DI HALAMAN belakang rumah yang teduh oleh pepohonan,
dan asri karena penuh dengan tanaman hias, duduklah seorang lelaki tua,
Ishak. Cuaca pada Sabtu pagi ini terasa cerah dan ramah.
Sudah satu jam Ishak duduk-duduk santai di halaman belakang rumahnya
sambil mengawasi cucunya yang sibuk bermain mobil-mobilan. Kehadiran
anak lelaki berusia enam tahun itu telah mengisi hari-hari yang sepi
dari kehidupan lelaki tua itu. Cukup lama Ishak mengawasi cucunya
bermain, dan sekarang lelaki tua itu merasa tenggorokannya kering, ia
sudah tak sabar lagi menunggu putrinya untuk membawakan minuman teh
hangat bagi dirinya.
Putri Ishak, Vira, adalah seorang wanita yang bertubuh sempurna bagai
peragawati, dan ia tampak anggun ketika tengah mendekati ayahnya sambil
membawakan minuman teh. Di atas meja, satu gelas teh hangat disajikan
oleh Vira. Ishak meminum teh hangat buatan putrinya dengan pelan-pelan.
Kemudian, ia tersenyum pada Vira yang ikut duduk-duduk di sampingnya.
“Teh buatan tanganmu itu tiada bandingannya,” Ishak meletakkan kembali
gelasnya di meja.
“Ayah terlalu berlebihan,” ujar Vira tersipu.
“Lihat! Betapa menggemaskannya putramu itu,” Ishak tersenyum pada putrinya. “Aku tak malu menjadi ayah dari putramu."
Vira menundukkan kepalanya, menggigit bibirnya. “Seharusnya aku tak
membuat ayah malu. Aku telah banyak berbohong kepada ayah. Maafkan aku
karena pernah meragukan ayah. Seharusnya aku percaya pada ayah."
“Ooo..” Ishak membelai kepala Vira dengan penuh kasih sayang. “Semua
itu sudah lama terjadi. Tak perlu dipikirkan lagi. Sekarang kita
pikirkan saja masa depan putramu, putra kita, Amri,” “Tapi Amri
seharusnya menjadi cucu ayah, bukan anak ayah!” Vira menatap ayahnya
lekat-lekat.
“Ya.. kau benar. Tapi, aku bisa menjadi ayah sekaligus kakeknya,” Ishak
tersenyum simpul pada Vira hingga matanya memicing. “Tapi..” Vira masih
belum merasa tenang batinnya.
Percakapan antara Ishak dan putrinya itu belumlah usai ketika Amri
berlari mendatangi orangtuanya. Amri memamerkan mainan mobil barunya
kepada ibunya. “Ibu.. lihat! Ayah telah membelikanku mainan mobilan
yang sangat keren,” Amri membanggakan mainan barunya. Lalu
memberikannya pada Vira.
“Mana biar kulihat,” Vira mengambil mainan Amri. “Bagus juga ya..ini
ambil lagi mainanmu,” Amri segera mengambil mainan barunya dari ibunya,
lalu kembali bermain-main dengan mobilnya. Ishak dan Vira merasa
terharu sekaligus bangga sewaktu melihat Amri berlari menjauh, dan
memainkan mainan mobilnya di tempat semula, di kebun bunga-bunga hias.
“Dulu aku begitu jahat pada ayah. Pernah sekali waktu aku mencoba
berpikir kalau aku tak punya ayah. Menganggap diriku tak pernah menjadi
putri ayah. Tapi, kenyataannya aku tetap darah daging ayah, aku tetap
putri ayah satu-satunya. Itu terbukti ketika aku tak memiliki
siapa-siapa lagi untuk tempat bernaung; aku kembali kemari dalam
keadaan menyedihkan. Seharusnya aku tidak meninggalkan ayah sendirian
waktu itu. Tidak seharusnya aku meninggalkan rumah,” Vira menatap
lekat-lekat ayahnya, dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ishak menghela nafas panjang, dan tak lama kemudian ia tersenyum pada
Vira “Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu, kamu tunggu di sini,
jangan kemana-mana!”
Ishak kemudian bangkit lalu segera berjalan masuk ke dalam rumah dengan
tergesa-gesa. Selang beberapa menit, Ishak sudah keluar dari dalam
rumahnya sambil membawa boneka beruang Teddy.
“Apakah kau masih ingat dengan boneka beruang ini? Aku menemukannya di
lemari almarhumah ibumu ketika membersihkan kamar,” Ishak memberikan
boneka beruang Teddy itu kepada Vira, lalu kembali duduk di samping
putri semata wayangnya.
“Ibu membelikan boneka beruang ini ketika aku masih duduk di kelas 4
SD. Terima kasih ayah karena telah menemukanya,” Vira memeluk boneka
itu erat-erat. “Seandainya ibu masih di sini bersama kita."
“Ya.” Ishak mengangguk-nganggukkan kepalanya. “Maafkan ayahmu ya..
sayang, seharusnya waktu itu aku lebih sering berada di rumah, berada
di dekatmu. Ayah menyesal karena tidak bisa mengikuti pemakaman ibumu,
aku tak bisa menghiburmu di kala engkau tengah rapuh. Saat itu ayah
lebih terobsesi untuk menghabiskan waktu di dalam pekerjaan, tapi
kurasa itu bukanlah alasan pembenaran atas kesalahanku.”
Vira menggenggam lengan ayahnya dengan erat-erat, lalu tersenyum
padanya. Ishak juga mempererat lengan putrinya dengan penuh kasih
sayang seorang ayah.
Sewaktu mereka berdua berbaikan, membangun kembali hubungan ayah dan
anak yang dulu pernah retak, pembantu mereka, mang Husni mendatangi
mereka. “Maaf pak. Ada tamu yang bernama Sophian, yang ingin bertemu
dengan neng Vira,” kata mang Husni dengan nada suara lembut, penuh
kesopanan.
Vira menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya, terkejut dengan
berita kedatangan pacarnya, Sophian. “Oo.. Ayah, aku lupa memberitahu
ayah kalau hari ini Sophian hendak berkunjung menemui ayah. Dia ingin
mengatakan langsung kepada ayah mengenai keseriusannya menjalin
hubungan denganku.”
“Kalau begitu saya harus bertemu dengannya,” kata Ishak bersemangat.
“Tapi dia tidak mengetahui mengenai siapa diriku yang sebenarnya. Dia
hanya mengetahui bahwa aku adalah janda beranak satu. Dia tidak
mengetahui kalau...,” Vira memalingkan mukanya dari ayahnya, kemudian
menundukkan kepalanya. “Oo Ayah, apa yang harus kulakukan, apakah aku
harus jujur padanya?”
Ishak memegang pundak Vira yang rapuh dengan sentuhan kasih “Awali
hubungan kalian yang serius itu dengan kejujuran, meski itu akan terasa
pahit!” Ishak kemudian bangkit dari duduknya. Bersama Vira, ia berjalan
menuju beranda rumah untuk menyambut Sophian. Di beranda rumah, Sophian
duduk di kursi kayu. Baju dinasnya terseterika dengan rapih, sepatu
pentopelnya mengkilat karena baru disemir; Sophian adalah seorang
pegawai pemerintah propinsi yang dihormati. Sewaktu Ishak melihat
penampilan Sophian yang serba resmi, ia berharap kalau Sophian adalah
lelaki yang pantas untuk Vira.
Di beranda rumah, Sophian diperkenalkan pada Ishak oleh Vira. Kemudian,
mereka bertiga duduk-duduk di beranda rumah sambil menikmati minuman
teh yang dibawakan oleh mang Husni. Namun, pada saat mereka bertiga
larut dalam suasana percakapan yang santai, Amri datang mendekati
Ishak, hendak mengajaknya bermain kembali di halaman belakang rumah.
Sophian merasa aneh sekaligus geli dengan pemandangan yang baru
dilihatnya, dimana Amri dengan akrabnya memanggil Ishak dengan sebutan
ayah.
“Ini yang namanya Amri ya.. imut sekali,” Sophian tersenyum simpul pada
Vira. Kemudian, ia menatap pada Ishak. “Bapak juga sudah dianggap ayah
olehnya. Tentu akan jadi pemandangan yang aneh jika ada orang lain yang
melihat bapak yang sudah kakek-kakek memiliki anak sekecil Amri.”
Ishak tercenung mendengar perkataan Sophian. Ia memandang penuh harap
kepada putrinya, berharap agar Vira segera mengatakan yang sebenarnya
kepada Sophian. Bibir tipis nan indah milik Vira terlihat
bergemik-gemik. Badannya terasa lemas seakan tak bertulang. Ketika
diharapkan untuk jujur oleh ayahnya, Vira tak tahu harus memulai
darimana untuk memulainya.
Vira menghela nafas panjang. Kemudian, dipegangnya tangan Sophian yang
kaku dengan lembut. Coba dipandangnya muka Sophian dengan tatapan kasih
sayang yang penuh harapan. Sophian merasa bingung dengan sikap Vira,
tapi ia tetap menahan diri untuk tidak bertanya, ia akan membiarkan
Vira menjelaskan segalanya dengan sendirinya.
“Sebenarnya aku ini bukanlah seperti apa yang kamu kira selama ini,” kata Vira.
“Maksudmu?” Sophian mengernyitkan dahinya.
“Dulu, ketika kita pertama kali bertemu, aku pernah mengatakan padamu
bahwa aku ini adalah seorang janda dengan satu anak. Tapi nyatanya, aku
adalah... aku adalah..” Vira berusaha untuk meneruskan perkataannya,
namun ia tidak mampu. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku selalu menentang orang tuaku ketika aku masih muda, aku selalu
mengikuti hawa nafsuku, selalu mengikuti apa kata teman-temanku
daripada perkataan orangtuaku. Pada masa itu, gemerlap kehidupan di
klub malam adalah gaya hidupku yang tidak bisa terpisahkan. Sekarang
aku harus mengatakan padamu dengan sejujur-jujurnya bahwa..” Vira
menundukkan kepalanya, menghela nafas dalam-dalam, mencoba mencari
kekuatan di dalam dirinya untuk melanjutkan perkatannya.
“Bahwa..?” Sophian penasaran.
“Bahwa Amri merupakan anak hasil dari hubungan di luar nikah. Karena
ayah aslinya tidak mau bertanggung jawab, maka ayahku-lah yang bersedia
menjadi ayah Amri; bersedia memberikan nama keluarganya kepada Amri.
Semua ini dilakukan demi menghindari rasa malu, agar Amri memiliki Bin
yang jelas pada akta kelahirannya,” Vira memegang kedua tangan Sophian
dengan lembut dan menatapnya dengan penuh harap.
“Maafkan aku, selama ini aku telah merahasiakan semua ini darimu,”
Sophian menarik lengannya agar tidak digenggam Vira. Pengakuan dari
Vira telah membuat seluruh tubuh Sophian bergetar, dan rahangnya
menjadi keras seolah menahan sesuatu yang ingin meluap dari dalam
dirinya.
“Sudah empat bulan kita berhubungan. Dan sekarang, ketika aku hendak
berniat untuk melamarmu di sini, engkau mengatakan kebenaran ini. Aku
tak bisa menerimanya. Aku butuh waktu untuk memikirkan kembali semua
ini. Aku harus segera pergi sekarang. Aku perlu sendirian untuk bisa
berpikir jernih mengenai segala kejujuran yang baru saja kau katakan,”
Sophian segera bangkit, merasa sedih karena telah dibohongi.
Sophian merasa tidak kerasan untuk tinggal lebih lama lagi di beranda
rumah Ishak. Akhirnya, ia bersalaman dengan Ishak dengan sangat
tergesa-gesa. Dan ketika ia berhadapan dengan Vira, ia mengacuhkannya
dan mulai berjalan menuju mobil sedannya yang terparkir di depan pagar
rumah.
“Oo.. Sophian,” kata Vira.
Sophian tetap pula berjalan menuju mobil, tak menggubris Vira yang
memanggil namanya. Dengan sikap dingin ia masuk ke dalam mobilnya. Tak
ada lagi yang bisa dilakukan Vira dan ayahnya, tak ada sedikitpun usaha
yang dilakukan mereka untuk menghentikan Sophian. Mereka berdua hanya
bisa menatap kepergian mobil sedan Baleno yang ber-plat warna merah itu
meninggalkan rumah.
“Kurasa ia takkan kembali lagi,” tak ada semangat dari nada suara Vira.
Ia menundukkan kepalanya.” “Dia memang tidak pantas bagimu. Janganlah
terlalu kau pikirkan. Setidaknya kita bertiga saling memiliki, itulah
yang paling berharga,” Ishak menatap putrinya dengan penuh kasih
sayang, kemudian ia tersenyum dan menatap ramah pada Amri yang berdiri
di sampingnya. “Maukah kamu main lagi dengan ayah di belakang."
“Ayo yah.. kita main lagi,” Amri menarik-narik tangan Ishak dengan sangat manja.
“Menurut Ayah, apakah Amri akan memaafkanku jika nanti ia sudah besar.
Ketika ia sadar bahwa engkau adalah kakeknya?” Vira menatap ayahnya
dengan cemas.
“Jangan kau cemaskan itu. Amri pasti akan mengerti! Dia akan tumbuh
menjadi lelaki santun yang pemaaf; toleransi terhadap semua kesalahan
orang, kita akan tanamkan nilai-nilai itu padanya. Sekarang, lebih baik
kita temani lagi Amri main di belakang rumah,” kata Ishak mencoba
menenangkan putrinya.
“Ayah benar. Lebih baik kita lanjutkan kembali kegiatan minum teh di
belakang rumah,” Vira tersenyum merasa lega. Dengan sekejap, ia sudah
melupakan kesedihannya.
Sambil bergandengan tangan, mereka bertiga meneruskan langkah mereka,
berjalan memasuki rumah, menuju halaman belakang rumah tanpa pernah
lagi menoleh ke belakang; satu langkah awal bagi mereka untuk memulai
hidup baru.
Oleh Rully Ferdiansyah
Penulis kahir di Serang, 30 Agustus 1985. Kini tinggal di Komp. Pemda
Blok A-8, RT01/RW07, Cinanggung, Kel. Kaligandu, Serang – Banten, 42151
dan bekerja sebagai Teknisi Komputer (EDP) bagian Hardware di PT
Nikomas Gemilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar