Rabu, 17 Oktober 2012

Cerpen

DI HALAMAN belakang rumah yang teduh oleh pepohonan, dan asri karena penuh dengan tanaman hias, duduklah seorang lelaki tua, Ishak. Cuaca pada Sabtu pagi ini terasa cerah dan ramah.

Sudah satu jam Ishak duduk-duduk santai di halaman belakang rumahnya sambil mengawasi cucunya yang sibuk bermain mobil-mobilan. Kehadiran anak lelaki berusia enam tahun itu telah mengisi hari-hari yang sepi dari kehidupan lelaki tua itu. Cukup lama Ishak mengawasi cucunya bermain, dan sekarang lelaki tua itu merasa tenggorokannya kering, ia sudah tak sabar lagi menunggu putrinya untuk membawakan minuman teh hangat bagi dirinya.

Putri Ishak, Vira, adalah seorang wanita yang bertubuh sempurna bagai peragawati, dan ia tampak anggun ketika tengah mendekati ayahnya sambil membawakan minuman teh. Di atas meja, satu gelas teh hangat disajikan oleh Vira. Ishak meminum teh hangat buatan putrinya dengan pelan-pelan. Kemudian, ia tersenyum pada Vira yang ikut duduk-duduk di sampingnya. “Teh buatan tanganmu itu tiada bandingannya,” Ishak meletakkan kembali gelasnya di meja.

“Ayah terlalu berlebihan,” ujar Vira tersipu.
“Lihat! Betapa menggemaskannya putramu itu,” Ishak tersenyum pada putrinya. “Aku tak malu menjadi ayah dari putramu."

Vira menundukkan kepalanya, menggigit bibirnya. “Seharusnya aku tak membuat ayah malu. Aku telah banyak berbohong kepada ayah. Maafkan aku karena pernah meragukan ayah. Seharusnya aku percaya pada ayah."

“Ooo..” Ishak membelai kepala Vira dengan penuh kasih sayang. “Semua itu sudah lama terjadi. Tak perlu dipikirkan lagi. Sekarang kita pikirkan saja masa depan putramu, putra kita, Amri,” “Tapi Amri seharusnya menjadi cucu ayah, bukan anak ayah!” Vira menatap ayahnya lekat-lekat.

“Ya.. kau benar. Tapi, aku bisa menjadi ayah sekaligus kakeknya,” Ishak tersenyum simpul pada Vira hingga matanya memicing. “Tapi..” Vira masih belum merasa tenang batinnya.

Percakapan antara Ishak dan putrinya itu belumlah usai ketika Amri berlari mendatangi orangtuanya. Amri memamerkan mainan mobil barunya kepada ibunya. “Ibu.. lihat! Ayah telah membelikanku mainan mobilan yang sangat keren,” Amri membanggakan mainan barunya. Lalu memberikannya pada Vira.

“Mana biar kulihat,” Vira mengambil mainan Amri. “Bagus juga ya..ini ambil lagi mainanmu,” Amri segera mengambil mainan barunya dari ibunya, lalu kembali bermain-main dengan mobilnya. Ishak dan Vira merasa terharu sekaligus bangga sewaktu melihat Amri berlari menjauh, dan memainkan mainan mobilnya di tempat semula, di kebun bunga-bunga hias.

“Dulu aku begitu jahat pada ayah. Pernah sekali waktu aku mencoba berpikir kalau aku tak punya ayah. Menganggap diriku tak pernah menjadi putri ayah. Tapi, kenyataannya aku tetap darah daging ayah, aku tetap putri ayah satu-satunya. Itu terbukti ketika aku tak memiliki siapa-siapa lagi untuk tempat bernaung; aku kembali kemari dalam keadaan menyedihkan. Seharusnya aku tidak meninggalkan ayah sendirian waktu itu. Tidak seharusnya aku meninggalkan rumah,” Vira menatap lekat-lekat ayahnya, dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ishak menghela nafas panjang, dan tak lama kemudian ia tersenyum pada Vira “Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu, kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana!”
Ishak kemudian bangkit lalu segera berjalan masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Selang beberapa menit, Ishak sudah keluar dari dalam rumahnya sambil membawa boneka beruang Teddy.

“Apakah kau masih ingat dengan boneka beruang ini? Aku menemukannya di lemari almarhumah ibumu ketika membersihkan kamar,” Ishak memberikan boneka beruang Teddy itu kepada Vira, lalu kembali duduk di samping putri semata wayangnya.
“Ibu membelikan boneka beruang ini ketika aku masih duduk di kelas 4 SD. Terima kasih ayah karena telah menemukanya,” Vira memeluk boneka itu erat-erat. “Seandainya ibu masih di sini bersama kita."

“Ya.” Ishak mengangguk-nganggukkan kepalanya. “Maafkan ayahmu ya.. sayang, seharusnya waktu itu aku lebih sering berada di rumah, berada di dekatmu. Ayah menyesal karena tidak bisa mengikuti pemakaman ibumu, aku tak bisa menghiburmu di kala engkau tengah rapuh. Saat itu ayah lebih terobsesi untuk menghabiskan waktu di dalam pekerjaan, tapi kurasa itu bukanlah alasan pembenaran atas kesalahanku.”
Vira menggenggam lengan ayahnya dengan erat-erat, lalu tersenyum padanya. Ishak juga mempererat lengan putrinya dengan penuh kasih sayang seorang ayah.

Sewaktu mereka berdua berbaikan, membangun kembali hubungan ayah dan anak yang dulu pernah retak, pembantu mereka, mang Husni mendatangi mereka.  “Maaf pak. Ada tamu yang bernama Sophian, yang ingin bertemu dengan neng Vira,” kata mang Husni dengan nada suara lembut, penuh kesopanan.

Vira menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya, terkejut dengan berita kedatangan pacarnya, Sophian. “Oo.. Ayah, aku lupa memberitahu ayah kalau hari ini Sophian hendak berkunjung menemui ayah. Dia ingin mengatakan langsung kepada ayah mengenai keseriusannya menjalin hubungan denganku.”

“Kalau begitu saya harus bertemu dengannya,” kata Ishak bersemangat.
“Tapi dia tidak mengetahui mengenai siapa diriku yang sebenarnya. Dia hanya mengetahui bahwa aku adalah janda beranak satu. Dia tidak mengetahui kalau...,” Vira memalingkan mukanya dari ayahnya, kemudian menundukkan kepalanya. “Oo Ayah, apa yang harus kulakukan, apakah aku harus jujur padanya?”

Ishak memegang pundak Vira yang rapuh dengan sentuhan kasih “Awali hubungan kalian yang serius itu dengan kejujuran, meski itu akan terasa pahit!” Ishak kemudian bangkit dari duduknya. Bersama Vira, ia berjalan menuju beranda rumah untuk menyambut Sophian. Di beranda rumah, Sophian duduk di kursi kayu. Baju dinasnya terseterika dengan rapih, sepatu pentopelnya mengkilat karena baru disemir; Sophian adalah seorang pegawai pemerintah propinsi yang dihormati. Sewaktu Ishak melihat penampilan Sophian yang serba resmi, ia berharap kalau Sophian adalah lelaki yang pantas untuk Vira.

Di beranda rumah, Sophian diperkenalkan pada Ishak oleh Vira. Kemudian, mereka bertiga duduk-duduk di beranda rumah sambil menikmati minuman teh yang dibawakan oleh mang Husni. Namun, pada saat mereka bertiga larut dalam suasana percakapan yang santai, Amri datang mendekati Ishak, hendak mengajaknya bermain kembali di halaman belakang rumah. Sophian merasa aneh sekaligus geli dengan pemandangan yang baru dilihatnya, dimana Amri dengan akrabnya  memanggil Ishak dengan sebutan ayah.

“Ini yang namanya Amri ya.. imut sekali,” Sophian tersenyum simpul pada Vira. Kemudian, ia menatap pada Ishak. “Bapak juga sudah dianggap ayah olehnya. Tentu akan jadi pemandangan yang aneh jika ada orang lain yang melihat bapak yang sudah kakek-kakek memiliki anak sekecil Amri.”

Ishak tercenung mendengar perkataan Sophian. Ia memandang penuh harap kepada putrinya, berharap agar Vira segera mengatakan yang sebenarnya kepada Sophian. Bibir tipis nan indah milik Vira terlihat bergemik-gemik. Badannya terasa lemas seakan tak bertulang. Ketika diharapkan untuk jujur oleh ayahnya, Vira tak tahu harus memulai darimana untuk memulainya.

Vira menghela nafas panjang. Kemudian, dipegangnya tangan Sophian yang kaku dengan lembut. Coba dipandangnya muka Sophian dengan tatapan kasih sayang yang penuh harapan. Sophian merasa bingung dengan sikap Vira, tapi ia tetap menahan diri untuk tidak bertanya, ia akan membiarkan Vira menjelaskan segalanya dengan sendirinya.

“Sebenarnya aku ini bukanlah seperti apa yang kamu kira selama ini,” kata Vira.
“Maksudmu?” Sophian mengernyitkan dahinya.
“Dulu, ketika kita pertama kali bertemu, aku pernah mengatakan padamu bahwa aku ini adalah seorang janda dengan satu anak. Tapi nyatanya, aku adalah... aku adalah..” Vira berusaha untuk meneruskan perkataannya, namun ia tidak mampu. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku selalu menentang orang tuaku ketika aku masih muda, aku selalu mengikuti hawa nafsuku, selalu mengikuti apa kata teman-temanku daripada perkataan orangtuaku. Pada masa itu, gemerlap kehidupan di klub malam adalah gaya hidupku yang tidak bisa terpisahkan. Sekarang aku harus mengatakan padamu dengan sejujur-jujurnya bahwa..” Vira menundukkan kepalanya, menghela nafas dalam-dalam, mencoba mencari kekuatan di dalam dirinya untuk melanjutkan perkatannya.

“Bahwa..?” Sophian penasaran.
“Bahwa Amri merupakan anak hasil dari hubungan di luar nikah. Karena ayah aslinya tidak mau bertanggung jawab, maka ayahku-lah yang bersedia menjadi ayah Amri; bersedia memberikan nama keluarganya kepada Amri. Semua ini dilakukan demi menghindari rasa malu, agar Amri memiliki Bin yang jelas pada akta kelahirannya,” Vira memegang kedua tangan Sophian dengan lembut dan menatapnya dengan penuh harap.

“Maafkan aku, selama ini aku telah merahasiakan semua ini darimu,”
Sophian menarik lengannya agar tidak digenggam Vira. Pengakuan dari Vira telah membuat seluruh tubuh Sophian bergetar, dan rahangnya menjadi keras seolah menahan sesuatu yang ingin meluap dari dalam dirinya.

“Sudah empat bulan kita berhubungan. Dan sekarang, ketika aku hendak berniat untuk melamarmu di sini, engkau mengatakan kebenaran ini. Aku tak bisa menerimanya. Aku butuh waktu untuk memikirkan kembali semua ini. Aku harus segera pergi sekarang. Aku perlu sendirian untuk bisa berpikir jernih mengenai segala kejujuran yang baru saja kau katakan,” Sophian segera bangkit, merasa sedih karena telah dibohongi.

Sophian merasa tidak kerasan untuk tinggal lebih lama lagi di beranda rumah Ishak. Akhirnya, ia bersalaman dengan Ishak dengan sangat tergesa-gesa. Dan ketika ia berhadapan dengan Vira, ia mengacuhkannya dan mulai berjalan menuju mobil sedannya yang terparkir di depan pagar rumah.
“Oo.. Sophian,” kata Vira.

Sophian tetap pula berjalan menuju mobil, tak menggubris Vira yang memanggil namanya. Dengan sikap dingin ia masuk ke dalam mobilnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Vira dan ayahnya, tak ada sedikitpun usaha yang dilakukan mereka untuk menghentikan Sophian. Mereka berdua hanya bisa menatap kepergian mobil sedan Baleno yang ber-plat warna merah itu meninggalkan rumah.

“Kurasa ia takkan kembali lagi,” tak ada semangat dari nada suara Vira. Ia menundukkan kepalanya.” “Dia memang tidak pantas bagimu. Janganlah terlalu kau pikirkan. Setidaknya kita bertiga saling memiliki, itulah yang paling berharga,” Ishak menatap putrinya dengan penuh kasih sayang, kemudian ia tersenyum dan menatap ramah pada Amri yang berdiri di sampingnya. “Maukah kamu main lagi dengan ayah di belakang."

“Ayo yah.. kita main lagi,” Amri menarik-narik tangan Ishak dengan sangat manja.
“Menurut Ayah, apakah Amri akan memaafkanku jika nanti ia sudah besar. Ketika ia sadar bahwa engkau adalah kakeknya?” Vira menatap ayahnya dengan cemas.

“Jangan kau cemaskan itu. Amri pasti akan mengerti! Dia akan tumbuh menjadi lelaki santun yang pemaaf; toleransi terhadap semua kesalahan orang, kita akan tanamkan nilai-nilai itu padanya. Sekarang, lebih baik kita temani lagi Amri main di belakang rumah,” kata Ishak mencoba menenangkan putrinya.

“Ayah benar. Lebih baik kita lanjutkan kembali kegiatan minum teh di belakang rumah,” Vira tersenyum merasa lega. Dengan sekejap, ia sudah melupakan kesedihannya.
Sambil bergandengan tangan, mereka bertiga meneruskan langkah mereka, berjalan memasuki rumah, menuju halaman belakang rumah tanpa pernah lagi menoleh ke belakang; satu langkah awal bagi mereka untuk memulai hidup baru.


Oleh Rully Ferdiansyah

Penulis kahir di Serang, 30 Agustus 1985. Kini tinggal di Komp. Pemda Blok A-8, RT01/RW07, Cinanggung, Kel. Kaligandu, Serang – Banten, 42151 dan bekerja sebagai Teknisi Komputer (EDP) bagian Hardware di PT Nikomas Gemilang.

Tidak ada komentar: