasalut yang telah jadi ular hijau besar itu tidak perduli
ucapan orang. Patukannya menyambar ganas. Untung Lakasipo masih bisa
mengelak hingga serangan Lasalut lewat setengah jengkal dari leher kiri
yang diincar! Sebelum lawan menyerang kembali Lakasipo melompat menjauh
seraya berseru.<br />
“Wahai Pamanda Lasalut, aku tidak ingin berkelahi denganmu! Biar
semua sengketa habis sampai di sini. Izinkan aku pergi dengan tenang!”
Dengan mengambil sikap mengalah Lakasipo balikkan tubuh lalu melangkah
pergi.<br />
Di atas kepala ular menggeledek teriakan kemarahan. Dari mulut ular
itu sendiri menyembur cahaya hijau. Lalu “wuuuut!” Binatang jejadian itu
melesat ke depan, mematuk Lakasipo yang sedang membelakangi, tepat di
punggung kirinya!<br />
Lakasipo menjerit keras. Tubuhnya tersungkur ke tanah.<br />
“Mati kita semua!” jerit Wiro di dalam kocek jerami. Masih untuk
pinggang Lakasipo di bagian mana kocek tergantung tidak menghunjam
tanah. Terhuyung-huyung Lakasipo bangkit berdiri.<br />
Di atas kepala ular hijau ada suara tawa bergelak. Suara tawa
Lasalut. “Lakasipo manusia pembunuh istri! Dendamku terbalas sudah!
Patukanku mengenai tubuhmu! Kehidupan hanya tinggal tujuh hari dalam
jazad kotormu! Ha… ha… ha…!” Tubuh Lasalut yang berbentuk. ular besar
hijau perlahan-lahan berubah menjadi sosok manusia kembali. Mulai dari
kepalanya.<br />
“Pamanda Lasalut…. Aku tak ingin menurunkan jahat tangan padamu! Tapi
kau telah berlaku curang dan jahat! Saat ini biaraku memilih mati
bersama! Para Dewa dan para Peri akan menghukummu! Karena aku tahu
dimana kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman yang kau miliki!”<br />
Muka Lasalut sampai ke leher yang telah berubah kembali pada bentuk
aslinya menyeringai. Malah orang ini keluarkan tawa bergelak.<br />
Melihat sikap orang seperti itu Lakasipo tidak sungkan-sungkan lagi.
Didahului teriakan keras dia menyergap ke depan- Bola batu kaki kanannya
berkelebat ke arah ekor ular hijau yang tegak lurus di tanah. Ekor! Di
sinilah letak kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman yang diandalkan Lasalut.<br />
Lasalut terkejut besar. Dalam keadaan merubah diri seperti itu dia tidak bisa bergerak cepat.<br />
“Lakasipo! Jangan!” teriak Lasalut.<br />
“Wuuttt!”<br />
“Praakkk!”<br />
Tubuh Lasalut yang masih dalam perubahan hancur di sebelah bawah.
Lolongan Lasalut setinggi langit. Tubuhnya terlempar tiga tombak. Begitu
terbanting di tanah sekujur tubuhnya yang sebelumnya masih berbentuk
ular hijau kini telah berubah menjadi sosok manusia kembali namun
sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah kelihatan dalam keadaan hancur.
Dagingnya lumat dan tulang-tulangnya hanya tinggal serpihan-serpihan
mengerikan. Sesaat Lasalut masih menggeliat-geliat. Sepuluh jari
tangannya mencakar-cakar tanah. Orang ini meraung keras lalu tak
berkutik lagi. Entah pingsan entah tewas!<br />
Laberang dan Lakasat ketakutan setengah mati melihat apa yang
terjadi. Tidak menunggu lebih lama keduanya segera menghambur kabur.
Namun Lakasipo lebih dulu melesat memotong jalan sambil kaki kirinya
menendang.<br />
“Praaakkk!”<br />
Korban ke dua jatuh. Laberang terlempar dan melingkar di tanah dengan
kepala pecah! Hancuran kepala dan darahnya muncrat ke arah Lakasat.
Pemuda ini menjerit ngeri setengah mati. Suara jeritannya lenyap begitu
sepuluh jari tangan Lakasipo tahu-tahu telah mencekiknya. Dengan lidah
terjulur dan mata mendelik Lakasat meratap.<br />
“Laka…. Lakasipo…. Jangan… jangan bunuh diriku. Aku… aku tidak ada perselisihan denganmu. Ampuni diriku….”<br />
Lakasipo meludah ke tanah. Mukanya mengerenyit karena tiba-tiba ada
rasa sakit mencucuk di punggungnya yang terkena patukan Hantu Ular
Siluman.<br />
“Sekarang meratap kau wahai Lakasat! Tadi bicaramu segarang anjing!
Tapi aku Lakasipo mau saja mengampuni dirimu! Pergi ke Negeri
Latanahsilam. Temui Lahopeng! Katakan padanya besok nyawanya akan
melayang! Aku akan membunuhnya!”<br />
Lakasipo bantingkan Lakasat ke tanah. Orang ini merintih kesakitan. Bangkit berdiri lalu lari sekencang yang bisa dilakukannya.<br />
Di dalam kocek jerami di pinggang Lakasipo Wiro jatuhkan diri di
lantai kocek. Mukanya yang pucat berdarah kembali. Dia memandang pada
Naga Kuning dan Setan Ngompol yang terkapar tak bergerak dengan mata
melotot.<br />
“Bagaimana…?” tanya Naga Kuning”tersendat.<br />
“Lakasipo membunuh orang bernama Lasalut dan Laberang….”<br />
“Jadi sudah aman sekarang?” tanya Setan Ngompol sambil pegarigi kolornya yang basah oleh air kencing.<br />
“Belum…. Lakasipo masih akan mencari musuh besarnya. Dia mau membunuh Lahopeng!” jawab Wiro menerangkan.<br />
“Lalu bagaimana dengan kita?” tanya Naga Kuning.<br />
“Jangan terlalu mengharap. Kita sendiri akan berada dalam bahaya
berkepanjangan. Mungkin kita harus menunggu sampai Lakasipo menghabisi
Lahopeng. Kalau dia menang! Kita tetap harus mencari jalan kembali ke
dunia kita! Tanah Jawa! Sekarang hari sudah gelap. Malam akan segera
tiba. Aku tidak dapat membayangkan ngerinya malam di negeri aneh ini!
Tapi kalau siang datang, aku minta Lakasipo mengantarkan kita ke kawasan
berumput itu. Kita harus dapatkan Batu Pembalik Waktu itu kembali!”
Murid Sinto Gendeng sandarkan badannya ke dinding kocek. “Sialnya nasib
kita ini…” katanya sambil garuk-garuk kepala.<br />
“Kita berdua tidak sial! Yang membawa sial adalah kakek tukang ngompol bau pesing ini!” kata Naga Kuning pula.<br />
“Jangan kau berani bicara seenaknya! Jaga mulutmu kalau tidak mau
kusumpal dengan kolorku!” bentak Setan Ngompol. Dua matanya yang lebar
tampak bertambah lebar. “Kau yang membuat sialan kita semua! Kita
kesasar ke tempat ini tepat pada saat kau memegang batu tujuh warna itu!
Kau yang sialan bocah jelek!”<br />
Naga Kuning berdiri dan hendak balik mendamprat. Tapi saat itu mereka
merasakan seperti melayang di udara. Lalu ada suara menggemuruh.<br />
“Apa yang terjadi?!” seru Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencingnya.<br />
Naga Kuning coba mengintai. Sesaat kemudian dia memberi tahu. “Lakasipo berada di atas kuda kaki enamnya!”<br />
“Berarti kita tengah menuju Negeri Latanahsilam!” ujar Wiro pula.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>TIGA BELAS</strong></div>
<br />
Kuda berkaki enam itu lari menggemuruh cepat sekali. Menjelang pagi
Lakasipo berharap dia sudah sampai di Latanahsilam. Di dalam kocek
jerami Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bergelung tergoncang-goncang.
Karena keletihan ketiga orang itu akhirnya tertidur pulas. Pagi hari
begitu sinar sang surya menembus dinding kocek yang terbuat dari jerami
ketiganya terbangun.<br />
Lakasipo masih terus memacu kudanya. Wiro dan Naga Kuning mendorong
penutup kocek ke atas lalu menjengukkan kepala. Begitu memandang ke luar
keduanya langsung jatuh terduduk. Bukan saja karena gamang tapi juga
ngeri. Mereka melihat pohon-pohon raksasa seperti terbang bergerak cepat
ke arah berlawanan dari lari kuda kaki enam yang ditunggangi Lakasipo.<br />
Di satu lereng bukit Lakasipo perlambat lari kudanya. Wiro dan Naga
Kuning kembali beranikan diri mengintai. Jauh di bawah sana mereka
melihat, sebuah lembah lalu satu kawasan pemukiman yang cukup luas.<br />
“Mungkin itu Latanahsilam, tujuan Lakasipo…” kata Wiro.<br />
Ketika Lakasipo sampai di kaki bukit, dari kawasan pemukiman
terdengar suara kentongan bertalu-talu. Suara kentongan di kejauhan ini
bagi Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol seolah menggema dekat
liang telinganya.<br />
“Orang sudah tahu kedatangan Lakasipo. Musuhnya yang bernama Lahopeng
itu pasti sudah mempersiapkan sambutan! Kita bakal diancam bahaya
lagi!” berkata Wiro.<br />
“Bagaimana kalau kita beritahu Lakasipo agar menurunkan kita di
sini,” ujar Setan Ngompol. Lalu dia memukul-mukul dinding kocek jerami
dengan tangan kanannya. Wiro dan Naga Kuning diam saja karena bagi
mereka berada di luar, di alam yang serba asing belum tentu lebih aman
dari pada terus berada dalam kocek jerami itu.<br />
Di satu tempat Lakasipo melihat binatang tunggangannya
menggerak-gerakkan kedua telinganya. Lelaki ini segera elus rambut tebal
di kuduk si kuda. Sepasang telinganya dipasang sedang dua matanya
memperhatikan keadaan sekitarnya dengan tajam. Sebelumnya Lakasipo telah
melepaskan Lakasat dan menyuruh pemuda itu memberi tahu Lahopeng akan
kedatangannya. Saat ini Lahopeng pasti sudah menerima berita itu. Dan
tentu saja sudah dapat dipastikan dia tidak akan berdiam diri.<br />
Ada suara bergemerisik. Dari balik rumpun besar deretan pohon-pohon
bambu yang dimata Wiro dan kawan-kawannya seolah tinggi menjulang langit
sekonyong-konyong muncul enam orang lelaki bertelanjang dada,
bersenjatakan parang terbuat dari besi bengkok. Tiga dari samping kiri,
tiga lagi dari samping kanan. Yang membuat kaget dan ngeri Wiro, Naga
Kuning serta Setan Ngompol bukan tampang atau keadaan keenam orang itu,
melainkan binatang-binatang yang jadi tunggangan mereka. Setiap langkah
yang dibuat binatang ini menggetarkan tanah.<br />
“Kadal raksasa…” desis Wiro dengan suara bergetar.<br />
“Betul…” menyahuti Naga Kuning. “Benar-benar negeri gila! Bagaimana ada kadal sebesar ini, jinak dan bisa ditunggangi!”<br />
“Mulut, mata, gigi dan lidahnya mengerikan sekali!” Setan Ngompol masih berusaha melihat lebih lama.<br />
Tapi tidak tahan. Dia meluncur turun ke dalam kocek sambil terkencing.<br />
Enam penunggang kadal raksasa segera bertebar membentuk setengah
lingkaran, mengurung Lakasipo. Lakasipo kenal orang-orang itu. Mereka
adalah penduduk Negeri Latanahsilam dan diketahuinya adalah teman-teman
dekat Lahopeng.<br />
Lakasipo sampai di hadapan enam penunggang kadal. Dia segera hentikan kudanya.<br />
“Wahai enam kerabat penunggang kadal coklat! Gerangan apa sengaja maka kalian menghadang jalanku!” Lakasipo menegur.<br />
“Kami mendapat tugas untuk berjaga-jaga di tempat ini!” jawab salah seorang dari enam. penunggang kadal besar.<br />
“Pekerjaan mulia! Ada petaka apa yang terjadi maka kalian
berjaga-jaga. Lalu siapa gerangan yang memberi tugas pada kalian, wahai
enam kerabat?!” Bertanya Lakasipo.<br />
Yang menjawab penunggang kadal coklat di ujung kanan. “Malapetaka itu
bersumber pada dirimu wahai Lakasipo!” Lalu teman di sampingnya
menyambung, “Yang memberi kami tugas adalah Kepala Negeri Latanahsilam!”<br />
“Hemmm…” Lakasipo bergumam sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut
panjang, kasar dan kotor. “Siapakah gerangan Kepala Negeri Latanahsilam
itu?!”<br />
“Yang terjunjung bernama Lahopeng!”<br />
Lakasipo tersenyum walau telinganya mendadak menjadi panas. “Sejak
kapan,pemuda itu menjadi Kepala Negeri. Siapa yang mengangkatnya…?”<br />
“Sejak beberapa bulan lalu. Penduduk yang mengangkatnya. Selain masih
muda dan cakap Lahopeng memiliki ilmu silat dan kepandaian tinggi!”<br />
“Kalian semua wahai kerabat tahu kalau aku adalah Kepala Negeri
Latanahsilam. Kalian melihat aku segar bugar dan masih hidup! Selama
Kepala Negeri masih hidup apakah ada adat dan aturan di negeri
Latanahsilam seseorang lain dijadikan Kepala Negeri?”<br />
“Menurut Lahopeng kau sudah tewas sekitar enam kali bulan purnama lalu.”<br />
“Latole…. Latole,” kata Lakasipo sambil geleng-geleng kepala. “Apa
kau dan lima kerabat sudah pada buta? Dengan siapa saat ini kalian
berhadapan?!”<br />
Latole menjawab. “Yang kami lihat memang sosok kasar Lakasipo, bekas
Kepala Negeri Latanahsilam. Tapi kami tidak tahu apakah ini benar jazad
hidupnya atau rohnya yang gentayangan dari alam kematian!”<br />
Kembali telinga Lakasipo menjadi panas. Malah dadanya kini mulai
terasa seolah dibakar. “Wahai enam kerabat, tidak tahu aku siapa yang
buta dan pandir di antara kita. Aku tidak ingin bicara berlama-lama
dengan kalian. Beri aku jalan! Aku akan segera menuju Latanahsilam!”<br />
“Wahai Lakasipo, harap kau mau bersadar diri. Keadaan sekarang
berubah sudah. Dulu kau Kepala Negeri Latanahsilam yang kami hormati.
Tapi sekarang tidak. Saat ini kami adalah para wakil kepercayaan
Lahopeng, Kepala Negeri Latanahsilam yang baru! Kami diperintahkan untuk
mencegatmu. Kau tidak boleh memasuki Latanahsilam!”<br />
“Hemmm…. Begitu rupanya?” ujar Lakasipo. Dia angkat kakinya kiri kanan yang berbentuk bola-bola besar terbuat dari batu.<br />
“Kalian berenam, lihat baik-baik! Aku menyebut dua batu bulat yang
membungkus kakiku sampai pangkal betis sebagai Bola-Bola Iblis! Dua bola
batu ini masih bernoda darah. Itu adalah darah Lasalut dan Laberang.
Mereka menemui ajal karena kebodohan mereka sendiri. Mereka mati dengan
kepala hancur dihantam Bola-Bola Iblis ini! Apa kalian berenam ingin
pula bertindak bodoh?!”<br />
“Wahai Lakasipo! Perihal kematian Lasalut dan Laberang sudah kami
ketahui dari Lakasat! Kau sekarang adalah orang terhukum. Kami akan
menangkapmu hidup atau mati!” kata orang bernama Latole.<br />
“Kalau begitu di antara kita tidak bisa dihindari bentrokan besar!
Kau adalah para kerabatku. Aku tidak ingin menyakiti apalagi sampai
melukai kalian! Tapi jika kalian mencari mati, mungkin kesabaranku bisa
putus!”<br />
“Kalau begitu ucap katamu wahai Lakasipo terpaksa kami mencabut nyawamu, menanggalkan kepalamu dan menyerahkan pada Lahopeng!”<br />
“Sayang sekali! Sayang sekali! Dulu kita bersahabat. Dulu aku adalah
pimpinan kalian. Tapi kehendak tolol kalian membuat kita saat ini tidak
ada kaitan apa-apa! Aku hanya ingin berucap sekali lagi. Menyingkirlah.
Beri aku jalan!”<br />
“Maafkan kami Lakasipo. Kalaupun kami harus menyabung nyawa, sejengkal pun kami tidak akan beranjak dari tempat ini!”<br />
“Kalian orang-orang gila dan pandir! Kalian tidak sayang nyawa,
akupun tidak akan banyak perhitungan membunuh kalian semua! Di mataku
kalian tidak lebih dari pada kaki tangan manusia jahat bernama Lahopeng!
Pengkhianat busuk!”<br />
Habis berkata begitu Lakasipo gebrak kuda kaki enamnya. Binatang ini
meringkik keras. Suara ringkikan ini disambut suara melengking aneh enam
ekor kadal raksasa. Lakasipo melompat dua tombak ke udara. Enam
penunggang kadal sama keluarkan pe-kikan nyaring. Ternyata pekik ini
adalah satu aba-aba. Karena begitu memekik keenamnya melompat turun dari
tunggangan masing-masing. Serentak dengan itu enam kadal raksasa coklat
menyerbu Laekakienam. Kuda tunggangan Lakasipo meringkik keras. Matanya
menyorotkah sinar merah. Kepalanya membeset ke bawah. Dua tanduk
berkeluk menyambar menyongsong serangan enam ekor kadal. Dua kaki paling
depan menendang ganas!<br />
Saat enam kadal raksasa menyerang kuda kaki enam, Lakasipo telah
melesat ke udara. Melihat hal ini enam orang lelaki suruhan Lahopeng
diam-diam merasa tercekat.<br />
“Latole,” bisik laki-laki di samping kiri. “Menurut Lahopeng, selama
dipendam Lakasipo telah kehilangan ilmu kesaktiannya! Kau saksikan
sendiri! Bagaimana mungkin dia melesat setinggi Itu sementara kakinya
dibungkus dua bola batu sangat berat?!”<br />
Latole tidak punya kesempatan untuk menjawab. Karena saat itu dari
atas dua kaki Lakasipo menyambar ganas. Dua orang mengangkat parang besi
mereka. Yang satu berusaha menabas paha kiri Lakasipo. Satunya lagi
menghantam batu bola di kaki kanan!<br />
“Praaakkk!”<br />
“Traaangg!”<br />
Lelaki yang hendak membacok paha Lakasipo mencelat dengan kepala
pecah. Parang besi yang menghantam bola batu di kaki kanan lawan satu
lagi patah berantakan. Rantai besi yang masih melibat kaki Lakasipo
berkelebat menghajar lengannya.<br />
“Traakkk!”<br />
Orang itu menjerit keras kesakitan. Dia menjerit sekali lagi ketika
menyaksikan bagaimana kutungan lengan kanannya melayang di udara.<br />
Gebrakan Lakasipo tidak sampai di situ saja. Sambil melayang turun
kaki kirinya ditendangkan ke arah kepala salah seekor kadal raksasa yang
tengah menyerang kudanya.<br />
“Praaaakkk!”<br />
Kepala kadal raksasa hancur. Darah dan isi kepalanya bermuncratan.
Tapi sosok tubuhnya masih tegak berdiri. Malah buntutnya tiba-tiba
menggelepar ke atas. Lakasipo berseru kaget tak menyangka. Ujung ekor
kadal yang tertutup sirip-sirip tebal setajam pisau menyambar
lambungnya, “Craaasss!”<br />
Darah mengucur dari perut sebelah kanan Lakasipo. Masih untung dia
berlaku cepat, melompat ketika ekor kadal raksasa menghantam hingga
lukanya tak cukup dalam dan tidak berbahaya, Di dalam kocek jerami, Wiro
dan dua kawannya terhenyak dengan muka putih. Kalau sambaran ekor tadi
sempat menghantam kocek di mana mereka berada, tak bisa dibayangkan apa
yang terjadi.<br />
“Kerabat Latole, aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Bawa tiga temanmu. Tinggalkan segera tempat ini!”<br />
Di sebelah kiri kuda kaki enam meringkik keras sewaktu salah seekor
kadal raksasa menancapkan gigi-giginya di tengkuk. Kuda ini berlaku
cerdik. Dia jatuhkan diri, berguling di tanah sambil menyorongkan
kepalanya. Tanduknya yang tajam berkeluk menancap di perut kadal coklat
yang tadi menyerangnya!<br />
Niat baik Lakasipo ternyata tidak mendapat sambutan Latole. Malah dia
melompati Lakasipo dan memiting lehernya dari belakang. Dari depan dua
kawannya menyerbu dengan parang terhunus!<br />
“Bacok! Lekas kalian bacok dia!” teriak Latole.<br />
Lakasipo kertakkah rahang. Kesabaran dan rasa kasihannya hilang.
Dengan bola batu kaki kirinya dia menginjak kaki kiri Latole hingga
berderak hancur. Selagi Latole menjerit kesakitan dan lepaskan
pitingan-nya, Lakasipo tarik sosok orang ini lalu dilemparkan ke depan.
Tepat pada saat dua parang besi datang membacok.<br />
Latole menjerit keras lalu roboh ke tanah mandi darah. Dua orang
kawannya yang barusan secara tak sengaja membunuh Latole, berseru kaget
dan melompat mundur dengan muka pucat. Parang mereka tak sempat dicabut
hingga masih menancap di dada dan perut Latole. Nyali mereka leleh
sudah! Diikuti dua teman yang masih hidup, satu di antaranya yang hancur
lengannya, mereka melompat ke atas kadal-kadai raksasa lalu menghambur
lari.<br />
Lakasipo hampiri Laekakienam, kuda tunggangannya yang cidera cukup
parah di bagian tengkuk. Diusapnya kening binatang ini seraya berkata.
“Akan kuobati kau wahai Laekakienam. Lukamu akan sembuh….”<br />
Lakasipo ingat pada tiga orang yang ada dalam koceknya. Kocek itu
ditanggalkannya dari ikat pinggang lalu didekatkannya ke mukanya. “Wahai
saudaraku tiga manusia cebol. Apakah kalian baik-baik saja?!”<br />
Tiga orang yang masih diselimuti rasa ngeri itu tak satu pun bisa
memberi jawaban. Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala. Lakasipo
masukkan mereka kembali ke dalam kocek.<br />
“Hai! Kami lebih suka diluar saja! Keluarkan kami dari dalam kocek!” Naga Kuning berteriak.<br />
“Tenang wahai sobat-sobatku! Masih ada satu urusan besar yang harus
kuselesaikan!” kata Lakasipo. Lalu naik ke punggung kuda kaki enam.<br />
“Dia pasti akan mencari manusia bernama Lahopeng itu!” kata Wiro.<br />
“Dia akan berkelahi lagi! Ah, nyawa kita bertiga kembali terancam!” ujar Naga Kuning.<br />
Mendengar ucapan rtu Setan Ngompol tersandar ke dinding kocek dan “serrr”. Kencingnya terpancar kembali!<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<br /></div>
<div align="center">
<strong>EMPAT BELAS</strong><strong></strong></div>
<br />
Ketika suara menggemuruh memasuki Latanahsilam, penduduk di kawasan
itu segera tahu siapa yang muncul. Mereka berhamburan keluar dari rumah
masing-masing dan lari menuju sebuah tanah lapang yang terletak di
tengah-tengah kawasan pemukiman. Banyak di antara mereka termasuk
anak-anak lari sambil berteriak-teriak.<br />
“Lakasipo datang! Lakasipo datang!” “Bakucarok! Bakucaroookkkk!” Di
ujung timur tanah lapang besar, debu mengepul ke udara menutupi
pemandangan. Begitu debu lenyap tertiup angin tampaklah Lakasipo di atas
punggung kuda raksasanya. Sesaat lelaki ini pegangi perutnya yang
terluka akibat hantaman ekor kadal. Darah pada luka itu sudah berhenti
mengucur namun masih tertinggal rasa perih. Lakasipo melompat turun dari
tunggangannya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke-ujung
lapangan di .sebelah sana. Di sekeliling lapangan ratusan penduduk tegak
berkerumun, menyaksikan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Banyak di
antara mereka yang terus berteriak. “Bakucarok! Bakucarok!”<br />
Penutup kocek terangkat ke atas. Tiga kepala muncul keluar. “Walah!
Banyak sekali orang! Semua besar-besar! Lihat! Anak-anak saja besarnya
sampai setinggi pohon!” berseru Naga Kuning.<br />
“Apa yang akan terjadi di tempat ini? Tanah lapang itu sebesar lautan
di mataku!” kata Setan Ngompol. “Orang-orang itu, mereka meneriakkan
Bakucarok berulang kali. Apa artinya!”<br />
“Wow! Lihat di sebelah sana! Ada anak perempuan kecil berukuran
raksasa!” Berseru Naga Kuning. Wiro dan Setan Ngompol menoleh ke arah
yang ditunjuk si bocah. Di antara kerumunan orang banyak memang terdapat
anak-anak. Seorang diantaranya anak perem-puan berkulit putih berwajah
manis. Anak ini hanya mengenakan pakaian dari sejenis kulit kayu yang
tidak terlalu menutupi seluruh auratnya. Naga Kuning usap-usap matanya,
berulang kali. “Lihat pahanya! Putih amat! Eh, kalian lihat dadanya.
Besar menonjol. Pasti kencang! Hik… hik… hik!” Naga Kuning seka air
liurnya.<br />
“Bocah tak tahu diri!” ujar Wiro. “Sekalipun kau naksir padanya,
dengan tubuhmu seperti ini apa yang bisa kau perbuat! Sekali anak
perempuan itu mengempitmu di ketiaknya, kau pasti mejret!”<br />
“Jangan bicara usil Wiro!” sahut Naga Kuning.<br />
“Dari wajahnya kulihat dia anak baik-baik. Kalau aku bisa berteman
dengan dia, tidak akan aku dikempit di ketiaknya. Malah aku mau minta
agar diselipkan di celah antara dua dadanya dan dibawa kemana-mana.
Rasa-rasanya seumur-umur aku mau diam di negeri aneh ini! Hik… hik…
hik!” Naga Kuning melirik pada Wiro dan Setan Ngompol.<br />
Dia melihat si kakek memandang ke arah timur lapangan tidak
berkedip-kedip. “Eh, apa yang diperhatikan tua bangka ini?” pikir Naga
Kuning. Si bocah menatap ke arah timur. Lalu “Hemmm…. Aku tahu pasti
kakek bau pesing ini tengah memperhatikan nenek berdandan menor di bawah
pohon sana…” Lalu dia berbisik. “Kek, kau suka pada nenek yang di bawah
pohon sana?! Hik… hik…!”<br />
Setan Ngompol tersipu-sipu.<br />
“Sempat kau diciumnya tubuhmu amblas tersedot masuk ke dalam lubang hidungnya!”<br />
Senyum Setan Ngompol langsung lenyap mendengar ucapan Naga Kuning itu.<br />
“Bocah brengsek! Aku tidak sepertimu! Aku masih tahu diri dan sadar
kita ini berada di mana! Tidak sama dengan kau! Tapi kalau kau memang
mau mencari kawan anak perempuan kukira yang cocok denganmu yang di
sebelah kiri sana. Kelihatannya dia sudah siap pakai. Cuma mengenakan
baju bawah, atasnya polos!”<br />
Mendengar kata-kata Si Setan Ngompol mau tak mau Naga Kuning
memandang ke arah yang ditunjuk. Anak perempuan yang ditunjuk si kakek
ternyata adalah seorang anak kecil yang tubuhnya penuh koreng dan
ingusnya mengambang turun naik di atas bibirnya!<br />
Naga Kuning mengomel panjang pendek sedang Wiro tertawa gelak-gelak.<br />
Penutup kocek tiba-tiba jatuh ke bawah. Tiga orang jatuh terhempas
jatuh. Wiro cepat berdiri dan berusaha mendorong.penutup kocek ke atas.
Dia tahu sesuatu yang hebat bakal terjadi.<br />
“Bakucarok! Bakucarok!” Kembali orang banyak di seputar tanah lapang
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan atau benda apa saja
yang mereka pegang.<br />
Di ujung tanah lapang besar di hadapan Lakasipo, di atas sebuah kursi
batu duduklah seorang pemuda berwajah kebiru-biruan. Di kepalanya ada
sebuah destar terbuat dari kulit kayu berwarna merah dan berukir-ukir
gambar kepala harimau bersilang tombak. Destar itu adalah destar
kebesaran milik Kepala Negeri Latanahsilam. Dan orang yang memakainya
bukan lain adalah Lahopeng!<br />
“Bakucarok! Bakucarok!”<br />
Di kalangan penduduk Negeri Latanahsilam ada semacam aturan yang
disebut Bakucarok. Artinya dua orang lelaki berkelahi secara jantan satu
lawan satu untuk menyelesaikan urusan mereka. Sudah dapat dipastikan
salah seorang dari mereka akan tewas, Malah tidak jarang kedua-duanya
akan menemui ajal! Inilah yang akan terjadi antara Lakasipo dan
Lahopeng.<br />
Lahopeng memang telah menunggu kedatangan Lakasipo. Dia sengaja duduk
di kursi batu di ujung tanah lapang. Di kiri kanannya empat pemuda
bertindak sebagai pengawal, tegak menghunus tombak rotan berkepala batu
lancip.<br />
“Dukkk… dukkk… dukk… dukkkkk!”<br />
Tanah lapang bergetar hebat ketika dua kaki batu Lakasipo menjejak
dan melangkah. Suara orang yang berteriak-teriak langsung berhenti.
Banyak yang heran tapi lebih banyak yang unjukkan wajah ngeri. Termasuk
Lahopeng dan empat pengawalnya.<br />
Lakasipo berhenti di tengah lapangan. Dia menatap tajam ke arah
Lahopeng dengan mata berkilat-kilat penuh dendam. Tiba-tiba Lahopeng
berdiri dari kursi batu, mengangkat tangan kanannya dan berteriak keras.<br />
“Wahai para kerabat penghuni Negeri Latanahsilam! Kalian sendiri
saksikan Lakasipo telah muncul dengan kutuk di kedua kakinya! Para Dewa
dan Peri telah menyumpah hingga dua kakinya menjadi batu! Lakasipo!
Manusia pembunuh istri! Dia juga yang membunuh Lasalut, paman
Luhrinjani, Membunuh Laberang dan juga beberapa orang pemuda lainnya!
Pembunuh!”<br />
“Pembunuh!” Orang banyak di tepi tanah lapang ikut berteriak.<br />
“Bakucarok! Bakucarok!”<br />
Lakasipo masih tetap tegak tak bergerak di tengah lapangan. Hanya
sepasang matanya tidak beralih dari menatap tajam ke arah Lahopeng.
Rambut dan janggut lebatnya melambai-lambai ditiup angin. Wajahnya
tampak membesi. Dalam hati dia membatin.<br />
“Waktu di Bukit Batu Kawin dulu ketika terjadi perkelahian, dia
melarikan diri. Dia tidak memiliki lagi Parang Batu Penjungkir Arwah.
Sekarang dia sengaja dan berani menunggu kedatanganku. Mengatur
Bakucarok! Pasti ada ilmu kepandaian baru yang didapatnya. Mungkin
sekali dari Hantu Muka Dua atau si dukun keparat Hantu Santet Laknat!”<br />
Penutup kocek kembali terangkat. Tiga kepala keluar ingin menyaksikan apa yang berlangsung.<br />
Perlahan-lahan Lakasipo angkat tangan kirinya ke atas. “Aku Lakasipo!
Kepala Negeri Latanahsilam! Semua orang dengar apa yang aku ucapkan….!”<br />
“Kau bukan Kepala Negeri Latanahsilam! Akulah yang sekarang menjadi
Kepala Negeri!” teriak Lahopeng memotong. Lalu dia memandang seputar
lapangan dan berteriak. “Wahai penduduk Latanahsilam! Katakan siapa
Kepala Negerimu!”<br />
“Lahopeng Kepala Negeri kami! Lahopeng Kepala Negeri Latanahsilam!” teriak orang banyak.<br />
Rahang Lakasipo menggembung.<br />
“Bangsat ini pasti telah mengarang cerita busuk dan menghasut
penduduk Negeri,” pikir Lakasipo. Lalu dia angkat tangannya kembali.<br />
“Penduduk Negeri Latanahsilam! Dengar kalian semua! Lahopeng telah
merampas jabatan Kepala Negeri secara licik! Aku tidak membunuh
Luhrinjani istriku sendiri! Perempuan itu tewas menjatuhkan diri di
jurang Bukit Batu Kawin karena dia sadar telah ternoda oleh tipu daya
Lahopeng! Lahopeng dan kawan-kawannya mengarang cerita bahwa aku telah
menemui ajal di tangan kaum pemberontak! Itu sebabnya Luhrinjani sampai
bersedia dikawininya!”<br />
“Dusta!” teriak Lahopeng.<br />
“Dusta!” teriak orang banyak.<br />
“Para Dewa dan Peri maha tahu! Aku tidak berdusta!” teriak Lakasipo.
“Aku memang membunuh Lasalut, Laberang dan beberapa pemuda lainnya. itu
karena mereka disuruh oleh Lahopeng untuk membunuhku!”<br />
“Dusta!” teriak Lahopeng.<br />
“Dusta!” teriak orang ramai tapi tidak sebanyak dan sekeras tadi lagi.<br />
“Lakasipo! Masih beruntung kau karena aku bersedia memberi kesempatan
bagimu untuk mati secara terhormat! Bakucarok! Seharusnya kau aku suruh
cincang saat ini juga!”<br />
Lakasipo menyeringai. Kaki kanannya dihantamkan ke tanah.<br />
“Dukkkk!”<br />
Tanah lapang bergetar. Hantaman kakinya membuat sebuah lubang besar
terkuak di tanah. Di dalam kocek Wiro berkata pada dua temannya.<br />
“Lakasipo siap berkelahi dengan Lahopeng. Berarti kita bersiap-siap menghadap kematian sendiri!”<br />
“Aku belum mau mati!” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.<br />
“Duukkk!”<br />
Kembali Lakasipo menghunjamkan kaki ke tanah. Kali ini dengan kaki kiri. Lubang besar ke dua terkuak di tanah.<br />
“Bakucarok…!” teriak orang banyak.<br />
Lakasipo tepuk dadanya dengan tangan kanan hingga mengeluarkan suara
keras dan membuat Wiro serta dua orang yang ada dalam kocek berjatuhan.<br />
“Lahopeng!” Lakasipo tiba-tiba berteriak. “Lihat baik-baik keadaan
dua kakiku! Dua batu bulat membungkus kakiku! Aku menyebutnya Bola-Bola
Iblis! Kaulah yang punya pekerjaan sampai aku jadi begini! Kau menyantet
diriku! Tapi hari ini kau akan menyesal sampai ke alam roh! Karena dua
kakiku ini yang akan mengirimmu ke alam sesat neraka jahanam! Aku
Lakasipo siap melakukan Bakucarok dengan manusia laknat Kepala Negeri
palsu!” Masih menggema teriakan Lakasipo itu tahu-tahu tubuhnya tampak
melayang di udara. Kaki kanannya menyambar menimbulkan suara laksana
sambaran angin puting beliung. Orang banyak di tepi lapang berseru kaget
dan cepat-cepat menjauh.<br />
Lahopeng berteriak keras sambil melompat dari atas kursi batu. Tangan
kanannya menghantam. Tapi luput. Masih untung dia selamatkan diri dari
tendangan kaki batu.<br />
“Braaakkk! Byaaarrr!”<br />
Kursi batu yang tadi diduduki Lahopeng hancur berkeping-keping dan
bertaburan di udara. Lakasipo cepat berbalik. Lahopeng saat itu sudah
siap menghantamnya secara licik dari belakang.<br />
Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kiri Lahopeng.<br />
“Lakasipo lawan tangguh. Di dalam kakinya yang dibungkus bola batu
masih ada ilmu kesaktian Kaki Roh Pengantar Maut! Bola-bola batu itu tak
bisa kau hancurkkan! Jangan berlaku ayali Lekas keluarkan ilmu yang aku
berikan!”<br />
“Duukkk… duukkkk… dukkkk… dukkkk!”<br />
Lakasipo melangkah mendekati Lahopeng.<br />
“Maju…. Maju lebih dekat Lakasipo!” tantang Lahopeng dengan seringai
mengejek. Mendadak semua orang melihat satu hal aneh terjadi dengan
sosok Lahopeng. Secara cepat tubuhnya lenyapdan kini yang terlihat
adalah sebuah benda berbentuk kepompong besar, bergerak-gerak kian
kemari. Selagi semua orang tercekat bagian atas sosok aneh itu meletup
keras. Di antara kepulan asap kelabu, dari bagian atas yang terbongkar
robek muncul keluar sosok ulat raksasa berwarna coklat berbintik-bintik
hitam putih!<br />
“Hantu Kepompong!” teriak Lakasipo sambil melompat mundur. Orang
banyak di seputar tanah lapang berpekikan ngeri dan menghambur menjauh.<br />
“Dessss!”<br />
Sosok ulat raksasa melesat ke luar dari dalam sarangnya, menyambar ke
arah kepala Lakasipo. Yang diserang cepat tundukkan kepala dan
menghantam dengan pukulan sakti bernama Lima Kutuk Dari Langit. Pukulan
sakti ini bukan saja sanggup membunuh lawan tapi juga membuat tubuh
korban gosong mengkerut!<br />
“Wussss!”<br />
“Dessss!”<br />
Ulat raksasa terpental ke udara kena hantaman pukulan sakti. Tubuhnya
terbakar lalu leleh meng kerut. Tapi saat itu pula ulat ini seolah
tersedot masuk kembali ke dalam sarangnya. Lakasipo merasa lega. Tapi
jadi terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba sarang kepompong itu
mengeluarkan letupan dan dari dalamnya melesat lagi ulat raksasa coklat
tadi! Sekali melesat ulat raksasa itu sudah menyambar ke arah Lakasipo.<br />
Lakasipo angkat kaki kirinya. Begitu kepala ulat raksasa hanya
tinggal beberapa jengkal lagi dari hadapannya kaki kirinya ditendangkan!<br />
“Praaakkk!”<br />
Kepala Hantu Kepompong hancur sampai ke ruas leher. Bagian badannya
yang masih bersisa mental ke udara. Tapi seperti tadi, laksana disedot
sosok ulat itu masuk kembali ke dalam sarangnya. Lalu di lain kejap
didahului letupan keras dan kepulan asap, ulat raksasa itu kembali
muncul dan menyerang Lakasipo lebih dahsyat dan lebih ganas.<br />
Berkali-kali Lakasipo berhasil menghancurkan Hantu Kepompong. Tapi
setiap dihancurkkan makhluk jejadian ini kembali muncul utuh dari dalam
sarangnya. Mati, hidup lagi. Mati hidup lagi. Begitu terus menerus. Lama
kelamaan kekuatan Lakasipo mulai mengendur. Pada kejadian melesatnya
Hantu Kepompong yang ke dua puluh tiga, Lakasipo tak bisa bertahan.
Moncong Hantu Kepompong berhasil menyambar bahu kirinya hingga terkoyak
luka. Lakasipo meraung keras. Di dalam kocek jerami Wiro dan dua
kawannya berpelantingan.<br />
“Aku melihat Lakasipo terluka!” memberi tahu Wiro penuh cemas.<br />
“Dia tak bisa membunuh ulat raksasa itu!” kata Naga Kuning pula.<br />
“Jika Lakasipo mati, riwayat kita ikut tamat!” ujar Setan Ngompol
sambil terbungkuk menahan kencing tapi tetap saja dia terbeser.<br />
Dari dalam sarang Kepompong keluar suara tawa bergerak. “Lakasipo!
Ajalmu sudah di depan mata. Roh para kerabat yang kau bunuh telah siap
menyambut kedatanganmu di pintu alam sesat!”<br />
“Wuuttt!” Lakasipo hantam Hantu Kepompong di bagian perut. Tubuh
makhluk berbentuk ulat raksasa ini hancur terputus dua. Tapi seperti
tadi sosok ini masuk ke dalam sarangnya dan keluar lagi, terus menyerang
Lakasipo.<br />
Dua luka baru bekas gigitan kelihatan di tubuh Lakasipo yakni di
pinggul kanan dan pada paha kiri. Darah membasahi tubuhnya. Daya
kekuatannya semakin menurun walau dia terus menerus mengerahkan tenaga
dalam.<br />
Pada serangan ke tiga puluh satu, Hantu Kepompong berhasil
mencengkeramkan gigi-giginya di paha kanan Lakasipo. Sesaat lagi paha
itu akan hancur putus, Lakasipo hantam tubuh ular sebelah atas dengan
pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Bersamaan dengan itu dia hunjamkkan kaki
batunya sebelah kiri ke ekor ulat. Hantu Kepompong hancur di dua
tempat. Untuk kesekian kalinya Lakasipo berhasil menyelamatkan diri.
Sementara itu dari dalam sarangnya Hantu Kepompong kembali melesat ke
luar.<br />
“Ulat raksasa itu pasti akan dapat membunuh Lakasipo!” kata Naga Kuning di dalam kocek.<br />
Setan Ngompol mulai menggigil. Dia melihat sendiri bagaimana sekujur tubuh Lakasipo bermandi darah.<br />
“Kita harus menolong Lakasipo! Kalau tidak kita bisa ikut celaka!”<br />
“Menolong bagaimana? Keluar dari dalam kocek ini saja kita tidak mampu!” tukas Naga Kuning.<br />
“Kalaupun bisa keluar apa yang bisa kau lakukan?!” Menimpali Setan Ngompol.<br />
“Pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan! Pasti!” kata Wiro. Tangan
kiri dipukul-pukulkan ke kening sedang tangan kanan menggaruk kepala
habis-habisan.<br />
Saat itu Hantu Kempompong begitu keluar dari dalam sarangnya kembali
melesat menyerang Lakasipo. Kali ini ekornya ikut menggebuk. Selagi dia
berusaha menghindarkan gebukan ekor ulat raksasa tiba-tiba kepala Hantu
Kepompong menyambar ke lehernya!<br />
“Celaka!” keluh Lakasipo. Dia coba mencekal leher ulat raksasa namun
gigi-gigi Hantu Kepompong sudah menempel di lehernya. Dalam usahanya
menyelamatkan diri Lakasipo jatuh punggung dan terbanting di tanah. Dua
kakinya ditendangkan berusaha menghantam tubuh ulat raksasa sementara
dua tangan mencekal leher dan kepala Ulat, menahan gerakan gigitan yang
siap memutus lehernya!<br />
Pada saat Lakasipo terjatuh ke tanah penutup kocek jerami terpental.
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terlempar ke luar. Setan Ngompol
langsung terkencing-kencing sedang Naga Kuning menggigil ketakutan
karena dia hampir tertindih sosok Hantu Kepompong yang meliuk-liuk.
Walau juga merasa ngeri setengah mati namun Pendekar 212 masih bisa
berlaku tenang. Tubuh Lakasipo yang terlentang di tanah di bawah
tindihan sosok ulat raksasa laksana bentangan bukit besar di mata Wiro.
Sesaat dia bingung tidak tahu mau melakukan apa. Kemudian pandangannya
membentur sospk sarang kepompong di ujung tanah lapang. Saat itu keadaan
Lakasipo benar-benar dalam bahaya besar. Sisa-sisa tenaganya terkuras
untuk mempertahankan diri mencekal kepala dan leher Hantu Kepompong guna
menghindari gigitan maut.<br />
“Sarang ulat jahanam itu..,.” Wiro membatin. “Aku harus melakukan
sesuatu! Ah!” Wiro pukul-pukul jidatnya berulang kali. Tiba-tiba dia
berteriak lalu lari menembus debu mendekati kepala Lakasipo.<br />
Orang banyak yang berada di tepi tanah lapang menjadi terheran-heran
ketika mereka melihat ada tiga sosok aneh terlempar keluar dari dalam
kocek jerami di pinggang Lakasipo.<br />
“Hai! Makhluk apa yang barusan keluar dari kocek Lakasipo?!” seorang di antara mereka berseru.<br />
“Kutu berbentuk manusia!” Yang lain berteriak.<br />
“Lihat! Yang satu lari ke sana! Hai Lihat! Dia memanjat telinga Lakasipo!”<br />
Saat itu begitu mencapai kepala Lakasipo Wiro memang segera memanjat daun telinga orang itu. Lalu berteriak keras-keras.<br />
“Lakasipo! Ini aku! Wiro! Kau bisa mendengar? Lakasipo?”<br />
Lakasipo yang tengah berusaha mati-matian menyelamatkan nyawa walau bisa mendengar teriakan Wiro mana sempat menjawab.<br />
“Lakasipo! Dengar! Hantu Kepompong pasti punya kelemahan! Aku sempat
melihat berulang kali! Setiap tubuhnya hancur dan mati dia masuk ke
dalam sarangnya. Lalu hidup lagi! Aku yakin kalau kau menghancurkan
sarangnya ulat jahanam itu tak bisa hidup lagi! Lakukan cepat Lakasipo!
Hancurkan sarangnya!”<br />
Dua gigi atas Hantu Kepompong telah menancap di leher Lakasipo. Darah mulai mengucur.<br />
“Lakasipo! Kau dengar ucapanku?! Hancurkan sarangnya! Hantu Kepompong pasti bisa kau musnahkan!” Wiro kembali berteriak.<br />
Kepala Lakasipo tersentak ketika dia menahan sakit gigitan Hantu
Kepompong. Wiro yang berada di daun telinga Lakasipo terpeleset dan
jatuh ke tanah. Sebelum tubuhnya tergencet kepala atau badan Lakasipo
cepat-cepat Wiro melompat menjauhkan diri.<br />
“Lakasipo! Kau dengar ucapanku tadi?!” teriak Wiro penasaran. …….<br />
Tiba-tiba dari mulut Lakasipo keluar suara ge-rengan keras. Wiro
terbanting ke tanah. Dua kaki Lakasipo berusaha menjepit tubuh bagian
bawah Hantu Kepompong hingga gerakan ulat raksasa ini sesaat tertahan.
Dengan sisa tenaganya Lakasipo membetot leher ulat itu lalu dengantangan
kanannya dihantamnya mata sebelah kanan. Hantu Kepompong keluarkan
suara mendesis keras dan jauhkan kepalanya dari leher Lakasipo tapi siap
menerkam kembali.<br />
Walau hanya sekejapan mata namun Lakasipo bisa mempergunakan
tangannya untuk melepas pukulan Lima Kutuk Dan Langit! Ternyata Lakasipo
memang telah mendengar teriakan-teriakan Pendekar 212 tadi!<br />
Lima larik sinar hitam menggidikkan menyambar ke arah sarang Hantu Kepompong yang berada di ujung tanah lapang sebelah sana!<br />
“Bummm!”<br />
Satu letusan dahsyat menggelegar di Seantero tanah lapang. Sarang
Hantu Kepompong tenggelam dalam kobaran api, lalu hancur dan bertebaran
ke udara dalam bentuk kepingan-kepingan menyala!<br />
Hantu Kepompong yang masih berada dalam cekalan Lakasipo dan sebagian
tubuhnya masih menindih lelaki itu keluarkan raungan dahsyat. Wiro,
Naga Kuning dari Setan Ngompol mencelat berpelantingan. Lakasipo sendiri
seolah tersirap oleh raungan itu sesaat terbaring tak bergerak seolah
menjadi kaku tegang! Dia baru tersadar ketika Hantu Kepompong berusaha
menggelung meremukkan tubuh dan mematukkan kepala. Lakasipo balikkan
badan. Berhasil. Kini dia yarjg menindih Hantu Kepompong, Tangan
kanannya yang masih bebas langsung dihantamkan ke kepala ulat raksasa
itu. yang diarahnya kini adalah mata sebelah kiri.<br />
“Craattt!”<br />
Kalau tadi pukulan Lakasipo seolah tidak mempan maka kini jotosannya
membuat mata kiri Hantu Kepompong hancur! Selagi ulat ini
menggeliat-geliat kejutan Lakasipo cepat bangkit berdiri. Sosok Hantu
Kepompong dibantingkannya ke tanah. Makhluk ini kembali meraung lalu
lesatkan diri ke atas. Mulutnya menyambar ke kepala Lakasipo. Tapi kaki
kanan Lakasipo lebih cepat bergerak menginjak pertengahan tubuh Hantu
Kepompong hingga hancur dan putus menjadi dua bagian! Untuk pertama
kalinya ada darah yang menyembur dari kutungan tubuh itu. Bagi Wiro dan
dua kawannya semburan darah ini tidak beda seperti ombak besar yang
hendak menggulung mereka. Ketiganya berlarian pontang panting selamatkan
diri.<br />
Sosok bagian atas Hantu Kepompong terbanting ke tanah. Bagian sebelah
bawah menggeliat-geliat beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi.
Lakasipo tidak menunggu lebih lama. Dibarengi dengan teriakan garang
kaki kanannya dihantamkan ke kepala Hantu Kepompong.<br />
“Praaakkk!”<br />
Kepala ulat raksasa itu hancur begitu Bola Bola Iblis menghantam
telak. Seolah keluar dari langit, satu teriakan dahsyat terdengar
menukik bumi! Sosok ulat coklat perlahan-lahan berubah. Yang terlihat
kini adalah tubuh Lahopeng, hancur putus di bagian perut dan remuk
mengerikan di bagian kepala.<br />
Lakasipo tegak terhuyung-huyung sambil pegang lehernya yang luka. Dia
memandang berkeliling ke arah orang-orang yang tegak di seputar tanah
lapang.<br />
“Lakasipo! Kami ingin kau kembali menjadi Kepala Negeri Latanahsilam!” seseorang berteriak.<br />
“Lakasipo Kepala Negeri Latanahsilam!”<br />
“Lakasipo! Lakasipo!”<br />
“Yang jahat Lahopeng! Bukan Lakasipo!”<br />
Wajah Lakasipo yang tertutup rambut riap-riapan, cambang bawuk dan
janggut serta kumis tebal tidak berubah sedikit pun mendengar
teriakan-teriakan penduduk Negeri Latanahsilam itu.<br />
Dia memandang ke tanah dan melihat tiga sosok kecil itu. Lakasipo membungkuk mengambil Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.<br />
“Syukur kalian bertiga tidak apa-apa. Wahai Wiro, kalau bukan karena
ucapanmu aku tidak mungkin membunuh Lahopeng! Kalau tidak karena
pertolonganmu saat ini sudah pasti menjadi mayat diriku! Lagi-lagi aku
berhutang budi padamu manusia kutu cebol!”<br />
“Kalau kau mati, apa kau kira kami masih bisa hidup panjang?!” sahut Pendekar 212 lalu tertawa lebar.<br />
“Hai! Kau mau bawa kemana lagi kami ini?!” tanya Naga Kuning ketika
dirasakannya Lakasipo mulai bergerak melangkah yang membuat tanah lapang
kembali bergetar.<br />
“Kita pergi. Tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini,” jawab Lakasipo.<br />
“Tapi orang-orang itu! Penduduk Negeri Latanahsilam menginginkan kau jadi Kepala Negeri mereka kembali!” kata Wiro pula.<br />
Lakasipo gelengkan kepala. “Aku kasihan pada orang tolol. Tapi aku sangat benci pada orang-orang munafik seperti mereka!”<br />
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol menjerit keras ketika Lakasipo
membawa mereka melompat dan naik ke punggung Laekakienam, kuda
tunggangannya.<br />
<div align="center">
***</div>
<div align="center">
<strong>T A M A T</strong></div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-24104113834769832842018-04-24T09:46:00.001+07:002018-09-25T11:05:53.925+07:00Tapak Sakti volume 80<i style="background-color: white; border: 0px; color: #585858; font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif; font-size: small; font-stretch: inherit; line-height: 19.5px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; vertical-align: baseline;"><b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Sembilan Benua</b>, jago kung fu terlihai di seluruh daratan Cina, terjebak di lembah Sepuluh Iblis. Dua anak kembar sahabat kentalnya, adalah <b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Samsun</b> dan <b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Devilito</b>. Devilito dibesarkan di lembah Sepuluh Iblis oleh Lima Iblis. Sedangkan Samsun tumbuh dewasa bersama Dua Putri Istana Bunga. Karena Dua Putri tak sanggup memenangkan cinta Naga Giok Putih, mereka membunuhnya dan bersumpah agar kelak kedua anak kembarnya tadi akan saling berbunuhan. kisah ini kemungkina besar dibuat versi lainnya dengan judul The Imppecable Twins. dengan alur cerita yang sama tetapi dengan tokoh yang berbeda. Sebut saja Sembilan Benua menjadi Yan Lam Thian, Devilito dengan Siau Hiji, Samsun dengan Hoa Bu Koat. </i><br />
<i style="background-color: white; border: 0px; color: #585858; font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif; font-size: small; font-stretch: inherit; line-height: 19.5px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; vertical-align: baseline;">Buat yang pingin nostalgia, udah ane siapin komiknya. </i><br />
<br />
<br />
<iframe height="350" src="https://docs.google.com/viewer?srcid=1mw9yMwaYzHEe7Rs9h_m80jYGgHTIfCy6&pid=explorer&chrome=false&embedded=true" width="350"></iframe><br />
<br />
sumber: Zerosugar dan mykomics<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-58432480773407790292018-04-24T09:45:00.001+07:002018-04-24T09:47:08.455+07:00Tapak Sakti volume 2<i style="background-color: white; border: 0px; color: #585858; font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif; font-size: small; font-stretch: inherit; line-height: 19.5px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; vertical-align: baseline;"><b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Sembilan Benua</b>, jago kung fu terlihai di seluruh daratan Cina, terjebak di lembah Sepuluh Iblis. Dua anak kembar sahabat kentalnya, adalah <b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Samsun</b> dan <b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Devilito</b>. Devilito dibesarkan di lembah Sepuluh Iblis oleh Lima Iblis. Sedangkan Samsun tumbuh dewasa bersama Dua Putri Istana Bunga. Karena Dua Putri tak sanggup memenangkan cinta Naga Giok Putih, mereka membunuhnya dan bersumpah agar kelak kedua anak kembarnya tadi akan saling berbunuhan. kisah ini kemungkina besar dibuat versi lainnya dengan judul The Imppecable Twins. dengan alur cerita yang sama tetapi dengan tokoh yang berbeda. Sebut saja Sembilan Benua menjadi Yan Lam Thian, Devilito dengan Siau Hiji, Samsun dengan Hoa Bu Koat. </i><br />
<i style="background-color: white; border: 0px; color: #585858; font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif; font-size: small; font-stretch: inherit; line-height: 19.5px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; vertical-align: baseline;">Buat yang pingin nostalgia, udah ane siapin komiknya. </i><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<iframe height="350" src="https://docs.google.com/viewer?srcid=14UmhzR7Jo8EuwezGOSXG5xARJY-8URkA&pid=explorer&chrome=false&embedded=true" width="350"></iframe>
<br />
<br />
<br />
<br />
sumber: Zerosugar dan mykomics<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-40523956118386069282018-04-23T13:41:00.004+07:002018-04-24T09:46:52.295+07:00Tapak Sakti Volume 1<i style="background-color: white; border: 0px; color: #585858; font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif; font-size: small; font-stretch: inherit; line-height: 19.5px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; vertical-align: baseline;"><b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Sembilan Benua</b>, jago kung fu terlihai di seluruh daratan Cina, terjebak di lembah Sepuluh Iblis. Dua anak kembar sahabat kentalnya, adalah <b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Samsun</b> dan <b style="border: 0px; font-family: inherit; font-size: inherit; font-stretch: inherit; font-style: inherit; font-variant: inherit; line-height: inherit; margin: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;">Devilito</b>. Devilito dibesarkan di lembah Sepuluh Iblis oleh Lima Iblis. Sedangkan Samsun tumbuh dewasa bersama Dua Putri Istana Bunga. Karena Dua Putri tak sanggup memenangkan cinta Naga Giok Putih, mereka membunuhnya dan bersumpah agar kelak kedua anak kembarnya tadi akan saling berbunuhan. kisah ini kemungkina besar dibuat versi lainnya dengan judul The Imppecable Twins. dengan alur cerita yang sama tetapi dengan tokoh yang berbeda. Sebut saja Sembilan Benua menjadi Yan Lam Thian, Devilito dengan Siau Hiji, Samsun dengan Hoa Bu Koat. </i><br />
<i style="background-color: white; border: 0px; color: #585858; font-family: 'Trebuchet MS', sans-serif; font-size: small; font-stretch: inherit; line-height: 19.5px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; vertical-align: baseline;">Buat yang pingin nostalgia, udah ane siapin komiknya. </i><br />
<br />
<br />
<br />
<iframe height="350" src="https://docs.google.com/viewer?srcid=1HWh9k-VgHqZt-nImBtrRbynVHVLfBjfc&pid=explorer&chrome=false&embedded=true" width="350"></iframe>
<br />
sumber: Zerosugar dan mykomics<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-16460430036581897642018-04-18T08:55:00.005+07:002018-09-19T14:54:41.499+07:00Tokoh di negeri Latanahsilam, Part 2<div class="MsoNormal">
Penggambaran tokok tokoh di negeri latanahsilam berlanjut lagi nie. Pada coretan gw yang sebelumnya sudah sedikit dijelaskan. Nah kali ini gw lanjutin lagi ya gaes. Plus penggambaran tokoh pada episode ke 120. Kembali ke tanah Jawa<br />
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Lajahilio</b> </div>
<div class="MsoNormal">
Guru dari lagandring dan lagandrung. kakek sakti
yang dari muda malang melintang hidup bersama luhjahilio tanpa kawin sehingga
dijuluki sepasang hantu bercinta.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Luhjahilio </b></div>
<div class="MsoNormal">
nenek saksi kekasih Lajahilio yang juga merupakan
guru dari lagandring dan lagandrung.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Labuntalan</b> </div>
<div class="MsoNormal">
kaki tangan hantu muka dua. Pria gendut yang
bekerja sama dengan nenek pembedol usus membunuh setan ngompol. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Hantu Kelabang Hijau dari Bukit Racun </b></div>
<div class="MsoNormal">
kaki tangan hantu muka
dua yang menculik setan ngompol dan membunuh laksipo, wiro, naga kuning dengan
bantuan wanita2 cantik dengan menggunakan racun.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Sepasang Gadis
bahagia. </b></div>
<div class="MsoNormal">
Gadis kembar cantik jelita. Luhkemboja dan luhkenanga. Memiliki
kelainan kepribadian. Cucu dari hantu sejuta Tanya sejuta jawab.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Hantu lumpur Hijau </b></div>
<div class="MsoNormal">
Mahluk angker mulai dari ujung rambut di atas kepala sampai
ke kaki seperti terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan basah. Bermata
hijau pekat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Hantu Langit Terjungkir</b> </div>
<div class="MsoNormal">
Sesosok makhluk yang tegak dengan
kaki ke atas kepala ke bawah. Makhluk ini hanya mengenakan sehelai celana
compang-camping. Karena cara berdirinya yang aneh maka rambutnya yang putih
panjang, begitu juga kumis dan janggutnya menjulai ke bawah menutupi wajahnya.
Dari sekujur tubuh orang ini mengepul keluar asap tipis berwarna kebiruan</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Luhkentut</b></div>
<div class="MsoNormal">
Nenek sakti dari rambut sampai kaki berwarna kuning. Dilehernya bergelantungan bermacam macam kalung. <span class="a">Di kepala
si nenek menancap tiga buah sunting yang bergoyang-goyang kian kemari setiap
dia bergerak. Dia juga mengenakan anting-anting bulatbesar berwarna kuning.</span>
dengan nama lain luhpingitan alias hantu
selaksa angin atau hantu selaksa kentut. Nenek yang selalu kentut. Datuk Tanpa Bnetuk Tanpa Ujud.<br />
<br />
<b>Sang Junjungan</b><br />
<div style="line-height: 12.45pt; margin-bottom: 10.8pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 6.0pt;">
<span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt;">Sosok berjubah hitam yang wajahnya berupa tengkorak Tangan dan kakinya
yang tersembul dari bagian bawah jubah serta ujung lengan jubah berupa
jerangkong tulang belulang putih. Sepasang mata tengkorak yang hanya merupakan
lobang besar mengeluarkan cahaya kemerahan. </span><span style="font-family: "calibri" , sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 12.45pt;">Di atas batok kepala yang putih bertumbuhan rambut-rambut putih panjang,
melambai-lambai ditiup angin malam. Tiba-tiba rambut yang menjulai ke bawah itu
berjingkrak ke atas, tegak berdiri, kaku laksana kawat Dua bolongan mata
pancarkan cahaya merah lebih terang.</span><br />
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<b>Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud.</b><br />
<div>
Guru dari Hantu Selaksa Angin. Sesosok tak kasat mata yang hanya terlihat seperti titik cahaya dan hanya terdengar suaranya. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
<b>Hantu Berpipa Emas</b></div>
<div>
Kaki tangan Hantu Muka Dua. Bertubuh kurus tinggi dengan membawa pipa yang terbuat dari emas.</div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<br />
<b>Latuding, Lawulus, Lasendu, Lajohor, dan Lasedana.</b><br />
Utusan Hantu Muka dengan dipimpin oleh Lajohor untuk mencari Sendok Pemasung Nasib.<br />
<br />
<b>Hantu Lintah Hitam</b><br />
Mahluk Hitam dengan tubuh yang sangat licin, utusan Hantu Muka Dua untuk mencari Sendok Pemasung Nasib. Ayah dari Lakembangan.<br />
<br />
<b>Lakembangan</b><br />
Pemuda Tegap tinggi, berwajah Gagah dengan kulit sangat Hitam. Anak dari Hantu Lintah Hitam.<br />
<b> </b><br />
<b>Luhkinki</b><br />
Gadis Jelita pelayan Hantu Muka Dua. Selingkuhan Lakembangan.<br />
<br />
<br />
<b>Tokoh Silat berikut ini ada diepisode Kembali Ke Tanah Jawa, sehingga bukan merupakan tokoh silat dari negeri latanahsilam.</b><br />
<br />
<b>Singo Abang/Jolo Pingging</b><br />
Manusia tinggi besar dengan Kepala tertutup rambut lebat berwana coklat kemerahan yang mengembang dan berjingkrak. bermuka seekor singa berwarna merah.<br />
<br />
<b>Pangeran Miring/Pangeran Matahari</b><br />
Pemuda dengan cacat diwajah serta badannya. Hidung Mancung agak miring ke kiri, pipi dan rahang sebelah kiri melesak kedalam hingga wajahnya kelihatannya pencong. Sosok ini merupakan Pangeran Matahari yang mendapat luka sedemikian rupa dari perkelahiannya dengan Wiro Sableng.<br />
<b><br /></b>
<b>Momok dempet berkaki Kuda</b><br />
bernama asli Tunggul Gono dan tunggul Gini. Dua lelaki bertubuh kurus kering dan sangat tinggi. Mereka tegak seperti berdiri bersisian. dengan tangan yang satu sebelah kanan dan yang satu sebelah kiri saling berdempetan jadi satu. Keempat kaki mereka berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinya.<br />
<br />
<br />
<b>Adimesa/Pendekar Kipas Pelangi</b><br />
Lelaki dengan sejata kipas berpakaian ringkas berwarna biru. Rambut tersisir rapi dan berkilat.<br />
<br />
<b>Nini wetan/Nini Setan</b><br />
Seorang nenek berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang keriputan
berwarna hitam legam sedang sebelah kanan putih seperti bulai. Begitu
juga alis dan bulu matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam mencorong,
sebaliknya bagian kanan putih memirang.Di atas kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah tengah
lalu dijalin menjulai panjang ke punggung. Seperti wajahnya rambut si
nenek sebelah kiri berwarna hitam sedang sebelah kanan putih pirang.
Lalu anggota badannya yakni tangan dan kaki juga hitam di sebelah kiri
dan putih di sebelah kanan.<br />
Yang luar biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna
berlainan. Bola mata sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan
putih mengidikkan!<br />
Pada ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain
sebagai penghias. Tapi yang ada di ujung jalin nenek muka hitam putih
ini bukannya pita, melainkan seekor kalajengking hidup. Aslinya binatang
ini berwarna hitam legam. Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh
kalajengking ini dengan cat warna putih hingga sosoknya menyerupai
dirinya.<br />
<br />
<b>Riku Pulungan</b><br />
kakek berpakaian serba hitam. Berkumis dan berambut hitam berkilat meski usahanya sudah 80 tahun<br />
<br />
<b>Wulandari</b><br />
Murid mendiang Eyang Wulur Pamenang. Kekasih sanjaya tetapi akibat bujukan Handaka bersedia menyerahkan kehormatanya hingga hamil<br />
<br />
<b>Sanjaya</b><br />
Murid Tertua Eyang Wulur Pamenang<br />
<br />
<b>Handaka/Warangas/Dipasegara</b><br />
Murid Riku Pulungan dan Eyang Wulur Pamenang. Perusak kehormatan gadis dan istri Orang<br />
<br />
<b>Kiai Wirasaba</b><br />
Eyang Guru Riku Pulungan. Sosok Tinggi berjubah hijau muda. Rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggutnya panjang hingga hampir menjela tanah<br />
<br />
<b>Adisaka</b><br />
Kakak Adimesa<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br /></div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-28546070086111244372018-04-18T08:41:00.002+07:002022-04-13T11:18:07.349+07:00Petualangan Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam, Part 2Kisah Wiro Dinegeri Latanahsilam berlanjut lagi. dari episode 110 Rahasia Patung Menangis sampai ke episode 119. Istana kebahagian. Udah gw siapin nih, tokoh yang muncul dan spoilernya. Yah ada baiknya baca ini dulu sebelum baca keseluruhan novelnya. Hitung hitung buat buku panduannya. untuk penjelasan tokoh tokohnya bisa agan baca di coretan gw yang lainnya.<br />
Gw kasih bonus 1 episode nie, yaitu episode ke 120. Kembali Ke tanah Jawa.<br />
Scrollll sekarang...<br />
<br />
<div class="MsoNormal">
<b>110. Rahasia Patung
Menangis<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAQUq9Cm0uc08sov-wTun9IOcSAfS8mGW2sIcWtX5q90o7GRLVZgoZdeus-TdtziZoTKtYQIxHFfhhiOYEdCaY0x0wsylaWaIjIoxIWB7CS0MEyAi-N-FKYlcoFPC4AxcgTwCfeU6l28s/s1600/wirosablengrahasiapatungmenangis_617.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAQUq9Cm0uc08sov-wTun9IOcSAfS8mGW2sIcWtX5q90o7GRLVZgoZdeus-TdtziZoTKtYQIxHFfhhiOYEdCaY0x0wsylaWaIjIoxIWB7CS0MEyAi-N-FKYlcoFPC4AxcgTwCfeU6l28s/s1600/wirosablengrahasiapatungmenangis_617.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Kemunculan Tokoh Baru</b></div>
<div class="MsoNormal">
Lajahilio</div>
<div class="MsoNormal">
Luhjahilio </div>
<div class="MsoNormal">
Labuntalan </div>
<div class="MsoNormal">
Hantu Kelabang Hijau dari Bukit Racun</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Spoiler</b></div>
<div class="MsoNormal">
Pada episode ini menceritakan pencarian ibu kandung hantu
jati landak. Pertemuannya dengan Patung yang bias menangis dan Peri angsa putih
sedikit membuka tabir misteri siapa sebenarnya ibu kandungnya. Dibumbui dengan
kisah lucu pencarian setan ngompol yang diculik oleh seorang misterius suruhan
hantu muka dua. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<o:p><br /></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b>111. Hantu langit
Terjungkir<o:p></o:p></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCjLQouNqHwmGz20y2n3kpWIetMds_dTb1TG-7bKzsJFn_vXiSg9uFZXX2zS9CsS-QMefq7Iiwbk2qC-cisgn8ItgitAvUniDXIMVjfaA8GQZH05knsEa-QoFXGVOVysZyNumqu1xKLZ8/s1600/hantu+langit+terjungkir.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="512" data-original-width="384" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCjLQouNqHwmGz20y2n3kpWIetMds_dTb1TG-7bKzsJFn_vXiSg9uFZXX2zS9CsS-QMefq7Iiwbk2qC-cisgn8ItgitAvUniDXIMVjfaA8GQZH05knsEa-QoFXGVOVysZyNumqu1xKLZ8/s320/hantu+langit+terjungkir.jpg" width="240" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Kemunculan Tokoh Baru</b></div>
<div class="MsoNormal">
Sepasang Gadis
bahagia. </div>
<div class="MsoNormal">
Hantu lumpur Hijau </div>
<div class="MsoNormal">
Hantu Langit Terjungkir </div>
<div class="MsoNormal">
Luhkentut </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Spoiler</b></div>
<div class="MsoNormal">
Pada episode ini menceritakan masa lalu hantu langit
terjungkir. Masa lalu yang begitu kelam dan penuh misteri sedikit demi sedikit
mulai menemui titik terang. Akibat rencana licik lamanyala, Hantu lumpur hijau
yang dahulu merupakan sahabat lasedayu, membantu lamanyala untuk membunuh hantu
langit terjungkir. Lakasipo yang mendapat amanat dari lawungu untuk menyerahkan
sendok pemasung nasib berhasil bertemu dengan hantu langit terjungkir di lembah seribu kabut. Akibat keusilan wiro
terhadap nenek selaksa angin, setan ngompol harus menanggung kehilangan salah
satu telinganya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<o:p><br /></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b>112. Rahasia Mawar
Beracun<o:p></o:p></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja8FdKKY66GVIDaG2qgkRIErwrdwdW-PAlKkS4NSgiw3BH0N7TZVuQUIwwMaaam-RVoW0nlcEHdBBuB5XuLKypObZdYxaDj7c5rgC6-ZQQ7CoUQKZ_oZMPXcocRWQX9ltdP2iHtOOyFC0/s1600/wiro-sableng-episode-112-rahasia-mawar.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="479" data-original-width="323" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja8FdKKY66GVIDaG2qgkRIErwrdwdW-PAlKkS4NSgiw3BH0N7TZVuQUIwwMaaam-RVoW0nlcEHdBBuB5XuLKypObZdYxaDj7c5rgC6-ZQQ7CoUQKZ_oZMPXcocRWQX9ltdP2iHtOOyFC0/s320/wiro-sableng-episode-112-rahasia-mawar.jpg" width="215" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Tidak ada tokoh baru muncul di episode ini.</b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Spoiler</b></div>
<div class="MsoNormal">
Pada episode ini, misteri siapa yang dahulu meracuni wiro
dengan menggunakan mawar beracun yang hanya ada di negeri atas para peri
akhirnya terungkap. Dikisahkan juga
akhirnya wiro mengetahui siapa saja peri dan manusia yang jatuh cinta padanya.
Terjadinya pertemuan wiro dengan luhkentut dan sepasang gadis bahagia akhirnya
menimbulkan masalah baru. Hantu muka dua dengan kelicikannya berhasil mengadu
domba wiro sableng dengan hantu sejuta Tanya dan sejuta jawab. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>113. Hantu Santet
Laknat<o:p></o:p></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyzjXjodfNHgwXPGrZpo0-z0MkpPADkxVX3T_sUl6YWk7CKMQ-ACNd0TAg5HUqK3xh65O8rQwbhlZRePretManD8qyK9pXrjj1FxML-pGh6PIx_8oCnVi17768k6FnVHiAUF-TfYw2tg0/s1600/wirosablenghantusantetlaknat_564.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyzjXjodfNHgwXPGrZpo0-z0MkpPADkxVX3T_sUl6YWk7CKMQ-ACNd0TAg5HUqK3xh65O8rQwbhlZRePretManD8qyK9pXrjj1FxML-pGh6PIx_8oCnVi17768k6FnVHiAUF-TfYw2tg0/s1600/wirosablenghantusantetlaknat_564.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Kemunculan Tokoh Baru</b><br />
Sang Junjungan</div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
Hantu santet laknat mendapat perintah dari junjungannya
untuk membunuh atau mengirim wiro ke hutan lasesatbuntu. Dan mengirim hantu
bara kaliatus untuk membunuh Lakasipo dan Luhsantini. Meskipun berhasil
mencelakai lakasipo namun berkat pertolongan hantu langit terjungkir, lakasipo
berhasil diselamatkan. Pertemuan hantu bara kaliatus dengan hantu langit
terjungkir memunculkan sebuah kecurigaan apakah terdapat pertalian darah antara
mereka. Berkat ilmu merubah rupanya, hantu santet laknat berhasil mengurung
wiro di hutan lasesat buntu dan mencuri kapak naga geni 212.<br />
<br />
<br />
<div class="MsoNormal">
<b>114. Badai Fitnah
Latanahsilam<o:p></o:p></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEho48ZS8jZgARtDGKmmmNFggwvD9iSW-Fiqlu7tFZq93wxEh2XkwhZRkMFUqTmT-bGDEn34FVLNULpSP84V_poQBLdhY3QoxnzZHiJR2OaTf6q7XTs7ZUyck6s7m0bj47fLyHcjMYrJJoU/s1600/wiro-sableng-episode-114-badai-fitnah.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="322" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEho48ZS8jZgARtDGKmmmNFggwvD9iSW-Fiqlu7tFZq93wxEh2XkwhZRkMFUqTmT-bGDEn34FVLNULpSP84V_poQBLdhY3QoxnzZHiJR2OaTf6q7XTs7ZUyck6s7m0bj47fLyHcjMYrJJoU/s320/wiro-sableng-episode-114-badai-fitnah.jpg" width="214" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<b>Tidak ada Tokoh baru muncul dipeisode ini.</b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><br /></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>Spoiler<o:p></o:p></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
Pada episode ini, wiro sableng benar2 mendapatkan ujian yang
sangat berat. Fitnah kejam yang ditujukan pada dirinya harus memaksanya untuk
mati matian mempertahankan Hidupnya. Tidak hanya satu fitnah dari negeri
latanahsilam, bahkan fitnah dari negeri para peri pun seperti kompak
menyerangnya. Tapi disaat semuanya akan berakhir dengan kematian wiro, secara
tidak diduga muncul seorang tokoh sakti yang membantu Wiro. Dengan Keahliannya,
tokoh sakti yang dikenal sesat ini berusaha menyelamatkan Nyawa wiro dari racun jahat di tubuhnya. Racun tersebut didapat wiro dari Perkelahian dengan
Hantu sejuta Tanya sejuta jawab.</div>
<br />
<br />
<b>115. Rahasia Perkawinan Wiro</b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNY9OEBNTrUn-Av99Ohco5AIPMC9rGZm0jEg0cDOKPW2BvYyRUOU9-DaShwb3sDgyGZdVnovEiFU0TqiwMLg1hiYHFL_UmPYY7j4-y3Acci-wlvNy1fuw7hTUr_rJiFlMNEqeA0yAxhqI/s1600/rahasia+perkawinan+wiro.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="435" data-original-width="300" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNY9OEBNTrUn-Av99Ohco5AIPMC9rGZm0jEg0cDOKPW2BvYyRUOU9-DaShwb3sDgyGZdVnovEiFU0TqiwMLg1hiYHFL_UmPYY7j4-y3Acci-wlvNy1fuw7hTUr_rJiFlMNEqeA0yAxhqI/s320/rahasia+perkawinan+wiro.jpg" width="220" /></a></div>
<b><br /></b>
<br />
<b>Tidak ada Tokoh baru muncul di episode ini.</b><br />
<b><br /></b>
<b>Spoiler</b><br />
Berkat pertolongan Hantu Santet Laknat, Wiro berhasil sembuh dari luka parahnya. Secara tidak diduga, Hantu santet laknat juga mengembalikan Kapak Saktinya. Bahkan hantu santet laknant membantu Luhsantini keluar dari dalam Jaring Api Biru. Dengan berniat membantu Hantu Santet Laknat, Wiro bersepakat menikah dengannya. Kutuk yang diderita Hantu Santet Laknat seketika buyar setelah wiro menikahinya. Menyaksikan Proses pernikahan wiro tersebut, Luhcinta yang sebenarnya mencintai wiro mendadak pingsan dan harus dibawa pergi meninggalkan lokasi pernikahan oleh Luhsantini.<br />
<br />
<b>116. Hantu Selaksa Angin</b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinJ0cquUGGJdEBy3RspxQLkAwHYH1GqolOwkLtntVpmmICL_TR_ngl86IifEwt0c-O4x5B-SQPYUJMGKe0c5nCJpRRRGqKC_l1qQFygAqEManK24ZfC_uH4NIBHNUMmP9xpJEvh7pli38/s1600/hantu+selaksa+angin.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="429" data-original-width="300" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinJ0cquUGGJdEBy3RspxQLkAwHYH1GqolOwkLtntVpmmICL_TR_ngl86IifEwt0c-O4x5B-SQPYUJMGKe0c5nCJpRRRGqKC_l1qQFygAqEManK24ZfC_uH4NIBHNUMmP9xpJEvh7pli38/s320/hantu+selaksa+angin.jpg" width="223" /></a></div>
<b><br /></b>
<br />
<b>Kemunculan Tokoh Baru</b><br />
<span face="sans-serif , "arial" , "verdana" , "helvetica"" style="font-size: 13.28px; line-height: 16.6px;">Datuk Tanpa Bentuk tanpa ujud</span><br />
<span face="sans-serif , "arial" , "verdana" , "helvetica"" style="font-size: 13.28px; line-height: 16.6px;">Hantu. Berpipa Emas</span><br />
<span face="sans-serif , "arial" , "verdana" , "helvetica"" style="color: #535353; font-size: 13.28px; line-height: 16.6px;"><br /></span>
<br />
<b>Spoiler</b><br />
Masa lalu hantu selaksa angin yang misterius sedikit demi sedikit mulai menemui kejelasan. Bahkan Hantu selaksa angin kini sudah tahu siapa suami dan nama aslinya. Berkat pertolongan Si Pelawak Sinting, Hantu Sejuta tanya sejuta jawab dan Lawungu berhasil membebaskan diri dari jeratan tali Hantu santet laknat. Mereka bertiga lalu mencari Wiro dan berniat membunuhnya. Tapi Berkat bantuan Sang Junjungan, Wiro kembali selamat dari Kematian. Hantu berpipa emas yang hendak mencelakai Hantu selaksa angin harus menemui celaka bertemu dengan Wiro Sableng.<br />
<b></b><br />
<b></b><br />
<br />
<b>117. Muka Tanah Liat</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7WkmE1AXS7nCzL9MShEgFVpGTOu3VGbHyV4l49JSI7nIHUSLB_6j0u9SugX1HlTprsUOxR8ELegIBgwxLRMR4Vpgy1fYjEGpIDq1j160Dk4Uqzu1fG-beJ3jB1ftVOtCrhIVDrfOGCTU/s1600/muka+tanah+liat.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="447" data-original-width="300" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7WkmE1AXS7nCzL9MShEgFVpGTOu3VGbHyV4l49JSI7nIHUSLB_6j0u9SugX1HlTprsUOxR8ELegIBgwxLRMR4Vpgy1fYjEGpIDq1j160Dk4Uqzu1fG-beJ3jB1ftVOtCrhIVDrfOGCTU/s320/muka+tanah+liat.jpg" width="214" /></a></div>
<br />
<b></b><br />
<b><br /></b>
<br />
<b>Tidak ada Tokoh baru muncul di episode ini.</b>
<b></b><br />
<b></b><br />
<b><br /></b>
<br />
<b>Spoiler</b><br />
Masa lalu si penolong budiman akhirnya terungkap. Setelah dia mengenali benda berbentuk mawar merah yang selalu dibawa Luhcinta. Pertemuannya dengan Hantu penjunjung roh dan Guru Luhcinta membuka tabir misteri masa lalunya. untuk menyingkap misteri perkawinan wiro tempo hari, luhcinta, naga kuning, setan ngompol, dan betina bercula akhirnya mencari Laduliu. Namun ditengah jalan, mereka malah bertemu dengan Hantu muka dua, Hantu sejuta tanya sejuta jawab, dan sepasang hantu bercinta. Dengan licik hantu muka dua berhasil melumpuhkan naga kuning, setan ngompol, dan betina bercula. disaat yang genting, Si Penolong Budiman berhasil menyelamatkan luhcinta dari Serangan Sepasang Hantu bercinta. Wiro Sableng yang berniat menyelamat teman2nya terpakas harus berhadapan dengan Hantu Sejuta tanya sejuta jawab. Nenek Sakti bermuka kuning yang datang bersama wiro turun tangan menghadapi Hantu Muka Dua. <br />
<br />
<br />
<b>118. Batu Pembalik Waktu</b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1NfUtyOZ0YziXCN8b3PiezoFiyVWRkE9LIYG4ES_wkKbqAcj13ibYRdvGON2-_yM7L5WHhsPkAkj0apvLuSL-bXsw9eBzCDHMGZLFHIfo42G29XYd3ZcIzoKLdGMiI-TcTjnDya1ce2I/s1600/batu+pembalik+waktu.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="268" data-original-width="188" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1NfUtyOZ0YziXCN8b3PiezoFiyVWRkE9LIYG4ES_wkKbqAcj13ibYRdvGON2-_yM7L5WHhsPkAkj0apvLuSL-bXsw9eBzCDHMGZLFHIfo42G29XYd3ZcIzoKLdGMiI-TcTjnDya1ce2I/s320/batu+pembalik+waktu.jpg" width="224" /></a></div>
<b><br /></b>
<b><br /></b>
<b><br /></b>
<b>Tidak ada Tokoh baru muncul di episode ini.</b><br />
<b><br /></b>
<b><br /></b>
<b>Spoiler</b><br />
Batu Pembalik waktu yang selama ini tidak diketahui keberadaanya telah ditemukan. Secara tidak sengaja Hantu Penjungjung roh dan nenek laekatakhijau menemukan baru tersebut didalam tubuh seekor katak. Ketika batu tersebut akan diambil, batu tersebut mendadak direbut oleh Peri Angsa Putih dan dibawa kabur.<br />
Misteri kehamilan Peri Bunda akhirnya terbongkar berkat bantuan Kakek Raja Obat. Pada episode ini, Lasedayu yang kehilangan keluarganya pada akhirnya telah berhasil bertemu dengan istrinya, dan mulai terkuak siapa saja anaknya yang telah hilang.<br />
<br />
<br />
<br />
<b>119. Istana Kebahagiaan</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6O3l8YgXccfwtgpwJ67sIFQy_Jk4Xi5iUOsBkrV7rFS89j5PwQrKX6GHlbNZDPOr7RBcDOXu9r8VZzucCfRltXZgHk3mLKFWCcwstqhPbHdABBzhpCFCUS14HkYmMtfDib3V48CoFjLM/s1600/WS119+istana+kebahagiaan.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="300" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6O3l8YgXccfwtgpwJ67sIFQy_Jk4Xi5iUOsBkrV7rFS89j5PwQrKX6GHlbNZDPOr7RBcDOXu9r8VZzucCfRltXZgHk3mLKFWCcwstqhPbHdABBzhpCFCUS14HkYmMtfDib3V48CoFjLM/s320/WS119+istana+kebahagiaan.jpg" width="214" /></a></div>
<b><br /></b>
<b>Kemunculan Tokoh Baru</b><br />
Latudung<br />
Lawulus<br />
Lasendu<br />
Lajohor<br />
Lasedana<br />
Hantu Lintah Hitam<br />
Luhkinki<br />
Lakembangan<br />
Luhmundinglaya <br />
<br />
<b>Spoiler</b><br />
Misteri masa Lalu Luhcinta akhirnya terkuak berkat bantuan Luhmundinglaya<b>. </b>Akhirnya Para Tokoh Silat aliran Hitam dan Putih berkumpul di Istana hari ke 15 bulan ke 12. Hantu Langit terjungkir bahkan telah mendapatkan kembali sendok pemasung nasib dan kembali menjadi manusia normal. Dengan siasat liciknya, Hantu Muka Dua berniat membunuh semua tokoh yang berseberangan dengannya. Wiro dan Luhrembulan yang mengetahui niat licik tersebut segera bergerak mengingatkan sahabatnya.<br />
<br />
<br />
<b>120. Kembali Ketanah Jawa</b><br />
<br />
<b></b><br />
<b></b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhnkCzYZbcZa5d3aMmDbhVZVzhSaWqzDuaeHdzWEmfPnppJhctEJzx_gBr2mLrJUA9-14KdtgXMhkUIgwDCEe0segfLfDlFyXX6sNAzLzzFQ8a0Ou6hg20DcWvz8LOmKzvJ9lj7yv_AIk/s1600/WS120+kembali+ketanah+jawa.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="429" data-original-width="300" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhnkCzYZbcZa5d3aMmDbhVZVzhSaWqzDuaeHdzWEmfPnppJhctEJzx_gBr2mLrJUA9-14KdtgXMhkUIgwDCEe0segfLfDlFyXX6sNAzLzzFQ8a0Ou6hg20DcWvz8LOmKzvJ9lj7yv_AIk/s320/WS120+kembali+ketanah+jawa.jpg" width="223" /></a></div>
<b></b>
<b><br /></b>
<b><br /></b>
<b>Kemunculan Tokoh Baru</b>
<br />
Singo Abang/Jolo Pingging<br />
Pangeran Miring/Pangeran Matahari<br />
Momok Dempet Berkaki Kuda<br />
Adimesa/Pendekar Kipas Pelangi<br />
Adisaka<br />
Nini Wetan/Nini Setan<br />
Riku Pulungan<br />
Wulandari<br />
Sanjaya<br />
Handaka<br />
Kiai Wirasaba<br />
Ratu Duyung<br />
Bidadari Angin Timur<br />
<br />
<b>Spoiler</b><br />
Pada episode ini tiba tiba Wiro Sableng telah berada di Tanah Jawa. Munculnya pun di sekitar dikediaman Singo Abang dan Pangeran Miring. Apesnya lg, disaat kekuatan Wiro belum pulih, Muncul Momok Dempet Berkaki Kuda. Wiro yang belum sadar bahwa dia telah kembali ke tanah jawa pun mau tidak mau bertempur dengan Momok Dempet Berkaki Kuda. </div><div class="MsoNormal">Akhirnya setelah pertemuan dengan Momok Dempet berkaki kuda dan Pendekar Kipas Pelangi memberikan kepastian bahwa dirinya telah berada di Tanah Jawa. Dari informasi yang diterimanya, dia telah menghilang di negeri Latanahsilam sekitar 2 tahun lamanya. </div><div class="MsoNormal">Jika Diperhatikan, di episode ini sudah tidak dalam rangkaian kisah Wiro Di negeri Latanahsilam. Penekanan ceritanya ada pada kisah hidup Adimesa dengan beberapa tambahan kisah munculnya Wiro dari Negeri Latanhsilam dan kembali munculnya Pangeran matahari yang telah dinyatakan Mati. Bagaimana kembalinya ke tanah Jawa, kemana para sahabat Wiro pun tidak diulas di Episode ini.</div><div class="MsoNormal">Meskipun kita sama sama tau, banyak pendekar yang terhisap oleh batu pembalik waktu pada akhir kisah "Istana Kebahagian". <br />
<br />
<br />
<b></b><br />
<b></b>
<b><br /></b>
<br />
<br />
<b> </b>
</div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-38238696850787765822018-03-27T16:32:00.000+07:002018-09-19T14:55:11.782+07:00Tokoh di negeri Latanahsilam, Part 1Cerita Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam yang terdiri dari 17 episode, Memunculkan Tokoh2 baru dengan karakter yang berbeda pula. Cerita yang berseting 1200 tahun sebelum masa Wiro Sableng berpetualang ini menyajikan tokoh dan mahluk2 yang aneh. contohnya saja Laekakienam, kuda tunggangan Lakasipo yang berkaki enam, dan kadal raksasa tunggangan Lahopeng.<br />
Mau tau tokoh yang muncul di episode episode ini, monggo silakan dibaca. gratis buat para pecinta Wiro Sableng diseluruh Dunia persilatan.<br />
<br />
<b>Berikut ini kemunculan tokoh beserta deskripsinya dari episode Bola Bola iblis sampai episode Rahasia Kincir Hantu.</b><br />
<br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Wiro Sableng</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Pendekar kapak maut naga geni 212.
Murid eyang sinto gendeng.Pendekar Sakti dengan senjata Kapak bermata dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Naga Kuning</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakek sakti berusia 120 tahun dalam
bentuk anak kecil berambut jabrik usia 12 tahun. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Nama asli Gunung dengan julukan Kiai
Paus Samudera. Sahabat Wiro Sableng. Hadir di episode Utusan Dari Akhirat dan tua gila dari andalas.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Setan Ngompol</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakek bermata jereng yang sering
ngompol. Sahabat Wiro Sableng.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lakasipo</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Hantu bola bola iblis. Sahabat Wiro
di negeri Latanahsilam. Seorang bekas raja di negeri Latanahsilam dengan
tunggangan seekor kuda berkaki enam bernama Laekakienam. Salah Satu Sahabat Wiro di negeri Latanahsilam. Muncul pada episode bola bola iblis.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lahopeng</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Sahabat yang menjadi musuh Lakasipo
akibat cintanya pada Luhrinjani alias istri Lakasipo.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Dengan kelicikannya dia menjadi
Raja di negeri Latanahsilah menggantikan Lakasipo. Muncul pada episode bola bola iblis.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Santet Laknat</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
wanita dengan tubuh kurus kering, memiliki wajah seperti seekor burung gagak hitam.
Mulut dan hidungnya jadi satu membentuk paruh. Sepasang matanya kecil
tanpa alis. Tubuhnya mengenakan sehelai pakaian dari jerami kering warna
hitam.Merupakan
guru dari Hantu Bara Kaliatus dan Lahopeng. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Nama asli Luhrembulan. Muncul pada episode bola bola iblis.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Tangan Empat</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Merupakan kakek dari Peri Angsa Putih. Kakek sakti dengan muka menyeramkan dan bertangan empat. Terpaksa menjadi pelayan Hantu Muka Dua akibat kelicikan dari Hantu muka Dua. Salah Satu Sahabat Wiro di negeri Latanahsilam. Muncul pada episode bola bola iblis.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Luhbarini</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Istri hantu tangan empat. Muncul
pada episode Hantu Tangan Empat.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Muka Dua</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Raja di raja hantu di negeri
latanahsilam. Hantu segala keji, segala tipu, segala nafsu. Penguasa istana
kebahagiaan. Dengan nama Asli Labahala atau Lajundai.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Latandai</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Memiliki nama lain hantu bara
kaliatus. Suami dari Luh Santini. Muncul pada episode Hantu Bara Kaliatus. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Latandai menjadi jahat akibat fitnah dari Gurunya. Hantu Santet laknat. Muncul pada
episode Hantu Bara Kaliatus.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Luhjelita</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Gadis dengan pakaian berwarna Jingga, menjadi
kekasih hantu muka dua demi mencapai maksud tertentu. Mempunyai misi mencari tujuh lelaki dengan tiga
tahilalat dibawah pusar untuk memperdalam ilmu kesaktiannya. Muncul pada
episode Hantu Bara Kaliatus.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Jatilandak</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Keturunan dari manusia dan peri (lahambalang
dan luhmintari) sehingga mendapat kutuk dari para peri. Di asuh oleh Laeruncing
dan Lae lancip yang merupakan landak raksasa dan Kakeknya si Trenggiling Liang
Batu. Salah Satu Sahabat Wiro di negeri Latanahsilam. Muncul pada Episode Hantu Jatilandak.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Trenggiling Liang Batu.</b><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakek angkat hantu jatilandak. Guru
atau ayah angkat landak raksasa laeruncing dan laelancip. Sahabat Wiro Sableng. Muncul pada Episode
Hantu Jatilandak.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Peri Sesepuh</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Pimpinan dan junjungan dari segala
peri. Berbadan sangat besar, hidung pesek dan selalu berkeringat. Muncul pada
episode Peri Angsa Putih.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Peri bunda</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Peri bermahkota batu permata
berkilauan. Simpul agung dari segala peri. Junjungan dari segala junjungan. Muncul
pada episode Hantu Bara Kaliatus.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Peri angsa Putih</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Peri cantik dengan tunggangan
seekor angsa raksasa bernama laeputih. Cucu dari hantu tangan empat. Muncul
pada episode Peri Angsa Putih.<br />
<br />
<b>Luhtinti</b><br />
Gadis cantik dengan kulit kecoklatan. Budak dari Hantu Muka Dua. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Luhcinta</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Gadis cantik berbaju biru yg keningnya ada bunga
tanjung, anak dari Latampi dan luhpiranti yang sebenarnya adalah saudara
kandung. Cucu dari Hantu Penjunjung Roh alias luhniknik dan lasegara.. Sahabat Wiro Sableng. Muncul
pada episode Rahasia Bayi Tergantung.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Seribu Obat.</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakek Sakti gemuk bersorban dan
belanga tanah dikepalanya, yang membuat Wiro, naga kuning, dan setan ngompol
jadi setinggi orang di negeri Latanahsilam pada episode Rahasia Bayi
Tergantung. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Nenek lembah laekatakhijau. </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Bernama asli luhmasigi. Nenek
angkat sekaligus Guru Luhcinta. Muncul pada episode episode Rahasia Bayi
Tergantung. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Seratus Tutul</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Utusan dari istana kebahagian untuk
membunuh Hantu jatilandak dan Lakasipo. Muncul pada episode episode Rahasia
Bayi Tergantung. </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lagandrung dan lagandring.</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakak beradik sahabat hantu tangan
empat. Utusan istana kebahagian untuk membunuh hantu tangan empat. Muncul pada
episode Hantu tangan empat.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Pelawak sinting. </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Sahabat hantu tangan empat nama
asli Labudung adik kembar dari Labodong. Kakek dengan gigi tonggos , celanan
kedodoran dengan membawa payung. Sahabat Wiro Sableng. Muncul pada episode Hantu tangan empat.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Labodong</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakak dari pelawak sinting kaki
tangan hantu muka dua. Muncul pada episode Hantu tangan empat.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu Api Biru</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kaki tangan hantu tangan empat. Manusia
yang seluruh tubuhnya dikobari api kebiru biruan. Muncul pada episode Hantu
tangan empat.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Nenek Lamahila</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Juru nikah negeri
latanahsilam. Muncul pada episode Bola bola iblis.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Luhniknik</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Nenek Luhcinta. Alias
hantu penjunjung roh. Istri lasegara. Orang tua dari latampi dan luhpiranti.
Nenek sakti dengan kerucut asap merah dikepalanya. Muncul pada episode Rahasia Bayi Tergantung.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lasedayu</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Bekas wakil para dewa di bumi.
Suami dari luhpingitan. Tokoh paling sakti di negeri Latanahsilam setingkat diatas hantu Tangan empat. Menjadi Sakti karena memakan jantung dewa yang akhirnya terkena kutuk. 2/3 hidupnya menderita akibat kutukan lamanyala.
Orangtua hantu muka dua. Kelak berjuluk Hantu Langit Terjungkir. Muncul pada episode Hantu Muka Dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lamanyala.</b> </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Wakil para dewa dibumi
pengganti lasedayu. Mahluk api yang yang bagian tubuhnya tinggal sebelah akibat
bertarung dengan Lasedayu.Akibat dendam pada Lasedayu akhirnya tokoh ini menjadi Jahat. Muncul pada episode Hantu Muka Dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Labahala. </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Mahluk berlumut yang
tinggal di batu karang ditengah lautan. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sosok yang kelak dikenal bagai hantu muka dua. Muncul pada episode Hantu Muka Dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Si pembedol usus.</b> </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Nenek sakti kaki
tangan yang mempunyai kebiasaan membunuh lawannya dengan cara merobek perut
membetot usus. Muncul pada episode Hantu Muka Dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Si betina bercula. </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Seorang lelaki
paruh baya kaki tangan hantu muka dua yang mukanya diberi pupur tebal, alis
terang dan gincu merah mencorong. Rambutnya keriting aneh, panjang menjulai
sampai bahu. Walau mengenakan pakaian laki laki, namun sikap dan tingkahnya
menyerupai perempuan. Muncul pada episode Hantu Muka Dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Sipenolong budiman.</b> </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Orang misterius bermuka
tanah liat. Muncul pada episode Hantu Muka Dua.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lateleng : </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakek teleng bercaping
penjaga kincir hantu. Muncul pada episode Rahasia Kincir Hantu.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lakerashati/si hati baja</b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Lelaki
gagah berjanggut dan berkumis<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>lebat tapi
rapi serta mengenakan topi tinggi merah seperti tarbus. Muncul pada episode Rahasia Kincir Hantu.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Hantu sejuta Tanya sejuta jawab </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kakek sakti yang berjubah putih yang otaknya berada diluar batok kepala
bermabut panjang dan putih menutupi kepala bagian belakang sampai kepungung dan
menutupi wajahnya. Muncul pada episode Rahasia Kincir Hantu.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b>Lawungu.</b> </div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Sahabat hantu sejuta
Tanya sejuta jawab. Yg dikakinya terdapat sendok Pemasung nasib. Sendok
tersebut dulunya digunakan untuk menyembuhkan sakitnya yg sangat parah. Muncul pada episode Rahasia Kincir Hantu.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-51958179790023224242018-03-23T13:16:00.002+07:002018-05-31T10:10:51.404+07:00Kisah Wiro Sableng 212 di Negeri Latanahsilam, Part 1<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Kisah Wiro Sableng, Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 seakan tidak mau terkubur oleh waktu. Perkembangan zaman
yang sangat pesat bahkan tidak mampu menghapus nama besar pendekar sakti
karangan Bastian Tito. Hal tersebut terlihat dengan tertariknya Rumah Produksi
Luar negeri untuk menggarap ceritanya ke Layar Lebar. Rencananya Film ini akan
tayang di bioskop tanah air pada tahun 2018. Sebenernya gw pingin sedikit
berbagi informasi kisah wiro pada episode awal yang kemungkinan akan menjadi
jalan cerita film tersebut. Tapi karena sudah banyak yang menceritakanya di
blog lain, gw berpikir tidak ada salahnya kalau gw agak sedikit beda dengan
mereka. Kisah wiro di negeri Latanahsilam yang terdiri dari 17 episode merupakan salah satu kisah yang
menurut gw sangat baik jalan ceritanya. Diawali dengan episode Bola Bola Iblis sampai episode Istana Kebahagiaan.Cerita yang luar biasa imajinatif
dengan alur cerita yang membuat kita selalu ingin mengikuti terus kisahnya.
Latanahsilam dikisahkan sebagai suatu negeri yang berseting 1.200 tahun sebelum masa petualangan wiro di tanah Jawa. Baiklah, ga perlu panjang lebar pengantarnya, kita mulai saja sekarang…..</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin: 0in 0in 0.0001pt;">
<b><span style="font-size: large;">102. Bola Bola Iblis</span></b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-iYCa9yosRU0/WrRww8UnFSI/AAAAAAAAHac/1b_HQVbj0dU8v_-lCXg0xYViP5MxMLprACLcBGAs/s1600/wiro-sableng-episode-102-bola-bola-iblis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="483" data-original-width="320" height="320" src="https://3.bp.blogspot.com/-iYCa9yosRU0/WrRww8UnFSI/AAAAAAAAHac/1b_HQVbj0dU8v_-lCXg0xYViP5MxMLprACLcBGAs/s320/wiro-sableng-episode-102-bola-bola-iblis.jpg" width="212" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<b>Kemunculan Tokoh </b></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
</div>
<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 176px;"><colgroup><col style="mso-width-alt: 1024; mso-width-source: userset; width: 21pt;" width="28"></col>
<col style="width: 48pt;" width="64"></col>
<col style="mso-width-alt: 3072; mso-width-source: userset; width: 63pt;" width="84"></col>
</colgroup><tbody>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt; width: 21pt;" width="28">1</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan; width: 111pt;" width="148">Wiro Sableng</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">2</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Naga Kuning</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">3</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Setan Ngompol</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">4</td>
<td>Lakasipo</td>
<td><br /></td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">5</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Luhrinjani</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">6</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Lahopeng</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">7</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Hantu Santet Laknat</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">8</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Hantu Tangan Empat</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">9</td>
<td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;">Nenek Lamahila</td><td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;"></td><td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;"></td><td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;"></td><td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;"></td><td colspan="2" style="mso-ignore: colspan;"></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Bocoran Ceritanya :</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
Di Episode ini menceritakan tentang awal kisah Wiro, naga kuning, dan setan Ngompol berpetualang di Negeri Latanahsilam. Pertemuan dengan Hantu tangan Empat yg diutus oleh Hantu muka dua berdampak pada terlemparnya wiro dan 2 sahabatnya itu ke negeri 1,200 tahun yang lalu. Mereka bertemu Lakasipo yang selanjutnya dikenal sebagai hantu bola bola iblis. Apesnya, tinggi wiro, setan ngompol, dan naga kuning hanya sebesar jempol orang2 di negeri latanahsilam.</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<br />
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 28px;"><colgroup><col width="28"></col></colgroup><tbody>
<tr height="25">
<td class="xl65" height="25" style="height: 18.75pt; width: 21pt;" width="28"><br /></td><td class="xl65" height="25" style="height: 18.75pt; width: 21pt;" width="28"><br /></td>
</tr>
</tbody></table>
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 267px;"><colgroup><col width="28"></col><col width="64"></col><col width="84"></col><col width="91"></col></colgroup><tbody>
<tr height="25">
<td class="xl65" colspan="4" height="25" style="height: 18.75pt; width: 200pt;" width="267"><span style="font-size: large;"><b>103. Hantu Bara Kaliatus</b></span></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjWJDLhVQJR_gKxzouz_xDkxM0jjT_y3x0qTt8n3bRuAYL5H0ru2kHpm_ER__rmcFZKOP_m4fNVbzz9gEre_ZDUmSS9TQ4Uxvd4-J92SWRCKPGmAewyiUCCejB_iDypguqfzzrTRaj6VU/s1600/wiro-sableng-episode-103-hantu-bara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="483" data-original-width="319" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjWJDLhVQJR_gKxzouz_xDkxM0jjT_y3x0qTt8n3bRuAYL5H0ru2kHpm_ER__rmcFZKOP_m4fNVbzz9gEre_ZDUmSS9TQ4Uxvd4-J92SWRCKPGmAewyiUCCejB_iDypguqfzzrTRaj6VU/s320/wiro-sableng-episode-103-hantu-bara.jpg" width="211" /></a></div>
<br />
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<b> Kemunculan Tokoh</b></div>
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 92px;"><colgroup><col style="mso-width-alt: 1024; mso-width-source: userset; width: 21pt;" width="28"></col>
<col style="width: 48pt;" width="64"></col>
</colgroup><tbody>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt; width: 21pt;" width="28"><br /></td>
<td style="width: 48pt;" width="64"><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 176px;"><colgroup><col style="mso-width-alt: 1024; mso-width-source: userset; width: 21pt;" width="28"></col>
<col style="width: 48pt;" width="64"></col>
<col style="mso-width-alt: 3072; mso-width-source: userset; width: 63pt;" width="84"></col>
</colgroup><tbody>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt; width: 21pt;" width="28"><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 176px;"><colgroup><col style="mso-width-alt: 1024; mso-width-source: userset; width: 21pt;" width="28"></col>
<col style="width: 48pt;" width="64"></col>
<col style="mso-width-alt: 3072; mso-width-source: userset; width: 63pt;" width="84"></col>
</colgroup><tbody>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt; width: 21pt;" width="28">1</td>
<td class="xl65" colspan="2" style="width: 111pt;" width="148">Latandai</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">2</td>
<td class="xl65" colspan="2">Luhjelita</td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;">3</td>
<td class="xl65" colspan="2">Peri Bunda</td>
</tr>
</tbody></table>
</td>
<td class="xl65" colspan="2" style="width: 111pt;" width="148"><br /></td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td height="20" style="height: 15pt; text-align: left;"><br /></td>
<td class="xl65" colspan="2" style="text-align: left;"><br /></td>
</tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;">
<td height="20" style="height: 15pt; text-align: left;"><b>Bocoran Ceritanya :</b></td>
<td class="xl65" colspan="2" style="text-align: left;"><br /></td>
</tr>
</tbody></table>
</td></tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;"><td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;"><br /></td><td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;"><br /></td><td><br /></td></tr>
<tr height="20" style="height: 15.0pt;"><td align="right" height="20" style="height: 15.0pt;"><br /></td><td><br /></td></tr>
</tbody></table>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br />
<div class="MsoNormal">
Latandai yang telah dihasut oleh Hantu santet laknat
memperdalam ilmunya sehingga dikenal sebagai Hantu Bara Kaliatus. Misinya
adalah membunuh Lakasipo karena telah dia anggap memperkosa istrinya. Sehingga
peri bunda Turun tangan untuk membantunya.Latandai dikisahkan diberi misi oleh hantu santet Laknat untuk membunuh Istrinya yang benama Luhsantini, membunuh Lasingar, dan membunuh Lakasipo. </div>
</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">104. Peri Angsa Putih</span></b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-j45fw2TCCsU/WrRzQX8369I/AAAAAAAAHaw/CEI_c7wQasQYNe7QPDw_qjEzSUyhJ7DyQCLcBGAs/s1600/ws-peri-angsa-putih.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="160" data-original-width="200" height="320" src="https://2.bp.blogspot.com/-j45fw2TCCsU/WrRzQX8369I/AAAAAAAAHaw/CEI_c7wQasQYNe7QPDw_qjEzSUyhJ7DyQCLcBGAs/s400/ws-peri-angsa-putih.gif" width="400" /></a></div>
<br />
<b>Kemunculan Tokoh</b><br />
<ol>
<li>Peri Angsa Putih<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span></li>
<li><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span></span>Hantu Muka Dua</li>
<li>Peri Sesepuh</li>
<li>Luhtinti </li>
</ol>
<div class="MsoNormal">
Bocoran ceritanya:</div>
</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br />
<div class="MsoNormal">
Petualangan Wiro agar bisa kembali ke masanya atau bisa
memiliki ukuran yang sama dengan orang2 di negeri latanahsilam. Dengan Dibantu
peri angsa putih mereka bertemu dengan Hantu tangan Empat yang merupakan kakek
dari sang peri. Namun karena kelakuan Peri sesepuh, Hantu tangan Empat hanya
bisa merubah sebesar lutut orang dewasa.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-size: large;">105. Hantu Jatilandak</span></b></div>
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; margin-left: 4.65pt; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 1184; width: 133px;">
<tbody>
<tr style="height: 15.0pt; mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td nowrap="" style="height: 15.0pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 99.9pt;" valign="bottom" width="133"><br /></td>
</tr>
<tr style="height: 15.0pt; mso-yfti-irow: 1;">
<td nowrap="" style="height: 15.0pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 99.9pt;" valign="bottom" width="133"><br /></td>
</tr>
<tr style="height: 15.0pt; mso-yfti-irow: 2;">
<td nowrap="" style="height: 15.0pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 99.9pt;" valign="bottom" width="133"><br /></td>
</tr>
<tr style="height: 15.0pt; mso-yfti-irow: 3; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td nowrap="" style="height: 15.0pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 99.9pt;" valign="bottom" width="133"><br /></td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7nCoPR8fO8gdLFLA6WlEfJKFjPLCnthwMpYHTNde34Xld1nw9bELYkaGE0Nd32P0ooL7sHhR_dVJrhwlkr4NZfZJe1qCKgLYn5krO81VpxcZPJgvGCGkteuqk5eeODJNigPSUooou0Ks/s1600/img.php.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="322" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7nCoPR8fO8gdLFLA6WlEfJKFjPLCnthwMpYHTNde34Xld1nw9bELYkaGE0Nd32P0ooL7sHhR_dVJrhwlkr4NZfZJe1qCKgLYn5krO81VpxcZPJgvGCGkteuqk5eeODJNigPSUooou0Ks/s320/img.php.jpg" width="214" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">Kemuculan Tokoh:</span></b><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<ol>
<li>Hantu
Jatilandak</li>
<li>Trenggiling
Liang Batu</li>
<li>LaeRucing</li>
<li><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">Laelancip</span></li>
</ol>
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">Bocoran ceritanya:</span></b></div>
<div class="MsoNormal">
Awal kisah Hantu Jatilandak. Anak dari Peri dan manusia yang
mendapat kutuk dari Langit. Diasuh dan dibesarkan oleh Teringgiling Liang batu, Laelancip, dan laeruncing. Namun sayang diperalat Oleh Hantu muka dua untuk
membunuh Wiro Sableng, Naga Kuning, dan Setan Ngompol. Namun pada akhirnya,
mereka bersatu melawan Hantu Muka Dua. menurut gw ini pengantar episode Rahasia Patung Menangis.<br />
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">106. Rahasia Bayi Tergantung </span></b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGSSCfTzm5bXmKwz3c_X4JPR8wJIYJn58T4YtTE1_D8-XAn1yk5oBYUSEwYUKVhSWnFPUrOLQSjrcz7-Nt1ILQfymDpamfhSOoJjYeGM9Gf4CMrN8YVmptLJvCbRbKI2jfCAFXlzTi9zU/s1600/rahasia+bayi+tergantung.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="479" data-original-width="322" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGSSCfTzm5bXmKwz3c_X4JPR8wJIYJn58T4YtTE1_D8-XAn1yk5oBYUSEwYUKVhSWnFPUrOLQSjrcz7-Nt1ILQfymDpamfhSOoJjYeGM9Gf4CMrN8YVmptLJvCbRbKI2jfCAFXlzTi9zU/s320/rahasia+bayi+tergantung.jpg" width="215" /></a></div>
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">Kemuculan Tokoh:</span></b><br />
<b><span style="font-size: large;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
</span></b><span style="font-size: small;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">1. Luh Cinta</span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">2. Nenek Lembah
LaeKatakhijau</span></div>
<span style="font-size: small;">
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">3. Hantu
penjunjung Roh</span></div>
<span style="font-size: small;">
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">4. Hantu Seribu
Obat / Hantu Raja Obat</span></div>
<span style="font-size: small;">
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">5. Hantu
Seratus Tutul</span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><b><span style="font-size: large;">
</span></b><b><span style="font-size: large;">Bocoran Ceritanya</span></b><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal">
Awal Kisah Luhcinta dalam mencari keberadaaan orang tuanya.
Dalam perjalannya mereka bertemu dengan Hantu jatilandak dan wiro sableng. Dan
berjibaku dengan Hantu seratus tutul. Berkat bantuan Luhcinta, wiro, setan
ngompol, dan naga kuning bertemu dengan hantu raja obat untuk merubah ukuran
mereka. Namun karena melanggar pantangan, setan ngompol dan naga kuning harus
menunggu sampai bulan purnama untuk bisa kembali dirubah ukurannya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-size: large;">107. Hantu Tangan Empat </span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAQ8qEIH_ZnaXsdSwa0_kGueD3zqHoX2OOmOUqjiQ6a61Tdd2fQBJXywiiBjoCUOWtddTmb_1bAi7Xgw42tDPlYA8XiOZbvhcheBMhikiOlkdhsx2ZqJK5x8YAIcx-OmNtNxod6PmuYPM/s1600/wirosablenghantutanganempat_2476.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAQ8qEIH_ZnaXsdSwa0_kGueD3zqHoX2OOmOUqjiQ6a61Tdd2fQBJXywiiBjoCUOWtddTmb_1bAi7Xgw42tDPlYA8XiOZbvhcheBMhikiOlkdhsx2ZqJK5x8YAIcx-OmNtNxod6PmuYPM/s1600/wirosablenghantutanganempat_2476.jpg" /></a></span></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">Kemuculan Tokoh:</span></b><br />
<b><span style="font-size: large;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
</span></b><span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">1. Lagandrung</span></span></div>
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">2. Lagandring</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">3. Pelawak
Sinting/Labudung</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">4. Luhbarini</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">5. Labodong</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">6. Hantu Api
Biru</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><br /></span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">Bocoran Ceritanya</span></b></span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--></span></b></span></div>
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-size: large;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]--><span style="font-family: "calibri" , "sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 115%;">Episode
ini mengisahkan Pertemuan Hantu tangan empat dan istrinya yang disekap oleh
hantu muka dua. Wiro Sableng yang telah memiliki ukuran sebesar orang di negeri
latanahsilam membantu hantu tangan empat bersama pelawak sinting asli dan hantu
jatilandak menghadapi hantu api biru, lagandrung bersaudara, dan labodong alias
pelawak sinting palsu.</span> </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">108. Hantu Muka Dua</span></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizILGJaLGXXkJKnpLe6mmwiROn0D1YzQDVoQuE0_qP46wT_ZXFbEVPt1y7UB1WZwVmg9T2Nx77gYdT2sJXh4cu6gHEkekzrOFS4tcxGznjIp31Id9I_5aFYNZNiQyZ7jqaFmAws3CrOBA/s1600/wiro-sableng-episode-108-hantu-muka-dua.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="322" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizILGJaLGXXkJKnpLe6mmwiROn0D1YzQDVoQuE0_qP46wT_ZXFbEVPt1y7UB1WZwVmg9T2Nx77gYdT2sJXh4cu6gHEkekzrOFS4tcxGznjIp31Id9I_5aFYNZNiQyZ7jqaFmAws3CrOBA/s320/wiro-sableng-episode-108-hantu-muka-dua.jpg" width="214" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;"> </span></b> </span></div>
<b><span style="font-size: large;">Kemuculan Tokoh:</span></b><br />
<b><span style="font-size: large;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
</span></b><span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">1. Lahidung
Besar</span></span></div>
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">2. Lapicak
Kanan</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">3. Lasuling
Maut</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">4. Si Penolong
Budiman</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">5. Latumpangan</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">6. Lasedayu</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">7. Lamanyala</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">8. Labahala/HMD</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">9. Si Pembedol
Usus</span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;">10. Si Betina
Bercula</span><b><span style="font-size: large;">
</span></b><span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;"> </span></b></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">Bocoran Ceritanya</span></b></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">Episode ini mengisahkan masa lalu hantu muka dua. Siapa nama aslinya, siapa saudaranya, siapa orang tuanya. Dengan ilmu yg didapat dari hantu muka dua, lahidung besar berhasil menculik peri angsa putih untuk diserahkan ke penguasa istana kebahagiaan. Demi membebaskan Peri angsa putih, wiro, Luhcinta dan si penolong budiman berjibaku melawan kaki tangan hantu muka dua. Pertarungan semakin menarik dengan datangnya setan ngompol dan naga kuning yang sudah berukuran seperti penduduk di Latanahsilam. <b><span style="font-size: large;"><br /></span></b></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
</span><br />
<br />
<span style="font-size: large;"><b>109. Rahasia Kincir Hantu</b></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMFX3ZfKSnqrGEkYvO_PDu_yBGouOjHg-W17lCQJNcUUizUCrPP8JUNZlq6tbOAMcku0qoa7USlFcxMKOHsg-QYWcjWFdia_1B30IckatiqCRy4dkxGWH5w5XNzGTrcN0CobzHD_5ZvhU/s1600/wirosablengrahasiakincrhantu_2583.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMFX3ZfKSnqrGEkYvO_PDu_yBGouOjHg-W17lCQJNcUUizUCrPP8JUNZlq6tbOAMcku0qoa7USlFcxMKOHsg-QYWcjWFdia_1B30IckatiqCRy4dkxGWH5w5XNzGTrcN0CobzHD_5ZvhU/s1600/wirosablengrahasiakincrhantu_2583.jpg" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<b><span style="font-size: large;">Kemuculan Tokoh:</span></b><br />
<b><span style="font-size: large;"><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]-->
</span></b><span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">1. Si Hati Baja</span></span></div>
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">2. Lateleng /
HMD</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">3. Lajundai/Labahala/HMD</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">4. Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">5. Lawungu</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
<span style="font-size: small;">
</span></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">6. Kera Sakti
Tak Bernama</span></span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><br /></span></div>
<span style="font-size: large;">
</span>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: large;"><span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">Bocoran Ceritanya</span></b></span></span></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-size: medium;">Kisah Petualangan Wiro memecahkan misteri Kincir Hantu yang di Jaga Oleh Lateleng. Kincir Hantu yang telah memakan banyak korban demi tujuan terselubung Lateleng. Dikisahkan pula pertarungan antara Labahala dengan Lasedayu demi mengikuti petunjuk Lamanyala. Pertarungan ini yang nantinya jadi pengantar kisah Hantu Langit terjungkir. Kemunculan Tokoh Hantu sejuta tanya dan sejuta jawab, Lawungu dan perebutan sendok Pemasung Nasib. </span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span></div>
</div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<br /></div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-90716756252768002552017-08-11T14:40:00.001+07:002017-08-11T14:40:06.254+07:00Moment Kakung dan Oma Berangkat Haji<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVefWAezmPC2X5wEqUGZrJ0Cfn96qWGRQ8DQp_pFyV53Z4-AflVaWXrRrIZNTzNNhOfYAFT5yfERIQC14Zc0go5bcRBeAhtWxKoQiZ0eQ3sJV72u1r4D9Pl_V75WHm_2wJQTm0-KJBEqA/s1600/20663704_10207795717491143_3088315638333260023_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVefWAezmPC2X5wEqUGZrJ0Cfn96qWGRQ8DQp_pFyV53Z4-AflVaWXrRrIZNTzNNhOfYAFT5yfERIQC14Zc0go5bcRBeAhtWxKoQiZ0eQ3sJV72u1r4D9Pl_V75WHm_2wJQTm0-KJBEqA/s320/20663704_10207795717491143_3088315638333260023_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">with big Family Suwondo</td></tr>
</tbody></table>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4kIDnTxwy2jNorG99IQK4kGV-J_KjY4267GlVgb0GUBJ0ZTmR1911URTdGJmsJQziZHsK7Bs6acsprSxv8BgzYxDkqp85gnyQzZM6IIyRdBuIg-Uo5LSDOAzWj5C81qKk6U0rKl5D7WA/s1600/20663842_10207795717651147_2271381960740152359_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="360" data-original-width="640" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4kIDnTxwy2jNorG99IQK4kGV-J_KjY4267GlVgb0GUBJ0ZTmR1911URTdGJmsJQziZHsK7Bs6acsprSxv8BgzYxDkqp85gnyQzZM6IIyRdBuIg-Uo5LSDOAzWj5C81qKk6U0rKl5D7WA/s320/20663842_10207795717651147_2271381960740152359_n.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh226WygE-Ysde_GQTAKYCnxDzvr6pSqDRTGpVaRlW40VVjfwGAHBr23Df-HX8iFj9_TgsSvH8KE5mHNGLNoPqbSvAAhFnAukjWSKc0TUOO8MXo-xkmhn5w9nf2ff_oMh4djLh6vRbp1iU/s1600/20708014_10207795718891178_5412545940434055714_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="360" data-original-width="640" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh226WygE-Ysde_GQTAKYCnxDzvr6pSqDRTGpVaRlW40VVjfwGAHBr23Df-HX8iFj9_TgsSvH8KE5mHNGLNoPqbSvAAhFnAukjWSKc0TUOO8MXo-xkmhn5w9nf2ff_oMh4djLh6vRbp1iU/s320/20708014_10207795718891178_5412545940434055714_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">lekman dan istri, mak yas, mak tum, mak ros dan suami</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWgKn50yFLy9-tzKy9B1ciGPp7JdpxvagRrLmePpm3Lpy-vUe4_7nMnMuVr3QB2vieAHEWFvQu2ZJrVpgoxA7Tmc4diXuWKPc3diokRb_1HUOb2CqjVdpbxB03QQpcMagPyhfKturKSmY/s1600/20768228_10207795717811151_7570225307769768237_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="360" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWgKn50yFLy9-tzKy9B1ciGPp7JdpxvagRrLmePpm3Lpy-vUe4_7nMnMuVr3QB2vieAHEWFvQu2ZJrVpgoxA7Tmc4diXuWKPc3diokRb_1HUOb2CqjVdpbxB03QQpcMagPyhfKturKSmY/s320/20768228_10207795717811151_7570225307769768237_n.jpg" width="180" /></a></div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7b2Q8hvEKX8ILvpBpGSJoKhy4pGAn-JC-IBo8O8-hh2TxWdAh87bOY48FbeYZzEznra01ajzExDSElqGmgklWH-GyrZRLAd6vbOsJ2z66jmh_6NVPrGFZNuuBsB-C9-5YsQbkW09xO5g/s1600/bunda+dan+buyut.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7b2Q8hvEKX8ILvpBpGSJoKhy4pGAn-JC-IBo8O8-hh2TxWdAh87bOY48FbeYZzEznra01ajzExDSElqGmgklWH-GyrZRLAd6vbOsJ2z66jmh_6NVPrGFZNuuBsB-C9-5YsQbkW09xO5g/s320/bunda+dan+buyut.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">aku dan buyutnya Fatih</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnv-tz5FKblgzoohM_qc4VPGWMvr1NuVXk6sLM_xkTpSvpbgZVH2fFBP5g2YI0C9-SBw2FoXG65fvqia5Ho5HIDAZ0qGc05jswt7m_WQYuaqYCl0HKMaElnA8d01F7P4loG7n7ERKa8gg/s1600/engkong+kakung+oma+dan+nenek.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnv-tz5FKblgzoohM_qc4VPGWMvr1NuVXk6sLM_xkTpSvpbgZVH2fFBP5g2YI0C9-SBw2FoXG65fvqia5Ho5HIDAZ0qGc05jswt7m_WQYuaqYCl0HKMaElnA8d01F7P4loG7n7ERKa8gg/s320/engkong+kakung+oma+dan+nenek.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">kakung oma dan engkong nenek</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOkaIInxnBoImFurv8rjdrfZt_dY8S09BaMKsxGN4VuA2HQi020iWy7flquEDughtIlZXOnJ9T8IwAvDbbocf9rvXWZybe4_3XNStVOgbvwVuNSd7BMLZcSykCSdIBqPXRppjQ0eFS-Ck/s1600/kakung+nih.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOkaIInxnBoImFurv8rjdrfZt_dY8S09BaMKsxGN4VuA2HQi020iWy7flquEDughtIlZXOnJ9T8IwAvDbbocf9rvXWZybe4_3XNStVOgbvwVuNSd7BMLZcSykCSdIBqPXRppjQ0eFS-Ck/s320/kakung+nih.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">kakung dengan rombongan calon haji</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB5d4OAcX6EvuRe7n_qKeZupx8Dk6zqCXCJ_YAnLhFNK8qQw3yPlhZEAWrHYdQP8tUIys81JV1ZNO3tfM_z9ckeb0gGF06FuYICo0sMhjIDD5Zb-uDm98LFeLr_4ZxOhrD0Lu-XZk50V4/s1600/kakung+om+sus+dan+mas+ninuk.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB5d4OAcX6EvuRe7n_qKeZupx8Dk6zqCXCJ_YAnLhFNK8qQw3yPlhZEAWrHYdQP8tUIys81JV1ZNO3tfM_z9ckeb0gGF06FuYICo0sMhjIDD5Zb-uDm98LFeLr_4ZxOhrD0Lu-XZk50V4/s320/kakung+om+sus+dan+mas+ninuk.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgW0QY89XPCu98vrVl5ASh7aTURNJE3c3shnO99ptBu8FQIbO_jF-gUnbRW1yOBWfFc8BP38-EfLHNDoyDHGO_xMHEIWJojow3DTIdpF3537nzMEaYqiC4CxMvOfNfBmRRIatA2Jh4Q46E/s1600/naik+kapal.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="391" data-original-width="526" height="237" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgW0QY89XPCu98vrVl5ASh7aTURNJE3c3shnO99ptBu8FQIbO_jF-gUnbRW1yOBWfFc8BP38-EfLHNDoyDHGO_xMHEIWJojow3DTIdpF3537nzMEaYqiC4CxMvOfNfBmRRIatA2Jh4Q46E/s320/naik+kapal.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">di kapal ini mas brow...</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLCvE76SN0wspxWqDVyFGV2QX1nB7aertB5OQXNVw-1lLvdx8uCKPlALRz07YfVCBYOcwifdT4q8I-xMmdcjjuTFnIBrJl-uPSQBhRhOqtu9nhTPDDGdqlUETiTBWvJnHuLAEnLxDvWPY/s1600/oma+dan+kakung+sekeluarga.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLCvE76SN0wspxWqDVyFGV2QX1nB7aertB5OQXNVw-1lLvdx8uCKPlALRz07YfVCBYOcwifdT4q8I-xMmdcjjuTFnIBrJl-uPSQBhRhOqtu9nhTPDDGdqlUETiTBWvJnHuLAEnLxDvWPY/s320/oma+dan+kakung+sekeluarga.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu6mKpacDPjUTq4ooAvaIeK6PngG4LF2AGtJUGyuy_x_v1uVRLEZcZGdlPd1Vp1mhHwIqA6o1cpYP7IemuTr2KkczuS9EZA7Nbd3gX7GXNhGSTn1M3Gsw7jtXCQdcar8kbuVspLQeQfLA/s1600/oma+dan+ke+7+cucunya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu6mKpacDPjUTq4ooAvaIeK6PngG4LF2AGtJUGyuy_x_v1uVRLEZcZGdlPd1Vp1mhHwIqA6o1cpYP7IemuTr2KkczuS9EZA7Nbd3gX7GXNhGSTn1M3Gsw7jtXCQdcar8kbuVspLQeQfLA/s320/oma+dan+ke+7+cucunya.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">bonus: momen lebaran. oma dan ketujuh cucunya</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrlnk_UCwoCqloztslXuCzch_3T8jW-mIZDQ0ufPEHPt6HmEnQEWXyL-vWfCNZNJ5el7gbE_wDcpB_BpwGHtCz6qVLLDlmSnNqEMTzYDjQtoeYrSCGlJ6OYUEQ5RxSVZ3imthK6qpZ1MA/s1600/oma+kakung+dan+h+ayung.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrlnk_UCwoCqloztslXuCzch_3T8jW-mIZDQ0ufPEHPt6HmEnQEWXyL-vWfCNZNJ5el7gbE_wDcpB_BpwGHtCz6qVLLDlmSnNqEMTzYDjQtoeYrSCGlJ6OYUEQ5RxSVZ3imthK6qpZ1MA/s320/oma+kakung+dan+h+ayung.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bersama H Ayung</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNMPUkPb5rB_F9yOUV_u_KF3FhXqkioMfjSo7NQgHTI_t0JVWqmaIO2iLi3Xc0-Bqq2R59e8xxogVEmDZDPVMPn7j7NdQVaMYBE6lsv-dI1AaUDgjxvylUGYrsby4WevJmIku47nhlQjY/s1600/oma+nih.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNMPUkPb5rB_F9yOUV_u_KF3FhXqkioMfjSo7NQgHTI_t0JVWqmaIO2iLi3Xc0-Bqq2R59e8xxogVEmDZDPVMPn7j7NdQVaMYBE6lsv-dI1AaUDgjxvylUGYrsby4WevJmIku47nhlQjY/s320/oma+nih.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">OMa dan Rombongan Calon Hajah</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivkQMGJmGC7_c5TY5WMhdGhGKGPwkuAunDccHljo5o-0GIK5FKimxg3n1GIS6F0aRMlPJj41LCcNT8mvTScf9NdmtoH9e5c4vxqjz_XhoBS0FQnuMqNexZQdZDHiCeLsJ7k9r-uYJOxNM/s1600/ramean+lagi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivkQMGJmGC7_c5TY5WMhdGhGKGPwkuAunDccHljo5o-0GIK5FKimxg3n1GIS6F0aRMlPJj41LCcNT8mvTScf9NdmtoH9e5c4vxqjz_XhoBS0FQnuMqNexZQdZDHiCeLsJ7k9r-uYJOxNM/s320/ramean+lagi.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoPhDplKwYvagl5U8xXZZ9DxvdsF0QmMd6cagzQ0B1JNQ93vF40uBwg8UwnYwFW8IKX1fXFD_M1ZG1xsQih1D4YE0Fjw_Hogd5pr0R5I1r4KJhoo_PH5dyA47eRHufqU0Q0A-g7A-CJqM/s1600/ramean.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="640" data-original-width="960" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoPhDplKwYvagl5U8xXZZ9DxvdsF0QmMd6cagzQ0B1JNQ93vF40uBwg8UwnYwFW8IKX1fXFD_M1ZG1xsQih1D4YE0Fjw_Hogd5pr0R5I1r4KJhoo_PH5dyA47eRHufqU0Q0A-g7A-CJqM/s320/ramean.jpg" width="320" /></a></div>
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-41486821838652892352016-09-06T13:55:00.001+07:002016-09-06T14:01:41.161+07:00Kenapa Jarum Jam Berputar Kekanan?<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-oLImE8IIC60/V85n-QzOsxI/AAAAAAAAAk8/00JZ5LzsDmM5_CR65Y8jhfzM7fKGo-JRgCLcB/s1600/Sundial%2Bjam%2Bmatahari.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="153" src="https://3.bp.blogspot.com/-oLImE8IIC60/V85n-QzOsxI/AAAAAAAAAk8/00JZ5LzsDmM5_CR65Y8jhfzM7fKGo-JRgCLcB/s200/Sundial%2Bjam%2Bmatahari.jpg" width="200" /></a></div>
<br />
Masih seputar pengetahuan ringan tapi Berat. Ringan dalam artian <br />
hal hal sepele yang terkadang tidak kita perhatikan, namun susah <br />
untuk dicari alasannya. hehehehehe<br />
kita mulai dari kenapa sih Jarum jam selalu berputar ke kanan.<br />
Berputar ke kanan dalam artian dari angka 00 menuju ke angka 12.<br />
<br />
Gw kasih dah penjelasannya.<br />
<br />
Asal mula arah putaran jam ini adalah dari jam matahari. <br />
Jam tertua di dunia ini adalah jam untuk mengetahui waktu <br />
dengan berpatokan pada perubahan posisi panjang bayangan tongkat <br />
yang di tanam di permukaan tanah. Digunakan sejak 2000 SM sampai <br />
jam mesin dibuat pada abad 17 sebagai cara yang tepat untuk mengetahui waktu.<br />
<br />
Gw jelasin dulu gambaran arah mata angin biar gampang analoginya. <br />
pada gambar arah mata angin, Utara ada di atas, timur ada di kanan, <br />
selatan ada di bawah, dan Barat ada di kiri.<br />
Di Bumi bagian utara, Matahari terbit dari timur, melewati selatan, <br />
kemudian terbenam di barat (sebelah kiri), pada pagi bayangan ada di sebelah Barat (kiri),<br />
tepat siang hari bayangan ada di <br />
utara (atas) dan bayangan di sore hari ada di timur (sebelah kanan). <br />
Dari pergerakan bayangan inilah arah perputaran jam mesin dibuat ke kanan.<br />
<br />
Bukan hanya jam, benda-benda lain yang berputar juga banyak yang <br />
perputarannya kea rah kanan. Misalnya alat penimbang berat badan,<br />
thermometer, speedometer di mobil dan banyak lagi.<br />
<br />
Di Bumi bagian selatan seperti Australia, <br />
Matahari terbit dari timur, <br />
Pergerakan bayangan jam Matahari pun berkebalikan <br />
dengan jam Matahari di Bumi bagian utara, <br />
<br />
Lantas, mengapa arah perputaran jam yang dipakai <br />
bukan arah di Bumi bagian selatan? Itu karena Bumi <br />
bagian utara merupakan daerah pusat lahirnya peradaban di Bumi. salah satunya<br />
dalam penentuan jam tersebut.<br />
<br />
disadur dan didramatisir dari national geograhic<br />
gambar diambil dari http://antares-sciencefreak.blogspot.co.id/2011/10/do-you-know-1.htmlBambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-54563612514305130452016-05-03T12:06:00.001+07:002016-05-03T13:52:57.864+07:00Cashtree, Tips dan Trik Untuk Menginvite Teman<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTUQLF0rsvsRGojOcu1mftwQEQ8TAfr7xGGggO9eXKkbrGfEXx6C8TE_W06gCRlNg3t4rk4zfOSP1h0xvAX2S2BUs89XgqMi3wJucdRkJE2wYuFhTIjhgZpNRO2rUVBv2Ks2oQnzcP3DE/s1600/logo+castree.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTUQLF0rsvsRGojOcu1mftwQEQ8TAfr7xGGggO9eXKkbrGfEXx6C8TE_W06gCRlNg3t4rk4zfOSP1h0xvAX2S2BUs89XgqMi3wJucdRkJE2wYuFhTIjhgZpNRO2rUVBv2Ks2oQnzcP3DE/s200/logo+castree.png" width="200" /></a></div>
<br />
<br />
Mungkin, untuk mereka yang gaul dan aktif di dunia maya, sudah ga asing dengan Aplikasi Cashtree. Aplikasi yang menurut gw lebih banyak manfaatnya daripada mudarhotnya. Gimana ga banyak manfaatnya, masa cuma dengan "unlock screen" kita bisa dapat cash setidaknya Rp 20. Apalagi kalo kita berhasil ngajak temen menggunakan aplikasi ini, otomatis kita dapet 10% dari pendapatan mereka. Bayangkan kalo kita berhasil meng invite setidaknya 10 orang, yang seorangnya sehari setidaknya dapat cash Rp 1.000. Maka dalam sebulan setidaknya kita dapet Rp 30.000 dari aktivitas mereka di cashtre . Kayak sistem MLM lah menurut gw.<br />
<br />
Buat temen temen yang pingin tau cara invite teman di aplikasi cashtree. Monggo dibaca sedikit ulasan dibawah ini.<br />
1. Pastikan dulu di HP Android kita sudah terinstal aplikasi Cashtree. <br />
2. Masuk ke aplikasi cashtree, kita akan langsung disuguhkan beberapa menu seperti "cash", "invite", "pulsa", dan "more"<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnSyGJqBy7qzmuZC_ZL9kxxLafc9wCsSF37XlguR_Du1LWbda4jaDoG6NZJNwJcNglgmBBdFJjlynaSNh79EZHt8cNU67PwAeVPnaH9gIVDPkxwAASs6Q-bMlKTiOOSQ06_pVzRmSQRFo/s1600/Screenshot_2016-04-28-11-31-52.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnSyGJqBy7qzmuZC_ZL9kxxLafc9wCsSF37XlguR_Du1LWbda4jaDoG6NZJNwJcNglgmBBdFJjlynaSNh79EZHt8cNU67PwAeVPnaH9gIVDPkxwAASs6Q-bMlKTiOOSQ06_pVzRmSQRFo/s200/Screenshot_2016-04-28-11-31-52.png" width="150" /></a></div>
<br />
<br />
3. Pilih menu "invite" untuk mengundang teman<br />
<br />
4. Pada menu invite pilih "send referral link to friends"<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-Zeg8cjiRNUE/Vyguc41nLII/AAAAAAAAAjg/6I-5HC6bBO45atgJxCW1t9mCgkauDDaPgCLcB/s1600/Screenshot_2016-04-28-11-32-02.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://2.bp.blogspot.com/-Zeg8cjiRNUE/Vyguc41nLII/AAAAAAAAAjg/6I-5HC6bBO45atgJxCW1t9mCgkauDDaPgCLcB/s200/Screenshot_2016-04-28-11-32-02.png" width="150" /></a></div>
<br />
5. Pilih media untuk pengiriman, bisa menggunakan BBM, Email. SMS, atau sosial media lainnya.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicTq8ki-sUMDXSPg_tt6twRp5PjQbD9z6FA0TzBOo9N_tC0Dco5jJEO041bYsJTTxgk4oYvwBW10-WOQdJ7EaA3U1AjOx-RvVUipxljJ873ghe5TA6-dkSuo9vFDUKjp-HZfEm7PiOuwc/s1600/Screenshot_2016-04-28-11-32-10.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicTq8ki-sUMDXSPg_tt6twRp5PjQbD9z6FA0TzBOo9N_tC0Dco5jJEO041bYsJTTxgk4oYvwBW10-WOQdJ7EaA3U1AjOx-RvVUipxljJ873ghe5TA6-dkSuo9vFDUKjp-HZfEm7PiOuwc/s200/Screenshot_2016-04-28-11-32-10.png" width="150" /></a></div>
<br />
6. Pada kesempatan ini, gw menggunakan media BBM<br />
<br />
7. Pilih teman yang akan kita undang.<br />
<br />
8. Link "download aplikasi cashtree" secara otomatis akan tertulis, kita hanya tinggal mengirimnya<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFElL7LYKkT0f9LLI3T8MiwzQpph6MGEdm580Ry-o4KWEClT6D_EE3d_jl9ybXjnqYyCF21wE8o3Ijfv4kYf6IUOKeRgpEdFiE6TaLmx8R2Ae8zDk3oCaoOjGM-2LxCR7IxLytiGwz8xc/s1600/Screenshot_2016-04-28-11-32-38.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFElL7LYKkT0f9LLI3T8MiwzQpph6MGEdm580Ry-o4KWEClT6D_EE3d_jl9ybXjnqYyCF21wE8o3Ijfv4kYf6IUOKeRgpEdFiE6TaLmx8R2Ae8zDk3oCaoOjGM-2LxCR7IxLytiGwz8xc/s200/Screenshot_2016-04-28-11-32-38.png" width="150" /></a></div>
<br />
9. Beri informasi teman yang kita undang untuk menginstalnya <br />
Dari link yang kita kirimkan itulah, kita mendapatkan bonus reward sebesar 10%. Jadi pastikan teman kita menginstalnya dari link yang kita kirimkan.<br />
<br />
Terus gimana sih cara ngumpulin cash nya?<br />
Caranya cukup gampang kok. Cash bisa kita dapatkan dengan "unlock screen" ketika gadget kita terkunci, atau dengan memantau terus link yang terdapat di menu "cash". Pada Menu "cash" terkadang ada perintah untuk membuka link tertentu dengan bonus Rp 150. Jika kita termasuk yang selalu memiliki kuota internet yang berlimpah tiap bulannya, kita bisa masuk ke link spesial offers (masih dalam menu "cash") kita bisa mendapatkankan cash yang cukup besar asalkan kita menginstal aplikasi yang ditawarkannya. Tentunya setiap membuka link atau menginstal aplikasi yang ditawarkan akan mengurangi kuota internet kita. Jadi saran gw, kalau kuota pas pasan, sewaktu akan menginstal aplikasi yang ditawarkan oleh cashtree kita cek dulu seberapa besar data yang akan di download.<br />
Setelah cash kita sudah mencapai minimal 5.500 kita bisa menukarnya dengan pulsa sebesar 5.000. Lumayankan? Jadi tunggu apalagi, ayo pasang Cashtree di gadgetmu sekarang juga.<br />
<br />
yang mau instal aplikasi cashtree bisa buka link ini = <a href="https://invite.cashtree.id/qoakzc" rel="nofollow" target="_blank">https://invite.cashtree.id/qoakzc</a><br />
keyword <br />
"cashtreereview" "CASHTREE" "cashtreepulsagratis" "pulsagratis"<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-69499042078606240952016-04-19T13:57:00.001+07:002016-04-22T10:22:15.963+07:00Bermain curang di PES Club ManagerSebagai seorang Gamer sejatinya, biasanya sangat menjunjung tinggi sportivitas dan sangat menyukai tantangan. Bermain curang biasanya sangat jauh dari pikiran mereka. Tapi jika kita hanya sebagai gamer medioker yang hanya untuk mengisi waktu luang dan refresing saja. kata bermain curang ga ada salahnya. Hehehehehehehehehehehe<br />
PES Club Manager adalah salah satu permainan berbasis Android yang memiliki banyak penggemar. Permainan ini menempatkan usser pada atmosfer seorang pelatih club sepak bola, dengan kerumitan strategi, kualitas pemain, dan banyak aspek lainya. Tapi jangan salah, game keren ini ternyata ada celahnya juga. Kita bisa bermain curang agar bisa terhindar dari kekalahan. bagaimana caranya? let's go, kita simak caranya berikut ini.<br />
Permainan ini adalah permainan online yang membutuhkan akun untuk bermain. saran gw adalah.<br />
1. login wajib menggunakan akun pesbuk.karena lebih simpel caranya.<br />
2. ketika kita melawan tim lemah secara mengejutkan kita kalah. Bisa ngebanting hape kalau terus terusan seperti itu. hehehehehehehehe<br />
cara mengakalinya adalah, ketika kita bermain dan kalah. pada menit ke 85 langsung keluar aja ke menu utama hape kita. bisa melalui menu minimise yang terdapatdi smartphone kita. ingat ya, jangan sampai pertandingan selesai, harus sebelum pertandingan selesai melakukannya.<br />
3. Setelah keluar dari permainan. masuk ke menu HP, Setting (biasanya gambar gir roda di pojok kanan atas HP), Apps , cari pes CM.<br />
4. setelah masuk ke menu PESCM, pilih Clear data, dan OK<br />
5. masuk kembali ke PES CM dan aplikasi akan melakukan download ulang data<br />
6. setelah selesai kita akan dihadapkan pada dua pilihan, Resume Match atau tidak, jika kita pilih tidak, otomatis kita dianggap kalah, kalau kita pilih Resume, pertandingan akan diulang dari kick off<br />
7. nah, karena pertandingan diulang dari awal, kita bisa mencoba terus melawannya sampai kita menang.<br />
<br />
Tapi ingat ya, gw ga ngajarin buat bermain curang. Paling ga kita bisa tau, dan memikirkan harus memakai strategi apa untuk melawan musuh dengan cara mencoba melawannya terlebih dahulu. tentu saja kalau bisa diulang, tapi kalau menang, lanjuttt ke menu selanjutnya. hehehehehehehehe<br />
<br />
Mungkin nanti setelah agak senggang, gw akan coba tambahkan gambar gambarnya biar mudah mencobanya.<br />
<br />
Terima kasih sudah mampir.<br />
<br />
Baca juga : <a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/strategi-bertahan-pada-pes-club-manager.html">Strategi Bertahan yang Baik</a><br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-29056105403086881302016-04-18T15:40:00.002+07:002016-08-12T09:17:30.513+07:00Pengetahuan ringan seputar Layar hp, Chipset, Internal storage, phone Storage, dan RAMBulan ini gw dapet rejeki nih ceritanya. eh istri ga taunya pingin beli hape baru. yah kasihan juga lah kalo hapenya masih model lama. akhirnya gw beliin juga deh. tadinya inceran pertama adalah Samsung J5. Lumayan mahal karena brand ini terkenal dengan barang yang berkualitas bagus. dulu berpikir bisa sambil nyicil ini belinya, jadi harga ga jadi masalah karena spek hapenya bagus.<br />
tapi setelah beberapa hari kemudian baru gw sadar, bunganya cukup tinggi kalo belinya sistem Kredit. dan akhirnya targetpun berubah. Lenovo A6000 plus. spek yang mumpuni dengan harga bersahabat ini jadi calon kuatnya. Hari rabu kami berencana membeli hape baru. eh ga taunya target ga ada. stok kosong. hahahahahah kasihan dehhhh rasanya. Masih penasaran hari minggunya dateng lagi ke giant. Masih dengan target yang sama. Tapi kali ini, rasanya tetep aja kurang beruntung. target operasi belum juga ada, ahahahahahahahha hampir putus asa kayaknya. tapi seperti yang gw bilang sebelumnya. ini bulan April. Bulan ini sepertinya lagi bersahabat ama gw. sebelum pulang, ga sengaja liat gerainya Hape polytron. dan terget sepertinya berubah. setelah nego sana, diskusi sana sini. kami sepakat untuk mengambil hape Polytron Zap poshnote 6. sepek ga kalah dengan kedua target operasi sebelumnya, tetapi harganya lumayan masuk akal bagi kami.<br />
lalu seperti apa sih spesifikasi targetnya?<br />
katanya sih kamera megapixel besar dan kamera depan harus ada lampunya, biar selfinya keren, Ram udah 2 G. Kapasitas memori luas. layar lebar, desain dan warna cantik.<br />
akhirnya gw jadi sedikit tahu mengenai spek smartphone akibat googling sana sini demi mendapatkan hape yang murah dengan kualitas terbaik.<br />
<br />
<span style="font-size: large;">1. Layar</span><br />
Ternyata ada tiga jenis yaitu TFT, IPS, dan Amoled. intinya yg paling bagus adalah amoled karena lebih banyak warna dan hemat energi. Disusul layar jenis IPS dan TFT.<br />
<br />
<span style="font-size: large;">2. Chipset</span><br />
ada 5 jenis chipset yang banyak beredar dipasaran. lalu apa sih peranan dari chipset itu. Chipset merupakan sebuah sistem didalam sebuah perangkat yang terdiri dari kumpulan microchip. microchip tersebut dibangun untuk bekerja sesuai tugasnya dalam berbagai fitur dan fungsi tertentu. Merk yang sering kita jumpai dipasaran adalah Mediatek, Qualcomm, Exynos, Omap, dan Nvidia tegra.<br />
a. Mediatek atau disingkat MTK adalah produsen prosesor besar dari Asia selain samsung yang berbasis di Cina. Intinya gadget ini memiliki fitur yang bagus dengan harga yang murah. biasanya merk gadget lokal seperti LG pro lite, IMO, Mito, Lenovo, acer, asus dari taiwan ataupun Polytron menggunakan model ini.<br />
b. Qualcomm merupakan prosesor buatan Amerika. generasi yang kita kenal adalah Snapdragon S1 sampai Snapdragon S4. tidak ada yang meragukan kualitas dari prosesor ini. kelebihannya adalah dari segi performa, konsumsi daya, dukungan grafis dan koneksi 4G. beberapa gadget yang memakai prosesor ini adalah samsung galazy W, motorola, HTC, dan Lenovo A706<br />
c. Exymos merupakan prosesor buatan Samsung Electronic dan secara khusus digunakan untuk samsung mobile. Kelebihannya adalah pada sensasi bermain game 3D tanpa lag dan multitasking pada gadget.<br />
d. Omap merupakan prosesor yang diproduksi oleh Texas instrument. keunggulan omap adalam mampu memberikan dan memproses tampilan situs pada internet layaknya website pada PC, Usser interface lebih cepat dengan konsumsi daya lebih sedikit dan mampu menampilkan video full HD<br />
e. Nvidia tegra merupakan prosesor produkan dari Nvidia. keunggulan prosesor ini adalah memiliki konsumsi daya yang minimum, sehngga cocok untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan multimedia baik untuk bermain game atau memutar video HD. Biasanya gadget pengguna prosesor ini tergolong menengah keatas seperti HTC one x.<br />
<br />
<span style="font-size: large;">3. internal storage/system storage, phone storage/USB storage, dan RAM</span><br />
a. internal storage merupakan ruang penyimpanan khusus untuk menyimpan file yang berhubungan dengan aplikasi atau game dan tidak dapat digunakan untuk menyimpan konten pengguna seperti poto, video, musik, dokumen, dll/<br />
b. Phone storage merupakan ruang penyimpnan file aplikasi/game, poto, musik, video, dll.<br />
c. RAM atau Random Acces Memory, berfungsi menyimpan data sementara. Prosesor membutuhkan data data berkecapatan tinggi tiap kali ingin melakukan suatu proses dan data data tersebut diambil dari RAM. intinya makin besar RAM makin cepat prosesornya dapat bekerja.<br />
<br />
<span style="font-size: large;">4. Kamera</span><br />
Kamera dengan megapiksel tinggi. untuk yang satu ini terkadang kita sering terkecoh dengan embel2, kamera belakang 8 megapiksel. tapi setelah kita lihat, ternyata hasilnya cukup mengecewakan. gambar memang berukuran besar, tapi kualitas jadi berkurang karena kehilangan ketajaman gambar. seolah tampak hanya gambar kecil dengan diperbesar saja. jadi untuk gadget menengah kebawah, jangan terlalu berbangga hati dan percaya diri dengan megapiksel yang besar, karena bisa dipastikan, hasil kamera meskipun dengan piksel yang besar tidak menjamin akan menghasilkan gambar yang berkualitas tinggi.<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><span style="font-size: x-small;">Kesimpulannya untuk para penggila gadget menengah kebawah adalah</span></span><br />
untuk Layar gw lebih yakin dengan amoled,<br />
chipset lebih ke qualcomm,<br />
Ram tentu yang besar, dan<br />
kamera ga perlu megapiksel yang besar, cukup yang standar aja, karena hasilnya relatif sama. heheheheheheheh<br />
<br />
Sekali lagi untuk gadget menengah, menimbang, dan menganalisa dari beberapa faktor diaatas, gw tetep akan merekomendasikan Polytron zap 6 Poshnote, dibanding lenovo A6000 plus dan samsung J5. Harga zap 6 yang hanya 1.8 juta sudah sangat pantas dengan kualitas yang diberikannya. Samsung j5 memang unggul dibanding Zap 6, tapi harganya yang hampir dua kali lipat membuat kita jadi berpikir dua kali jika kita hanya sebagai pemakai gadget yang maksimal di pemakaian telpon, sms, chating, dan bermain game. Lenovo A6000 plus memberikan spek yang relatif sama denganZap 6, tapi harganya terasa jadi pembeda jika memiliki budget yang pas pasan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-29203957147351968522016-04-18T14:04:00.001+07:002016-04-18T14:04:22.303+07:00Arti mimpi punya anak perempuan.Bisa dibilang bulan april adalah bulan yang bagus di tahun 2016. semoga bulan bulan selanjutnya pun tidak kalah baiknya. aamiin...<br />
Entah kebetulan atau kebenaran, awal bulan april ini gw mimpi punya anak perempuan. dalam mimpi itu, memang gw sangat menginginkannya jika memiliki anak kembali. Dan setelah gw bangun tidur, gw langsung yakin bahwa kemungkinan mimpi itu akan membawa berkah dan kebahagiaan.<br />
Seminggu Kemudian, Oma datang. Oma datang ga tanpa cinderamat. Ga taunya Oma mampir ke rumah sambil membawa sepeda kecil buat anak pertama gw. heheheheheheh tuh kan dapet rejeki. seminggu kemudian gw mengajukan pencairan saldo simpanan. gw sih awal mulanya ga yakin akan cair dana gratisan tersebut. eh setelah melengkapi semua persyaratannya. 3 hari kemudian dapat panggilan bahwa syarat lengkap dan dana bisa dicairka dalam waktu seminggu kemudian. hahahahahahah tuh kan rejeki lagi.<br />
dua kebetulan tersebut cukup membuat hati gw tenang dan bahagia. Terima kasih Tuhan, telah memberikan rejeki yang banyak untuk keluarga ku. Aamiin.<br />
eh satu lagi ya, jangan lupa disedekahkan ya kalau dapet rejeki, biar rejekinya ngalir terus, hehehehehehehe...Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-65750404234030601182016-04-01T14:18:00.001+07:002016-04-01T14:39:27.917+07:00Melatih Pemain Agar Menjadi Pemain Bintang Pada PES Club ManagerTidak peduli dari mana Kita mendapatkan seorang pemain, kita tetap bisa melatihnya menjadi pemain dengan kualitas baik. Karena statistik pemain dapat meningkat atau menurun sepanjang musim, maka kita perlu melakukan training kepada mereka. Kemampuan seorang pemain untuk cepat meningkat atau menurun tergantung dari 4 aspek, yaitu Development type, Special training, Usia dan jumlah bintang.<br />
<br />
Aspek development type adalah pengatur perkembangan pemain untuk fokus pada salah satu keahlian seperti, physical, speed, technique, atau balanced.<br />
<br />
Aspek Special training adalah pengatur perkembangan pemain agar pemain memiliki keahlian khusus. Untuk dapat mengaksesnya kita diwajibkan memiliki training point dalam jumlah tertentu seperti 5 point, 30 point, atau 40 point.<br />
<br />
Usia dan jumlah bintang, dua aspek ini berpengaruh pada kecepatan dan berapa lama seorang pemain mampu meningkatkankan statistiknya. Jumlah bintang pada setiap pemain berpengaruh pada seberapa cepat peningkatan jumlah nilai pada pemain. Aspek usia berpengaruh pada seberapa lama pemain dapat meningkatkan kualitasnya. Setelah mencapai usia 30 tahun. kita mulai bisa menghentikan trainingnya. Pemain yang sudah mencapai usia 30 tahun mulai mengalami penurunan kualitas, pantau mereka, jika terus menurun kita harus memikirkan untuk menjualnya selagi harga jualnya belum turun. Untuk Proses jangka panjang, sesekali kita harus memberikan waktu bermain pada pemain muda dan pemain baru agar tim kita tetap memiliki pemain berkualitas di masa depan.<br />
<br />
baca Juga<br />
<a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/strategi-bertahan-pada-pes-club-manager.html">Strategi bertahan pada PES Club Manager</a><br />
<a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/mengulas-fungsi-menu-option-pada-pes.html">Mengulas Fungsi tactical Option pada PES Club manager</a><br />
<a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/tips-menang-pada-pes-club-manager.html">Tips Agar menang bermain PES Club Manager</a>Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-79514067950181337172016-03-29T11:19:00.003+07:002016-03-29T11:32:48.920+07:00Strategi Bertahan pada PES Club Manager<span style="font-size: small;">Tips dan Trik Nomor I</span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Untuk lawan
dengan OTR yang lebih rendah </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Attacking
style<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>: <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Posesion game</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Build up <span style="mso-tab-count: 1;"> </span>: Short passing</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Defensive
style<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>: Frontline Pressure</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Untuk lawan
dengan OTR yang lebih tinggi</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Attacking
style<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>: <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Counter attack</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">Build up <span style="mso-tab-count: 1;"> </span>: <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Long passing</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;">ATK/def
level<span style="mso-tab-count: 1;"> </span>: <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Parking the bus </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<span style="font-size: small;">Mode <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"Short passing</i>" pada build up dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">"middle"</i> pada attacking area sangat
disarankan ketika Line up tim kita lebih didominasi oleh pemain tengah seperti
DMF, AMF, CMF, dll.begitu juga jika banyak pemain sayap, lebih disarankan dengan mode "<i>long passsing</i>" dipadukan dengan "<i>wide</i>" pada attacking area.</span><br />
<span style="font-size: small;">Selalu
tempatkan pemain pada posisi terbaiknya. hal ini akan berpengaruh pada
besarnya OTR pada tim kita. Selalu perhatikan nilai <i>teamwork</i> pada tim kita. nilai yang besar sangat disarankan menjadi <i>starting eleven </i>untuk melawan tim yang kuat.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Tips dan trik nomor 2 </span><br />
<span style="font-size: small;">1.
Pada menu Defensive Style pilihan tipe Frontline Pressure. Posisi ini
menjadikan pemain tidak hanya mampu bertahan, tapi juga tetap menyerang
balik dengan cepat dan aktif merebut bola dari lawan.</span><br />
<span style="font-size: small;">2.
Perhatian Formasi lawan. apakah mereka memakai formasi Wide (banyak
pemain sayap) atau Middle. Jika lawan dengan formasi Wide. Pada menu
Containment Area kita pilih tipe "middle".</span><br />
<span style="font-size: small;">3. Pada menu Positioning pilih tipe "Maintain formation"</span><br />
<span style="font-size: small;">4.
Pada menu Pressure pilih tipe "conservation" pilihan ini membuat pemain
tidak keluar dari posisi aslinya sehingga tidak meninggalkan celah pada
pertahanan.</span><br />
<span style="font-size: small;">5. Pada menu Number in Defense pilih tipe 'Many". ini bertujuan untuk menumpuk banyak pemain di area pertahanan kita.</span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: small;"> Baca juga :</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/mengulas-fungsi-menu-option-pada-pes.html">Mengetahui Fungsi Menu Option pada PES Club Manager</a></span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/tips-dan-trik-pes-club-manager.html">Tips dan Trik PES club Manager</a></span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/tips-menang-pada-pes-club-manager.html">Tips memenang pertandingan pada PES Club Manager</a></span><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-82911307676158218592016-03-29T11:15:00.003+07:002016-03-29T11:36:29.509+07:00Mengulas fungsi Menu Option pada PES Club Manager<div class="MsoNormal">
PES Club Manager memberikan pengalaman bermain sepak bola
dengan tampilan 3D. tidak hanya menonton, kita juga bisa menerapkan strategi
bermain untuk mengalahkan taktik lawan. Pada “match mode” kita bisa
menginstruksikan taktik pada tim pada menu di bagian bawah layar permainan.</div>
<div class="MsoNormal">
Pada menu tersebut, kita bisa merubah taktik tim melalui
menu attacking style, Pressuring tactic, “build-Up” dan Attacking area,
defensive style, atau ATK/DEF level</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span>Attacking style. Ada dua pilihan dalam menu ini,
yaitu posesion game dan counter attack. </div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span>Build-Up. Ada dua pilihan dalam menu ini, yaitu
Short passing, dan long passing</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span>Attacking area. Ada dua pilihan dalam menu ini,
yaitu middle dan wide</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span>Defensive style. Ada dua pilihan dalam menu ini,
yaitu frontline pressure dan all out pressure</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">5.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span>Pressuring tactic, Ada dua pilihan dalam menu
ini, yaitu Agresive dan Conservative</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;">6.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></span>ATK/Def level, ada 7 pilihan dalam menu ini,
parking the bus, defensive 2, defensive 1, balanced, attacking 1, attacking 2,
dan All out Attack</div>
<br />
<br />
Banyak
menu pada permainan ini yang jarang sekali kita ketahui fungsinya,
padahal menu tersebut sangat penting dalam setiap pertandingan. Seperti
hanya menu pada "edit team" kemudian pada Tactical Option" seperti
dibawah ini.<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEB-5-cU54f_L9ZM51ADCQ4OugdReIBAnnIXqvuuPRCiFULzUUtmstvXorzrOVV1ZMOMBz6S0MvhNzTI4plFuDzD5GSEyNXiKIDuA7JjICXiv2QvvQ4exC6rLTvuoZwIXu63Lil5t39ew/s1600/tactical+option.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="178" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEB-5-cU54f_L9ZM51ADCQ4OugdReIBAnnIXqvuuPRCiFULzUUtmstvXorzrOVV1ZMOMBz6S0MvhNzTI4plFuDzD5GSEyNXiKIDuA7JjICXiv2QvvQ4exC6rLTvuoZwIXu63Lil5t39ew/s320/tactical+option.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXhOrWSlG3KqMnn2zuzhCj3SeUnm2BzXpZ89abE_dxQ7hh7JVE4ivB1hkcF5zaVcX0k7aCrpschKL3sIjZ5S6VIsgxkaW0Jc5xVVIuo-wg-P9mO_FehY3834-Oh8ytjzitqSX7QEx1Y_M/s1600/tactical+option.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><br /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";">Menu menu seperti positioning, support range, number in
attack, containment area, defensive line, compactness, number in defence, dan
offside trap, akan coba gw ulas secara sederhana.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";">Pada opsi “positioning” ada dua tipe yakni “Maintain
Formation” dan “Flexible”Maintain Formation: Menu ini digunakan jika kita tidak
menghendaki pemain bermain keluar dari posisi aslinya yang pada akhirnya akan
menimbulkan celah pada pertahanan. Menu ini berguna untuk mencoba formasi baru
dan seberapa baik pemain bermain di posisinya. Jika kita menghendaki para
pemain bermain bebas mengexploitasi semua ruang, tipe ‘Flexible” adalah pilihannya. Tapi yang
perlu diingat, kemungkinan lawan untuk mencetak gol juga semakin tinggi.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"> Pada opsi Support Range ada tiga tipe, yakni Short, Medium,
dan Long. Menu ini mengatur posisi pemain disekitar pemain yang sedang membawa
bola untuk membantu menyusun serangan.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";">Pada opsi Number in Attack ada tiga tipe pilihan yanitu,
Few, Medium, Many. Menu mengatur jumlah pemain yang membantu serangan berada di
area pertahanan lahan. Pada saat bermain
aman, sangat disarankan memakai tipe “Medium” dengan dipadukan tipe “many” pada
Opsi Defense.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";">Pada opsi Containment Area, ada 2
pilihan tipe yakni middle dan wide. Menu ini untuk mengantisipasi pola
permainan lawan. Jika lawan menggunakan formasi sayap, kita disarankan untuk
memilih middle pada menu ini.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";">Pada Opsi Defensive line, ada 3
pilihan tipe yaitu deep, medium, dan high. Menu ini mengatur posisi garis
pertahanan tim kita.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"> Pada opsi Compactness, ada 3
pilihan tipe yaitu, loose, medium, dan tight. Pada menu ini mengatur seberapa
luas penyebaran pemain di area pertahanan.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";">Pada Opsi Number in Defence ada 3
pilihan tipe, yaitu few, medium, dan many. Menu ini mengatur berapa banyak
jumlah pemain di area pertahanan kita.</span></span></div>
<span style="font-size: small;">
</span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12pt;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"> Pada menu Offside trap adalah menu
apakah kita akan menerapkan jebakan offside atau tidak.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"> Baca juga</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"><a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/tips-menang-pada-pes-club-manager.html">Tips memenangkan pertandingan pada PES club Manager</a></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"><a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/tips-dan-trik-pes-club-manager.html">Tips dan Trik bermain PES club manager</a></span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: "times new roman" , "serif";"><a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/strategi-bertahan-pada-pes-club-manager.html">Tips bermain bertahan pada PES Club manager</a></span></span><br />
<br />
<br />
</div>
Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3309063527605672389.post-52378815069210530162016-03-28T17:27:00.001+07:002016-03-29T11:57:00.172+07:00Tips menang pada PES Club Manager<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiX9FqjyNFqAiJ1eMN-1Rdj_xTbNO9BWMF9tHrQp_kwJTQH5bUkV4oYesqlO-Iar6PKZpst8Yl6U-MIKTGV9kcz7x4B4HsDUj0Xon_uRVlGKoPiSARHmYoMe-CAGj2gu4H6hO_qf9MW5Y/s1600/1_pes_club_manager.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiX9FqjyNFqAiJ1eMN-1Rdj_xTbNO9BWMF9tHrQp_kwJTQH5bUkV4oYesqlO-Iar6PKZpst8Yl6U-MIKTGV9kcz7x4B4HsDUj0Xon_uRVlGKoPiSARHmYoMe-CAGj2gu4H6hO_qf9MW5Y/s320/1_pes_club_manager.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
Masih mengulas tentang game fenomenal ini. Gw akan coba berikan tips bermain agar kita bisa memenangkan pertandingan atau setidaknya bermian imbang.<br />
Cara ke I<br />
1. selalu posisikan pemain pada posisi terbaiknya. OTR (overall team Rate) merupakan faktor penting untuk memenangkan pertandingan. Dengan OTR tinggi kita mendapat jaminan untuk memenangkan pertandingan. Tapi ingat, OTR tinggi tidak selalu memenangkan pertandingan, jadi jangan sekali kali meremehkan lawan.<br />
2. Perhatikan ATK/DEF level. Meningkatkan ATK/Def level menjadi <i>all out attack</i> akan meningkat kesempatan kita untuk mencetak gol sebanyak mungkin,tetapi strategi seperti ini juga meningkatkan potensi kekalahan. gunakan jika memang perlu mencetak gol, tapi sebaiknya dilakukan pada akhir akhir pertandingan.<br />
3. manfaatkan pergantian pemain dengan maksimal atau sebanyak 3 pemain. Pemain staminanya akan terus menurun selama pertandingan berlangsung dan berpotensi melakukan kesalahan. Mengganti pemain dapat mengurangi resiko tersebut.<br />
<br />
Cara ke II<br />
1. Pastikan stamina dan moral pemain berada pada level tertinggi sebelum bermain. Upgrade mereka jika diperlukan atau rotasi pemain jika memungkinkan.<br />
2. saat melawan tim lemah, strategi yang disarankan adalah Possesion game/short passing/Frontline pressure<br />
3. saat melawan tim kuat, strategi yang disarankan adalah Counter attack/long passing/all out defence.<br />
<br />
<br />
sumber :<br />
diterjemahkan secara bebas dari tips and trik PES Manager Club. Belum sempet nambahin gambar gambarnya.......<br />
<br />
Baca juga :<br />
<a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/mengulas-fungsi-menu-option-pada-pes.html">Mengetahui fungsi menu option pada PES Club Manager</a><br />
<a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/tips-dan-trik-pes-club-manager.html">tips dab Trik PES Club Manager</a><br />
<a href="http://r2003r.blogspot.co.id/2016/03/strategi-bertahan-pada-pes-club-manager.html">Tips bermain bertahan pada PES Club Manager</a><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bambang Erwantohttp://www.blogger.com/profile/02688569529242938298noreply@blogger.com0